Anda di halaman 1dari 24

LI Tuberkulosis Paru

I. Diagnosis
Menurut Ariefputra (2014), diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari
gambaran klinis, pemeriksaan mikrobiologi, dan hasil radiologi.
a. Anamnesis
Gejala lokal (respiratorik) , yaitu batuk > 2 minggu, hemoptisis, sesak napas, dan
nyeri dada. Gejala sistemik, yaitu demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan
berat badan menurun.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pasien TB dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, atau ronki basah. Pada pasien dengan limfadenitis TB terdapat
pembesaran KGB sekitar leher dan ketiak. Pada pasien pleuritis TB karena ada
cairan, hasil perkusi menjadi pekak dan auskultasi melemah hinga tidak terdengar
pada tempat yang ada cairan
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Diambil dari spesimen: dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus
dan lambung, bronchoalveolar lavage, biopsi. Untuk pengambilan spesimen dahak
dilakukan 3 kali (SPS) , yaitu sewaktu (waktu kunjungan), pagi (keesokan
harinya) , sewaktu (saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi selama 3 hari
berturut-turut. Proses pengiriman bahan dapat ditaruh di pot dengan mulut lebar,
tutup berulir, penampang 6 cm atau dibuat sediaan apus di gelas objek atau
menggunakan kertas saring. Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara
mikroskopis dan biakan. Pewarnaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen
sedangkan fluoresens dengan auramin-rhodamin. Kultur M.tb dapat menggunakan
metode Lowenstein-Jensen.
Interpretasi hasil dahak
1. BTA (+): 3x positif atau 2x positif, 1x negatif;
2. BTA (-): 3x negatif;
3. Jika hasil 1x (+), 2x (-) diulang pemeriksaan BTA 3x Iagi, bila hasil:
- 1x positif dan 2 x negatif - BTA (+);
- 3x negatif - BTA (-).
d. Radiologi
Foto polos toraks PA yang biasa dilakukan. Atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik , CT-scan. Dicurigai lesi TB aktif:
- Bayangan berawan/nodular di lobus atas paru segmen apikal dan posterior,
lobus bawah segmen posterior;
- Kavitas (apalagi >1 dan dikelilingi bayangan berawan);
- Bercak milier;
- Efusi pleura unilateral (biasanya).
Gambaran foto polos toraks lainnya:
- Gambaran lesi tidak aktif: fibrotik, kalsifikasi,
Schwarte atau penebalan pleura
- Destroyed lung (luluh paru): atelektasos, kavitas multipel, fibrosis di
parenkim paru.
- Lesi minimal: lesi pada satu atau dua paru tidak melebihi sela iga 2 depan,
tidak ada kavitas.
- Lesi luas: jika lebih luas dari lesi minimal.
e. Pemeriksaan penunjang lain
- Anailisis cairan pleura - uji rivalta (+). eksudat, limfosit dominan, glukosa
rendah;
- Biopsi - diambil 2 spesimen untuk dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan
histologi;
- Darah - tidak spesifik. termasuk limfosit yang meningkat. LED jam pertama,
kedua dapat men- jadi indikator penyembuhan pasien.
- GeneXpert® MTB/RIF
Gambar 1. Diagnosis TB Paru Dewasa
Sedangkan menurut Setiati (2014), tuberculosis paru cukup mudah dikenal
mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis,
sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu mudah
menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien
memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang
belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas
laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan
menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik biasa, sudah
cukup untuk memastikan diagnosis tuberculosis paru, karena kekerapan
Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70%
saja dari seluruh kasus tuberculosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.
(Setiati, 2014)
Diagnosis tuberculosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan
klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak
sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberculosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,
status bakteriologis, status radiologis, dan status kemoterapi. WHO 1991 memberikan
kriteria pasien tuberculosis paru (Setiati, 2014)
a. Pasien dengan sputum BTA positif:
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan
BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan, atau
- Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif, atau
- Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif
b. Pasien dengan sputum BTA negatif:
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis
sesuai dengan TB aktif, atau
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
II. Diagnosis Banding
Kondisi berikut dapat menyebabkan lesi paru kavitas dan gejala yang mengarah
ke TB termasuk demam, batuk, dan penurunan berat badan (Pozniak, 2019):
a. Infeksi mikobakteri nontuberkulosis (NTM) - Gejala NTM termasuk kelelahan,
dispnea, dan sesekali hemoptisis; demam dan penurunan berat badan lebih jarang
terjadi dibandingkan pada pasien dengan TB. Gambaran klinis Mycobacterium
kansasii seringkali sangat mirip dengan TB. NTM dibedakan dari TB berdasarkan
hasil kultur dan / atau uji diagnostik molekuler.
b. Infeksi jamur - Pneumonia jamur dapat muncul dengan berbagai manifestasi
termasuk pneumonia, nodul paru, dan penyakit paru kavitas. Penyakit ini
dibedakan dari TB berdasarkan pajanan epidemiologi dan hasil kultur
c. Sarkoidosis - Sarkoidosis paling sering muncul dengan penyakit paru interstisial
difus. Kondisi ini jarang membentuk gigi berlubang dan dibedakan dari TB
dengan deteksi histopatologi dari granuloma nonkaseosa.
d. Abses paru-paru - Abses paru-paru umumnya muncul dengan gejala demam,
batuk, dan produksi dahak tetapi tanpa menggigil atau terasa keras. Pencitraan
dada biasanya menunjukkan infiltrat dengan rongga. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil kultur.
e. Emboli septik - Emboli septik ke paru-paru dari nidus luar paru dibedakan dari TB
berdasarkan hasil kultur darah dan ekokardiografi.
f. Kanker paru-paru - Kanker paru-paru paling sering muncul dengan gejala batuk,
hemoptisis, nyeri dada, dan dispnea. Ini dibedakan dari TB berdasarkan
histopatologi.
g. Limfoma - Limfoma biasanya muncul dengan massa yang tumbuh pesat
bersamaan dengan demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Ini
dibedakan dari TB berdasarkan histopatologi.

