Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL ILMIAH

PERLINGDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELECEHAN


SEKSUAL DALAM TEMPAT KERJA

Disusun Oleh:

Raihan Maulana Fajri - 2006580133

Artikel ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Penulisan
Ilmiah

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

2020
BAB I

Pendahuluan

I. Latar Belakang

Merupakan sebuah fakta bahwasannya di era modern ini, kesetaraan gender telah
dikembangkan sehingga perempuan dapat mengakses banyak fasilitas seperti hak politik,
pendidikan, hingga pekerjaan. Hal tersebut cukup kontras dibandingkan di masa lampau
yang mana mereka dipandang sebagai bawahan dari laki-laki yang dituntut untuk mengurus
kebutuhan “dapur, sumur, kasur” saja. Meskipun zaman sudah berbeda, pada kenyataannya
masih terjadi berbagai bentuk perendahan terhadap martabat perempuan, terutama di tempat
bekerja baik berupa cacian, unsur-unsur diksriminatif, hingga pelecehan seksual.

Pelecehan seksual merupakan segala bentuk perbuatan seksual yang dilakukan


secara verbal ataupun fisik oleh suatu individu terhadap individu lainnya tanpa persetujuan
sehingga menimbulkan rasa tidak nyaman.1 Sering kali terdapat kekeliruan mengenai
perkataan macam apa yang tergolong sebagai pelecehan seksual verbal lantaran perbedaan
penafsiran antara korban dengan pelaku. Dalam hal ini, pelaku menganggap ucapannya
hanyalah sebuah pujian belaka terhadap korban, sedangkan korban merasa dilecehkan oleh
“pujian” tersebut.2 Seseorang yang mengalami tindak pelecehan seksual digolongkan
sebagai korban karena rasa malu, takut, ataupun efek negatif lain yang dialaminya sebagai
akibat dari perlakuan tersebut.

Pelecehan seksual dalam tempat kerja dapat menimpa siapa saja baik pegawai
perempuan maupun laki-laki dengan mayoritas 81% kasus menimpa pada perempuan
dilansir dari laporan Healthcareers.co. Survei dari tahun 1979 menunjukkan bahwa 59%
pegawai negeri perempuan di Illinois, Amerika Serikat pernah mengalami tindakan
pelecehan seksual oleh rekan kerjanya.3 Data tersebut membuktikan bahwa pelecehan
seksual bukanlah suatu hal yang baru terjadi belakangan ini, melainkan telah tercatat dari
tahun 70-an dan tidak menutup kemungkinan telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya.

1
William L. Woerner dan Sharon L. Oswald, “Sexual Harassment in the Workplace: A View Through
the Eyes of the Courts,” Labor Law Journal, Vol. 41 (November, 1990), hlm. 786
2
Patricia Linenberger, “What constitutes sexual harassment?”, Labor Law Journal, Vol. 34 (April
1983), hlm. 238
3
Ruth Ann Strickland, "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators," Public
Personnel Management, Vol. 24 (1995), hlm. 493-513.
Tulisan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan tindakan pelecehan
seksual di tempat kerja yang sering kali dianggap masyarakat sebagai hal yang tabu untuk
dibahas. Padahal sejatinya penting untuk dibahas agar korban berani untuk melaporkan
pelaku guna mencegah terjadinya tindakan-tindakan serupa di masa yang akan datang.
Hendaknya pembaca dapat memahami bahwa korban pelecehan seksual perlu bantuan untuk
dapat pulih dari trauma tersebut, bukan dijauhi atau dianggap kotor. Bahwasannya tindakan
pelecehan seksual sangatlah tercela dan dapat menyebabkan trauma yang mendalam bagi
korban kedepannya.

