Kata sulit :
Glimepiride : obat untuk mengendalikan gula darah pada DM tipe 2
Kata kunci :
- Laki-laki usia 70 tahun, MRS dengan keluhan jatuh terduduk
- Penderita tidak dapat berdiri karena karena kedua tungkainya lumpuh,
tetapi kalau dicubit masih sakit
- Sebelum jatuh, penderita terdengar batu batuk disertai lender agak kental,
kadang sesak, tetapi tidak demam dan sulit mengeluarkan lender
- Nafsu makan menurun sejak 2 minggu terakhir
- BAK BAB lancar
- Riw penyakit sejak 25 tahun menderita kencing manis dengan
mengonsumsi glimepiride dan tekanan darah tinggi dgn obat captopril 25
mg
- Penderita mempunyai Riwayat sering sesak sanapas dan memekai oabt
yang disemprot atau diissap
- Riwayat perokok aktif sejak muda
- TD : 179/90 mmHg, N98x/menit, P : 30X/menit, S: 37 c
- Konjungtiva tampak anemis, sklera tidak icterus
- Auskultasi : terdengar bunyi ronkhi basah kasar diseluruh lapangan paru,
terdengar juga bunti wheezing dikedua lapangan paru
- Jantung dalam batas normal, abdomen dan hepar tidak teraba
- BB : 39 Kg dan Tb : 168cm
- Hb : 10,5 gr%, leukosit 14.500/mm3, GDP 135 mg/dl, GD2PP 289 g,
ureum 67 mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, protein total 5,6 gr/dL, albumin 2,6
gr/dL, asam urat 6,5 mg/dL. Elektrolit natrium 126 mmoL/L, kalium 3,2
mmoL/L, klorida 91 mmoL/L.
- Foto thoraks : tampak perselubungan homogen pada medial dan basal paru
- Penilaian ADL dengan Indeks Barthel pada saat MRS 7/20 dimana
sebelum MRS 17/20, Abbrevited Mental Test (AMT) 8/10, Mini Mental
State Examination (MMSE) 27/30, Geriatric Depresion Test (GDS) 9/10
dan Mini Nutrision Assesment (MNA) 15/30
Daftar Masalah
1. Fraktur
2. Pneumonia
3. DM Tipe 2
4. Hipertensi Grade 2
5. PPOK
6. Malnutrisi
7. Leukositosis
8. Efusi Pleural Bilateral
9. Peningkatan Faal Ginjal (Susp. CKD)
10. Hipoalbuminemia
11. Imbalance Elektrolit
12. Anemia
13. Status kemandirian ketergantungan berat
Skala Prioritas :
1. Pnemonia
- Assesment : Etiologi : kuman banal, kuman TB, jamur
- Diagnosis : cek sputum, BTA 3X, kultur sputum
- Terapi :
perbaiki keadaan umum dan tanda vital
injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam intra vena
pemberian antibiotic
Pengobatan ISPA/pneumonia dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan
pengobatan umum (oksigen, terapi hidrasi, dan fisioterapi). Kemoterapi
merupakan kunci utama pengobatan pneumonia. Tujuannya ialah untuk
membasmi kuman penyebab pneumonia. Pemberian kemoterapi harus
berdasarkan petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab
infeksinya hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antbiotik).
Berhubung satu dan lain hal, misalnya: penyakit penderita sangat serius dan
perlu pengobatan segera, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti
menjelang terapi, sehingga antibiotik pemberiannya dilakukan secara empirik.
Pengobatan ini harus didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan
cara ini diagnosis yang dibuat diharapkan dapat menunjukkan spektrum
kuman penyebabnya, sehingga AB yang tepat dan rasional dapat dipilih dan
hasilnya dapat diandalkan.
Bila penyakitnya ringan atau sedang, AB diberikan secara oral, sedangkan
bila berat diberatkan parenteral. Pengobatan umunya diberikan selama 7-10
hari pada kasus tanpa komplikasi atau AB diteruskan sampai 3 hari bebas
panas. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka
harus diingat kemungkinan penggunaan AB tertentu perlu penyesuaian dosis.