III. Epidemiologi
Di antara orang-orang yang kekurangan secara medis maupun ekonomi di
seluruh dunia, tuberkulosis masih menjadi penyebab kematian tertinggi. Diperkirakan
1,7 milyar orang terinfeksi di seluruh dunia, dengan 8 juta hingga 10 juta kasus baru
dan 3 juta kematian per tahun. Di dunia barat, kematian akibat tuberkulosis
memuncak di tahun 1800 dan secara stabil menurun di sepanjang 1800 an dan 1900-
an. Namun, pada tahun 1984 penurunan ini berhenti akibat peningkatan kejadian
tuberkulosis pada orang yang terjangkit HIV. Sebagai konsekuensi pengawasan
kesehatan masyarakat yang intensif sertaprofilaksis tuberkulosis pada orang dengan
imunosupresi, kejadian tuberkulosis pada orang yang lahir di AS menurun sejak 1992.
Saat ini, diperkirakan sekitar 25.000 kasus baru dengan tuberkulosis aktif muncul di
Amerika Serikat setiap tahun, dan hampir 40% adalah imigran dari negara-negara
dengan prevalensi tuberkulosis tinggi. (Abbas, 2015)
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di India dan Indonesia berturut
turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum
yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan
rumah tangga 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking
nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional
terakhir TB paru diperkirakan 0,24 %. Sampai sekarang angka kejadian TB di
Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif
rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah di masa datang melihat
semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun. (Setiati, 2014).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki
1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan
pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi
kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok
dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari
seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok. (Infodatin, 2018)
Gambar 2. Jumlah Kasus Baru TB di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, Tahun
2017
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih
lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin
rendah prevalensi TBC. (Infodatin, 2018)