Setelah pendahuluan, bagian 1 akan membahas mengenai berbagai bentuk


pelecehan seksual yang sering terjadi di tempat kerja beserta dampaknya terhadap korban.
Diharapkan pembaca dapat mengetahui parameter terjadinya suatu tindak pelecehan seksual
dan juga seberapa parah sejatinya tindakan tersebut sehingga menimbulkan dampak berarti
terhadap korban. Dilanjutkan dengan bagian 2 yang membahas mengenai alasan para korban
pelecehan seksual yang notabene adalah perempuan enggan melaporkan ke pengadilan.
Pembaca akan memahami alasan-alasan mengapa banyak pekerja perempuan yang tidak
mengajukan gugatan meskipun sudah dilecehkan dan dirugikan oleh para pelaku yang
merupakan rekan kerja atau atasannya. Artikel akan dilanjutkan pada bagian 3 yang
membahas mengenai sudah atau belum cukupnya peraturan hukum yang ada dalam
melindungi para pekerja perempuan dari segala bentuk tindakan pelecehan seksual.
Diharapkan pembaca dapat memahami peraturan hukum yang ada baik di luar negeri
maupun di dalam negeri yang mengatur mengenai tindakan pelecehan seksual. Tulisan akan
diakhiri dengan penutup dari penulis.

II. Rumusan Masalah


• Perilaku seperti apa yang tergolong sebagai bentuk pelecehan seksual?
• Apakah peraturan hukum yang ada sudah efektif dalam memberikan perlindungan
terhadap para pekerja dari pelecehan seksual?
• Mengapa korban cenderung untuk tidak berani melaporkan kasus kekerasan
seksual?
III. TINJAUAN PUSTAKA
I. Masalah yang teridentifikasi
a. Apa yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual
William Woerner dan Sharon Oswald dalam tulisannya yang berjudul “Sexual
Harassment in the Workplace: a View Through the Eyes of the Courts” menyatakan
definisi pelecehan seksual di tempat kerja sebagai tindakan bersifat seksual yang tidak
diinginkan yang dilakukan oleh seseorang dalam tempat kerja.4 Mereka pun menyetujui
bahwasannya pelecehan seksual merupakan suatu fenomena yang abstrak lantaran sulit
untuk dibuktikan secara nyata, tetapi tiap individu tentunya memiliki pendapat masing-
masing akan tindakan tersebut.5
Pernyataan serupa pun disampaikan oleh Siti Awaliyah bahwasannya pelecehan
seksual merupakan suatu perilaku yang menjurus pada hal-hal yang bersifat seksual
(verbal: bicara atau humor porno, memperlihatkan gambar porno ataupun fisik misalnya
menyentuh bagian tubuh) yang tidak disetujui oleh korban.6 Adapun EEOC (Equal
Employment Opportunity Commission) mendefinisikan pelecehan seksual secara
hukum sebagai tindakan bersifat seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk
memenuhi hasrat seksual, dan perlakuan lainnya secara fisik ataupun verbal yang bersifat
seksual sehingga mengganggu kenyamanan seseorang dan berpengaruh terhadap kinerja,
produktivitas, dan membuat lingkungan yang tidak nyaman.7 Sering kali parameter
terjadinya pelecehan seksual dipertanyakan, apakah melakukan hal sebatas bersiul atau
menggoda termasuk pelecehan seksual? Atau harus ada kontak fisik terlebih dahulu antara
pelaku dan korban untuk dapat dikatakan pelecehan? Dari definisi para ahli tersebut, dapat
disimpulkan bahwa segala aktivitas berbau seksual yang dilakukan tanpa melalui
persetujuan terlebih dahulu baik secara verbal maupun fisik, merupakan bentuk tindakan
pelecehan seksual. Adapun masing-masing penulis menyetujui bahwasannya pelecehan
seksual merupakan bentuk tindakan perendahan derajat terhadap seseorang melalui
perlakuan yang bersifat seksual tanpa persetujuan sehingga mengakibatkan dampak negatif
yang berarti pada korban.

Woerner dan Oswald, “Sexual Harassment in the Workplace,” hlm. 786.


