Anda di halaman 1dari 36

SKENARIO 1

Anamnesis : Seorang laki-laki umur 70 tahun masuk rumah sakit dengan


keluhan jatuh terduduk akibat menginjak keset kaki di depan kamar tidurnya.
Keadaan ini baru saja terjadi sekitar 2 jam yang lalu. Setelah jatuh, penderita
langsung tidak dapat berdiri lagi karena ke 2 tungkainya lumpuh tetapi kalau
dicubit masih terasa sakit. Beberapa hari terakhir ini sebelum jatuh, penderita
terdengar batuk-batuk disertai lendir agak kental, kadang sesak napas, tetapi
tidak demam dan sulit sekali mengeluarkan lendir. Nafsu makan juga sangat
menurun sejak 2 minggu terakhir ini. Buang air besar dan buang air kecil baik
dan lancar. Riwayat penyakit selama ini sejak 25 tahun menderita kencing manis
dengan minum obat Glimepirid 2 mg secara teratur, tekanan darah tinggi dengan
obat Captopril 25 mg secara teratur. Penderita juga sejak muda mempunyai
riwayat sering sesak napas dan memakai obat yang disemprot atau diisap.
Riwayat perokok aktif sejak muda rata-rata sehari 4-5 bungkus dan baru 2 tahun
belakangan ini berhenti.
Pemeriksaan fisik : TD : 170/90 mmHg, N: 98 x/menit, P: 30 x/menit, S: 37o
C. Konjungtiva tampak anemis, sklera tidak ikterus. Pemeriksaan Auskultasi Paru
: terdengar bunyi ronkhi basah kasar di seluruh lapangan ke dua paru, terdengar
juga bunyi wheezing di kedua lapangan paru. Jantung dalam batas normal.
Pemeriksaan abdomen hepar & limpa tak teraba. Kedua tungkai tidak dapat
digerakkan, tetapi masih terasa bila diraba dan sakit bila dicubit. BB 39 kg & TB
168 cm.
Pemeriksaan penunjang : Pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar Hb
10,5 gr%, Leukosit 14.500/mm3 GD puasa 135 mg/dl, GD2jamPP 289 mg/dl,
ureum 67 mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, protein total 5,6 gr/dL, albumin 2,6 gr/dL,
asam urat 6,5 mg/dL. Elektrolit natrium 126 mmoL/L, kalium 3,2 mmoL/L, klorida
91 mmoL/L.
Pemeriksaan toraks foto : tampak perselubungan homogen pada medial dan
basal ke dua paru.
Pemeriksaan lain (CGA) : Penilaian ADL dengan Indeks Barthel pada saat MRS
7/20 dimana sebelum MRS 17/20, Abbrevited Mental Test (AMT) 8/10, Mini
Mental State Examination (MMSE) 27/30, Geriatric Depresion Test (GDS) 9/10
dan Mini Nutrision Assesment (MNA) 15/30

Kata sulit :
Glimepiride : obat untuk mengendalikan gula darah pada DM tipe 2

Kata kunci :
- Laki-laki usia 70 tahun, MRS dengan keluhan jatuh terduduk
- Penderita tidak dapat berdiri karena karena kedua tungkainya lumpuh,
tetapi kalau dicubit masih sakit
- Sebelum jatuh, penderita terdengar batu batuk disertai lender agak kental,
kadang sesak, tetapi tidak demam dan sulit mengeluarkan lender
- Nafsu makan menurun sejak 2 minggu terakhir
- BAK BAB lancar
- Riw penyakit sejak 25 tahun menderita kencing manis dengan
mengonsumsi glimepiride dan tekanan darah tinggi dgn obat captopril 25
mg
- Penderita mempunyai Riwayat sering sesak sanapas dan memekai oabt
yang disemprot atau diissap
- Riwayat perokok aktif sejak muda
- TD : 179/90 mmHg, N98x/menit, P : 30X/menit, S: 37 c
- Konjungtiva tampak anemis, sklera tidak icterus
- Auskultasi : terdengar bunyi ronkhi basah kasar diseluruh lapangan paru,
terdengar juga bunti wheezing dikedua lapangan paru
- Jantung dalam batas normal, abdomen dan hepar tidak teraba
- BB : 39 Kg dan Tb : 168cm
- Hb : 10,5 gr%, leukosit 14.500/mm3, GDP 135 mg/dl, GD2PP 289 g,
ureum 67 mg/dL, kreatinin 1,5 mg/dL, protein total 5,6 gr/dL, albumin 2,6
gr/dL, asam urat 6,5 mg/dL. Elektrolit natrium 126 mmoL/L, kalium 3,2
mmoL/L, klorida 91 mmoL/L.
- Foto thoraks : tampak perselubungan homogen pada medial dan basal paru
- Penilaian ADL dengan Indeks Barthel pada saat MRS 7/20 dimana
sebelum MRS 17/20, Abbrevited Mental Test (AMT) 8/10, Mini Mental
State Examination (MMSE) 27/30, Geriatric Depresion Test (GDS) 9/10
dan Mini Nutrision Assesment (MNA) 15/30

