Anda di halaman 1dari 12

Penerapaan Hukum Adat Menurut Undang-Undang

Dasar

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah “Hukum Adat”

Dosen Pengampu:
IWAN SANDI PANGARSO, S.H., M.H

Disusun oleh:
Dito Kurniawan (190901011)

PRODI HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK

2020
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulillah kami panjatkan kehadiran Allah SWT, atas berkat


limpahan rahmat, taufiq danhidayah-Nya, sehingga Pemakalah dapat
menyelesaikan sebuah makalah Hukum Adat dengan judul: “Penerapan hukum
adat menurut UUD “

Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam


menyelesaikan tugas perkuliahan pada Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Muhammadiyah Gresik.
Dengan tersusunnya makalah ini pemakalah berharap kepada Ibu
Pengampuh Mata Kuliah Hukum Adat berkenaan meluangkan waktu untuk
membina dan membimbing pembuatan makalah yang ditugaskan kepada
Mahasiswa. Untuk itu pemakalah mengucapkan terimah kasih kepada yang
terhormat :
1. Nadhirotul Lailly, S..Psi., M..Psi., Psikolog selaku Dekan Fakultas Hukum,
Universitas Muhammadiyah Gresik.
2. Dodi Wijaya Wardana S.H., M.H selaku Ka Prodi Ilmu Hukum, Fakultas
Hukum Universitas Muhammdiyah Gresik.
3. Iwan Sandi Pangarso, S.H., M.H selaku Dosen pengampu Mata Kuliah
Pendidikam pancasila yang dengan telaten dan sungguh-sungguh dalam
menyampaikan materi dan bimbingannya.
4. Rekan-rekan seangkatan Tahun Akademik 2019-2020 yang selalu saling
memberikan semangat dalam menyelesaikan tugas.
Pemakalah menyadari sepenuhnya bahwa resume ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu dengan kerendahan hati Pemakalah mohon maaf yang
sebesar-besrnya.
Demikian untuk menjadikan periksa dan Pemakalah berharap atas kritik dan
saran, guna perbaikan dalam penulisan makalah ini. Amin…………...
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................


KATA PENGANTAR ......................................................................................
DAFTAR ISI .....................................................................................................

BAB I : PENDHULUAN .................................................................................


1.1 Latar Belakang ............................................................................
1.2 Rumusan Masalah........................................................................
1.3 Tujuan...........................................................................................
1.4 Manfaaat.......................................................................................
BAB II: PEMBAHASAN..................................................................................
2.1 Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum .......................
2.2 Rancangan UU Tentang pengakuan dan Perlindungan hak masyarakat
2.3 Tinjuan RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak masyarakat Hukum adat
keberadaan masyarakat hukum adat ..............................................................

BAB III: PENUTUP .........................................................................................