4
5
Ibid, hlm. 786.
6
Siti Awaliyah, “Aspek Hukum dalam Pelecehan Seksual di Tempat Kerja,” Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (Februari, 2014), hlm. 43.
7
Equal Employment Opportunity Commission, “Fact Sheet: Sexual Harassment Discrimination,”
https://www.eeoc.gov/publications/facts-about-sexual-harassment, diakses 23 November 2020.
b. Peraturan Hukum mengenai tindakan pelecehan seksual
James Campbell Quick dan M. Ann McFadyen berpendapat bahwa segala
bentuk tindakan pelecehan seksual di masa kini sedang dalam proses penghapusan
melalui berbagai penerapan kebijakan institusi tempat bekerja tersebut, dan ditegaskannya
hukum seperti Title VII of the Civil Rights Act of 1964 yang bertujuan untuk membentuk
lingkungan pekerjaan yang bersifat inklusif bagi segala gender, dengan menyinggung
pelecehan seksual sebagai salah satu dari sekian banyak tindakan terlarang.8 Mereka
menegaskan bahwa pelatihan dan edukasi mengenai pelecehan seksual sangat dibutuhkan
bagi para karyawan guna mencegah terjadinya tindakan pelecehan seksual di tempat kerja.
Ruth Ann Strickland dalam jurnalnya “Sexual Harassment: A Legal Perspective for
Public Administrators” memaparkan bahwasannya telah terdapat 33 negara bagian di
Amerika Serikat yang menerapkan hukum mengenai larangan tindak pelecehan seksual.9
Adapun hukum yang mengatur mengenai pelecehan seksual tersebut seperti Civil Rights
Act of 1964, Equal Employment Opportunity Act 1972, Civil Service Reform 1978,
Directive Defining 1978, dan Civil Rights Act 1991, dan lainnya.10 Setiap negara dan
negara bagian telah sepakat bahwasannya tindakan pelecehan seksual merupakan
tindakan pelanggaran hukum sehingga pelakunya wajib untuk dikenakan sanksi. Akan
tetapi, hambatan terletak pada ketakutan para korban untuk melapor karena kebanyakan
pelaku merupakan atasan sehingga dapat mengancam korban dengan pemecatan jika
berani melapor.

II. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakaan bentuk perendahan martabat terhadap seseorang
baik laki-laki maupun perempuan dan sudah sepatutnya dihilangkan. Meskipun telah
banyak hukum yang mengatur mengenai larangan terhadap tindakan kekerasan seksual,
dalam kenyataannya tindakan bejat tersebut masih sering terjadi di tempat kerja. Oleh
karena itu, sudah saatnya intansi tempat kerja menerapkan berbagai sosialisasi dan
edukasi mengenai pencegahan terhadap tindakan pelecehan seksual guna mencegah
terjadinya tindakan bejat tersebut sembari membentuk lingkungan kerja yang sehat untuk
para pekerjanya.

James Cambell Quick dan M. Ann McFayden, “Sexual Harassment: Have We Made Any Progress?”
8

Journal of Occupational Health Psychology (2017) hlm. 293.


9
Strickland, "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators," Public Personnel
Management, Vol. 24 (1995) hlm. 493.
10
Ibid, hlm. 493-513.
BAB II

Pembahasan

IV. Pembahasan
A. Bentuk pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja

Terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja sering kali bermula dari faktor
perbedaan posisi jabatan antara pelaku dan korban.11 Mayoritas korban yang berjenis
kelamin perempuan sering kali berada di jabatan yang lebih rendah daripada pelaku.
Seseorang dengan jabatan lebih rendah cenderung untuk bersikap patuh dan perhatian
terhadap atasannya. Hal ini lantas memberikan ruang gerak bagi atasan dengan niat buruk
untuk dapat senantiasa memanfaatkan sikap kepatuhan dan perhatian bawahannya dengan
menggoda hingga memaksa bawahannya untuk melakukan tindakan tidak senonoh
bersamanya. Korban yang merupakan bawahan dari pelaku pun berada di posisi yang sulit
lantaran takut akan dipecat atau diturunkan jabatannya jika menolak dan melapor.

Salah satu kasus pelecehan seksual di perusahaan besar terjadi di Uber pada tahun
2016. Susan Fowler, seorang karyawati baru di perusahaan transportasi online tersebut kerap
mendapatkan pesan singkat dari manajernya berupa ajakan untuk berhubungan badan. Ia pun
melaporkan tindakan pelecehan tersebut ke divisi Human Resource dengan bukti berupa
riwayat pesan singkat tersebut. Akan tetapi, bukannya dibantu ia justru disalahkan dan diberi
penilaian buruk dalam laporan kinerjanya karena sang manajer merupakan pejabat penting
dengan riwayat yang baik.12 Hal ini menunjukkan keteledoran lingkungan pekerjaan dalam
menangani kasus pelecehan seksual, bukannya memberi sanksi bagi pelaku namun justru
melindungi pelaku.