Daftar Masalah
1. Fraktur
2. Pneumonia
3. DM Tipe 2
4. Hipertensi Grade 2
5. PPOK
6. Malnutrisi
7. Leukositosis
8. Efusi Pleural Bilateral
9. Peningkatan Faal Ginjal (Susp. CKD)
10. Hipoalbuminemia
11. Imbalance Elektrolit
12. Anemia
13. Status kemandirian ketergantungan berat

No. Daftar Masalah Alasan Sesusai Skenario


1. Fraktur Jatuh terduduk dan tidak dapat berdiri lagi
dan lumpuh
2. Pnemonia -Batuk-batuk disertai lendir agak kental,
kadang sesak napas
-Suhu 37oC
-Terdengar bunyi ronkhi basah kasar
diseluruh lapangan paru, terdengar juga bunti
wheezing dikedua lapangan paru

3. DM tipe 2 GD puasa 135 mg/dl, GD2jamPP 289 mg/dl


4. Hipertensi Grade 2 TD : 170/90 mmHg
5. PPOK Penderita juga sejak muda mempunyai
riwayat sering sesak napas dan memakai
obat yang disemprot atau diisap. Riwayat
perokok aktif sejak muda rata-rata sehari 4-5
bungkus
6. Malnutrisi -Nafsu makan menurun
-IMT underweight
7. Leukositosis Leukosit 14.500/mm3
8. Efusi Pleural Bilateral Pemeriksaan toraks foto : tampak
perselubungan homogen pada medial dan
basal ke dua paru
9. Peningkatan Faal - Ureum 67 mg/dL
Ginjal (Susp. CKD) - Kreatinin 1,5 mg/dL
10. Hipoalbuminemia -Albumin 2,6 gr/dL
11. Imbalance Elektrolit -Elektrolit natrium 126 mmoL/L
- Kalium 3,2 mmoL/L
- Klorida 91 mmoL/L
12. Anemia Kadar Hb 10,5 gr%,
13. Status Kemandirian Indeks Barthel pada saat MRS 7/20 dimana
Ketergantungan Berat sebelum MRS 17/20

Skala Prioritas :
1. Pnemonia
- Assesment : Etiologi : kuman banal, kuman TB, jamur
- Diagnosis : cek sputum, BTA 3X, kultur sputum
- Terapi :
 perbaiki keadaan umum dan tanda vital
 injeksi ceftriaxone 2gr/24 jam intra vena
 pemberian antibiotic
Pengobatan ISPA/pneumonia dilakukan dengan pemberian kemoterapi dan
pengobatan umum (oksigen, terapi hidrasi, dan fisioterapi). Kemoterapi
merupakan kunci utama pengobatan pneumonia. Tujuannya ialah untuk
membasmi kuman penyebab pneumonia. Pemberian kemoterapi harus
berdasarkan petunjuk penemuan kuman apa yang menjadi penyebab
infeksinya hasil kultur sputum dan tes sensitivitas kuman terhadap antbiotik).
Berhubung satu dan lain hal, misalnya: penyakit penderita sangat serius dan
perlu pengobatan segera, kuman penyebab infeksi belum dapat diketahui pasti
menjelang terapi, sehingga antibiotik pemberiannya dilakukan secara empirik.
Pengobatan ini harus didasarkan atas diagnosis mikrobiologi empirik. Dengan
cara ini diagnosis yang dibuat diharapkan dapat menunjukkan spektrum
kuman penyebabnya, sehingga AB yang tepat dan rasional dapat dipilih dan
hasilnya dapat diandalkan.
Bila penyakitnya ringan atau sedang, AB diberikan secara oral, sedangkan
bila berat diberatkan parenteral. Pengobatan umunya diberikan selama 7-10
hari pada kasus tanpa komplikasi atau AB diteruskan sampai 3 hari bebas
panas. Apabila terdapat penurunan fungsi ginjal akibat proses penuaan, maka
harus diingat kemungkinan penggunaan AB tertentu perlu penyesuaian dosis.

