Anda di halaman 1dari 38

LAPORANKASUS

STASE ILMU PENYAKIT PARU


TUBERCULOSIS dengan HIV

Oleh :
M. Haidzar Fathin, S. Ked
J510165042

Pembimbing :
dr. Niwan Tristanto Martika, Sp.P

BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT SURAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS
ILMU PENYAKIT PARU

TUBERCULOSIS dengan HIV

Diajukan oleh :
M. Haidzar Fathin, S.Ked
J510165042

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas
Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta pada hari Senin, 27 maret
2017.

Pembimbing :
dr. Niwan Tristanto Martika, Sp.P (..........................)

Dipresentasikan di hadapan :
dr. Niwan Tristanto Martika, Sp.P (..........................)

Disyahkan Ka. Program Profesi :


dr. Dewi Nirlawati (..........................)
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
Nama : Sdr. M. A
Umur : 24 Th
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Alamat : Surakarta
Pekerjaan : Mahasiswa/karyawan
Status Pernikahan: Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Tanggal Pemeriksaan : 21 maret 2017
No. Register : 104xxx

II. ANAMNESIS
Dilakukan pada tanggal 23 Maret 2017 jam 8.30 WIB didapat secara
autoanamnesis di poli triase.
A. Keluhan Utama
Batuk ± 1 bulan
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Tanggal 21 maret 2017 pasien datang ke poli klinik BBKPM Surakarta
dengan keluhan batuk berdahak (putih keruh) sejak ± 1 bulan yang lalu,
batuk terus menerus intensitas sedang, tidak dipengaruhi oleh cuaca dan
waktu, pasien mengaku batuk disertai sesak nafas, pasien juga mengaku
merasakan demam sejak 2 minggu yang lalu naik turun, sering mual dan
muntah, pasien mengaku sering mengalami sariawan yang hilang timbul,
nafsu makan sangat berkurang, berat badan menurun, diare tidak di alami
pasien. Pasien mengaku beberapa minggu yang lalu pernah
memeriksakan dirinya ke puskesmas manahan. Pasien memeriksakan
diri karena ada keluhan seirng demam diare dan batuk hiking timbul yang
berlangsung ± 1-2 bulanan. Puskesmas Manahan menyarankan pasien
untuk datang ke poli VCT puskesmas Manahan dan hasilnya Reaktif.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat asma/ atopik : disangkal
 Riwayat TB dan pengobatan OAT : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat sakit ginjal dan liver : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat opname : disangkal

D. Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat batuk lama : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat TB dan pengobatan OAT : disangkal
 Riwayat hipertensi : disangkal
 Riwayat diabetes mellitus : disangkal
 Riwayat penyakit jantung : disangkal
 Riwayat sakit ginjal dan liver : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal

E. Riwayat Pribadi
 Merokok (-)
 Minum-minuman beralkohol :disangkal.
 Riwayat keluarga penderita TB :disangkal
F. Riwayat Kesehatan Lingkungan
Pasien seorang pelajar di solo dan pasien tinggal di kos dekat dengan
kampus, pasien juga bekerja sebagai pegawai di salah satu mall di
Surakarta.

III. PEMERIKSAAN FISIK


A. Keadaan umum : sedang
Kesadaran : kompos mentis (E4V5M6)
Berat badan : 49 kg
Tinggi Badan :168 cm
IMT :17,37 = kurus
Vital Sign :
a. Tekanan darah : 124/82 mmHg
b. Nadi : 86 x/menit
c. Respiratory rate : 18 x/menit
d. Suhu : 36,5 derajat celcius

B. Pemeriksaan Fisik :
Kepala : Normocephal, Conjungtiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-),
Sianosis (-)
Leher : Leher simetris, retraksi suprasternal (-), deviasi trachea (-),
massa (-), JVP (-), Pembesaran Kelenjar Limfe (-)
Thorax :
Paru-paru
Paru-Paru Hasil pemeriksaan
Inspeksi kelainan bentuk dada (-),gerak dada kanan dan kiri
simetris, tidak ditemukan retraksi intercostae, pelebaran
vena superficial (-), benjolan/massa (-), sikatriks (-).
Palpasi  Tidak terdapat ketinggalan gerak antara pulmo dekstra
dan sinistra.
 Benjolan/massa (-), sikatriks (-).
 Fremitus : fremitus pulmo sinistra dan dekstra
dilakukan dari depan dan belakang terkesan simetris
Perkusi Suara paru sonor, paru dalam batas normal
Auskultasi  Suara dasar bronchial (+), suara dasar vesicular (+).
 Wheezing : (-/-)
 Ronkhi : (+/-)

Jantung :
Jantung Hasil pemeriksaan
Inspeksi Ichtus cordis tampak
Palpasi Ichtus cordis tidak kuat angkat
Perkusi Suara jantung redup, batas jantung dalam batas normal.
Perkusi Bunyi jantung 1, 2 murni regular terdengar pada SIC 1
dan 2 linea parasternal sinistra et dekstra.

