I. Diagnosis
Menurut Ariefputra (2014), diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan dari
gambaran klinis, pemeriksaan mikrobiologi, dan hasil radiologi.
a. Anamnesis
Gejala lokal (respiratorik) , yaitu batuk > 2 minggu, hemoptisis, sesak napas, dan
nyeri dada. Gejala sistemik, yaitu demam, malaise, keringat malam, anoreksia, dan
berat badan menurun.
b. Pemeriksaan Fisis
Pada pasien TB dapat ditemukan suara napas bronkial, amforik, suara napas
melemah, atau ronki basah. Pada pasien dengan limfadenitis TB terdapat
pembesaran KGB sekitar leher dan ketiak. Pada pasien pleuritis TB karena ada
cairan, hasil perkusi menjadi pekak dan auskultasi melemah hinga tidak terdengar
pada tempat yang ada cairan
c. Pemeriksaan Bakteriologi
Diambil dari spesimen: dahak, cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus
dan lambung, bronchoalveolar lavage, biopsi. Untuk pengambilan spesimen dahak
dilakukan 3 kali (SPS) , yaitu sewaktu (waktu kunjungan), pagi (keesokan
harinya) , sewaktu (saat mengantarkan dahak pagi) atau setiap pagi selama 3 hari
berturut-turut. Proses pengiriman bahan dapat ditaruh di pot dengan mulut lebar,
tutup berulir, penampang 6 cm atau dibuat sediaan apus di gelas objek atau
menggunakan kertas saring. Pemeriksaan spesimen ini dilakukan secara
mikroskopis dan biakan. Pewarnaan mikroskopis biasa dengan Ziehl-Nielsen
sedangkan fluoresens dengan auramin-rhodamin. Kultur M.tb dapat menggunakan
metode Lowenstein-Jensen.
Interpretasi hasil dahak
1. BTA (+): 3x positif atau 2x positif, 1x negatif;
2. BTA (-): 3x negatif;
3. Jika hasil 1x (+), 2x (-) diulang pemeriksaan BTA 3x Iagi, bila hasil:
- 1x positif dan 2 x negatif - BTA (+);
- 3x negatif - BTA (-).
d. Radiologi
Foto polos toraks PA yang biasa dilakukan. Atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik , CT-scan. Dicurigai lesi TB aktif:
- Bayangan berawan/nodular di lobus atas paru segmen apikal dan posterior,
lobus bawah segmen posterior;
- Kavitas (apalagi >1 dan dikelilingi bayangan berawan);
- Bercak milier;
- Efusi pleura unilateral (biasanya).
Gambaran foto polos toraks lainnya:
- Gambaran lesi tidak aktif: fibrotik, kalsifikasi,
Schwarte atau penebalan pleura
- Destroyed lung (luluh paru): atelektasos, kavitas multipel, fibrosis di
parenkim paru.
- Lesi minimal: lesi pada satu atau dua paru tidak melebihi sela iga 2 depan,
tidak ada kavitas.
- Lesi luas: jika lebih luas dari lesi minimal.
e. Pemeriksaan penunjang lain
- Anailisis cairan pleura - uji rivalta (+). eksudat, limfosit dominan, glukosa
rendah;
- Biopsi - diambil 2 spesimen untuk dikirim ke laboratorium mikrobiologi dan
histologi;
- Darah - tidak spesifik. termasuk limfosit yang meningkat. LED jam pertama,
kedua dapat men- jadi indikator penyembuhan pasien.
- GeneXpert® MTB/RIF
Gambar 1. Diagnosis TB Paru Dewasa
Sedangkan menurut Setiati (2014), tuberculosis paru cukup mudah dikenal
mulai dari keluhan-keluhan klinis, gejala-gejala, kelainan fisis, kelainan radiologis,
sampai dengan kelainan bakteriologis. Tetapi dalam prakteknya tidak selalu mudah
menegakkan diagnosisnya. Menurut American Thoracic Society dan WHO 1964
diagnosis pasti tuberculosis paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium
tuberculosae dalam sputum atau jaringan paru secara biakan. Tidak semua pasien
memberikan sediaan atau biakan sputum yang positif karena kelainan paru yang
belum berhubungan dengan bronkus atau pasien tidak bisa membatukkan sputumnya
dengan baik. Kelainan baru jelas setelah penyakit berlanjut sekali.
Di Indonesia agak sulit menerapkan diagnosis di atas karena fasilitas
laboratorium yang sangat terbatas untuk pemeriksaan biakan. Sebenarnya dengan
menemukan kuman BTA dalam sediaan sputum secara mikroskopik biasa, sudah
cukup untuk memastikan diagnosis tuberculosis paru, karena kekerapan
Mycobacterium atypic di Indonesia sangat rendah. Sungguhpun begitu hanya 30-70%
saja dari seluruh kasus tuberculosis paru yang dapat didiagnosis secara bakteriologis.
(Setiati, 2014)
Diagnosis tuberculosis paru masih banyak ditegakkan berdasarkan kelainan
klinis dan radiologis saja. Kesalahan diagnosis dengan cara ini cukup banyak
sehingga memberikan efek terhadap pengobatan yang sebenarnya tidak diperlukan.
Oleh sebab itu dalam diagnosis tuberculosis paru sebaiknya dicantumkan status klinis,
status bakteriologis, status radiologis, dan status kemoterapi. WHO 1991 memberikan
kriteria pasien tuberculosis paru (Setiati, 2014)
a. Pasien dengan sputum BTA positif:
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan
BTA, sekurang-kurangnya pada 2x pemeriksaan, atau
- Satu sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis yang sesuai
dengan gambaran TB aktif, atau
- Satu sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif
b. Pasien dengan sputum BTA negatif:
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sedikitnya pada 2x pemeriksaan tetapi gambaran radiologis
sesuai dengan TB aktif, atau
- Pasien yang pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak
ditemukan BTA sama sekali, tetapi pada biakannya positif.