Antibiotik yang diberikan


a) Pengobatan rawat jalan
1. Makrolida (eritromisin 500 mg setiap 6 jam secara oral × 10 hari,
klaritromisin 500 mg dua kali sehari secara oral × 10 hari atau
azitromisin 500 mg oral sekali sehari kemudian 250 mg sekali sehari
secara oral × 4 hari
2. Doxycycline 100 mg dua kali sehari secara oral × 10 hari.
Jika timbul penyakit paru-paru obstruktif kronis atau antibiotik telah
telah diberikan dalam 3 bulan yang lalu
3. Fluorokuinolon bisa digunakan melawan S. Pneumonia ; misalnya,
levofloxacin, moksifloksasin, gatifloksasin. Levofloxacin 750 mg
sekali sehari secara oral atau IV. Jika kreatinin
< 50 mL / min, kurangi levofloxacin dosis 250 mg sekali sehari.
Moksifloksasin 400 mg sekali sehari secara oral; Gatifloksasin 400
mg sekali sehari secara oral atau IV.
4. Terapi kombinasi dengan  β -lactam antibiotik ditambah macrolide
b) Pengobatan dirawat di rumah sakit
1. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk melawan S. pneumoniae;
misalnya, levofloxacin, moksifloksasin, gatifloksasin. Levofloxacin
750 mg sekali sehari IV atau oral, Jika kreatinin <50 mL / min,
Kurangi levofloxacin dosis 250 mg sekali sehari. Moksifloksasin
400 mg sekali sehari secara oral; Gatifloksasin 400 mg sekali sehari
IV atau oral.
2. Ceftriaxone 1 g sekali sehari IV atau sefotaksim 2 g setiap 6 jam IV
ditambah azitromisin 500 mg sekali sehari diberikan secara IV
c) Pengobatan dirawat di ICU
1. Azitromisin 1 gram IV 500 mg IV sekali sehari ditambah ceftriaxone
1 g setiap 12 jam diberikan IV atau cefotaxime 2 g diberikan per 6
jam IV (ceftazidime dan aminoglikosida jika suspek infeksi
Pseudomonas aeruginosa; piperacillin/Tazobactam; imipenem,
meropenem, cefipime dan aktivitas ciprofloxacin bisa melawan  P.
Aeruginosa
2. Fluorokuinolon bisa digunakan untuk melawan S.pneumonia
(Tidak disarankan sebagai pilihan pertama karena kurangnya data
percobaan klinis dalam pengaturan ICU) Jika infeksi MRSA diduga
di salah satu pengaturan di atas, ditambahkan Vancomycin 1 g
setiap 12 jam IV atau Linezolid 600 mg IV atau oral setiap 12 jam.
Hidrasi penderita harus diperhatikan. Pada keadaan penyakit yang ringan
rehidrasi dapat dilakukan secara oral, sedangkan pada penyakit yang berat,
rehidrasi dilakukan secara parenteral, menggunakan larutan elektrolit.
Pada pneumonia usia lanjut, fisioterapi harus diberikan. Penderita perlu tirah
baring dan posisi penderita perlu diubah-ubah untuk menghindari timbulnya
pneumonia hipostatik, kelemahan dan dekubitus.
- Edukasi dan Pencegahan
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien mengenai keadaan
pasien tentang pembatasan aktivitas kegiatan sehari-harinya supaya
keluarga membantu bila pasien tidak dapat melakukan aktivitasnya
secara mandiri
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien agar pasien tidak
terlalu banyak melakukan aktivitas yang dapat meningkatkan beban
kerja jantung
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien untuk merubah
posisi tidur miring ke kanan dan kiri setiap 2 jam sekali untuk
mengurangi risiko terjadinya luka di punggung.
Referensi : -Darmojo, R Boedhi. 2009. Buku Ajar Geriatri (Ilmu kesehtan usia
lanjut) edisi ke-4 Jakarta: Balai penerbit FKUI
- Southwick F.Pulmonary Infection.Infectious Disease a clinical Short Course
2nd`ed.London: McGraw-Hill,2007

2. Efusi Pleura Bilateral

Thorakosintesis diindikasikan untuk efusi pleura baru yang tidak tau


penyebabnya. Obeservasi dan optimal medical therapy (OMT) tanpa dilakukan
thorasentesis merupakan hal yang wajar dalam penanganan efusi pleura karena
gagal jantung atau setelah operasi CABG. Namun manifestasi lain (seperti
demam, pleuritis; radang selaput dada) atau kegagalan untuk menanggapi terapi
pada pasien harus segera dipertimbangkan dilakukan thorasentesis diagnostik.
Pemeriksaan laboratorium analisis cairan pleura, penampilan makroskopis cairan
pleura harus diperhatikan saat dilakukan thoracentesis, karena dapat menegakkan
diagnosis. Cairan bisa sifatnya serosa, serosanguineous (ternoda darah),
hemoragik, atau bernanah. Cairan berdarah (hemoragik) sering terlihat pada
keganasan, emboli paru dengan infark paru, trauma, efusi asbes jinak, atau
sindrom cedera jantung. Cairan purulen dapat dilihat pada empiema dan efusi
lipid. Sebagai tambahan. bau busuk dapat menyebabkan infeksi anaerob dan bau
amonia menjadi urinothorax. Karakterisasi cairan pleura sebagai transudat atau
eksudat membantu menyingkirkan diagnosis banding dan mengarahkan
pemeriksaan selanjutnya. Berbagai organisme dapat menyebabkan infeksi pada
rongga pleura, yang paling khas adalah Streptococcus pneumonia, Streptococcus
milleri, Staphylococcus aureus, dan Enterobacteriaceae Anaerob juga telah
dikultur pada 36% hingga 70% dari Empiema. Akibatnya, antibiotik empiris
untuk mentatalaksana infeksi pleura harus berasal dari spectrum luas. Penggunaan
fibrinolitik intrapleural telah dipelajari dalam efusi parapneumonik yang rumit
dan telah menunjukkan