Abdomen :
Abdomen Hasil pemeriksaan
Inspeksi Perut buncit, Ascites (-), Distended (-), sikatriks (-)
Auskultasi Suara peristaltik (normal), suara tambahan (-)
Palpasi Nyeri tekan (-), hepar tidak teraba, lien tidak teraba,
ginjal tidak teraba, defans muskular (-)
Perkusi Suara timpani (+), nyeri ketok costovertebrae (-)

Extremitas : clubbing finger (-), edema ekstremitas (-)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Pemeriksaan sputum BTA
1. Sewaktu (21/3/17)
Hasil BTA 2+
2. Pagi (-)
Hasil (-)
3. Sewaktu (-)
Hasil (-)

B. Pemeriksaan Foto Thorak


1. Tanggal 21 Maret 2017
Cor :dalam batas
normal
Pulmo :
corakan vaskuler
kasar, infiltrate di
apeks paru kanan
dan kiri, diafragma
letak normal.
Kesan :TB
Paru aktif lesi minimal

C. Darah rutin
Diperiksa tanggal 21 Januari 2017
No Jenis pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
1 SGOT 13 <33
2 SGPT 25 <50
3 UR 18,2
4 CR 0,70
5 GDS 136 <200
6 HbsAg Non reaktif

V. Diagnosis
Tb paru BTA terkonfirmasi bakteriologis, lesi pulmo di apeks sinistra et
dextra, status HIV (+)

VI. Terapi

Ambroxol tab mg 30KEMENTRIAN


NO.X KESEHATAN RI
BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT
SURAKARTA
Jl. Prof . DR. R. Soeharso NO.28 Telp. / fax.713055

Surakrta, 21 maret 2017


PKMS

R/ MP 4 mg NO. IVX
S 2.dd.1

Tenevovir mg 100 NO. IVX


S 1.dd.1

NAC mg 200 NO. XXI


S 3.dd.1

Lispar tab no VII


S 1 dd 1

Pro : Sdr. M A Alamat : Surakarta


U : 24 Th
KEMENTRIAN KESEHATAN RI
BALAI BESAR KESEHATAN PARU MASYARAKAT
SURAKARTA
Jl. Prof . DR. R. Soeharso NO.28 Telp. / fax.713055

Surakrta, 21 maret 2017


BPJS

R/ 4 FDC no XXI
S. 1. dd. 3 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pro : Sdr K Alamat : Surakarta


U : 27 Th
I. TUBERCULOSIS
A. Definisi
Suspek (presumtif/terduga) TB adalah seseorang dengan gejala
atau tanda sugestif TB. Gejala umum TB adalah batuk produktif lebih dari
dua minggu yang disertai gejala pernapasan seperti sesak napas, nyeri
dada, batuk darah dan / atau gejala tambahan seperti menurunnya nafsu
makan, menurun berat badan, keringat malam dan mudah lelah.
Definisi kasus TB adalah sebagai berikut:
1) Kasus TB definitif (Konfirmasi Bakteriologis) adalah kasus dengan
salah satu dari spesimen biologis positif dengan pemeriksaan
mikroskopis apusan dahak, biakan atau diagnostik cepat yang telah
disetujui oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF).
2) Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat
memenuhi kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan
maksimal tetapi ditegakkan diagnosis TB aktif oleh klinisi yang
memutuskan untuk memberikan pengobatan TB berdasarkan foto toraks
abnormal, histologi sugestif dan kasus ekstraparu. Kasus yang
ditegakkan diagnosis secara klinis ini bila kemudian didapatkan hasil
bakteriologis positif (sebelum dan setelah pengobatan) harus
diklasifikasikan kembali sebagai kasus TB dengan konfirmasi
bakteriologis.

B. Morfologi dan Struktur Bakteri


Mycobacterium tuberculosisberbentuk batang lurus atau sedikit
melengkung, tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran
lebar 0,3 – 0,6 µm dan panjang 1 – 4 µm. Dinding M.tuberculosissangat
kompleks, terdiri dari lapisan lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama
dinding sel M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-
waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan asam
lemak berantaipanjang (C60 – C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatanfosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada diniding sel bakteri
tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebebkan bakteri
M.tuberculosisbersifat tahan asam, yaitu apabilasekali diwarnai, tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam –
alkohol. Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu
komponen lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik
antigenM.tuberculosis dapat diidentifikasi dengan menggunakan antibodi
monoklonal . Saat ini telah dikenal purified antigens dengan berat molekul
14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38 kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti
dan spesifisiti yang bervariasi dalam mendiagnosis TB. Ada jugayang
menggolongkan antigen M.tuberculosis dalam kelompok antigen yang
disekresi dan yang tidak disekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 α, protein
MTP 40 dan lain lain.