Gambar 3. Prevalensi TBC menurut Karakteristik Umur, Pendidikan, dan Sosial


Ekonomi
Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi semakin
rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Kesakitan TBC menurut kuintil
indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada perbedaan antara kelompok terbawah
sampai dengan menengah atas. Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas. Hal
ini berarti risiko TBC dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi.
IV. Etiologi
Menurut Abbas (2015) Mycobacterium adalah bakteri berbentuk batang yang
tahan asam (yaitu, bakteri tersebut memiliki banyak kandungan lipid kompleks yang
siap berikatan dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen (carbol fuchsin) dan resisten terhadap
penghapusan warna). M. tuberculosis hominis bertanggung jawab pada sebagian besar
kasus tuberkulosis; sumber infeksi biasanya ditemukan pada orang-orang dengan
penyakit paru aktif. Transmisi biasanya langsung, melalui inhalasi organisme di udara
dari bulir-bulir udara yang timbul dari batuk atau sekresi terkontaminasi dari orang
yang terinfeksi. Tuberkulosis orofaring dan usus diperoleh dari minum susu yang
terkontaminasi oleh infeksi Mycobacterium bovis saat ini jarang di negara maju,
namun sering ditemukan pada negara dengan sapi yang menderita tuberkulosis dan
penjualan susu yang tidak terpasteurisasi. Mycobacterium yang lain, terutama
Mycobacterium avium complex, tidak terlalu virulen dibandingkan M. tuberculosis
dan jarang sekali menyebabkan penyakit pada orang yang imunokompeten. Namun,
bakteri ini dapat menyebabkan penyakit pada 10% hingga 30% pasien dengan AIDS.
Cara penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh M. tuberculosis biasanya
secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering
dibanding organ lainnya. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil
yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang didapat dari pasien TB paru dengan
batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Sudah
dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan teratur dan
pengawasan minum obat ketat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas
di Amerika selama tahun 1950-1960. (Setiati, 2014)
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Sebagian
besar dinding kuman terdini atas asam lemak (lipid), kemudian peptidoglikan dan
arabinomannan, Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam
alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan ia juga lebih tahan terhadap
gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat tahan hidup pada udara kering maupun dalam
keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena
kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit
kembali dan menjadikan penyakit tuberkulosis menjadi aktif lagi. (Setiati, 2014)
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraselular yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian
disenanginya karena banyak mengandung lipid. Sifat lain kuman ini adalah aerob.
Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi
kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada bagian apikal paru-paru
lebih tinggi dari bagian lain, sehingga bagian apikal ini merupakan tempat predileksi
penyakit tuberkulosis. (Setiati, 2014)
Faktor Risiko
Menurut Kemenkes RI (2019), terdapat beberapa kelompok orang yang
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut
adalah :
1. Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2. Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
3. Perokok
4. Konsumsi alkohol tinggi
5. Anak usia <5 tahun dan lansia
6. Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.
7. Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang)
8. Petugas kesehatan
V. Klasifikasi
Menurut Setiati (2014), dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:
a. Pembagian secara patologis
- Tuberculosis primer (childhood tuberculosis)