Referensi :
Pranita NPN. Diagnosis dan tatalaksana terbaru penyakit pleura. Wellness Heal
Mag. 2020;2(1):69–78.

3. Leukositosis
langkah pertama pada setiap pasien dengan leukositosis adalah
mendapatkan CBC dengan diferensial. CBC sebelumnya harus ditinjau
dan dievaluasi untuk setiap tren tertentu. Langkah selanjutnya adalah
mengevaluasi noda perifer dan melakukan diferensial manual jika kelainan
dikumpulkan pada diferensial otomatis. Leukositosis diobati berdasarkan
proses yang mendasari. Misalnya, neutrofilia dapat dihasilkan dari infeksi
yang mendasari, dalam hal ini dokter perlu melakukan anamnesis rinci dan
pemeriksaan fisik serta mendapatkan tes dan pencitraan laboratorium lain
yang relevan untuk menentukan sumber infeksi dan pengobatannya.
Rekonsiliasi pengobatan, seperti penggunaan steroid baru-baru ini, juga
harus diselesaikan untuk menyelidiki leukositosis yang diinduksi obat.
Referensi : Mank V, Brown K. Leukocytosis. 2020 Jul 15. In: StatPearls
[Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2021 Jan–. PMID:
32809717.
4. Fraktur
Fraktuk Kompresi Vertebrae
- Diagnosis
 Pemeriksaan radiologi (X-Ray) AP atau PA dan lateral
 CT-scan dilakukan apababila pemeriksaan radiografi tidak
mencapai kebutuhan diagnosis
 Pemeriksaan Laboratorium : Alkalin fosfat, Kalsium serum dan
fosfor serum.
 Pemeriksaan Lainnya :
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan tes sensitivitas:
dilakukan pada kondisi fraktur dengan komplikasi, pada kondisi
infeksi, maka biasanya didapatkan mikrooganisme penyebab
infeksi
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama
dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih diindikasikan bila terjadi
infeksi
3. Elektromiografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur
4. Artroskopi: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya
infeksi pada tulang
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
- Terapi
Terapi operatif hampir selalu dilakukan pada penderita fraktur baik
orang dewasa muda maupun pada orangtua karena
1) Perlu reduksi yang akurat dan stabil
2) Diperlukan mobilisasi yang cepat pada orang tua untuk mencegah
komplikasi
3) Tindakan operatif dilakukan pemasangan prosthesis moore

- Pencegahan dan Edukasi :


1) perawatan lantai yakni pembersihan dari ganggang yang menyebabkan
licin, serta terkena material yang licin seperti sabun ditambah material
yang licin yakni terpeleset bibir kloset keramik saat menumpukan kaki
untuk membersihkan kaki.
2) Teras memerlukan desain penutup atap yang dapat mencegah tampias
serta mengurangi kemungkinan terjadinya kebocoran. Teras juga sering
menjadi area transisi aktivitas yang mungkin berkenaan dengan air seperti
menyiram tanaman dan menjemur sehingga desain lantai teras perlu sebisa
mung- kin mengurangi kemungkinan air menggenang.
3) Penyediaan pegangan yang aman juga berpotensi mencegah
kasus jatuh pada kondisi berbahaya menjadi hanya hampir jatuh.
Pertimbangan desain yang sesuai dengan kebutuhan sehari-hari lansia
dapat mengurangi ke- mungkinan lansia menambahkan objek tidak
permanen yang tidak direncanakan dengan baik dan dapat menjadi
pengganggu di area jalan.
Referensi : Setiati S, Laksmi P. Gangguan Keseimbangan, Jatuh, dan Fraktur.
Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, editors. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-5.
Jakarta: Internal Publishing; 2009. hlm. 812.