Referensi :
Pranita NPN. Diagnosis dan tatalaksana terbaru penyakit pleura. Wellness Heal
Mag. 2020;2(1):69–78.
3. Leukositosis
langkah pertama pada setiap pasien dengan leukositosis adalah
mendapatkan CBC dengan diferensial. CBC sebelumnya harus ditinjau
dan dievaluasi untuk setiap tren tertentu. Langkah selanjutnya adalah
mengevaluasi noda perifer dan melakukan diferensial manual jika kelainan
dikumpulkan pada diferensial otomatis. Leukositosis diobati berdasarkan
proses yang mendasari. Misalnya, neutrofilia dapat dihasilkan dari infeksi
yang mendasari, dalam hal ini dokter perlu melakukan anamnesis rinci dan
pemeriksaan fisik serta mendapatkan tes dan pencitraan laboratorium lain
yang relevan untuk menentukan sumber infeksi dan pengobatannya.
Rekonsiliasi pengobatan, seperti penggunaan steroid baru-baru ini, juga
harus diselesaikan untuk menyelidiki leukositosis yang diinduksi obat.
Referensi : Mank V, Brown K. Leukocytosis. 2020 Jul 15. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan–. PMID:
32809717.
4. Fraktur
Fraktuk Kompresi Vertebrae
- Diagnosis
Pemeriksaan radiologi (X-Ray) AP atau PA dan lateral
CT-scan dilakukan apababila pemeriksaan radiografi tidak
mencapai kebutuhan diagnosis
Pemeriksaan Laboratorium : Alkalin fosfat, Kalsium serum dan
fosfor serum.
Pemeriksaan Lainnya :
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas:
dilakukan pada kondisi fraktur dengan komplikasi, pada kondisi
infeksi, maka biasanya didapatkan mikrooganisme penyebab
infeksi
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi
infeksi
3. Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur
4. Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
- Terapi
Terapi operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur baik
orang dewasa muda maupun pada orangtua karena
1) Perlu reduksi yang akurat dan stabil
2) Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi
3) Tindakan operatif dilakukan pemasangan prosthesis moore
5. Anemia
Penatalaksanaan anemia berdasarkan penyebab yang mendasari
anemia. Apakah penyebab karena dari asupannya atau didasarkan dari
kormobidnya (penyakit kronik). Bila disebabkan penyakit kronik :
1) Tidak ada terapi khusus untuk anemia penyakit kronis kecuali untuk
mengelola atau mengobati gangguan yang mendasarinya. Terapi besi tidak
bermanfaat. Erythropoietin dapat membantu pada beberapa pasien dengan
anemia penyakit kronis. Dosisnya adalah 50 hingga 100 U per kg tiga kali
seminggu. Dosis dapat ditingkatkan hingga 150 U per kg per dosis jika
respons terhadap dosis yang lebih rendah tidak memadai. Bila disebabkan
karena asupan yang kurang:
Non Farmakologi
1) Intake minimal 1700 kkal / hari dan 1,7 gr / kg / hari asupan protein
diperlukan untuk mempertahankan anabolisme pada pasien kronis untuk
mencegah dan mengobati anemia. Suplementasi vitamin dan oligomineral
bermanfaat untuk mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan umur
panjang sel darah merah. Anemia pada lansia dapat dicegah dengan nutrisi
yang adekuat, intervensi yang sederhana dan tidak mahal, dan terkait
dengan olahraga fisik mengurangi angka kematian.
Farmakologi
1) Anemia defisiensi Besi
Secara klasik, terapi oral dengan 325 mg besi sulfat tiga kali sehari
telah direkomendasikan untuk mencapai 100 hingga 200 mg zat besi setiap
hari. Zat besi dengan unsur cair dalam dosis serendah 15 mg per hari,
diberikan dengan jus jeruk untuk meningkatkan daya serap, bisa efektif
sambil meminimalkan efek buruk. Rekomendasi umumnya menyarankan
untuk melanjutkan selama tiga hingga enam bulan setelah kadar
hemoglobin dan serum feritin dinormalisasi, yang biasanya terjadi setelah
enam hingga delapan minggu terapi oral.
