Anda di halaman 1dari 3

Nama: Raihan Maulana Fajri

NPM: 2006580133

TINJAUAN PUSTAKA

PERLINGDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PELECEHAN SEKSUAL


DALAM TEMPAT KERJA

I. Masalah yang teridentifikasi


a. Apa yang dikategorikan sebagai pelecehan seksual
William Woerner dan Sharon Oswald dalam tulisannya yang
berjudul “Sexual Harassment in the Workplace: a View Through the Eyes of
the Courts” menyatakan definisi pelecehan seksual di tempat kerja sebagai
tindakan bersifat seksual yang tidak diinginkan yang dilakukan oleh seseorang
dalam tempat kerja.1 Mereka pun menyetujui bahwasannya pelecehan seksual
merupakan suatu fenomena yang abstrak lantaran sulit untuk dibuktikan secara
nyata, tetapi tiap individu tentunya memiliki pendapat masing-masing akan
tindakan tersebut.2
Pernyataan serupa pun disampaikan oleh Siti Awaliyah bahwasannya
pelecehan seksual merupakan suatu perilaku yang menjurus pada hal-hal yang
bersifat seksual (verbal: bicara atau humor porno, memperlihatkan gambar
porno ataupun fisik misalnya menyentuh bagian tubuh) yang tidak disetujui
oleh korban.3 Adapun EEOC (Equal Employment Opportunity
Commission) mendefinisikan pelecehan seksual secara hukum sebagai
tindakan bersifat seksual yang tidak diinginkan, permintaan untuk memenuhi
hasrat seksual, dan perlakuan lainnya secara fisik ataupun verbal yang bersifat
seksual sehingga mengganggu kenyamanan seseorang dan berpengaruh
terhadap kinerja, produktivitas, dan membuat lingkungan yang tidak nyaman.4
Sering kali parameter terjadinya pelecehan seksual dipertanyakan, apakah
melakukan hal sebatas bersiul atau menggoda termasuk pelecehan seksual?
Atau harus ada kontak fisik terlebih dahulu antara pelaku dan korban untuk
dapat dikatakan pelecehan? Dari definisi para ahli tersebut, dapat disimpulkan

1
William L. Woerner dan Sharon L. Oswald, “Sexual Harassment in the Workplace: A View Through
the Eyes of the Courts,” Labor Law Journal, Vol. 41 (November, 1990), hlm. 786
2
Ibid, hlm. 786.
3
Siti Awaliyah, “Aspek Hukum dalam Pelecehan Seksual di Tempat Kerja,” Jurnal Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan (Februari, 2014), hlm. 43.
4
Equal Employment Opportunity Commission, “Fact Sheet: Sexual Harassment Discrimination,”
https://www.eeoc.gov/publications/facts-about-sexual-harassment, diakses 23 November 2020.
bahwa segala aktivitas berbau seksual yang dilakukan tanpa melalui
persetujuan terlebih dahulu baik secara verbal maupun fisik, merupakan
bentuk tindakan pelecehan seksual. Adapun masing-masing penulis
menyetujui bahwasannya pelecehan seksual merupakan bentuk tindakan
perendahan derajat terhadap seseorang melalui perlakuan yang bersifat seksual
tanpa persetujuan sehingga mengakibatkan dampak negatif yang berarti pada
korban.

b. Peraturan Hukum mengenai tindakan pelecehan seksual


James Campbell Quick dan M. Ann McFadyen berpendapat bahwa
segala bentuk tindakan pelecehan seksual di masa kini sedang dalam proses
penghapusan melalui berbagai penerapan kebijakan institusi tempat bekerja
tersebut, dan ditegaskannya hukum seperti Title VII of the Civil Rights Act of
1964 yang bertujuan untuk membentuk lingkungan pekerjaan yang bersifat
inklusif bagi segala gender, dengan menyinggung pelecehan seksual sebagai
salah satu dari sekian banyak tindakan terlarang. 5 Mereka menegaskan bahwa
pelatihan dan edukasi mengenai pelecehan seksual sangat dibutuhkan bagi
para karyawan guna mencegah terjadinya tindakan pelecehan seksual di
tempat kerja. Ruth Ann Strickland dalam jurnalnya “Sexual Harassment: A
Legal Perspective for Public Administrators” memaparkan bahwasannya telah
terdapat 33 negara bagian di Amerika Serikat yang menerapkan hukum
mengenai larangan tindak pelecehan seksual.6 Adapun hukum yang mengatur
mengenai pelecehan seksual tersebut seperti Civil Rights Act of 1964, Equal
Employment Opportunity Act 1972, Civil Service Reform 1978, Directive
Defining 1978, dan Civil Rights Act 1991, dan lainnya.7 Setiap negara dan
negara bagian telah sepakat bahwasannya tindakan pelecehan seksual
merupakan tindakan pelanggaran hukum sehingga pelakunya wajib untuk
dikenakan sanksi. Akan tetapi, hambatan terletak pada ketakutan para korban
untuk melaporkan karena kebanyakan pelaku merupakan atasan sehingga
dapat mengancam korban dengan pemecatan jika berani melapor.

5
James Cambell Quick dan M. Ann McFayden, “Sexual Harassment: Have We Made Any Progress?”
Journal of Occupational Health Psychology (2017) hlm. 293.
6
Ruth Ann Strickland, "Sexual Harassment: A Legal Perspective for Public Administrators," Public
Personnel Management, Vol. 24 (1995) hlm. 493.
7
Ibid, hlm. 493-513.
II. Kesimpulan
Pelecehan seksual merupakaan bentuk perendahan martabat terhadap
seseorang baik laki-laki maupun perempuan dan sudah sepatutnya dihilangkan.
Meskipun telah banyak hukum yang mengatur mengenai larangan terhadap
tindakan kekerasan seksual, dalam kenyataannya tindakan bejat tersebut masih
sering terjadi di tempat kerja. Oleh karena itu, sudah saatnya intansi tempat kerja
menerapkan berbagai sosialisasi dan edukasi mengenai pencegahan terhadap
tindakan pelecehan seksual guna mencegah terjadinya tindakan bejat tersebut
sembari membentuk lingkungan kerja yang sehat untuk para pekerjanya.
Dalam artikel yang saya akan tulis, saya akan menjelaskan lebih lanjut
mengenai beberapa hal yang jarang dibahas oleh peneliti sebelumnya, yaitu:
 Respons masyarakat terhadap para korban pelecehan seksual.
 Respons pekerja lain terhadap atasan yang melakukan tindak
pidana pelecehan seksual.

Anda mungkin juga menyukai