- Tuberculosis post-primer (adult tuberculosis)
b. Pembagian secara aktivitas radiologis: Tuberkulosis paru (Koch Pulmonum) aktif,
non aktif dan quiescent (bentuk aktif yang mulai menyembuh)
c. Pembagian secara radiologis (luas lesi)
- Tuberculosis minimal. Terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas pada satu
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru
- Moderately advanced tuberculosis. Ada kavitas dengan diameter tidak lebih
dari 4 cm. jumlah infiltrate bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru.
Bila bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru
- Far advanced tuberculosis. Terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis
Berdasarkan organ tubuh (anatomical site) yang terkena:
a. Tuberkulosis paru, tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru.
b. Tuberkulosis ekstra paru, tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain
paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe,
tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.
Pada tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang
diambil berdasarkan aspek kesehatan masyarakat.
a. Kategori 0 : Tidak pernah terpajan, dan tidak terinfeksi, riwayat kontak negatif, tes
tuberkulin negatif
b. Kategori I : Terpajan tuberkulosis, tapi tidak terbukti ada infeksi. Di sini riwayat
kontak positif, tes tuberkulin negatif.
c. Kategori II : Terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak sakit. Tes tuberculin positif,
radiologis dan sputum negatif.
d. Kategori III : Terinfeksi tuberkulosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah berdasarkan kelainan klinis,
radiologis, dan mikrobiologis :
a. Tuberkulosis paru
b. Bekas tuberkulosis paru
c. Tuberkulosis paru tersangka, yang terbagi dalam: a.) Tuberkulosis paru tersangka
yang diobati. Di sini sputum BTA negatif, tetapi tanda-tanda lain positif. b).
Tuberkulosis paru tersangka yang tidak diobati. Di sini sputum BTA negatif dan
tanda-tanda lain juga meragukan.
Dalam 2-3 bulan, TB tersangka ini sudah harus dipastikan apakah termasuk TB
paru (aktif) atau bekas TB paru. Dalam klasifikasi ini perlu dicantumkan : 1. Status
bakteriologi, 2. Mikroskopik sputum BTA (langsung), 3. Biakan sputum BTA, 4.
Status radiologis, kelainan yaug relevan untuk tuberkulosis paru, 5. Status kemoterapi,
riwayat pengobatan dengan obat anti tuberkulosis.
WHO 1991 berdasarkan terapi membagi TB dalam 4 kategori yakni:
Kategori I, ditujukan terhadap :
a. Kasus baru dengan sputum positif.
b. Kasus baru dengan bentuk TB berat.
Kategori II, ditujukan terhadap :
a. Kasus kambuh
b. Kasus gagal dengan sputum BTA positif
Kategori III, ditujukan terhadap :
a. Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas.
b. Kasus TB ekstra paru selain dari yang disebut dalam kategori I
Kategori IV, ditujukan terhadap : TB kronik.
VI. Pathogenesis
Patogenesis tuberkulosis pada orang imunokompeten dan belum terpajan
sebelumnya berpusat pada pembentukan kekebalan yang dimediasi oleh sel dengan
target tertentu dan menimbulkan daya tahan pada organisme sehingga mengakibatkan
terjadinya hipersensitivitas jaringan terhadap antigen tuberkulosis. Gambaran
patologis tuberkulosis, seperti granuloma kaseosa dan kavitasi, adalah akibat destruksi
jaringan yang hipersensitif yang merupakan bagian dari respons imun pejamu. Karena
sel efektor untuk kedua proses tersebut sama, maka tampilan jaringan yang
hipersensitif juga memberi sinyal tambahan kekebalan terhadap organisme.
Rangkaian kejadian dari inhalasi zat yang infeksius untuk mengontrol fokus primer
diilustrasikan pada gambar dan diringkas sebagai berikut: (Abbas, 2015)
Begitu mycobacterium turunan virulen masuk ke dalam endosom makrofag (suatu
proses yang dimediasi oleh beberapa reseptor makrofag, termasuk reseptor manose
makrofag dan reseptor komplemen yang mengenali beberapa komponen dinding sel
mycobacterium), organisme tersebut mampu menghambat respons mikrobisida