C. Etiologi
Disebabkan olehM.tuberculosis

D. Epidemiologi
Case Detection Rate adalah presentase pasien baru TB Paru BTA
Positif yang ditemukan dibanding jumlah pasien baru TB Paru BTA
Positif yang diperkirakan ada dalam suatu wilayah. Grafik 1
memperlihatkan angka penemuan kasus baru TB secara Nasional
mengalami penurunan dalam tiga tahun terakhir.
Case Notification Rate adalah angka yang menunjukkan jumlah
seluruh pasien TB yang ditemukan dan tercatat diantara 100.000 penduduk
di suatu wilayah. Grafik 2 menunjukkan CNR semua kasus TB di tingkat
Nasional sejak tahun 1999 cenderung meningkat, namun CNR mengalami
stagnasi dalam 4 tahun terakhir (2011-2014).

Grafik 3 menunjukkan CNR semua kasus TB yang terendah di


Provinsi DI Yogyakarta (74kasus/100.000 penduduk). Apabila tahun 2014
jumlah penduduk DIY sebanyak 3.679.200 jiwa maka dapat dikatakan
pada tahun 2014 telah ditemukan 2.722 kasus TB di Provinsi DIY. CDR
tertinggi di Provinsi Papua (302 kasus/100.000 penduduk) atau dapat
dikatakan telah ditemukan 9.511 kasus TB di Provinsi Papua pada tahun
2014.
E. Faktor Resiko

F. Klasifikasi
Diagnosis TB dengan konfirmasi bakteriologis atau klinis dapat
diklasifikasikan berdasarkan:
1) Klasifikasi berdasarkan lokasi anatomi :
 TB paru adalah kasus TB yang melibatkan parenkim paru atau
trakeobronkial. TB milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena terdapat
lesi di paru. Pasien yang mengalami TB paru dan ekstraparu harus
diklasifikasikan sebagai kasus TB paru.
 TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru
seperti pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit,
sendi dan tulang, selaput otak. Kasus TB ekstraparu dapat ditegakkan secara
klinis atau histologis setelah diupayakan semaksimal mungkin dengan
konfirmasi bakteriologis.
2) Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan :
 Kasus baru adalah pasien yang belum pernah mendapat OAT sebelumnya
atau riwayat mendapatkan OAT kurang dari 1 bulan.
 Kasus dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang pernah
mendapatkan OAT 1 bulan atau lebih. Kasus ini diklasifikasikan lebih lanjut
berdasarkan hasil pengobatan terakhir sebagai berikut:
 Kasus kambuh adalah pasien yang sebelumnya pernah mendapatkan OAT
dan dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap pada akhir pengobatan dan
saat ini ditegakkan diagnosis TB episode rekuren (baik untuk kasus yang
benar-benar kambuh atau episode baru yang disebabkan reinfeksi).
 Kasus pengobatan setelah gagal adalah pasien yang sebelumnya pernah
mendapatkan OAT dan dinyatakan gagal pada akhir pengobatan.
 Kasus setelah putus obat adalah pasien yang pernah menelan OAT 1 bulan
atau lebih dan tidak meneruskannya selama lebih dari 2 bulan berturut-turut
atau dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir pengobatan. (Pada revisi
guideline WHO tahun 2013 klasifikasi ini direvisi menjadi pasien dengan
perjalanan pengobatan tidak dapat dilacak (lost to follow up) yaitu pasien
yang pernah mendapatkan OAT dan dinyatakan tidak dapat dilacak pada akhir
pengobatan).
 Kasus dengan riwayat pengobatan lainnya adalah pasien sebelumnya
pernah mendapatkan OAT dan hasil akhir pengobatannya tidak diketahui atau
tidak didokumentasikan.
 Pasien pindah adalah pasien yang dipindah dari register TB (TB 03) lain
untuk melanjutkan pengobatan.
 Pasien yang tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya adalah
pasien yang tidak dapat dimasukkan dalam salah satu kategori di atas.
3) Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan bakteriologis dan uji resistensi
obat
Semua pasien suspek / presumtif TB harus dilakukan pemeriksaan
bakteriologis untuk mengkonfirmasi penyakit TB. Pemeriksaan bakteriologis
merujuk pada pemeriksaan apusan dahak atau spesimen lain atau identifikasi
M. tuberculosis berdasarkan biakan atau metode diagnostik cepat yang telah
mendapat rekomendasi WHO (Xpert MTB/RIF).
Pada wilayah dengan laboratorium jaminan mutu eksternal, kasus TB
paru dikatakan apusan dahak positif berdasarkan terdapatnya paling sedikit
hasil pemeriksaan apusan dahak BTA positif pada satu spesimen pada saat
mulai pengobatan. Pada daerah tanpa laboratorium dengan jaminan mutu
eksternal maka definisi kasus TB apusan dahak positif bila paling sedikit
terdapat dua spesimen pada pemeriksaan apusan dahak adalah BTA positif.2
Kasus TB paru apusan negatif adalah :
a) Hasil pemeriksaan apusan dahak BTA negatif tetapi biakan positif untuk
M. tuberculosis
b) Memenuhi kriteria diagnostik berikut ini:
 Keputusan oleh klinisi untuk mengobati dengan terapi antiTB lengkap,
dan
 Temuan radiologis sesuai dengan TB paru aktif, dan
 Terdapat bukti kuat berdasarkan laboratorium atau manifestasi klinis,
atau
 Bila HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui tetapi tinggal di daerah
dengan prevalens HIV rendah), tidak respons dengan antibiotik spektrum
luas (di luar OAT dan fluorokuinolon dan aminoglikosida).
4) Klasifikasi berdasarkan status HIV1
a) Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti
dokumentasi bahwa pasien telah terdaftar di register HIV atau obat
antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
b) Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan pada
saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif di
kemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.
c) Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB
konfirmasi bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan
tidak memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila
pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan
klasifikasinya.
Menentukan dan menuliskan status HIV adalah penting untuk mengambil
keputusan pengobatan, pemantauan dan menilai kinerja program. Dalam kartu
berobat dan register TB, WHO mencantumkan tanggal pemeriksaan HIV,
dimulainya terapi profilaksis kotrimoksazol, dimulainya terapi antiretroviral.