Para pekerja perempuan yang merupakan korban pelecehan seksual melihat


tindakan pelecehan sebagai suatu hal yang sangat merendahkan martabat. Mereka
mengharapkan sanksi yang berat bagi para pelaku, namun kenyataannya seringkali “sanksi”
tersebut hanya sebatas peringatan atau relokasi penempatan kerja bagi pelaku ke kantor lain.
Tidak adanya bukti kongkrit akan kasus pelecehan seksual juga mendukung ringannya sanksi
terhadap atasan yang melakukan tindakan pelecehan seksual. Hal tersebut tentunya tidak
memberikan keadilan yang diharapkan bagi korban perempuan yang telah berani

11
S. Gayle Baugh, “On the Persistence of Sexual Harassment in the Workplace,” Journal of Business
Ethics (1997), hlm. 901.
12
Melinda Gates, “The Moment of Lift,” cet. 1 (New York: Flatiron Books, 2019), hlm. 141.
menanggung rasa malu lantaran telah mengungkapkan kejadian tersebut. Alhasil
kedepannya mereka lebih memilih untuk bungkam daripada tidak dipercaya dan harus
mengorbankan rasa malu dengan hasil yang tidak sesuai ekspektasi mereka.13

Selain di perkantoran, pelecehan seksual juga terjadi di bidang militer. Survei di


tahun 2010 menemukan bahwa 4% tentara perempuan Angkatan Laut Amerika Serikat telah
mengalami pelecehan seksual di awal tahun, dan 26% mengalami di pertengahan hingga
akhir tahun.14 Bentuk-bentuk pelecehan tersebut beragam mulai dari kontak fisik secara
seksual yang tidak diinginkan, secara verbal, hingga diskriminasi. Hal ini membuktikan
bahwa pelecehan seksual juga dapat terjadi di tempat yang dijaga ketat oleh aparat
keamanan.

B. Alasan korban pelecehan seksual enggan untuk melapor

Seperti yang diketahui, pelecehan seksual merupakan sebuah perilaku keji yang
merendahkan martabat seseorang dan menimbulkan dampak negatif yang berarti. Akan
tetapi, masih banyak kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan oleh korban karena
berbagai alasan. Hal ini tentunya menghambat pendataan dan penyelesaian kasus pelecehan
seksual yang seharusnya tidak dibiarkan saja.

Pelecehan seksual masih dianggap oleh beberapa negara dengan disparitas gender
yang signifikan seperti Jepang, Turki, dan lainnya sebagai hal yang wajar terjadi dan
merupakan ranah privasi. Sebagai contoh, Jepang tidak pernah mengenal istilah “pelecehan
seksual” karena selama ini pelecehan seksual tidak dianggap sebagai suatu permasalahan
melainkan hubungan pribadi antara individu saja yang tabu untuk dibahas.15 Hal tersebut
dilatar belakangi oleh budaya untuk “menjaga ketentraman” dalam bermasyarakat sehingga
jika seseorang dilecehkan, dianggap lebih baik jika mereka bungkam dan tidak melaporkan
karena akan menimbulkan ketidaktentraman dan membuat gaduh. Terlebih lagi kebanyakan
kasus pelecehan seksual tidak memiliki bukti yang kongkrit untuk memperkuat laporan
tersebut sehingga diragukan kebenarannya. Korban pun akhirnya tidak melapor untuk
menghindari terjadinya kegaduhan.

13
Ibid, hlm. 903.
14
Andrew R. Morral, et.al., eds., Sexual Assault and Sexual Harassment in the U.S. Military, cet 1.
(Rand Corporation, 2014) hlm. 3.
15
Yuki W. P. Huen, “Workplace Sexual Harassment in Japan: A Review of Combating Measures
Taken,” Asian Survey (2007), hlm. 812
Sebuah survei yang diadakan oleh Belanda mengungkapkan bahwa kebanyakan
perempuan cenderung untuk bungkam, membiarkan, atau mengganti topik jika dihadapkan
dengan situasi pelecehan dan hanya melapor jika perilaku pelecehan tersebut mengancam
keselamatan mereka.16 Mereka enggan untuk melapor karena kurangnya bukti yang dapat
menunjukkan keabsahan klaim tersebut sehingga takut tidak akan dipercaya dan justru
mempermalukan diri sendiri. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya membiarkan terjadinya
perilaku pelecehan yang ringan berpotensi untuk menimbulkan perilaku pelecehan yang
lebih parah di kemudian hari. Hal tersebut lantaran pelaku merasa apa yang mereka lakukan
wajar-wajar saja sehingga terus melakukannya.