normal dengan cara mencegah fusi lisosom dengan vakuol fagositik. Pencegahan
formasi fagolisosom memungkinkan proliferasi mycobacterium tanpa terdeteksi.
Sehingga, fase paling dini dari tuberkulosis primer (pada 3 minggu pertama) pada
pasien yang belum tersensitisasi yang ditandai oleh proliferasi basil di dalam
makrofag alveolus paru dan rongga udara, serta terjadi bakteremia yang selanjutnya
terjadi penyemaian pada berbagai tempat. (Abbas, 2015)
Terlepas dari bakteremia, sebagian besar pasien pada fase ini bersifat asimptomatik
atau mengalami gejala mirip flu ringan. (Abbas, 2015)
Susunan gen pasien mungkin memengaruhi perjalanan penyakit. Pada beberapa
orang dengan polimorfisme gen NRAMPI (natural resistance-associated macrophage
protein I ), penyakit dapat berlanjut tanpa terbentuknya respons imun yang efektif.
NRAMPI adalah protein transpor ion transmembran yang ditemukan pada endosom
dan lisosom yang dipercaya berperan dalam membunuh mikroba. (Abbas, 2015)
Perkembangan imunitas yang dimediasi sel yang terjadi sekitar 3 minggu pasca
pajanan. Antigen mycobacterium yang telah diproses mencapai aliran kelenjar getah
bening dan dipresentasikan ke sel T CD4+ oleh sel dendritik dan makrofag. Di bawah
pengaruh IL-12 yang disekresi makrofag, sel T CD4+ subset sel TH 1 diproduksi dan
mampu mensekresi IFN-y. (Abbas, 2015)
IFN-y yang dilepaskan oleh sel T CD4+ subset TF41 penting dalam mengaktifkan
makrofag. Makrofag yang teraktifkan akan melepas berbagai mediator dan
meningkatkan regulasi (upregulation) gen dengan efek downstream yang penting,
termasuk (I) TNF, yang bertanggung jawab untuk menarik monosit, yang kemudian
menjadi aktif dan berdiferensiasi menjadi "histiosit epiteloid" yang merupakan ciri
darireaksi granulomatosa; (2) ekspresi gen inducible nitric oxide synthase (iNOS),
yang mengakibatkan peningkatan kadar oksida nitrat pada tempat infeksi, dengan
aktivitas antibakteria yang baik; dan (3) menghasilkan jenis oksigen reaktif, yang
mempunyai sifat antibakteri. Ingatlah bahwa oksida nitrat adalah zat oksidatorkuat
yang mendorong produksi nitrogen reaktif dan radikal bebas lain yang mampu
melakukan destruksi oksidatif pada beberapa komponen mycobacterium, dari dinding
sel hingga DNA nya. (Abbas, 2015)
Defek pada setiap langkah respons sel TH I (termasuk produksi IL-12, IFN-y,
TNF, atau oksida nitrat) mengakibatkan tidak terbentuk granuloma yang baik, tidak
adanya daya tahan, dan penyakit akan berlanjut. Orang dengan kelainan bawaan
berupa mutasi pada komponen manapun dari jalur TH I, sangat rentan terhadap
infeksi mycobacterium. (Abbas, 2015)
Sebagai ringkasan, imunitas terhadap infeksi tuberkulosis terutama dimediasi oleh
sel TH I yang merangsang makrofag untuk membunuh bakteri. Respons imun ini,
meskipun sebagian besar efektif, tetapi juga mengakibatkan reaksi hipersensitif
disertai destruksi jaringan. Pengaktifan kembali infeksi atau pajanan ulang basil pada
pejamu yang sebelumnya sudah sensitif mengakibatkan mobilisasi cepat reaksi
pertahanan tubuh, namun juga meningkatkan nekrosis jaringan. Sebagaimana keadaan
hipersensitif dan daya tahan timbul secara paralel atau bersamaan, maka begitu pula
hilangnya keadaan hipersensitif (ditandai oleh uji tuberkulin negatif pada pasien yang
sebelumnya positif) dapat menjadi tanda bahwa daya tahan terhadap organisme
tersebut juga telah hilang. (Abbas, 2015)
Gambar 4. Patogenesis Tuberkulosis
VII. Patofisiologi
Respons awal pada jaringan yang belum pernah terinfeksi ialah berupa
sebukan sel radang, baik sel leukosit polimorfonukleus (PMN) maupun sel fagosit
mononukleus. Kuman berproliferasi dalam sel, dan akhirnya mematikan sel fagosit. 
Sementara itu sel mononukleus bertambah banyak dan membentuk agregat. Kuman
berproliferasi terus, dan sementara makrofag (yang berisi kuman) mati, sel fagosit
mononukleus masuk dalam jaringan dan menelan kuman yang baru terlepas. Jadi
terdapat pertukaran sel fagosit mononukleus yang intensif dan berkesinambungan. Sel