G. Patofisiologi
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan
bersarang dijaringan paru, dimana ia akan membentuk suatu sarang
pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer
ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah
bening menuju hilus(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh
pembesaran kelenjar getah bening di hilus (limfadenitis regional). Afek
primer bersama-samadengan limfangitis regional dikenal sebagai
kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib
sebagai berikut :
1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad
integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon,
garis fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3) Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya salah satu contoh
adalahepituberkulosis, yaitu suatu kejadian dimana terdapat
penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar
hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran
napas bersangkutan, dengan akibatatelektasis. Kuman tuberkulosis
akan menjalar sepanjang bronkus yangtersumbat ini ke lobus yang
atelektasis dan menimbulkan peradangan padalobus yang atelektasis
tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke
paru sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus.
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran
ini sangat bersangkutan dengan daya tahan tubuh, jumlah dan
virulensi basil. Sarang yang ditimbulkan dapat sembuh secara
spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti
tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosa, typhobacillosis
Landouzy.Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada
alat tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir
dengan :
 Sembuh dengan meninggalkan sekuele
(misalnya pertumbuhan terbelakang pada anak setelah mendapat
ensefalomeningitis, tuberkuloma ) atau
 Meninggal
Semua kejadian diatas adalah perjalanan tuberkulosis primer.

H. Manifestasi klinis
Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu
gejala respiratorik (atau gejalaorgan yang terlibat) dan gejala sistemik.
1) Gejala respiratorik
 batuk ≥3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada
Gejala respiratorik ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala
sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang penderita
terdiagnosis pada saat medical check up. Bila bronkus belum terlibat
dalam proses penyakit, maka penderita mungkin tidak ada gejala batuk.
Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan selanjutnya batuk
diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat,
misalnya pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis
tuberkulosa akan terlihat gejala meningitis, sementara pada pleuritis
tuberkulosa terdapat gejala sesak napas & kadang nyeri dada pada sisi
yang rongga pleuranya terdapat cairan.
2) Gejala sistemik
 Demam
 Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun

I. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Bakteriologik
a) Bahan Pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologik untuk menemukan kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam
menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini
dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urin, feces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH).
b) Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari
berturutturut atau dengan cara:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak Pagi ( keesokan harinya )
 Sewaktu/spot ( pada saatmengantarkan dahak pagi)
2) Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa
foto lateral. Pemeriksaan lain atas indikasi : foto apiko-lordotik,
oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat
memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform).
Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif :
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
 Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif
 Fibrotik pada segmen apikal dan atau posterior lobus atas
 Kalsifikasi atau fibrotik
 Kompleks ranke
 Fibrotoraks/Fibrosis parenkim parudan atau penebalan pleura
 Luluh Paru (Destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang
menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara
klinis disebut luluh paru. Gambaran radiologik luluh paruterdiri dari
atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk
menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran
radiologik tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan
aktiviti proses penyakit, Luas lesi yang tampak pada foto toraks
untuk kepentingan pengobatandapat dinyatakan sbb (terutama pada
kasus BTA dahak negatif)
 Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru
dengan luas tidak lebih dari volume paru yang terletak di atas
chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus
dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis5 (sela iga
2)dan tidak dijumpai kaviti.
 Lesi luas, Bila proses lebih luas dari lesi minimal.

II. HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV)


A. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus
bersifat limfotropik khas yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan
tubuh, menghancurkan atau merusak sel darah putih spesifik yang disebut
limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4 (CD4). Virus ini
diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae, genus
Lentivirus.Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.Tingkat HIV dalam
tubuh dan timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa
infeksi HIV telah berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency
Syndrome).