5. Anemia
Penatalaksanaan anemia berdasarkan penyebab yang mendasari
anemia. Apakah penyebab karena dari asupannya atau didasarkan dari
kormobidnya (penyakit kronik). Bila disebabkan penyakit kronik :
1) Tidak ada terapi khusus untuk anemia penyakit kronis kecuali untuk
mengelola atau mengobati gangguan yang mendasarinya. Terapi besi tidak
bermanfaat. Erythropoietin dapat membantu pada beberapa pasien dengan
anemia penyakit kronis. Dosisnya adalah 50 hingga 100 U per kg tiga kali
seminggu. Dosis dapat ditingkatkan hingga 150 U per kg per dosis jika
respons terhadap dosis yang lebih rendah tidak memadai. Bila disebabkan
karena asupan yang kurang:
Non Farmakologi
1) Intake minimal 1700 kkal / hari dan 1,7 gr / kg / hari asupan protein
diperlukan untuk mempertahankan anabolisme pada pasien kronis untuk
mencegah dan mengobati anemia. Suplementasi vitamin dan oligomineral
bermanfaat untuk mengurangi stres oksidatif dan meningkatkan umur
panjang sel darah merah. Anemia pada lansia dapat dicegah dengan nutrisi
yang adekuat, intervensi yang sederhana dan tidak mahal, dan terkait
dengan olahraga fisik mengurangi angka kematian.
Farmakologi
1) Anemia defisiensi Besi
Secara klasik, terapi oral dengan 325 mg besi sulfat tiga kali sehari
telah direkomendasikan untuk mencapai 100 hingga 200 mg zat besi setiap
hari. Zat besi dengan unsur cair dalam dosis serendah 15 mg per hari,
diberikan dengan jus jeruk untuk meningkatkan daya serap, bisa efektif
sambil meminimalkan efek buruk. Rekomendasi umumnya menyarankan
untuk melanjutkan selama tiga hingga enam bulan setelah kadar
hemoglobin dan serum feritin dinormalisasi, yang biasanya terjadi setelah
enam hingga delapan minggu terapi oral.
2) Anemia defisiensi vitamin B12 dan Asam Folat
Vitamin B12 dan folat dapat diganti dengan terapi oral 1 mg per
hari. Penggunaan formulasi parenteral juga efektif, dan pasien yang
memerlukan operasi bypass lambung harus menerima vitamin B12
parenteral. Formulasi parenteral juga dapat diambil pada pasien yang tidak
ingin mengambil suplemen harian. Pasien dengan defisiensi folat harus
dikoreksi secara bersamaan dengan defisiensi vitamin B12 terlebih dahulu,
karena folat dapat mengatasi defisiensi vitamin B12 secara bersamaan.
Mungkin bermanfaat untuk membantu dengan ahli gizi untuk membantu
dengan makanan dan suplementasi vitamin. Pentingnya bantuan atau
penelantaran harus selalu ditawarkan pada pasien yang lebih tua dengan
kekurangan gizi.
Referensi : Bianchi, V. E. (2016). Role of nutrition on anemia in elderly. Clinical
nutrition ESPEN, 11, e1-e11.
6. Imbalance Elektrolit
Terapi Cairan Penatalaksanaan terapi cairan meliputi dua bagian dasar
yaitu ;
 Resusitasi cairan
Ditujukan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh, sehingga
seringkali dapat menyebabkan syok.
 Terapi rumatan
Bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tub uh dan nutrisi
yang diperlukan oleh tubuh
 Mengganti kehilangan air dan elektrolit yang normal melaui
urine, IWL, dan feses
 Membuat agar hemodinamik agar tetap dalam keadaan stabil
 Pada penggantian cairan, maka jenis cairan yang digunakan
didasarkan pada : ~ Cairan pemeliharaan ( jumlah cairan yang
dibutuhkan selama 24 jam )
~ Cairan defisit ( jumlah kekurangan cairan yang terjadi )
 Terapi cairan Rumatan Kristaloid Koloid Elektrolit Nutrisi
Resusitas
~ Caitran pengganti ( replacement )
~ Sekuestrasi ( cairan third space )
~ Pengganti darah yang hilang
~ Pengganti cairan yang hilang melalui fistel, maag slang dan
drainase Untuk mengganti cairan tubuh yang hilang dapat
dilakukan penghitungan untuk menghitung berapa besarnya
cairan yang hilang tersebut : Refraktometer
~Defisit cairan : BD plasma – 1,025 x BB x 4 ml Ket. BD
plasma = 0,001 Dari serum Na+
~air yang hilang : 0,6 Berat Badan x BB (Plasma Natrium – 1 )
Ket. Plasma Na = 140
Referensi : Noohu MM, Dey AB, Hussain ME. Relevance of balance
measurement tools and balance training for fall prevention in older adults. J Clin
Gerontol Geriatr [Internet]. Elsevier Taiwan LLC; 2014[diakses tanggal 6 Mei
2020]; 5(2):31–5.

