Disusun Oleh:
Artikel ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah Penulisan
Ilmiah
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS INDONESIA
2020
BAB I
Pendahuluan
I. Latar Belakang
Merupakan sebuah fakta bahwasannya di era modern ini, kesetaraan gender telah
dikembangkan sehingga perempuan dapat mengakses banyak fasilitas seperti hak politik,
pendidikan, hingga pekerjaan. Hal tersebut cukup kontras dibandingkan di masa lampau
yang mana mereka dipandang sebagai bawahan dari laki-laki yang dituntut untuk mengurus
kebutuhan “dapur, sumur, kasur” saja. Meskipun zaman sudah berbeda, pada kenyataannya
masih terjadi berbagai bentuk perendahan terhadap martabat perempuan, terutama di tempat
bekerja baik berupa cacian, unsur-unsur diksriminatif, hingga pelecehan seksual.
Pelecehan seksual dalam tempat kerja dapat menimpa siapa saja baik pegawai
perempuan maupun laki-laki dengan mayoritas 81% kasus menimpa pada perempuan
dilansir dari laporan Healthcareers.co. Survei dari tahun 1979 menunjukkan bahwa 59%
pegawai negeri perempuan di Illinois, Amerika Serikat pernah mengalami tindakan
pelecehan seksual oleh rekan kerjanya.3 Data tersebut membuktikan bahwa pelecehan
seksual bukanlah suatu hal yang baru terjadi belakangan ini, melainkan telah tercatat dari
tahun 70-an dan tidak menutup kemungkinan telah terjadi bertahun-tahun sebelumnya.
1
William L. Woerner dan Sharon L. Oswald, “Sexual Harassment in the Workplace: A View Through
the Eyes of the Courts,” Labor Law Journal, Vol. 41 (November, 1990), hlm. 786
2
Patricia Linenberger, “What constitutes sexual harassment?”, Labor Law Journal, Vol. 34 (April
1983), hlm. 238
3
Ruth Ann Strickland, "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators," Public
Personnel Management, Vol. 24 (1995), hlm. 493-513.
Tulisan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan tindakan pelecehan
seksual di tempat kerja yang sering kali dianggap masyarakat sebagai hal yang tabu untuk
dibahas. Padahal sejatinya penting untuk dibahas agar korban berani untuk melaporkan
pelaku guna mencegah terjadinya tindakan-tindakan serupa di masa yang akan datang.
Hendaknya pembaca dapat memahami bahwa korban pelecehan seksual perlu bantuan untuk
dapat pulih dari trauma tersebut, bukan dijauhi atau dianggap kotor. Bahwasannya tindakan
pelecehan seksual sangatlah tercela dan dapat menyebabkan trauma yang mendalam bagi
korban kedepannya.
II. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakaan bentuk perendahan martabat terhadap seseorang
baik laki-laki maupun perempuan dan sudah sepatutnya dihilangkan. Meskipun telah
banyak hukum yang mengatur mengenai larangan terhadap tindakan kekerasan seksual,
dalam kenyataannya tindakan bejat tersebut masih sering terjadi di tempat kerja. Oleh
karena itu, sudah saatnya intansi tempat kerja menerapkan berbagai sosialisasi dan
edukasi mengenai pencegahan terhadap tindakan pelecehan seksual guna mencegah
terjadinya tindakan bejat tersebut sembari membentuk lingkungan kerja yang sehat untuk
para pekerjanya.
James Cambell Quick dan M. Ann McFayden, “Sexual Harassment: Have We Made Any Progress?”
8
Pembahasan
IV. Pembahasan
A. Bentuk pelecehan seksual yang terjadi di tempat kerja
Terjadinya pelecehan seksual di tempat kerja sering kali bermula dari faktor
perbedaan posisi jabatan antara pelaku dan korban.11 Mayoritas korban yang berjenis
kelamin perempuan sering kali berada di jabatan yang lebih rendah daripada pelaku.
Seseorang dengan jabatan lebih rendah cenderung untuk bersikap patuh dan perhatian
terhadap atasannya. Hal ini lantas memberikan ruang gerak bagi atasan dengan niat buruk
untuk dapat senantiasa memanfaatkan sikap kepatuhan dan perhatian bawahannya dengan
menggoda hingga memaksa bawahannya untuk melakukan tindakan tidak senonoh
bersamanya. Korban yang merupakan bawahan dari pelaku pun berada di posisi yang sulit
lantaran takut akan dipecat atau diturunkan jabatannya jika menolak dan melapor.