II. Diagnosis Banding
Kondisi berikut dapat menyebabkan lesi paru kavitas dan gejala yang mengarah
ke TB termasuk demam, batuk, dan penurunan berat badan (Pozniak, 2019):
a. Infeksi mikobakteri nontuberkulosis (NTM) - Gejala NTM termasuk kelelahan,
dispnea, dan sesekali hemoptisis; demam dan penurunan berat badan lebih jarang
terjadi dibandingkan pada pasien dengan TB. Gambaran klinis Mycobacterium
kansasii seringkali sangat mirip dengan TB. NTM dibedakan dari TB berdasarkan
hasil kultur dan / atau uji diagnostik molekuler.
b. Infeksi jamur - Pneumonia jamur dapat muncul dengan berbagai manifestasi
termasuk pneumonia, nodul paru, dan penyakit paru kavitas. Penyakit ini
dibedakan dari TB berdasarkan pajanan epidemiologi dan hasil kultur
c. Sarkoidosis - Sarkoidosis paling sering muncul dengan penyakit paru interstisial
difus. Kondisi ini jarang membentuk gigi berlubang dan dibedakan dari TB
dengan deteksi histopatologi dari granuloma nonkaseosa.
d. Abses paru-paru - Abses paru-paru umumnya muncul dengan gejala demam,
batuk, dan produksi dahak tetapi tanpa menggigil atau terasa keras. Pencitraan
dada biasanya menunjukkan infiltrat dengan rongga. Diagnosis ditegakkan
berdasarkan hasil kultur.
e. Emboli septik - Emboli septik ke paru-paru dari nidus luar paru dibedakan dari TB
berdasarkan hasil kultur darah dan ekokardiografi.
f. Kanker paru-paru - Kanker paru-paru paling sering muncul dengan gejala batuk,
hemoptisis, nyeri dada, dan dispnea. Ini dibedakan dari TB berdasarkan
histopatologi.
g. Limfoma - Limfoma biasanya muncul dengan massa yang tumbuh pesat
bersamaan dengan demam, keringat malam, dan penurunan berat badan. Ini
dibedakan dari TB berdasarkan histopatologi.
III. Epidemiologi
Di antara orang-orang yang kekurangan secara medis maupun ekonomi di
seluruh dunia, tuberkulosis masih menjadi penyebab kematian tertinggi. Diperkirakan
1,7 milyar orang terinfeksi di seluruh dunia, dengan 8 juta hingga 10 juta kasus baru
dan 3 juta kematian per tahun. Di dunia barat, kematian akibat tuberkulosis
memuncak di tahun 1800 dan secara stabil menurun di sepanjang 1800 an dan 1900-
an. Namun, pada tahun 1984 penurunan ini berhenti akibat peningkatan kejadian
tuberkulosis pada orang yang terjangkit HIV. Sebagai konsekuensi pengawasan
kesehatan masyarakat yang intensif sertaprofilaksis tuberkulosis pada orang dengan
imunosupresi, kejadian tuberkulosis pada orang yang lahir di AS menurun sejak 1992.
Saat ini, diperkirakan sekitar 25.000 kasus baru dengan tuberkulosis aktif muncul di
Amerika Serikat setiap tahun, dan hampir 40% adalah imigran dari negara-negara
dengan prevalensi tuberkulosis tinggi. (Abbas, 2015)
Indonesia adalah negeri dengan prevalensi TB ke-3 tertinggi di dunia setelah
China dan India. Pada tahun 1998 diperkirakan TB di India dan Indonesia berturut
turut 1.828.000, 1.414.000, dan 591.000 kasus. Perkiraan kejadian BTA di sputum
yang positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survei kesehatan
rumah tangga 1985 dan survai kesehatan nasional 2001, TB menempati ranking
nomor 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional
terakhir TB paru diperkirakan 0,24 %. Sampai sekarang angka kejadian TB di
Indonesia relatif terlepas dari angka pandemi infeksi HIV karena masih relatif
rendahnya infeksi HIV, tapi hal ini mungkin akan berubah di masa datang melihat
semakin meningkatnya laporan infeksi HIV dari tahun ketahun. (Setiati, 2014).
Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki
1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei
Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan
pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi
kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok
dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari
seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok. (Infodatin, 2018)
Gambar 2. Jumlah Kasus Baru TB di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, Tahun
2017
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya
semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih
lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil
indeks kepemilikan (yang menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin
rendah prevalensi TBC. (Infodatin, 2018)
Abbas, A.K., Aster, J.C., dan Kumar, V. 2015. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi 9.
Singapura: Elsevier Saunders.
Arifputera A, dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4. Jakarta:
Media Aesculapius.
Kementrian Kesehatan RI. (2011). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2011.
Jakarta: Dirjen P3L Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2014). Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis 2014.
Jakarta: Dirjen P3L Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Kementrian Kesehatan RI. (2019). Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tuberkulosis
2019. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
Pozniak, Anton MD, FRCP. 2019. Clinical Manifestations and Complications of Pulmonary
Tuberculosis. Diakses melalui: https://www.uptodate.com/contents/clinical-
manifestations-and-complications-of-pulmonary-tuberculosis#H9468869
Setiati, Siti. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi ke VI. Jakarta: Interna Publishing
Analisis Masalah