Selain itu, tidak terdapatnya lingkungan supportive yang membantu korban dalam
melaporkan kasus pelecehan kepada pihak yang berwajib juga menjadi salah satu hambatan.
Seorang pekerja perempuan tidak akan menceritakan pengalaman pelecehan seksual yang
dialaminya kepada rekan kerja perempuan atau laki-laki yang mentolerir perilaku tersebut.17
Sudah saatnya dunia perkantoran mengubah pandangan mereka mengenai perilaku yang
bersifat menjurus kearah pelecehan seksual. Dimulai dengan tidak menggampangkan dan
menormalisasikan segala bentuk perkataan atau perbuatan yang mengarah pada pelecehan,
memberikan edukasi mengenai pelecehan seksual dan dampaknya, dan menggalakkan
sanksi bagi para pelaku yang melakukan pelecehan seksual. Hal tersebut lantaran pelecehan
sangat merugikan dan merendahkan martabat perempuan sehingga menghambat kinerja dan
menumbuhkan rasa takut bagi mereka. Dengan demikian, para korban akan berani untuk
melaporkan tindakan pelecehan seksual yang mereka alami jika ditunjang oleh lingkungan
yang menentang segala bentuk perilaku pelecehan seksual.

C. Problematika dan Upaya untuk menekan maraknya tindakan pelecehan seksual

Sejarah mencatat bahwa hukuman yang pertama kali dicetuskan bagi pelaku
pemerkosaan di Kanada pada abad ke-19 ialah hukuman mati.18 Hal tersebut tentunya
merupakan hukuman yang paling berat untuk pelaku tindakan pelecehan seksual kala itu
sehingga jumlah kasus pemerkosaan mengalami penurunan yang drastis. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, hukuman tersebut kian melemah menjadi penjara seumur hidup, cambuk,

16
Nurhan Süral dan Mustafa Kiliçoğlu, “Prohibiting Sexual Harassment in the Workplace in Turkey,”
Middle Eastern Studies (2011), hlm. 655.
17
James Green, ed., Workers' Struggles, Past and Present (Philadelphia: Temple University Press,
1983), hlm. 235.
18
Elizabeth A. Sheely, ed., Sexual Assault in Canada: Law, Legal Practice and Women’s Activism
(Ottawa: University of Ottawa Press, 2012), hlm. 728.
hingga di era modern menjadi beberapa tahun penjara saja. Seiring dengan melemahnya
hukuman yang diberikan, makin marak juga kasus pelecehan seksual yang berujung pada
pemerkosaan. Dapat dilihat bahwa makin lemahnya hukum yang mengatur, maka makin
marak juga tindak pidana tersebut.

Definisi pemerkosaan di Indonesia masih sebatas bentuk penetrasi kemaluan laki-


laki terhadap kemaluan perempuan tanpa persetujuan. Padahal seharusnya lebih dari itu
lantaran pemerkosaan tidak hanya sebatas penetrasi saja melainkan bentuk penyerangan
secara psikologis terhadap korban karena menimbulkan trauma berkepanjangan. Definisi
yang sempit tersebut tentu merupakan bentuk perendahan terhadap korban pemerkosaan
karena seakan-akan hukum tidak memedulikan kondisi mental yang mereka miliki pasca
mengalami pemerkosaan tersebut. Selain itu, frasa “bentuk-bentuk kekerasan seksual lain
yang setara” dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 26 tahun 2000 membuat parameter
kekerasan seksual menjadi rancu lantaran tidak dijabarkan secara jelas.19

Indonesia telah menyetujui dan meratifikasi berbagai Undang-Undang yang


melindungi perempuan dari segala bentuk tindakan pelecehan seksual, seperti Undang-
Undang No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Undang-Undang No. 12 tahun 2005 tentang
Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights, Undang-Undang No. 39
tahun 1999, dan Undang-Undang No. 26 tahun 2000. Semua undang-undang tersebut
mengandung pasal yang menjamin kesetaraan hak perempuan dalam lingkungan
masyarakat. Akan tetapi, peraturan-peraturan tersebut masih gagal dalam melindungi
perempuan dari segala bentuk pelecehan seksual. Oleh karena itu, diperlukan undang-
undang yang secara spesifik mengkaji mengenai segala bentuk pelecehan dan sanksi bagi
pelakunya.