3.1 Kesimpulan ....................................................................................

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hukum adat adalah hukum yang berkembang dalam masyarakat sehingga sifatnya dinamis
karena mengikuti perkembangan zaman dan mengikutikebutuhan masyarakat yang setiap saat
dapat berubah. Bentuk dari hukum adalahtidak dikodifikikasikan (disusun secara sistematis,
bulat, tuntas dan tuntas). Sehingga tidak mempunyai asas legalitas. Dalam perjalanan sejarahnya
Indonesia adalah Negara yang pernah dijajah oleh bangsa-bangsa Eropa, termasuk Negara
Belanda yang cukup lama menjajah Indonesia.
Selama masa penjajahan atau Indonesia dijajah Belanda, terdapatpengingkaran terhadap
eksistensi hukum adat sebagai hukum yang digunakanuntuk mengintegrasi organisasi kehidupan
berskala antarlokal. Hal ini terlihatdengan adanya asas konkordasi (menginduk) yang
diberlakukan di Indonesia yang mengharuskan hukum yang digunakan adalah hukum Negara
penjajah Hukum Negara penjajah pada waktu itu lebih ditunjukan sebagai hukum yangtertulis
yang berlaku sebagai hukum positif. Hukum yang berlaku pada masa inilah yang menyebabkan
masyarakat Indonesia dibagi menjadi 3 Golongan.
Namun ketika Indonesia menyatakan diri sebagai negara yang merdeka danbebas dari penjajahan
melalui sebuah proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945.Maka dapat diartikan kemerdekaan
tersebut merupakan lahirnya negara Indonesiayang berbentuk republik, lahirnya tata
pemerintahan Indonesia, lahirnya tatahukum Indonesia serta lahirnya sistem hukum di Indonesia.
Oleh sebab itu, bangsa Indonesia memiliki kewajiban untuk mengatur dirinya sendiri.
Haltersebut dilakukan dengan cara pembentukan suatu sistem hukum, hukumtersebut berisi
tentang peraturan yang berlaku bagi seluruh rakyat Indonesia. Dantata hukum tersebut harus
bersumber dan berdasar atas pancasila dan UUD 1945.Dengan kata lain bahwa Tata Hukum
Hindia Belanda tidak berlaku lagi diIndonesia sehingga digantikan oleh Tata Hukum Republik
Indonesia.Pembentukan sistem hukum di Indonesia itu harus didasarkan padaPancasila dan UUD
1945. Akan tetapi, sebelum adanya hukum positif yang bersifat unifikasi, yaitu suatu sistem
hukum yang secara nasional dan berlakuuntuk seluruh rakyat Indonesia. Maka hukum yang
diterapkan adalah hukum yang bersumber pada nilai-nilai yang berlaku dimasyarakat itu sendiri.
Hukum tersebut merupakan hukum kebiasaan pada masyarakat setempat yang sangatmelekat
dalam kebudayaan masyarakat itu. Hukum ini bentuknya tidak tertulis tetapi sangat megikat dan
ditaati. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk membahas menegenai Pengakuan Hukum Adat
dalam Hukum Positif di Indonesia
1.2 Rumusan Masalah
1. Kedudukan Hukum adat dalam sistem hukum
2. Hubungan hukum adat dengan Undang-Undang Dasar
1.3 Tujuan
1. Mengetahui secara mendetail apa itu kegunaan hukum adat dalam UUD
2. Menambah wawasan seputar hubungan hukum adat dengan UUD
1.4 Manfaat
1. Mahasiswa dapat mendiskusikan pendapatnya masing tentang hukum adat
2. Mahasiswa agar lebih mendalami ilmu hukum Adat
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kedudukan Hukum Adat Dalam Sistem Hukum