Salah satu kasus pelecehan seksual di perusahaan besar terjadi di Uber pada tahun
2016. Susan Fowler, seorang karyawati baru di perusahaan transportasi online tersebut kerap
mendapatkan pesan singkat dari manajernya berupa ajakan untuk berhubungan badan. Ia pun
melaporkan tindakan pelecehan tersebut ke divisi Human Resource dengan bukti berupa
riwayat pesan singkat tersebut. Akan tetapi, bukannya dibantu ia justru disalahkan dan diberi
penilaian buruk dalam laporan kinerjanya karena sang manajer merupakan pejabat penting
dengan riwayat yang baik.12 Hal ini menunjukkan keteledoran lingkungan pekerjaan dalam
menangani kasus pelecehan seksual, bukannya memberi sanksi bagi pelaku namun justru
melindungi pelaku.
11
S. Gayle Baugh, “On the Persistence of Sexual Harassment in the Workplace,” Journal of Business
Ethics (1997), hlm. 901.
12
Melinda Gates, “The Moment of Lift,” cet. 1 (New York: Flatiron Books, 2019), hlm. 141.
menanggung rasa malu lantaran telah mengungkapkan kejadian tersebut. Alhasil
kedepannya mereka lebih memilih untuk bungkam daripada tidak dipercaya dan harus
mengorbankan rasa malu dengan hasil yang tidak sesuai ekspektasi mereka.13
Seperti yang diketahui, pelecehan seksual merupakan sebuah perilaku keji yang
merendahkan martabat seseorang dan menimbulkan dampak negatif yang berarti. Akan
tetapi, masih banyak kasus pelecehan seksual yang tidak dilaporkan oleh korban karena
berbagai alasan. Hal ini tentunya menghambat pendataan dan penyelesaian kasus pelecehan
seksual yang seharusnya tidak dibiarkan saja.
Pelecehan seksual masih dianggap oleh beberapa negara dengan disparitas gender
yang signifikan seperti Jepang, Turki, dan lainnya sebagai hal yang wajar terjadi dan
merupakan ranah privasi. Sebagai contoh, Jepang tidak pernah mengenal istilah “pelecehan
seksual” karena selama ini pelecehan seksual tidak dianggap sebagai suatu permasalahan
melainkan hubungan pribadi antara individu saja yang tabu untuk dibahas.15 Hal tersebut
dilatar belakangi oleh budaya untuk “menjaga ketentraman” dalam bermasyarakat sehingga
jika seseorang dilecehkan, dianggap lebih baik jika mereka bungkam dan tidak melaporkan
karena akan menimbulkan ketidaktentraman dan membuat gaduh. Terlebih lagi kebanyakan
kasus pelecehan seksual tidak memiliki bukti yang kongkrit untuk memperkuat laporan
tersebut sehingga diragukan kebenarannya. Korban pun akhirnya tidak melapor untuk
menghindari terjadinya kegaduhan.
13
Ibid, hlm. 903.
14
Andrew R. Morral, et.al., eds., Sexual Assault and Sexual Harassment in the U.S. Military, cet 1.
(Rand Corporation, 2014) hlm. 3.
15
Yuki W. P. Huen, “Workplace Sexual Harassment in Japan: A Review of Combating Measures
Taken,” Asian Survey (2007), hlm. 812
Sebuah survei yang diadakan oleh Belanda mengungkapkan bahwa kebanyakan
perempuan cenderung untuk bungkam, membiarkan, atau mengganti topik jika dihadapkan
dengan situasi pelecehan dan hanya melapor jika perilaku pelecehan tersebut mengancam
keselamatan mereka.16 Mereka enggan untuk melapor karena kurangnya bukti yang dapat
menunjukkan keabsahan klaim tersebut sehingga takut tidak akan dipercaya dan justru
mempermalukan diri sendiri. Tanpa mereka ketahui, sebenarnya membiarkan terjadinya
perilaku pelecehan yang ringan berpotensi untuk menimbulkan perilaku pelecehan yang
lebih parah di kemudian hari. Hal tersebut lantaran pelaku merasa apa yang mereka lakukan
wajar-wajar saja sehingga terus melakukannya.
Selain itu, tidak terdapatnya lingkungan supportive yang membantu korban dalam
melaporkan kasus pelecehan kepada pihak yang berwajib juga menjadi salah satu hambatan.