Hendaknya Indonesia dalam hal ini perlu mencontoh Rwanda yang telah
menetapkan definisi pemerkosaan dan kekerasan seksual sebagai “tindakan kekerasan
seksual baik secara fisik, ancaman, intimidasi yang menimbulkan ketakutan dan segala
bentuk paksaan.”20 Dengan begitu, tentunya terdapat gambaran yang lebih jelas mengenai
parameter pelecehan seksual yang terjadi. Hal sedemikian rupa sebenarnya telah diatur

19
Ani Purwanti dan Rian Adhivira Prabowo, “Women Rights Fulfillment As The Victim Of Gross
Human Rights Violation: Urgency For The Sexual Violence Eradication Bill,” Indonesian Law Review (2018),
hlm. 310.
20
Ibid.
dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang
memberikan daftar jelas mengenai apa yang termasuk kekerasan seksual, namun RUU
tersebut belum kunjung disahkan meskipun telah diusulkan sejak tahun 2016.

Inggris telah terlebih dulu mengambil berbagai langkah preventif untuk menekan
tingginya tindakan pelecehan seksual melalui rangkaian program “Ending Violence Against
Women and Girls” di tahun 2016.21 Sama halnya dengan Australia yang telah mencetuskan
program “The National Plan to Reduce Violence Against Women” di tahun 2009 yang
menekankan pada pencegahan tindakan pemerkosaan, program pemberdayaan wanita dan
anak, dan saluran darurat pemerkosaan yang menyediakan bantuan 24 jam.22 Indonesia dapat
mencontoh kedua negara tersebu dalam upaya mencegah terjadinya pelecehan seksual yang
marak baik di dunia perkantoran, maupun umum melalui RUU PKS yang dirancang tersebut.

Selama ini, kasus hukum mengenai kekerasan seksual terlalu tersentralisasi pada
nasib dan hukuman bagi pelaku saja, tetapi tidak dengan korban yang justru seharusnya
membutuhkan pendampingan berkelanjutan. RUU PKS memfasilitasi korban dengan
bantuan psikologis, materi, dan perlindungan agar dapat pulih dari kondisinya pasca
mengalami tindakan kekerasan seksual serta melalui rangkaian persidangan yang tentunya
menguras tenaga dan pikiran korban. Dengan demikian, demi kepentingan korban dan
jelasnya parameter kekerasan seksual, sudah seharusnya pemerintah mengesahkan RUU
PKS. Aturan hukum yang secara tegas memberikan sanksi bagi pelaku pelecehan seksual
tentunya dibutuhkan agar masyarakat dapat memahami bahwasannya pelecehan seksual
dalam bentuk apapun merupakan hal yang tidak sepele. Dibutuhkan sanksi yang berat bagi
pelaku guna memberikan keadilan yang semestinya bagi korban, dan memberikan efek jera
kepada pelaku dan mencegah orang untuk melakukan tindakan tersebut.

21
Claire Bethel, “#MeToo: The Perfect Storm Needed to Change Attitudes Toward Sexual Harassment
and Violence,” Harvard Public Health Review (2018), hlm. 3.
22
Nicole Westmarland dan Geetanjali Gangoli, eds., International Approaches to Rape (Bristol: Bristol
University Press, 2011), hlm. 13.
BAB III

Penutup

V. Saran

Pemerintah harus segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan


Kekerasan Seksual (RUU PKS) sebagai bentuk perlindungan terhadap hak-hak perempuan
dan mencegah terjadinya kekerasan seksual. Dalam kenyataannya, pelecehan seksual
merupakan isu yang sering kali tidak dianggap penting oleh masyarakat dan dianggap tabu
untuk dibahas. Padahal sejatinya harus dibahas agar dapat dihilangkan secara maksimal
karena berpotensi untuk membahayakan kondisi pekerja baik secara fisik maupun psikis.
Dengan mengesahkan RUU PKS, masyarakat akan lebih sadar mengenai hal-hal yang
tergolong sebagai pelecehan dan dampaknya terhadap korban. Hal ini tentu akan menyorot
isu pelecehan seksual sebagai permasalahan yang nyata dalam masyarakat dan membuka
ruang diskusi mengenai isu tersebut.