7. Diabetes Melitus Tipe 2

Tatalaksana : Pasien pada skenario dapat dikatakan menderita DM tipe 2,


karena pada skenario dikatakan pasien mengkonsumsi Glimepirid 2 mg secara
teratur tapi pada hasil pemeriksaan GDP dan GD2PP, hasilnya menunjukkan
bahwa pasien mengalami hiperglikemi. Untuk penanganan awal kita dapat
melakukan koreksi dosis obat yang diberikan sebelumnya kemudian jika tidak
ada perubahan bisa kita ganti obatnya atau kombinasikan metformin tablet 2 x
500mg. Metformin adalah agen lini pertama untuk DM tipe 2. Metformin
aman dan efektif bagi pasien lansia karena tidak menyebabkan hipoglikemia.
Tatalaksana nonfarmakologis meliputi edukasi mengenai anjuran pola makan
dan olahraga.

Referensi :-Marinda Ferina Dwi, Suwandi Jhons Fatriyadi, Karyus Aila. 2016.
Tatalaksana Farmakologi Diabetes Melitus Tipe 2 pada Wanita Lansia dengan
Kadar Gula Tidak Terkontrol Fakultas Kedokteran.Universitas Lampung
- Prasetyo Agung.2019. Tatalaksana Diabetes Melitus pada Pasien Geriatri.
Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjungpura, Pontianak,
Indonesia

8. Hipertensi Grade 2

Pemberian terapi anti hipertensi pada pasien sudah tepat yaitu golongan ACEI
(captopril 25 mg). Apabila TD tidak tercapai maka terdapat 3 strategi, yaitu :
1. Strategi A : Mulai dengan 1 obat, titrasi hingga dosis maksimal, dan
tambahkan obat kedua
Hindari kombinasi ACEI dan ARB
a. Jika target TD tidak tercapai dengan obat inisial, titrasi dosis obat
inisial hingga dosis maksimal
b. Jika target TD tidak tercapaidengan 1 obat dengan dosis maksimal,
tambahkan obat kedua, titrasi hingga dosis maksimal
c. Jika target TD tidak tercapai dengan 2 obat, tambahkan obat ketiga.
Titrasi obat hingga dosis maksimal obat
2. Strategi B : Mulai dengan 1 obat, kemudian tambahkan obat kedua
sebelum mencapai dosis maksimal obat pertama
Hindari kombinasi ACEI dan ARB
a. Mulai dengan 1 obat, tambahkan obat kedua sebelum obat inisial
mencapai dosis maksimal kemudian titrasi kedua obat hingga
mencapai dosis maksimal
b. Jika target TD tidak dapat tercapai dengan 2 obat, tambahkan obat
ketiga dan titrasi hingga dosis maksimal
3. Strategi C : Mulai dengan 2 obat sekaligus, baik sebagai 2 sediaan obat
yang berbeda atau sebagai 1 sediaan obat kombinasi. Hindari kombinasi
ACEI dan ARB

Referensi : Widyati. Praktik Farmasi Klinik. Surabaya : Uwais Inspirasi


Indonesia. 2019

9. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)

Berdasarkan skenario, di curigai pasien mengalami PPOK ditandai


dengan pemeriksaan auskultasi paru pada pasien di dengar bunyi ronkhi basah
kasar di seluruh lapangan kedua paru dan terdengar juga bunyi wheezing di
kedua lapangan paru

Adapun faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit PPOK ialah


 Kebiasaan merokok yang masih tinggi baik perokok aktif, pasif ataupun
bekas perokok;
 Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di
pertambangan;
 Terjadi pada lansia;
 Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang (seperti bronkitis, TB);
Sedangkan gejala yang ditimbulkan pada pasien PPOK berupa sesak nafas, batuk
disertai dengan sputum, aktifitas yang terbatas, penurunan berat badan.

Non-medikamentosa:
- Edukasi tentang penyakit yang di derita oleh pasien dan komplikasinya
kepada pasien maupun keluarganya.
- Edukasi kepada pasien bahwa PPOK tidak dapat disembuhkan namun
hanya dapat dikontrol/ dicegah agar tidak terjadi perburukan dan
penatalaksanaannya bersifat seumur hidup.
- Edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang obat-obatan yang
dikonsumsi oleh pasien, berupa kerjanya dan efek sampingnya.
- Konseling tentang bahaya merokok.
- Konseling terhadap faktor resiko lingkungan seperti debu, asap rokok.
- Konseling dan motivasi kepada pasien dan keluarga untuk menerapkan
pola hidup sehat.
- Konseling kepada keluarga pasien tentang pentingnya memberi
dukungan kepada pasien dan mengawasi pengobatan.
- Memberikan edukasi segala hal tentang ppok dan pengaturan pola gaya
hidup yang sehat. Mengenai olahraga yang minimal dilakukan 3x/minggu
selama ± 30 menit serta diet pada pasien ppok (diet rendah karbohidrat).
- Konseling pasien dan keluarga pasien mengenai pentingnya prinsip
preventif dari pada kuratif.