B. Epidemiologi
Tuberkulosis sering dihubungkan dengan lingkungan yang kumuh
dan beberapa penyakit lain seperti HIV dan AIDS. Grafik 4 menunjukkan
hubungan antara kasus TB, lokasi rumah didaerah kumuh, dan jumlah
kasus HIV AIDS antar Provinsi tahun 2013. Nampak adanya peningkatan
kasus TB seiring dengan peningkatan kasus HIV dan AIDS dan sejalan
pula dengan tingginya proporsi rumah berlokasi didaerah kumuh, seperti
provinsi Bali, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Banten, Sumatera
Utara, DKI Jakarta dan Papua.
C. Patofisiologi
Dasar utama terinfeksinya HIV adalah berkurangnya jenis Limfosit
T helper yang mengandung marker CD4 (Sel T4). Limfosit T4 adalah
pusat dan sel utama yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung
dalam menginduksi fungsi imunologik. Menurun atau menghilangnya
sistem imunitas seluler, terjadi karena virus HIV menginfeksi sel yang
berperan membentuk antibodi pada sistem kekebalan tersebut, yaitu sel
Limfosit T4. Setelah virus HIV mengikatkan diri pada molekul CD4, virus
masuk ke dalam target dan melepaskan bungkusnya kemudian dengan
enzim reverse transkriptase virus tersebut merubah bentuk RNA
(Ribonucleic Acid) agar dapat bergabung dengan DNA (Deoxyribonucleic
Acid) sel target. Selanjutnya sel yang berkembang biak akan mengandung
bahan genetik virus. Infeksi HIV dengan demikian menjadi irreversibel
dan berlangsung seumur hidup.
Pada awal infeksi, virus HIV tidak segera menyebabkan kematian
dari sel yang diinfeksinya, tetapi terlebih dahulu mengalami replikasi
sehingga ada kesempatan untuk berkembang dalam tubuh penderita
tersebut dan lambat laun akan merusak limfosit T4 sampai pada jumlah
tertentu. Masa ini disebut dengan masa inkubasi. Masa inkubasi adalah
waktu yang diperlukan sejak seseorang terpapar virus HIV sampai
menunjukkan gejala AIDS. Pada masa inkubasi, virus HIV tidak dapat
terdeteksi dengan pemeriksaan laboratorium kurang lebih 3 bulan
sejaktertular virus HIV yang dikenal dengan masa “window period”.
Setelah beberapa bulan sampai beberapa tahun akan terlihat gejala klinis
pada penderita sebagai dampak dari infeksi HIV tersebut.20 Pada sebagian
penderita memperlihatkan gejala tidak khas pada infeksi HIV akut, 3-6
minggu setelah terinfeksi. Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri
menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik (tanpa gejala).
Masa tanpa gejala ini umumnya berlangsung selama 8-10 tahun, tetapi ada
sekelompok kecil penderita yang memliki perjalanan penyakit amat cepat
hanya sekitar 2 tahun dan ada juga yang sangat lambat (non-progressor).
Secara bertahap sistem kekebalan tubuh yang terinfeksi oleh virus
HIV akan menyebabkan fungsi kekebalan tubuh rusak. Kekebalan tubuh
yang rusak akan mengakibatkan daya tahan tubuh berkurang bahkan
hilang, sehingga penderita akan menampakkan gejala-gejala akibat infeksi
oportunistik.

D. Manifestasi Klinis
1. Rasa lelah dan lesu
2. Berat badan menurun secara drastis
3. Demam yang sering dan berkeringat waktu malam
4. Mencret dan kurang nafsu makan
5. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
6. Pembengkakan leher dan lipatan paha
7. Radang paru
8. Kanker kulit
Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS umumnya meliputi 3 hal yaitu:
1. Manifestasi tumor
a. Sarkoma Kaposi
Kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Penyakit ini sangat
jarang menjadi sebab kematian primer.
b. Limfoma ganas
Timbul setelah terjadi Sarkoma Kaposi dan menyerang saraf serta
dapat bertahan kurang lebih 1 tahun.
2. Manifestasi oportunistik
a. Manifestasi pada Paru
1) Pneumoni pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan
infeksi paru PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas
dalam dan demam.
2) Cytomegalovirus (CMV)
Pada manusia 50% virus ini hidup sebagai komensal pada paru-
paru tetapi dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan 30%
penyebab kematian pada AIDS.
3) Mycobacterium avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
4) Mycobacterium tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi milier dan
cepat menyebar ke organ lain di luar paru.

b. Manifestasi gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare kronis, penurunan berat badan
>10% per bulan.
c. Manifestasi neurologis
Sekitar 10% kasus AIDS menunjukkan manifestasi neurologis
yang biasanya timbul pada fase akhir penyakit. Kelainan saraf yang
umum adalah ensefalitis, meningitis, demensia, mielopati, neuropati
perifer.