2) Anemia defisiensi vitamin B12 dan Asam Folat
Vitamin B12 dan folat dapat diganti dengan terapi oral 1 mg per
hari. Penggunaan formulasi parenteral juga efektif, dan pasien yang
memerlukan operasi bypass lambung harus menerima vitamin B12
parenteral. Formulasi parenteral juga dapat diambil pada pasien yang tidak
ingin mengambil suplemen harian. Pasien dengan defisiensi folat harus
dikoreksi secara bersamaan dengan defisiensi vitamin B12 terlebih dahulu,
karena folat dapat mengatasi defisiensi vitamin B12 secara bersamaan.
Mungkin bermanfaat untuk membantu dengan ahli gizi untuk membantu
dengan makanan dan suplementasi vitamin. Pentingnya bantuan atau
penelantaran harus selalu ditawarkan pada pasien yang lebih tua dengan
kekurangan gizi.
Referensi : Bianchi, V. E. (2016). Role of nutrition on anemia in elderly. Clinical
nutrition ESPEN, 11, e1-e11.
6. Imbalance Elektrolit
Terapi Cairan Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar
yaitu ;
Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga
seringkali dapat menyebabkan syok.
Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh
Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui
urine, IWL, dan feses
Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan
didasarkan pada : ~ Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang
dibutuhkan selama 24 jam )
~ Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
Terapi cairan Rumatan Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi
Resusitas
~ Caitran pengganti ( replacement )
~ Sekuestrasi ( cairan third space )
~ Pengganti darah yang hilang
~ Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan
drainase Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat
dilakukan penghitungan untuk menghitung berapa besarnya
cairan yang hilang tersebut : Refraktometer
~Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml Ket. BD
plasma = 0,001 Dari serum Na+
~air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )
Ket. Plasma Na = 140
Referensi : Noohu MM, Dey AB, Hussain ME. Relevance of balance
measurement tools and balance training for fall prevention in older adults. J Clin
Gerontol Geriatr [Internet]. Elsevier Taiwan LLC; 2014[diakses tanggal 6 Mei
2020]; 5(2):31–5.
Referensi :-Marinda Ferina Dwi, Suwandi Jhons Fatriyadi, Karyus Aila. 2016.
Tatalaksana Farmakologi Diabetes Melitus Tipe 2 pada Wanita Lansia dengan
Kadar Gula Tidak Terkontrol Fakultas Kedokteran.Universitas Lampung
- Prasetyo Agung.2019. Tatalaksana Diabetes Melitus pada Pasien Geriatri.
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak,
Indonesia
8. Hipertensi Grade 2
Pemberian terapi anti hipertensi pada pasien sudah tepat yaitu golongan ACEI
(captopril 25 mg). Apabila TD tidak tercapai maka terdapat 3 strategi, yaitu :
1. Strategi A : Mulai dengan 1 obat, titrasi hingga dosis maksimal, dan
tambahkan obat kedua
Hindari kombinasi ACEI dan ARB
a. Jika target TD tidak tercapai dengan obat inisial, titrasi dosis obat
inisial hingga dosis maksimal
b. Jika target TD tidak tercapaidengan 1 obat dengan dosis maksimal,
tambahkan obat kedua, titrasi hingga dosis maksimal
c. Jika target TD tidak tercapai dengan 2 obat, tambahkan obat ketiga.