Sebagaimana sudah dijelaskan di atas bahwa hukum dan hukum adat mempunyai arti yang sama
yaitu sebagai suatu rangkaian norma yang mengatur tingkah laku dan perbuatan dalam hidup
bermasyarakat dengan tujuan terciptanya suatu ketertiban dalam masyarakat. Yang
membedakannya adalah hukum adat berlaku bagi orang Indonesia, sifatnya tidak tertulis dan
tidak dibuat oleh legislatif.
Dalam pemberlakuan hukum adat sebagai hukum positif kiranya perlu diketengahkan dua
konsep pemikiran tentang hukum yang sangat tajam mempertentangkan kedudukan hukum adat
dalam sistem hukum yaitu konsep pemikiran legisme (termasuk aliran positivisme) dan aliran
mazhab sejarah. Aliran legisme menghendaki bahwa pembuatan hukum dapat begitu saja
dilakukan dengan undang-undang, sedangkan aliran sejarah menentang penyamaan hukum
dengan undang-undang sebab hukum itu tidakmungkin dibuat melainkan harus tumbuh dari
kesadaran hukum masyarakat.
Aliran mazhab sejarah yang dipelopori Von Savigny cukup besar pengaruhnya dalam
membentuk aliran tentang pembangunan hukum di Indonesia yang pada awalnya juga terbelah
atas aliran yang menghendaki kodifikasi dan unifikasi serta aliran yang menghendaki
dipertahankannya hukum adat yang tidak dikodifikasi dan tidak diunifikasikan. Aliran mazhab
sejarah menghendaki agar hukum adat yang merupakan pencerminan nilainilai kebudayaan asli
Indonesia dipertahankan untuk mencegah terjadinya pembaratan dalam hukum. Pada sisi lain
mempertahankan hukum adat juga berimplikasi negatif yaitu terisolisasinya bangsa Indonesia
dalam perkembangan hukum modern sehingga mengakibatkan keterbelakangan dan
menimbulkan problem terutama dalam bersaing dengan bangsa lain
Pada sisi yang lain literatur hukum juga mencatat bahwa hukum dalam pengertian luas dapat
dikelompokkan dalam dua bagian yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Hukum adat
termasuk dalam kelompok kedua. Akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah tidak ada satu
pasalpun dalam batang tubuh Undang-Undang Dasar UUD) 1945 yang mengatur tentang
kedudukan hukum tidak tertulis. Malah pasal-pasal dalam batang tubuh UUD 1945 banyak yang
memerintahkan ketentuan pasalnya untuk diatur lebih lanjut dengan Undang-undang (undang-
undang oeganik). Perintah pengaturan lebih lanjut ketentuan Pasal dalam UUD 1945 ke dalam
undang-undang mengandung makna bahwa Negara Indonesia lebih mengutamakan hukum yang
tertulis.
Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam
Penjelasan Umum UUD 1945 angak I yang menyebutkan ”... Undang-Undang Dasar ialah
hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-undang Dasar itu berlakunya juga
hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-atauran dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”
Dalam Pasal 18B ayat (2) Amandemen UUD 1945 menyebutkan “negara mengakui dan
menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Menurut pasal ini hukum adat
yang diakui adalah hukum adat yang masih nyata-nyata hidup, jelas materi dan lingkup
masyarakat adatnya
Ketentuan Pasal 18b ayat (2) di atas dapat dipahami bahwa UUD 1945 lebih mengutamakan
hukum yang tertulis dari pada tidak tertulis. Ini maknanya bahwa pengakuan terhadap hukum
adat yang masih hidup dalam masyarakat di suatu daerah harus dilakukan dengan pengaturan
dalam peraturan perundang-undangan (tertulis).
2.2 Rancangan Undang-Undang Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hakv Masyarakat
Hukum Adat
Pembentukkan Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari bersatunya komunitas adat
yang ada di seantero wilayah Nusantara. Komunitas tersebut telah melahirkan Masyarakat
Hukum Adat dengan hak yang dimilikinya. Keberadaan Masyarakat Hukum Adat telah ada jauh
sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dan secara faktual telah mendapat
pengakuan pada era Pemerintah Kolonial Belanda.
Dalam perkembangannya, pasca terbentuknya NKRI, pengakuan dan perlindungan yang
diberikan oleh negara terhadap hak Masyarakat Hukum Adat mengalami degradasi. Berbagai
kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah dengan orientasi pertumbuhan ekonomi dan
modernisasi menjadi salah satu faktor, terpinggirkannya hakpMasyarakat Hukum Adat.
Kebijakan Pemerintah yang mengeluarkan izin hak pengelolaan hutan kepada swasta telah
mengakibatkan penebangan hutan tanpa perencanaan matang dan tanpa memikirkan dampaknya
untuk generasi berikutnya. Masyarakat Hukum Adat dengan berbagai keterbatasannya tersingkir
dari hutan dan hal ini menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan mereka
ecara normatif, beberapa peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan adanya
pengakuan dan perlindungan untuk Masyarakat Hukum Adat, meskipun implementasinya belum
seperti yang diharapkan. Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945), sebagai hasil amandemen pertama UUD 1945, menyatakan bahwa “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.’’ Ketentuan
Pasal 18B UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 bahwa
“Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban”.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak
tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia,  dimana masyarakat Hukum Adat selama ini belum diakui
dan dilindungi secara optimal dalam melaksanakan hak pengelolaan yang bersifat komunal, baik
hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun-temurun,
maupun yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.