E. Gejala dan Stadium Klinis


Diagnosis infeksi HIV & AIDS dapat ditegakkan berdasarkan klasifikasi
klinis WHO atau CDC. Di Indonesia diagnosis AIDS untuk keperluan surveilans
epidemiologi dibuat apabila menunjukkan tes HIV positif dan sekurang-
kurangnya didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor.
Tabel 1. Gejala mayor dan gejala minor infeksi HIV/AIDS

Gejala Mayor Gejala Minor


Berat badan menurun >10% dalam 1 Batuk menetap >1 bulan
bulan Dermatitis generalisata
Diare kronik berlangsung >1 bulan Herpes Zooster multi-segmental dan berulang
Demam berkepanjangan >1 bulan Kandidiasis orofaringeal
Penurunan kesadaran Herpes simpleks kronis progresif
Demensia/HIV ensefalopati Limfadenopati generalisata
Infeksi jamur berulang pada alat kelamin
wanita
Retinitis Cytomegalovirus

Menurut WHO, stadium klinis HIV/AIDS dibedakan menjadi:


Tabel 2. Stadium Klinis HIV/AIDS Menurut WHO

Stadium Gejala Klinis


I Tidak ada penurunan berat badan
Tanpa gejala atau hanya Limfadenopati
Generalisata Persisten
II Penurunan berat badan <10%
ISPA berulang: sinusitis, otitis media,
tonsilitis, dan faringitis
Herpes zooster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (Kelitis Angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo)
Dermatitis Seboroik
Infeksi jamur pada kuku
III Penurunan berat badan >10%
Diare, demam yang tidak diketahui
penyebabnya >1 bulan
Kandidiasis oral atau Oral Hairy Leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Limfadenitis TB
Infeksi bakterial yang berat: Pneumonia,
Piomiosis
Anemia(<8gr/dl),Trombositopeni Kronik
(<50109 per liter)
IV Sindroma Wasting (HIV)
Pneumoni Pneumocystis
Pneumonia Bakterial yang berat berulang
dalam 6 bulan
Kandidiasis esofagus
Herpes Simpleks Ulseratif >1 bulan
Limfoma
Sarkoma Kaposi
Kanker Serviks yang invasif
Retinitis CMV
TB Ekstra paru
Toksoplasmosis
Ensefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
Lekoensefalopati multifokal progresif
Kriptosporidiosis kronis, mikosis meluas

III. DIAGNOSIS
Deteksi dini tuberkulosis pada pasien HIV harus dilakukan dengan
teliti dan diperlukan pengalaman praktisi. Diagnosis TB pada pasien HIV
berbeda dengan diagnosis TB pada umumnya karena gejala TB pada
pasien HIV tidak spesifik.Tuberkulosis ekstraparu lebih sering ditemukan
pada pasien dengan HIV dibandingkan pasien tanpa HIV sehingga bila
ditemukan TB ekstraparu harus dipikirkan kemungkinan infeksi HIV.
Tuberkulosis ekstraparu yang sering ditemukan adalah limfadenopati pada
leher, abdominal, aksila, mediastinal, efusi pleura, efusi perikardial, efusi
peritonealdan meningitis.
Baik deteksi dini TB pada pasien HIV maupun deteksi dini HIV
pada pasien TB keduanya penting untuk meningkatkan penemuan dini
koinfeksi TB-HIV sehingga dapat memulai pengobatan lebih cepat dan
keberhasilan pengobatan akan lebih baik. Algoritma tatalaksana TB-HIV
dapat dilihat pada gambar 5.1. Hal-hal yang perlu diketahui dalam
menegakkan diagnosis pada pasien TB dengan HIV adalah sebagai
berikut:
A. Gambaran klinis.
Gambaran klinis TB secara umum diawali dengan batuk lebih dari
2-3 minggu, sedangkan TB pada pasien HIV/AIDS batuk bukan
merupakan gejala umum. Pada TB-HIV, demam dan penurunan berat
badan merupakan gejala yang penting.Tuberkulosis ekstraparu perlu
diwaspadai pada orang hidup dengan HIV/AIDS(ODHA) karena
kejadiannya lebih sering dibandingkan TB dengan HIV negatif.
Tuberkulosis ekstraparu pada pasien HIV merupakan tanda bahwa
penyakitnya sudah lanjut.
B. Sputum BTA
Karenasulitnya diagnosis TB padapasien HIV secara klinis dan
pemeriksaan sputum BTA lebih sering negatif, diperlukan pemeriksaan
biakan M. tuberculosis yang merupakan baku emas untuk diagnosis TB.
Pada ODHA yang hasil pemeriksaan mikroskopik dahaknya negatif,
biakan sangat dianjurkan karena dapat membantu menegakkan diagnosis
TB. Perlu juga dilakukan uji sensitivitas obat untuk mengetahui TB MDR
karena HIV merupakan salah satu faktor risiko TB-MDR.
C. Xpert MTB/RIF
Penggunaan Xpert MTB/RIF dalam algoritma diagnostik TB untuk
populasi ODHA adalah cost-effective dalam mengurangi kematian dini
orang dengan HIV lanjut dan sangat cost-effective dalam meningkatkan
harapan hidup ODHA yang memulai terapi ARV. Algoritma
menggunakan Xpert MTB/RIF lebih sensitif dibandingkan dengan
menggunakan skrining gejala, BTAdanfoto thoraks.Pemeriksaan Xpert
MTB/RIF meningkatkan sensitivitas, ketepatan waktu dan deteksi
resistensi rifampisin pada pasien dengan HIV. Diagnosis TB dengan
resisten obat pada pasien dengan HIV memungkinkan inisiasi terapi yang
tepat.
D. Foto toraks
Gambaran foto toraks bervariasi baik lokasi maupun bentuknya.
Umumnya gambaran foto toraks pada TB terdapat di apeks, tetapi pada
TB-HIV bukan di apeks terutama pada HIV lanjut. Pada TB-HIV awal
gambaran foto toraks dapat sama dengan gambaran foto toraks TB pada
umumnya, namun pada HIV lanjut gambaran foto toraks sangat tidak
spesifik. Pada pasien TB-HIV sering ditemukan gambaran TB milier.
E. Penggunaan antibiotik pada pasien suspek TB dengan HIV positif.
Pemberian antibiotik pada pasien suspek TB paru sebagai alat
bantu diagnosis TB paru tidak direkomendasikan lagi karena hal ini dapat
menyebabkan keterlambatan diagnosis TB dengan konsekuensi
keterlambatan pengobatan TB ehingga meningkatkan risiko kematian.
Penggunaan antibiotik quinolon sebagai terapi infeksi sekunder pada TB
dengan HIV positif harus dihindari, sebab golongan antibiotik ini respons
terhadap mikobakterium TB sehingga dikhawatirkan menghilangkan
gejala sementara dan kemungkinan timbulnya kuman kebal obat.
Antibiotik golongan quinolon ini dicadangkan sebagai OAT lini kedua.