Titrasi obat hingga dosis maksimal obat
2. Strategi B : Mulai dengan 1 obat, kemudian tambahkan obat kedua
sebelum mencapai dosis maksimal obat pertama
Hindari kombinasi ACEI dan ARB
a. Mulai dengan 1 obat, tambahkan obat kedua sebelum obat inisial
mencapai dosis maksimal kemudian titrasi kedua obat hingga
mencapai dosis maksimal
b. Jika target TD tidak dapat tercapai dengan 2 obat, tambahkan obat
ketiga dan titrasi hingga dosis maksimal
3. Strategi C : Mulai dengan 2 obat sekaligus, baik sebagai 2 sediaan obat
yang berbeda atau sebagai 1 sediaan obat kombinasi. Hindari kombinasi
ACEI dan ARB
Non-medikamentosa:
- Edukasi tentang penyakit yang di derita oleh pasien dan komplikasinya
kepada pasien maupun keluarganya.
- Edukasi kepada pasien bahwa PPOK tidak dapat disembuhkan namun
hanya dapat dikontrol/ dicegah agar tidak terjadi perburukan dan
penatalaksanaannya bersifat seumur hidup.
- Edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang obat-obatan yang
dikonsumsi oleh pasien, berupa kerjanya dan efek sampingnya.
- Konseling tentang bahaya merokok.
- Konseling terhadap faktor resiko lingkungan seperti debu, asap rokok.
- Konseling dan motivasi kepada pasien dan keluarga untuk menerapkan
pola hidup sehat.
- Konseling kepada keluarga pasien tentang pentingnya memberi
dukungan kepada pasien dan mengawasi pengobatan.
- Memberikan edukasi segala hal tentang ppok dan pengaturan pola gaya
hidup yang sehat. Mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3x/minggu
selama ± 30 menit serta diet pada pasien ppok (diet rendah karbohidrat).
- Konseling pasien dan keluarga pasien mengenai pentingnya prinsip
preventif dari pada kuratif.
Medikamentosa:
Secara umum, pemberian obatan-obatan pada PPOK ialah :
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik. Seperti salbutamol, aminofilin, teofilin,
terbutalin.13
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.14
c. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental. Contohnya ialah
glyceryl guaiacolate, acetylcysteine.
d. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. Contohnya seperti
dekstrometorfan.
e. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat. Contoh antibiotik yang sering digunakan ialah penicillin.
10. Malnutrisi
Berdasarkan skenario di peroleh BB 39 kg dan TB 168 cm, di peroleh
nilai IMT 13,81 (Under weight), Pada kasus pasien yang mengalami
penurunan nafsu makan yang harus dilakukan adalah mencari tahu penyebab
lalu setelah itu dilakukan penanganan intake makanannya adekuat. Pada
pasien lansia diberikan makanan dengan nilai gizi tinggi dengan porsi kecil
interval sering.
Penatalaksanaan Gizi
- Diet Rematik
Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan
kadar asam urat dalam darah dan urin.
Pengelompokan Bahan makanan menurut kadar purin dan anjuran
makan
a. Kelompok 1: Kandungan Purin tinggi (100-1000 mg purin/100 g
bahan makanan) sebaiknya dihindari. Otak, hati, jantung, ginjal,
jeroan, ekstrak daging/kaldu, bebek, ikan sardine, makarel, remis,
kerang.
b. Kelompok 2: Kandungan purin sedang yaitu daging sapi dan ikan,
ayam, udang, kacang kering, dan hasil olah
c. Kelompok 3: Kandungan purin rendah yaitu nasi, ubi, singkong,
jagung, roti, mie, bihun, tepung beras, kue kering, pudding, susu,
keju, telur, lemak dan minyak, gula, sayuran dan buah-buahan
Referensi : Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Asosiasi Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Bila ditemukan tanda dan gejala penyakit ginjal, maka yang harus dilakukan
adalah :
Hipertensi
Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi lebih dari
75% pasien dengan gagal ginjal kronik pada stadium manapun. Ini merupakan
penyebab dan akibat gagal ginjal kronik. Bagian pedoman ini menyoroti aspek
kunci pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Aspek ini
termasuk target pembuluh darah, terapi obat awal untuk gagal Universitas
Sumatera Utara ginjal kronik proteinuria dan nonproteinuria, dan pengobatan
hipertensi dalam hubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular renal pembuluh
darah besar.