monosit semakin membesar, intinya menjadi eksentrik, sitoplasmanya bertambah
banyak dan tampak pucat, disebut sel epiteloid. Sel-sel tersebut berkelompok padat
mirip sel epitel tanpa jaringan diantaranya, namun tidak ada ikatan interseluler dan
bentuknya pun tidak sama dengan sel epitel. Sebagian sel epiteloid ini membentuk sel
datia berinti banyak, dan sebagian sel datia ini berbentuk sel datia Langhans (inti
terletak melingkar di tepi) dan sebagian berupa sel datia benda asing (inti tersebar
dalam sitoplasma). Lama kelamaan granuloma ini dikelilingi oleh sel limfosit, sel
plasma, kapiler dan fibroblas. Di bagian tengah mulai terjadi nekrosis yang disebut
perkijuan, dan jaringan di sekitarnya menjadi sembab.
VIII. Manifestasi Klinis
Keluhan yang dirasakan pasien tuberkulosis dapat bemacam-macam atau
malah banyak pasien ditemukan TB paru tanpa keluhan sama sekali dalam
pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang terbanyak adalah : (Setiati, 2014)
a. Demam: Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi kadang-kadang
panas badan dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam pertama dapat sembuh
sebentar, tetapi kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya hilang
timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien merasa tidak pernah terbebas dari
serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan tubuh
pasien dan berat ringannya infeksi kuman tuberkulosis yang masuk. Demam dapat
terjadi melalui mekanisme Infeksi Mycobacterium tuberculosis yang akan
menyebabkan aktifasi makrofag oleh IFN-γ yang di aktifasi oleh T CD4+ yang 
akan membuat pirogen endogen IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α. Pirogen endogen ini
akan  bersirkulasi sistemik & menembus masuk ke blood brain barrier yang akan
bereaksi terhadap hipotalamus. Efek sitokin inflamatori akan membuat atau
merangsang hipotalamus meningkatan suhu tubuh dan terjadi demam.
b. Batuk/batuk darah. Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk-produk radang
keluar. Karena terlibatnya bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja
batuk baru ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru yakni setelah
berminggu-minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai
dari batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan menjadi
produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang lanjut adalah berupa batuk darak
karena terdapat pembuluh darah yang pecah. Kebanyakan batuk darab pada
tuberkulosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi pada ulkus dinding
bronkus.
c. Sesak napas. Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak
napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru. Mekanisme nya adalah
Pada saat M. Tuberculosis masuk dan sudah mencapai alveolus, akan terjadi reaksi
antigen-antibodi sehingga muncullah reaksi radang. Untuk mengeluarkan antigen
tersebut terjadi upaya produksi secret/mucus. Hal ini menyebabkan reflex untuk
mengeluarkannya. Akan tetapi, saat terjadi akumulasi secret di jalan nafas, hal ini
akan menghalangi proses difusi oksigenasi. Tubuh mengkompensasi dengan
meningkatkan gerakan pernafasan dan terjadilah sesak.
d. Nyeri dada. Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila infiltrasi
radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan
kedua pleura sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.
e. Malaise. Penyakit tuberkulosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise
sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu makan, badan makin kurus
(berat badan turun), sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dll. Gejala
malaise ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
Tidak nafsu makan dapat terjadi karena infeksi Mycobacterium tuberculosis yang
akan menyebabkan aktifasi makrofag oleh IFN-γ yang di aktifasi oleh T CD4+
yang  akan membuat pirogen endogen IL -1, IL-4, IL-6, TNF-α. Pirogen endogen