IV. Penatalaksanaan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif
(2-3 bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan
terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

A. OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)


Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1)yang digunakan adalah:
o Rifampisin
o INH
o Pirazinamid
o Streptomisin
o Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
o Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin
150 mg, isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275
mg dan
o Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150
mg, isoniazid 75 mg dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid,amoksilin + asam
klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH
B. Dosis OAT

 Rifampisin . 10 mg/ kg BB, maksimal 600mg 2-3X/ minggu atau


BB > 60 kg : 600 mg
BB 40-60 kg : 450 mg
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan 29
Tuberkulosis di Indonesia
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
 INH 5 mg/kg BB, maksimal 300mg, 10 mg /kg BB 3 X seminggu,
15 mg/kg BB 2 X semingggu atau 300 mg/hari untuk dewasa.
lntermiten : 600 mg / kali
 Pirazinamid : fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 X
semingggu, 50 mg /kg BB 2 X semingggu atau :
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40-60 kg : 1 000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
 Etambutol : fase intensif 20mg /kg BB, fase lanjutan 15 mg /kg BB,
30mg/kg BB 3X seminggu, 45 mg/kg BB 2 X seminggu atau :
BB >60kg : 1500 mg
BB 40 -60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/ kgBB/ kali
 Streptomisin:15mg/kgBB atau
BB >60kg : 1000mg
BB 40 - 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
Kategor Kasus Paduan obat yang Keterangan
i diajurkan
I - TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau  
+, 2 RHZE / 6 HE
*2RHZE / 4R3H3
  BTA - , lesi
luas       

 
II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / Bila streptomisin alergi,
-GagaL sesuai hasil uji dapat diganti kanamisin
pengobatan resistensi atau
2RHZES / 1RHZE / 5
RHE
-3-6 kanamisin,
ofloksasin, etionamid,
sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid,
sikloserin atau
2RHZES / 1RHZE /
5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama  
berobat pengobatan
sebelumnya, lama
berhenti minum obat
dan keadaan klinis,
bakteriologi dan
radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau
*2RHZES / 1RHZE /
5R3H3E3
III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau  
neg. lesi 6 RHE atau
minimal *2RHZE /4 R3H3
 
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil  
uji resistensi
(minimal OAT yang
sensitif) + obat lini 2
(pengobatan minimal
18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi +  
  OAT   lini 2 atau H
seumur hidup