Seorang pekerja perempuan tidak akan menceritakan pengalaman pelecehan seksual yang
dialaminya kepada rekan kerja perempuan atau laki-laki yang mentolerir perilaku tersebut.17
Sudah saatnya dunia perkantoran mengubah pandangan mereka mengenai perilaku yang
bersifat menjurus kearah pelecehan seksual. Dimulai dengan tidak menggampangkan dan
menormalisasikan segala bentuk perkataan atau perbuatan yang mengarah pada pelecehan,
memberikan edukasi mengenai pelecehan seksual dan dampaknya, dan menggalakkan
sanksi bagi para pelaku yang melakukan pelecehan seksual. Hal tersebut lantaran pelecehan
sangat merugikan dan merendahkan martabat perempuan sehingga menghambat kinerja dan
menumbuhkan rasa takut bagi mereka. Dengan demikian, para korban akan berani untuk
melaporkan tindakan pelecehan seksual yang mereka alami jika ditunjang oleh lingkungan
yang menentang segala bentuk perilaku pelecehan seksual.
Sejarah mencatat bahwa hukuman yang pertama kali dicetuskan bagi pelaku
pemerkosaan di Kanada pada abad ke-19 ialah hukuman mati.18 Hal tersebut tentunya
merupakan hukuman yang paling berat untuk pelaku tindakan pelecehan seksual kala itu
sehingga jumlah kasus pemerkosaan mengalami penurunan yang drastis. Akan tetapi, seiring
berjalannya waktu, hukuman tersebut kian melemah menjadi penjara seumur hidup, cambuk,
16
Nurhan Süral dan Mustafa Kiliçoğlu, “Prohibiting Sexual Harassment in the Workplace in Turkey,”
Middle Eastern Studies (2011), hlm. 655.
17
James Green, ed., Workers' Struggles, Past and Present (Philadelphia: Temple University Press,
1983), hlm. 235.
18
Elizabeth A. Sheely, ed., Sexual Assault in Canada: Law, Legal Practice and Women’s Activism
(Ottawa: University of Ottawa Press, 2012), hlm. 728.
hingga di era modern menjadi beberapa tahun penjara saja. Seiring dengan melemahnya
hukuman yang diberikan, makin marak juga kasus pelecehan seksual yang berujung pada
pemerkosaan. Dapat dilihat bahwa makin lemahnya hukum yang mengatur, maka makin
marak juga tindak pidana tersebut.
Hendaknya Indonesia dalam hal ini perlu mencontoh Rwanda yang telah
menetapkan definisi pemerkosaan dan kekerasan seksual sebagai “tindakan kekerasan
seksual baik secara fisik, ancaman, intimidasi yang menimbulkan ketakutan dan segala
bentuk paksaan.”20 Dengan begitu, tentunya terdapat gambaran yang lebih jelas mengenai
parameter pelecehan seksual yang terjadi. Hal sedemikian rupa sebenarnya telah diatur
19
Ani Purwanti dan Rian Adhivira Prabowo, “Women Rights Fulfillment As The Victim Of Gross
Human Rights Violation: Urgency For The Sexual Violence Eradication Bill,” Indonesian Law Review (2018),
hlm. 310.
20
Ibid.
dalam Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang
memberikan daftar jelas mengenai apa yang termasuk kekerasan seksual, namun RUU
tersebut belum kunjung disahkan meskipun telah diusulkan sejak tahun 2016.
Inggris telah terlebih dulu mengambil berbagai langkah preventif untuk menekan
tingginya tindakan pelecehan seksual melalui rangkaian program “Ending Violence Against
Women and Girls” di tahun 2016.21 Sama halnya dengan Australia yang telah mencetuskan
program “The National Plan to Reduce Violence Against Women” di tahun 2009 yang
menekankan pada pencegahan tindakan pemerkosaan, program pemberdayaan wanita dan
anak, dan saluran darurat pemerkosaan yang menyediakan bantuan 24 jam.22 Indonesia dapat
mencontoh kedua negara tersebu dalam upaya mencegah terjadinya pelecehan seksual yang
marak baik di dunia perkantoran, maupun umum melalui RUU PKS yang dirancang tersebut.
Selama ini, kasus hukum mengenai kekerasan seksual terlalu tersentralisasi pada
nasib dan hukuman bagi pelaku saja, tetapi tidak dengan korban yang justru seharusnya
membutuhkan pendampingan berkelanjutan. RUU PKS memfasilitasi korban dengan
bantuan psikologis, materi, dan perlindungan agar dapat pulih dari kondisinya pasca
mengalami tindakan kekerasan seksual serta melalui rangkaian persidangan yang tentunya
menguras tenaga dan pikiran korban. Dengan demikian, demi kepentingan korban dan
jelasnya parameter kekerasan seksual, sudah seharusnya pemerintah mengesahkan RUU
PKS. Aturan hukum yang secara tegas memberikan sanksi bagi pelaku pelecehan seksual
tentunya dibutuhkan agar masyarakat dapat memahami bahwasannya pelecehan seksual
dalam bentuk apapun merupakan hal yang tidak sepele. Dibutuhkan sanksi yang berat bagi
pelaku guna memberikan keadilan yang semestinya bagi korban, dan memberikan efek jera
kepada pelaku dan mencegah orang untuk melakukan tindakan tersebut.