ini akan  bersirkulasi sistemik & menembus masuk ke blood brain barrier yang
akan bereaksi terhadap hipotalamus. Efek sitokin pyrogen endogen pada
hipotalamus menyebabkan produksi prostaglandin. Prostaglandin merangsang
cerebral cortex (respon behavioral) sehingga nafsu makan menurun dan leptin
meningkat.
IX. Tatalaksana
Terdapat 2 fase pengobatan. yaitu intensif (2-3 bulan) dan lanjutan (4 atau 7
bulan). Evaluasi pengobatan dilakukan setiap 2 minggu sekali selama bulan pertama
pengobatan. Selanjutnya, 1 bulan sekali. (Ariefputra, 2014)
Pengobatan untuk pasien TB selain OAT, boleh diberikan pengobatan suportif
lainnya untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau mengatasi keluhan lainnya. contoh
vitamin. lndikasi rawat inap pada pasien TB: hemaptoe massif. kondisi umum buruk,
pneumotoraks, empisema, efusi pleura masif/bilateral, sesak napas berat, TB milier.
meningitis TB. (Ariefputra, 2014)
Paduan Pemberian OAT di Indonesia
Paduan OAT (lihat Tabel 1) yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia:
1. Kategori I
Paduan ini (lihat Tabel 2 dan 3) diberikan untuk pasien baru:
- Pasien baru dengan BTA positif
- Pasien TB paru BTA (-), gambaran radiologi (+)
- Pasien TB ekstra paru
Pada kategori I ini, regimen yang digunakan adalah 2RHZE/4RH, 2 RHZE/ 6 HE,
atau 2RHZE/4R3H3.
2. Kategori II
Paduan ini untuk pasien BTA (+) dan telah diobati sebelumnya:
- Pasien kambuh
- Pasien gagal
- Pasien default
Pada kategori II ini. regimen yang digunakan adalah 2RHZES/1RHZE untuk fase
intensif selama menunggu hasil uji resistensi. Jika hasil sudah ada, untuk fase
lanjutan mengikuti hasil uji resistensi tersebut. Bila tidak ada uji resistensi,
diberikan 5RHE. Untuk kasus gagal pengobatan, paling baik. sebelum hasil uji
resistensi keluar diberikan OAT lini 2 (efek samping obat lihat Tabel 4).
3. Kategori Anak: 2HRZ/4HR
4. Penatalaksanaan pasien TB resisten obat
Obat yang digunakan di Indonesia yang termasuk OAT lini ke 2, yaitu
kanamisin, capreomisin, levofloksasin, etionamid, sikloserin, dan PAS; serta OAT lini
I. yaitu pirazinamid dan etambutol. Prinsip pengobatan kasus TB dengan MOR yaitu
minimal konsumsi 4 macam OAT yang masih efektif, jangan konsumsi obat yang
kemungkinan akan menjadi resisten silang, dan membatasi penggunaan obat yang
tidak aman. Lama pengobatan minimal adalah 18 bulan setelah konversi biakan, yang
dilakukan 2x berturut-turut dengan jarak 30 hari. Terdiri dari tahap awal dan lanjutan.
Tahap awal adalah tahap pemberian suntikan selama minimal 6 bulan atau 4 bulan
setelah konversi biakan. Disarankan untuk rujuk ke spesialis.
X. Pencegahan
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah : 
a) Menutup mulut bila batuk 
b) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada wadah tertutup
yang diberi lisol 
c) Makan makanan bergizi 
d) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita 
e) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik 
f) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI, 2010) 
XI. Komplikasi
Menurut Setiati (2014), penyakit tuberculosis paru bila tidak ditangani dengan
benar akan menimbulkan komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan
komplikasi lanjut.
a. Komplikasi dini: pleuritis, efusi pleura, empisema, laryngitis, usus, Poncet’s
arthropathy
b. Komplikasi lanjut: obstruksi jalan napas -> SOFT (Sindrom Obstruksi Pasca
Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat -> SOPT/fibrosis paru, kor pulmonal,
amyloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal napas dewasa (ARDS), sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB
XII. Prognosis
Prognosis tuberkulosis umumnya baik jika infeksi terlokalisir di paru, namun
menjadi memburuk jika penyakit tersebut terjadi pada orang tua, debilitasi, ataupun
sistem imun rendah, yang berisiko tinggi mengalami tuberkulosis milier, dan pada
pasien dengan tuberkulosis yang resisten terhadap multiobat. Amiloidosis dapat
terjadi pada kasus persisten.
XIII. SKDI