C. Efek samping OAT


Efek Samping Ringan

Efek Samping Berat


o Hepatitis Imbas Obat
Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat
hepatotoksik (drug inducced hepatitis)
Penatalaksanaan :
• Bila klinik (+) (ikterik [+], gejala/mual. Muntah [+])  OAT
Stop
• Bila Kinis (-), Laboratorium terdapat kelainan :
1) Bilirubin >2  OAT Stop
2) SGOT, SGPT > dari 5 kali  OAT Stop
3) SGOT, SGPT > dari 3 kal, gejala (+)  OAT Stop
4) SGOT, SGPT > dari 3 kali, gejala (-)  teruskan
pengobatan, dengan pengawasan.
D. ART (Terapi Antiretroviral)
E. Pengobatan tuberkulosis pada pasien HIV

Pada prinsipnya tata laksana pengobatan TB pada pasien dengan


infeksi HIV sama seperti pasien TB tanpa HIV. Obat TB pada pasien HIV
sama efektifnya dengan pasien TB tanpa HIV. Pengobatan pasien dengan
koinfeksi TB-HIV lebih sulit dari pada TB pada pasien tanpa HIV. Pasien TB-
HIV mempunyai sistem imunitas yang rendah dan sering ditemukan infeksi
hepatitis sehingga sering timbul efek samping obat, interaksi antar obat yang
akan memperburuk kondisi pasien dan obat harus dihentikan atau dikurangi
dosisnya maka pengobatan pun menjadi lebih panjang serta kepatuhan pasien
sering terganggu
 Fase awal: 2 bulan INH, RIF, PZA, dan EMB
 Fase lanjutan: 4 bulan INH dan RIF, atau 6 bulan INH dan EMB
 Pemberian INH dan EMB selama 6 bulan untuk fase lanjutan tidak
direkomendasi untuk pasien TB dengan HIV karena mudah terjadi
kegagalan pengobatan atau kambuh.
Dosis OAT yang diberikan dianjurkan untuk mengikuti anjuran
internasional dan sangat dianjurkan dalam kombinasi dosis tetap (KDT).
Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan antiretroviral (ARV) dimulai sesegera mungkin setelah dapat
ditoleransi dalam 2-8 minggu pengobatan fase awal. Pengobatan ARV
sebaiknya hanya diberikan oleh dokter yang telah dilatih khusus HIV karena
obat ARV bisa berinteraksi dengan OAT dan juga dapat meningkatkan risiko
efek samping. Efavirenz (EFV) mewakili golongan NNRTI baik digunakan
untuk pemberian ART pada pasien dalam terapi OAT. Efavirenz
direkomendasikan karena mempunyai interaksi dengan rifampisin yang lebih
ringan dibanding Nevirapine.Pada pemberian OAT dan ARV perlu
diperhatikan interaksi antar obat-obat yang digunakan, peran ARV, tumpang
tindih efek samping obat, immune-reconstitution inflammatory syndrome
(IRIS) dan masalah kepatuhan pengobatan.
Pasien dengan infeksi HIV mudah sekali terkena infeksi oportunistik
sehingga semua pasien HIV yang telah terdiagnosis TB sebagai salah satu
infeksi opportunistik harus diberikan kotrimoksazol sebagai pencegahan
infeksi lain.Pada pusat layanan kesehatan yang mempunyai fasilitas
pemeriksaan CD4, profilaksis kotrimoksazol direkomendasikan untuk pasien
dengan nilai CD4 <200 sel/mm3 pada pasien HIV tanpa TB, sedangkan pada
pasien HIV yang telah didiagnosis TB kotrimoksazol dapat diberikan
langsung tanpa melihat nilai CD4. Pemberian kotrimoksazol tersebut dapat
menurunkan kejadian infeksi oportunistik sepertiPneumocystis jiroveci
pneumonia, toxoplasmosis infection, malaria dll. Berdasarkan data observasi
pencegahan kotrimoksazol pada pada pasien HIV menurunkan mortalitas
50%. Pemberian Isoniazid sebagai pencegahan dan terapi TB laten

F. Pencegahan
Pencegahan dapat dilakuka dengan cara :
• Terapi pencegahan
• Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah
penularan

Terapi pencegahan :
Kemoprofilaksis diberikan kepada penderita HIV atau
AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid
(INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari
selama minimal 6 bulan.

G. PROGNOSIS
Dubia ad sanam
DAFTAR PUSTAKA

Kemenkes RI., 2011. Stop TB Menuju Terobosan Universal Strategi


Nasional Pengendalian TB di Indonesia tahun 2010 – 2014.
Jakarta
Kemenkes RI., 2012. Petunjuk Teknis Tata Laksana Klinis Ko-Infeksi TB-
HIV. Jakarta
Kemenkes RI., 2013. Pedoman nasional Pelayanan kedokteran “Tata
Laksana Tuberkulosis”. Jakarta
Kemenkes RI., 2015. Infodatin “Pusat data dan Informasi kementrian
kesehatan RI. Jakarta
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia., 2014. Tuberculosis Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta
Sudoyo, Aru. W., 2009. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam” Jilid III Edisi
V. Jakarta : Internal Publishing
LAMPIRAN 1
RAPID TEST

Anda mungkin juga menyukai