Korban pelecehan seksual pun akan lebih berani untuk melapor dan membicarakan
mengenai hal-hal yang mereka alami karena adanya hukum yang melindungi. Keberanian
korban untuk menceritakan pengalamannya merupakan salah satu elemen penting dalam
menyelesaikan kasus pelecehan seksual. Masyarakat tentunya juga harus bekerja sama
dalam mencegah terjadinya pelecehan seksual, yaitu dengan memperkaya diri dengan ilmu
mengenai kesetaraan gender dan kekerasan berbasis gender. Oleh karena itu, hendaknya
pemerintah mengesahkan RUU PKS sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak
perempuan dan anak serta mencegah segala bentuk tindakan pelecehan seksual.

VI. Kesimpulan

Pelecehan seksual merupakan perilaku bejat yang akan selalu ada lantaran hasrat
manusia dapat mendorong untuk melakukan berbagai bentuk tindakan kriminal. Dalam hal
ini pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk senantiasa berperan aktif dalam
berupaya mencegah terjadinya tindakan pelecehan seksual. Adapun upaya yang dilakukan
adalah dengan membuat kebijakan di tempat kerja yang secara tegas melarang segala
bentuk perilaku yang mengarah kepada pelecehan, pemerintah membuat undang-undang
yang secara spesifik mengatur mengenai tindakan pelecehan seksual, dan berperan sebagai
support system bagi korban pelecehan seksual. Dengan demikian diharapkan lingkungan
kerja dapat menjadi tempat yang aman bagi pekerjanya dari segala bentuk pelecehan.
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal

Woerner, William L. dan Sharon L. Oswald. “Sexual Harassment in the Workplace: A View
Through the Eyes of the Courts.” Labor Law Journal, Vol. 41 (November, 1990). Hlm. 786-
793.

Linenberger, Patricia. “What constitutes sexual harassment?”, Labor Law Journal, Vol. 34
(April 1983). Hlm. 230-246.

Strickland, Ruth Ann. "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators,"
Public Personnel Management, Vol. 24 (1995). Hlm. 493-513.

Awaliyah, Siti. “Aspek Hukum dalam Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.” Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Februari, 2014). Hlm. 43-47.

Quick, James Cambell dan M. Ann McFayden. “Sexual Harassment: Have We Made Any
Progress?” Journal of Occupational Health Psychology (2017). Hlm. 286–298.

Baugh, S. Gayle. “On the Persistence of Sexual Harassment in the Workplace.” Journal of
Business Ethics (1997). Hlm. 899–908.

Huen, Yuki W. P. “Workplace Sexual Harassment in Japan: A Review of Combating


Measures Taken.” Asian Survey (2007). Hlm. 811-827.

Süral, Nurhan dan Mustafa Kiliçoğlu. “Prohibiting Sexual Harassment in the Workplace in
Turkey.” Middle Eastern Studies (2011). Hlm. 655-662.

Purwanti, Ani dan Rian Adhivira Prabowo. “Women Rights Fulfillment As The Victim Of
Gross Human Rights Violation: Urgency For The Sexual Violence Eradication Bill.”
Indonesian Law Review (2018). Hlm. 303-315.

Bethel, Claire. “#MeToo: The Perfect Storm Needed to Change Attitudes Toward Sexual
Harassment and Violence.” Harvard Public Health Review (2018). Hlm. 1-5.

Website

Equal Employment Opportunity Commission, “Fact Sheet: Sexual Harassment


Discrimination. ” https://www.eeoc.gov/publications/facts-about-sexual-harassment. Diakses
23 November 2020.
Buku

Gates, Melinda. The Moment of Lift. Cet. 1 New York: Flatiron Books, 2019.

Morral, Andrew R. et.al., eds. Sexual Assault and Sexual Harassment in the U.S. Military. Cet
1 Rand Corporation, 2014.

Green, James. ed. Workers' Struggles, Past and Present. Philadelphia: Temple University
Press, 1983.

Sheely, Elizabeth A. ed. Sexual Assault in Canada: Law, Legal Practice and Women’s
Activism. Ottawa: University of Ottawa Press, 2012.

Westmarland, Nicole dan Geetanjali Gangoli. eds. International Approaches to Rape. Bristol:
Bristol University Press, 2011.

Anda mungkin juga menyukai