Diabetes
Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal
kronik dan kejadian kardiovaskular. Kontrol kadar glukosa darah pada pasien
dengan gagal ginjal kronik mungkin bermasalah karena meningkatnya atau
berubahnya sensitivitas terhadap rejimen konvensional, bervariasi anjuran diet dan
masalah kepatuhan terkait dengan diperlukannya kerumitan dalam perawatan.
Karena itu, penting untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya kontrol
glikemik bagi pasien ini. Saat ini terdapat keterbatasan bukti untuk membimbing
rekomendasi pengobatan diabetik pada populasi gagal ginjal kronik . Akibatnya,
pernyataan terbatas dalam lingkup. Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk
mengganti Canadian Diabetes Association Guidelines tetapi lebih untuk fokus
pada aspek perawatan spesifik untuk pasien dengan gagal ginjal kronik . Informasi
tambahan tersedia pada pedoman praktek klinis dari Canadian Diabetes
Association.
Pedoman gaya hidup
Faktor Ekstrinsik :
Penyebab jatuh yang ekstrinsik adalah faktor lingkungan seperti
penghalang, pencahayaan ambient yang tidak memadai, alas kaki dan
pakaian yang tidak memadai, lantai yang tidak rata atau licin, adanya anak
tangga, kurangnya pegangan tangan, ketinggian tempat tidur yang tidak
memadai, kursi yang tidak memadai, kursi yang tidak memadai, kamar
mandi yang tidak memadai, lingkungan yang tidak dikenal. Yang sangat
penting dalam konteks ini adalah penurunan akibat penyebab iatrogenik:
asupan 4 atau lebih obat (khususnya antihipertensi, diuretik,
benzodiazepin, antidepresan) dianggap sebagai faktor risiko independen
jatuh. Berdasarkan dari teori diatas, factor yang menyebabkan pasien
tersebut jatuh ada pada factor intrinsic dan pada faktor ekstrinsik.
Berdasarkan dari scenario, factor instrinsik yang dapat dihubungkan
berupa perubahan dalam sistem saraf pusatnya dan perubahan dalam
sistem muskuloskeletalnya. Hal ini dapat dikaitkan bahwan pada usia
lansia, memiliki ketidakstabilan untuk berdiri diikuti dengan postur pasien
yang bungkuk ke depan dengan kondisi bila berjalan agak pincang .Hal
tersebut dikarena juga predisposisi patologi yang dialami pasien yaitu lutut
pasien sering sakit dan bengkak. Maka, apabila pasien jatuh kekuatan otot
berkurang untuk menjaga keseimbang pasien dan integrasi input sensorik
dan respon motoriknya berkurang. Bila diakitkan dengan factor ekstrinsik
dapat dihubungkan dengan factor lingkungan pasien yang alas kaki
digunakan tidak sangat aman untuk kondisi pasien, atau lantai yang licin
meningkatkan resiko untuk pasien jatuh. Selain itu, penggunaan obat yaitu
glibenklamid dimana memberika efek samping hipoglikemi pada pasien
dapt menjadi salah satu resiko pasien untuk jatuh.
Referensi: Pasquetti, P., Apicella, L., & Mangone, G. (2014). Pathogenesis and
treatment of falls in elderly. Clinical cases in mineral and bone metabolism, 11(3),
222.
GLIMEPIRID
Efek Samping
Efek samping utama yang perlu diperhatikan dalam penggunaan glimepiride
adalah hipoglikemia.
Efek Samping yang Sering Terjadi
Hipoglikemia dapat terjadi pada 4-20% pengguna glimepiride. Pengeluaran
insulin dengan pemberian sulfonilurea dapat terjadi tanpa melihat kadar glukosa
dalam darah. Penyakit ginjal dapat memperpanjang waktu kerja glimepiride dan
menyebabkan hipoglikemia yang lebih berat. Hipoglikemia yang terjadi dapat
berat dan bersifat fatal sehingga obat perlu digunakan dengan hati-hati pada
pasien geriatri.