Tingkat kemampuan 4A: Mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri


dan tuntas pada kasus yang lebih kompleks dari 4A.
Definisi: Mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas, maupun rawat bersama
Daftar Pustaka

Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders.
Arifputera A, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta:
Media Aesculapius.
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2011.
Jakarta: Dirjen P3L Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014.
Jakarta: Dirjen P3L Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tuberkulosis
2019. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Pozniak, Anton MD, FRCP. 2019. Clinical Manifestations and Complications of Pulmonary
Tuberculosis. Diakses melalui: https://www.uptodate.com/contents/clinical-
manifestations-and-complications-of-pulmonary-tuberculosis#H9468869

Setiati, Siti. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke VI. Jakarta: Interna Publishing
Analisis Masalah

1. Mengapa bisa terjadi batuk darah? 2


Akibat pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan
aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh
darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah
cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah
bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan
hemoptisis masif. 
2. Bagaimana hubungan usia, jenis kelamin dan pekerjaan terhadap penyakit yang dialami
TN. B? 2
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama
dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks
kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah
prevalensi TBC. (Infodatin, 2018)
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal
ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya
merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari
seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok. (Infodatin, 2018)
Pekerjaan Mr. B sebagai pemulung, memiliki hubungan yang jelas dengan keluhan
yang dialami, yaitu gejala TB paru. Mr. B bekerja sebagai pemulung dengan waktu kerja
yang panjang setiap hari, dengan higenitas buruk, memudahkan kuman-kuman untuk
masuk ke dalam tubuh, termasuk kuman TB lewat inhalasi Dari status sosial-ekonomi,
mengarah pada gizi yang kurang baik sehingga tubuh mudah untuk terkena infeksi. 
3. Bagaimana patofisiologi hemoptoe? 2
Terjadinya batuk darah ini dikarenakan ekskavasi dan ulserasi pembuluh darah pada
dinding kavitas. Kavitas yang berdinding tebal dinamakan kaverne. Keradangan arteri
yang terdapat di dinding kaverne akan menimbulkan anuerisma yang disebut aneurisma
dari Rasmussen, pada arteri yang berasal dari cabang arteria pulmonalis. Bila aneurisma
ini pecah maka akan menimbulkan batuk darah. Batuk darah yang massif terjadi bila ada
robekan dari aneurisma Rasmussen pada dinding kavitas atau ada perdarahan yang
berasal dari bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. Keadaan ini dapat menyebabkan
kematian karena penyumbatan saluran pernafaan oleh bekuan darah. 
4. Bagaimana tatalaksana hemoptoe pada kasus ini? 2
Terapi konservatif: 
a. Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus).
Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke
paru yang sehat. 
b. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan. 
c. Batuk secara perlahan-lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran
napas untuk mencegah bahaya sufokasi. 
d. Dada dikompres dengan es-kap, hal ini biasanya menenangkan penderita. 
e. Pemberian obat-obat penghenti perdarahan (obat – obat hemostasis), misalnya vit.
K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom. 
f. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder. 
g. Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi. 
h. Pemberian oksigen. 

Tindakan selanjutnya bila mungkin: 

a. Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi. 


b. Menentukan penyebab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi
dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan. 
5. Bagaimana pengaruh lingkungan terhadap cepatnya pertumbuhan bakteri yang
menyerang pasien? 2
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan
kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas
peningkatan jumlah kasus TB.
6. Apa saja kemungkinan penyakit yang ditandai dengan hemoptoe? 2
Sebab Insidensi
Infeksi: TB, abses paru, bronchitis, bronkiektasis, infeksi jamur, parasit, 60%
necrotizing pneumonia.  
Neoplasma: karsinoma bronkogenik, lesi metastasis, adenoma bronkus. 20%

Penyakit kardiovaskular: emboli paru, stenosis mitral, malformasi 5-10%


arteriovena, aneurisma aorta, edema paru.
Lain-lain: bronkolitiasis, hemosiderosis idiopatik, sindrom 5-10%
Goodpasture, terapi antikoagulan.
Tabel penyebab hemoptisis.
Sumber: Amin Z. Manifestasi klinik dan pendekatan pada pasien dengan kelaian sistem pernapasan.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit
dalam jilid II. Ed 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009. h.969-73
7. Bagaimana mekanisme timbulnya gejala pada kasus? (phlegm, mild fever, loss of
appetite, loss of body weight, shortness of breath, two palpable mass) 2, 3
Di manifestasi klinis
8. Bagaimana hubungan waktu terhadap gejala yang timbul pada kasus? 2, 3
9. Hubungan hemoptoe dengan keluhan tambahan yang timbul? 2, 3
10. Mengapa gejala memburuk sejak dua minggu yang lalu? 2, 3
Pada kasus, gejala Tn. B memburuk sejak satu minggu yang lalu, dapat terjadi karena
tidak segera diobati dan juga penurunan sistem imun Tn. B sehingga kuman lebih banyak
berkembang dan menginfeksi. 
11. Gejala tersebut mengindikasikan penyakit apa? 2, 3
Tuberkulosis paru dan limfadenitis TB

Anda mungkin juga menyukai