2.3 Tinjauan RUU tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat
Keberadaan masyarakat hukum adat
(MHA) sudah sejak lama termarjinalisasikan di bawah kekuasaan negara. Apabila berhadapan
dengan kekuatan negara dan kekuatan pengusaha besar, MHA berada pada posisi tawar yang
lemah, baik secara ekonomi (kesempatan berusaha dan meningkatkan kesejahteraannya terbatas),
sosial budaya (pengabaian eksistensi dan identitas kultural), apalagi secara politik (hilangnya
kekuasaan dan kewenangan atas tanah miliknya). Oleh karena itu, perlindungan terhadap
eksistensi dan hak tradisional MHA merupakan suatu kebutuhan karena MHA secara
menyeluruh termasuk dalam kelompok golongan
Inisiatif DPR untuk menyusun RUU Pengakuan dan Perlindungan MHA` patut didukung dan
direalisasikan sebagai respon atas Putusan Mahkamah Konstitusi (MK)rentan (vulnerable group)
yang ada di dalam masyarakat Indonesia No. 35 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa hutan adat
berada di wilayah adat dan bukan di kawasan hutan negara
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) telah membentuk working group untuk membahas dan
mendiskusikan RUU Pengakuan dan Perlindungan MHA melalui SK Sekjen Kemenhut dimana 3
orang peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan
(Puspijak) telah berkontribusi aktif dalam penyusunan RUU tersebut dari sisi pemerintah.
Pembahasan RUU tersebut dilaksanakan secara partisipatif dan aktif dengan melibatkan
Kementerian LH, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Dalam Negeri, Badan
Pertanahan Nasional, Kementerian Pertanian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral,
dan Kementerian lain yang terkait. Hasil penyusunan RUU telah dilakukan konsultasi publik dan
hasilnya tidak ada perubahan isi RUU yang substansial dan signifikan
Puspijak juga sudah menerbitkan policy brief dan Naskah Jurnal dengan judul “Kebijakan
Pengelolaan Hutan Adat Pasca Putusan MK No. 35/2012: Suatu Tinjauan Kritis”. Tulisan ini
mengkaji pengelolaan hutan adat (PHA) pasca Putusan MK No. 35 dengan tujuan:
1) memberi pengertian terkait masyarakat adat dan Masyarakat Hukum adat:
2) mengidentifikasi peraturan perundangan yang terkait dengan Pengelolaan Hutan Adat
3) menganalisis dampak putusan MK terhadap perubahan UU No. 41/1999
4) menyusun strategi Pengelolaan Hutan adat ke depan. Penelitian ini menggunakan pendekatan
ekonomi politik dan analisis datanya menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil kajian
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara istilah masyarakat adat dan Masyarakat Hukum
Adat karena kedua definisi tersebut pada prinsipnya sama. Ada sekitar delapan jenis UU yang
terkait dengan pengertian dan hak MHA, namun substansi dan penerapannya sangat tergantung
pada persepsi masing-masing sektor. Putusan MK No. 35 mempunyai dampak signifikan dalam
pengelolaan hutan dengan dikeluarkannya hutan adat dari kawasan negara dan juga tidak
termasuk ke dalam kategori hutan hak. Strategi penting dalam PHA ke depan adalah adanya
kesepakatan bersama antara pemerintah, LSM dan masyarakat adat terkait dengan penetapan
Masyarakat Hukum Adat, penetapan tata batas hutan adat, dan pembentukan kelembagaan
masyarakat adat.
UU Desa dan RUU PPMA mempunyai pengaruh besar terhadap pengakuan hakhak masyarakat
hukum adat, terutama sebagai subjek hukum. UU Desa mempunyai peran penting integrasi hak-
hak publik masyarakat hukum adat sebagai badan hukum dalam penyelenggaraan negara. UU
Desa semestinya tidak dikonstruksi sebagai bagian penyelenggaran negara yang bersifat
administratif, namun semestinya sebagai bentuk pengakuan susunan asli seperti desa, Nagari,
marga dan nama-nama lainnya (kemudian disebut desa asal usul) sebagai kesatuan masyarakat