21
Claire Bethel, “#MeToo: The Perfect Storm Needed to Change Attitudes Toward Sexual Harassment
and Violence,” Harvard Public Health Review (2018), hlm. 3.
22
Nicole Westmarland dan Geetanjali Gangoli, eds., International Approaches to Rape (Bristol: Bristol
University Press, 2011), hlm. 13.
BAB III
Penutup
V. Saran
Korban pelecehan seksual pun akan lebih berani untuk melapor dan membicarakan
mengenai hal-hal yang mereka alami karena adanya hukum yang melindungi. Keberanian
korban untuk menceritakan pengalamannya merupakan salah satu elemen penting dalam
menyelesaikan kasus pelecehan seksual. Masyarakat tentunya juga harus bekerja sama
dalam mencegah terjadinya pelecehan seksual, yaitu dengan memperkaya diri dengan ilmu
mengenai kesetaraan gender dan kekerasan berbasis gender. Oleh karena itu, hendaknya
pemerintah mengesahkan RUU PKS sebagai salah satu upaya pemenuhan hak-hak
perempuan dan anak serta mencegah segala bentuk tindakan pelecehan seksual.
VI. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakan perilaku bejat yang akan selalu ada lantaran hasrat
manusia dapat mendorong untuk melakukan berbagai bentuk tindakan kriminal. Dalam hal
ini pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk senantiasa berperan aktif dalam
berupaya mencegah terjadinya tindakan pelecehan seksual. Adapun upaya yang dilakukan
adalah dengan membuat kebijakan di tempat kerja yang secara tegas melarang segala
bentuk perilaku yang mengarah kepada pelecehan, pemerintah membuat undang-undang
yang secara spesifik mengatur mengenai tindakan pelecehan seksual, dan berperan sebagai
support system bagi korban pelecehan seksual. Dengan demikian diharapkan lingkungan
kerja dapat menjadi tempat yang aman bagi pekerjanya dari segala bentuk pelecehan.
DAFTAR PUSTAKA
Jurnal
Woerner, William L. dan Sharon L. Oswald. “Sexual Harassment in the Workplace: A View
Through the Eyes of the Courts.” Labor Law Journal, Vol. 41 (November, 1990). Hlm. 786-
793.
Linenberger, Patricia. “What constitutes sexual harassment?”, Labor Law Journal, Vol. 34
(April 1983). Hlm. 230-246.
Strickland, Ruth Ann. "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators,"
Public Personnel Management, Vol. 24 (1995). Hlm. 493-513.
Awaliyah, Siti. “Aspek Hukum dalam Pelecehan Seksual di Tempat Kerja.” Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Februari, 2014). Hlm. 43-47.
Quick, James Cambell dan M. Ann McFayden. “Sexual Harassment: Have We Made Any
Progress?” Journal of Occupational Health Psychology (2017). Hlm. 286–298.
Baugh, S. Gayle. “On the Persistence of Sexual Harassment in the Workplace.” Journal of
Business Ethics (1997). Hlm. 899–908.
Süral, Nurhan dan Mustafa Kiliçoğlu. “Prohibiting Sexual Harassment in the Workplace in
Turkey.” Middle Eastern Studies (2011). Hlm. 655-662.
Purwanti, Ani dan Rian Adhivira Prabowo. “Women Rights Fulfillment As The Victim Of
Gross Human Rights Violation: Urgency For The Sexual Violence Eradication Bill.”
Indonesian Law Review (2018). Hlm. 303-315.
Bethel, Claire. “#MeToo: The Perfect Storm Needed to Change Attitudes Toward Sexual
Harassment and Violence.” Harvard Public Health Review (2018). Hlm. 1-5.
Website
Gates, Melinda. The Moment of Lift. Cet. 1 New York: Flatiron Books, 2019.
Morral, Andrew R. et.al., eds. Sexual Assault and Sexual Harassment in the U.S. Military. Cet
1 Rand Corporation, 2014.
Green, James. ed. Workers' Struggles, Past and Present. Philadelphia: Temple University
Press, 1983.
Sheely, Elizabeth A. ed. Sexual Assault in Canada: Law, Legal Practice and Women’s
Activism. Ottawa: University of Ottawa Press, 2012.
Westmarland, Nicole dan Geetanjali Gangoli. eds. International Approaches to Rape. Bristol:
Bristol University Press, 2011.