Efek Samping yang Lebih Jarang Terjadi
Efek samping yang lebih jarang terjadi adalah pusing (1.7%), astenia (1.6%),
nyeri kepala (1.5%), dan mual (1.1%).
Efek Samping yang Sangat Jarang Terjadi
Efek samping yang sangat jarang terjadi (<1%) adalah reaksi alergi kulit, ruam
kulit, pruritus, urtikaria, diare, nyeri perut, muntah, agranulositosis, anemia,
anemia aplastik, leukopenia, pansitopenia, trombositopenia, kolestasis, gangguan
fungsi hati, reaksi porfiria, kuning, dan hiponatremia.
Terdapat juga reaksi alergi terhadap glimepiride yang
dilaporkan postmarketing hingga terjadi anafilaksis, angioedema, dan sindroma
Steven-Johnson.
Obat golongan sulfonilurea dapat menyebabkan anemia hemolitik pada pasien
dengan defisiensi glucose 6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Terdapat juga
laporan yang menyatakan terjadinya anemia hemolitik pada pasien tanpa
defisiensi G6PD.
CAPTOPRIL
Efek Samping:
Efek samping dari captopril yang sering terjadi adalah hilangnya rasa (kadang-
kadangjuga penciuman), batuk kering, exanthema ( ruam-ruam pada kulit).
Referensi : - Nazari, Nuri, Rusli Yusuf, and Teuku Tahlil. "Dukungan dan
karakteristik keluarga dengan pemenuhan nutrisi pada lansia." Jurnal Ilmu
Keperawatan 4.2 (2016).
-MENGKO, CORNELIS YOHNI. ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) PADA PASIEN Tn.“T” DI RUANG
BOUGENVIL RUMAH SAKIT dr. SOEDJONO MAGELANG. Diss. poltekkes
kemenkes yogyakarta, 2018.
-Davis SN. The role of glimepiride in the effective management of Type 2
diabetes. Journal of Diabetes and its Complications [Internet]. 2004;18(6):367–76.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15531188
-Sola D, Rossi L, Schianca GPC, Maffioli P, Bigliocca M, Mella R, et al. State of
the art paper Sulfonilureas and their use in clinical practice. Archives of Medical
Science [Internet]. 2015;11(4):840–8. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26322096
-Basit A, Riaz M, Fawwad A. Glimepiride: evidence-based facts, trends, and
observations. Vascular Health and Risk Management [Internet]. 2012;(8):463–72.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23028231
-Sanofi-Aventis. Amaryl (Glimperide tablets) [Internet]. FDA. FDA; 2008.
Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2009/020496s021lbl.pdf
-Sanofi-Aventis. Highlights of Prescribing Information Amaryl [Internet]. FDA.
FDA; 2013. Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2013/020496s026lbl.pdf
4. Mengapa kedua tungkai tidak dapat digerakkan tetapi masih terasa apabila
dicubit?
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan atau trauma. Apabila cedera itu mengenai
daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi
motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Trauma
medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan
fungsi motorik volunteer.
Pada penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian
sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray
matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau
huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya.
Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta
banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area
ini berwarna menjadi lebih gelap.
Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur- dislokasi,
fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1. Fraktur
tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada
tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti
vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau
berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.
Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix ventralis dan
sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan. Radix saraf ini
keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis.
Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna
vertebralis, sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian
bawah korpus vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang
keluar dari medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap
struktur superfisial dan profunda tubuh. Efek trauma yang tidak dapat langsung
bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada
medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma
tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan
berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Jadi berdasarkan skenario gejala klinis yang ditemukan Setelah jatuh,
penderita langsung tidak dapat berdiri lagi karena ke 2 tungkainya lumpuh tetapi
kalau dicubit masih terasa sakit.kemungkinan terjadinya lesi di medula spinalis
pars lumbar incomplete atau terjadinya lesi di radix ventralis.