hukum adat. Selanjutnya RUU PPMA dirancang dengan semangat pengakuan masyarakat
hukum adat dan hak-haknya. Hal tersebut sebenarnya mempunyai persamaan semangat dengan
UU Desa yang juga mencoba mendeklarasikan pengakuan tersebut. Perbedaannya terletak pada
UU Desa merekonstruksi kesatuan masyarakat hukum adat dalam bentuk desa asal usul dalam
penyelengaaraan negara yang mempunyai hak khusus dan bersifat istimewa terhadap
wilayahnya, sedangkan RUU PPMA merekonstruksi masyarakat hukum adat sebagai subjek
hukum yang bersifat khusus dan istimewa.Artinya UU Desa lebih jelas menukik pada problem
pengakuan wilayah masyarakat hukum adat yang kabur akibat perubahan Pasal 18 UUD 1945.
Oleh sebab itu, sangat relevan masyarakat hukum adat semestinya menolak pengaturan BAB II
tentang Penataan Desa dalam UU Desa, karena norma-norma tersebut mengatur tentang
Pembentukan Desa, Penghapusan Desa, Penggabungan Desa, Perubahan Status Desa yang tidak
perlu diterapkan, karena; Nagari, marga dan atau desa asal usul lainnya sudah hidup tanpa
pembentukan oleh negara. Selanjutnya, RUU ini sebenarnya relevan untuk didorong dalam
upaya pengakuan masyarakat hukum adat, dengan isinya menjelaskan pengakuan masyarakat
hukum adat sebagai subjek hukum, mempunyai wilayah, mempunyai hak khusus dan istimewa,
dan dalam bentuk sinkronisasi dalam rezim hukum pemerintah daerah.
Dengan hal tersebut di atas, terutama dalam konteks “Babaliak Ka Nagari” di Sumatera Barat;
Nagari mempunyai landasan hukum yang kuat untuk kembali pada Nagari yang sebenarnya—
bukan hanya bagian dari perpanjangan sistem pemerintahan administratif belaka. Artinya, Nagari
bukan lagi sekedar penyebutan unit pemerintahan, namun identitas kesatuan masyarakat hukum
adat yang diakui oleh sistem hukum nasional.
Pada RUU PPHMA 2014 sebenarnya telah terdapat konsep yang sangat detail mengenai
bagaimana mekanisme pengakuan masyarakat adat ini. Misalnya disebutkan bahwa Pengakuan
dan Perlindungan masyarakat hukum adat berasaskan:
a. partisipasi
b. keadilan
c. transparansi
d. kesetaraan
e. keberlanjutan lingkungan.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
1. Kedudukan hukum adat dalam sistem hukum sama dengan kedudukan hukum pada umumnya,
yang membedakannya adalah hukum adat hanya berlaku untuk orang Indonesia dan sifatnya
tidak tertulis
2. UUD 1945 sebagai konstitusi mengakui di samping hukum tertulis juga ada hukum yang
tidak tertulis, hukum adat merupakan hukum tidak tertulis.
3. UUD 1945 lebih mengutamakan hukum yang tertulis yaitu undang-undang dalam rangka
menciptakan ketertiban dalam masyarakat. Kenyataan ini harus disikapi oleh lembaga legislatif
dalam membentuk undang-undang atau qanun di Aceh harus mampu dan wajib mengakomodir
hukum adat yang berlaku karena hukum adat merupakan salah satu kesadaran hukum yang hidup
dalam masyarakat (living law).
4. Peranan hakim sebagai penemuan hukum sangat penting untuk memperhatikan kesadaran
hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum adat) sebagai pertimbangan dalam memutus suatu
sengketa, dengan demikian yurisprudensi merupakan salah satu sumber pengenal hukum yang
hidup dalam masyarakat
DAFTAR PUSTAKA

Dahlia Andriani.2015. Pengakuan Hukum Adat dalam Hukum Positif di Indonesia.Makalah


Mahdi Syahbandir.2010. Kedudukan Hukum Adat dalam Sistem Hukum. Jurnal Ilmu Hukum
N0.50.
Muchtar Sani.2013. Rancangan Undang-Undang Tentang Pengakuan Dan perlindungan hak
masyarakat hukum adat. Di http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/ (Di akses 22 april)
Abdurrahman.2015. Pengkajian Hukum Tentang Mekanisme Pengakuan Masyarakat Hukum adat. Di
https://www.bphn.go.id/ (Di akses 22 apri)

Anda mungkin juga menyukai