Medikamentosa:
Secara umum, pemberian obatan-obatan pada PPOK ialah :
a. Bronkodilator
Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi kecuali pada eksaserbasi
digunakan oral atau sistemik. Seperti salbutamol, aminofilin, teofilin,
terbutalin.13
b. Anti inflamasi
Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau prednison. Untuk penggunaan
jangka panjang pada PPOK stabil hanya bila uji steroid positif. Pada
eksaserbasi dapat digunakan dalam bentuk oral atau sistemik.14
c. Mukolitik
Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai pengobatan
simtomatik bila tedapat dahak yang lengket dan kental. Contohnya ialah
glyceryl guaiacolate, acetylcysteine.
d. Antitusif
Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat mengganggu.
Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi. Contohnya seperti
dekstrometorfan.
e. Antibiotik
Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk pencegahan
eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi disesuaikan dengan pola
kuman setempat. Contoh antibiotik yang sering digunakan ialah penicillin.

Setelah dilakukan intervensi, pasien dan keluarganya sudah mulai mengalami


perubahan seperti:
- Sering melakukan kontrol ke puskesmas.
- Menjaga kebersihan rumah dan menghindari faktor pemberat seperti debu
dengan cara memakai masker jika ingin keluar rumah, yang dikarenakan
lingkungan rumah yang banyak akan debu.
- Berhenti merokok.

Referensi : Saftarina F, Anggraini DI, Ridho M. Penatalaksanaan Penyakit Paru


Obstruktif Kronis pada Pasien Laki-Laki Usia 66 Tahun Riwayat Perokok Aktif
dengan Pendekatan Kedokteran Keluarga di Kecamatan Tanjung Sari Natar. J
Agromed Unila. 2017;4(1):143–51.

10. Malnutrisi
Berdasarkan skenario di peroleh BB 39 kg dan TB 168 cm, di peroleh
nilai IMT 13,81 (Under weight), Pada kasus pasien yang mengalami
penurunan nafsu makan yang harus dilakukan adalah mencari tahu penyebab
lalu setelah itu dilakukan penanganan intake makanannya adekuat. Pada
pasien lansia diberikan makanan dengan nilai gizi tinggi dengan porsi kecil
interval sering.

Penatalaksanaan Gizi

- Diet Rendah Garam:


Membantu menghilangkan retensi garam atau air dalam jaringan tubuh
dan menurunkan tekanan darah pada pasien hipertensi
Bahan Makanan yang dianjurkan adalah sebagai berikut:
a. Sumber Karbohidrat: beras, kentang, singkong, terigu, tapioca,
hunkwe, gula
b. Sumber protein hewani: Daging dan ikan maksimal 100 g sehari
c. Sumber protein nabati: Semua kacang-kacangan dan hasilnya yang
diolah dan dimasak tanpa garam dapur.
d. Sayuran: Semua sayuran segar
e. Buah-buahan: buah-buahan segar
f. Lemak: Minyak goreng, margarin, dan mentega tanpa garam.
g. Minuman: teh, kopi

- Diet Penyakit Diabetes Melitus


Membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk
mendapatkan control metabolic yang baik
Bahan makanan yang dianjurkan untuk diet Diabetes Melitus adalah
sebagai berikut:
a. Sumber karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, mi, kentang,
singkong, ubi, dan sagu
b. Sumber protein rendah lemak, seperti ikan, ayam tanpa kulit, susu
skim, tempe, tahu, dan kacang-kacangan
c. Sumber lemak dalam batas jumlah terbatas yaitu bentuk makanan
yang mudah dicerna. Makanan terutama diolah dengan cara
dipanggang, dikukus, direbus dan dibakar.

- Diet Rematik
Mencapai dan mempertahankan status gizi optimal serta menurunkan
kadar asam urat dalam darah dan urin.
Pengelompokan Bahan makanan menurut kadar purin dan anjuran
makan
a. Kelompok 1: Kandungan Purin tinggi (100-1000 mg purin/100 g
bahan makanan) sebaiknya dihindari. Otak, hati, jantung, ginjal,
jeroan, ekstrak daging/kaldu, bebek, ikan sardine, makarel, remis,
kerang.
b. Kelompok 2: Kandungan purin sedang yaitu daging sapi dan ikan,
ayam, udang, kacang kering, dan hasil olah
c. Kelompok 3: Kandungan purin rendah yaitu nasi, ubi, singkong,
jagung, roti, mie, bihun, tepung beras, kue kering, pudding, susu,
keju, telur, lemak dan minyak, gula, sayuran dan buah-buahan

Referensi : Penuntun Diet. Instalasi Gizi Perjan RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
dan Asosiasi Dietisien Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

11. Chronic Kidney Disease

Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi :


1. Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya
2. Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid ( comorbid condition )
3. Memperlambat perburukkan fungsi ginjal.
4. Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular
5. Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi
6. Terapi pengganti ginjal berupa dialysis atau transplantasi ginjal.
Pemeriksaan fungsi ginjal penting dilakukan untuk mengidentifikasi
adanya penyakit ginjal sedini mungkin agar penatalaksanaan yang efektif dapat
diberikan. Untuk mengetahui penurunan fungsi ginjal sejak dini dapat dilakukan
dengan pemeriksaan darah dan urin. jika penyakit ginjal kronik dapat dikenali
secara dini, maka pengobatan dapat segera dimulai, dengan demikian komplikasi
akibat penyakit ini dapat dicegah. Demikian pula pengenalan dan pengobatan
hipertensi dan Diabetes Melitus secara awal serta berkesinambungan dapat
mencegah penyakit ginjal kronik.

 Pemeriksaan darah dengan melihat kadar kreatinin, ureum, Laju Filtrasi


Glomerulus (LFG)
 Pemeriksaan urin dengan melihat kadar albumin atau protein.

Bila ditemukan tanda dan gejala penyakit ginjal, maka yang harus dilakukan
adalah :

 Kontrol gula darah pada penderita diabetes,


 Kontrol tekanan darah pada penderita hipertensi,
 Pengaturan pola makan yang sesuai dengan kondisi ginjal

Hipertensi
Hipertensi sering terkait dengan gagal ginjal kronik. Ini terjadi lebih dari
75% pasien dengan gagal ginjal kronik pada stadium manapun. Ini merupakan
penyebab dan akibat gagal ginjal kronik. Bagian pedoman ini menyoroti aspek
kunci pengobatan hipertensi pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Aspek ini
termasuk target pembuluh darah, terapi obat awal untuk gagal Universitas
Sumatera Utara ginjal kronik proteinuria dan nonproteinuria, dan pengobatan
hipertensi dalam hubungan dengan diabetes dan penyakit vaskular renal pembuluh
darah besar.
Diabetes
Pasien dengan diabetes berisiko meningkat untuk terjadinya gagal ginjal
kronik dan kejadian kardiovaskular. Kontrol kadar glukosa darah pada pasien
dengan gagal ginjal kronik mungkin bermasalah karena meningkatnya atau
berubahnya sensitivitas terhadap rejimen konvensional, bervariasi anjuran diet dan
masalah kepatuhan terkait dengan diperlukannya kerumitan dalam perawatan.
Karena itu, penting untuk para klinisi untuk menyadari pentingnya kontrol
glikemik bagi pasien ini. Saat ini terdapat keterbatasan bukti untuk membimbing
rekomendasi pengobatan diabetik pada populasi gagal ginjal kronik . Akibatnya,
pernyataan terbatas dalam lingkup. Rekomendasi ini tidak dimaksudkan untuk
mengganti Canadian Diabetes Association Guidelines tetapi lebih untuk fokus
pada aspek perawatan spesifik untuk pasien dengan gagal ginjal kronik . Informasi
tambahan tersedia pada pedoman praktek klinis dari Canadian Diabetes
Association.
Pedoman gaya hidup

Bagian pedoman ini menekankan pentingnya pengobatan gaya hidup


dalam mengobati pasien dengan terganggunya fungsi renal. Karena gagal ginjal
kronik memiliki faktor risiko umum yang sama dengan penyakit kardiovaskular
dan diabetes, modifikasi gaya hidup yang diarahkan pada merokok, obesitas,
konsumsi alkohol, olahraga dan diet penting dilakukan.
Referensi :

1. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Kemenkes RI Direktorat


Jenderal P2P. Diagnosis, Klasifikasi, Pencegahan, Terapi Penyakit Ginjal
Kronis. 2015
2. Abdurrahim R Lubis, Radar R Tarigan, Bayu R Nasution, Sumi Ramadani,
Arina Vegas. PEDOMAN PENATALAKSANAAN GAGAL GINJAL
KRONIK. Divisi Nefrologi- Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H Adam Malik
Medan
12. Status Kemandirian

Status Kemandirian Ketergantungan Berat


Pemeriksaan :
 indeks Barthel
pada scenario dikatakan skor indeks barthel saat masuk rumah sakit yaitu
7/20 yang berarti ketergantungan berat.

perbaikan kemandirian ketergantungan berat lansia dapat dilakukan hal berikut :


1. edukasi pentingnya peran dan dukungan keluarga
2. menghindari factor yang dapat menurunkan ADL
Referensi : Pebriyanti,M. hubungan fungsi kognitif dengan kemandirian lansia
dalam melakukan ADL di panti social Tresna Werdha. 2015. Fakultas Kedokteran
Universitas Muhammadiyah Palembang.
Pertanyaan
1. Jelaskan apa saja factor resiko yang bisa menyebabkan jatuh berdasarkan
scenario!
2. Apakah hubungan Riwayat penyakit dengan kejadian jatuh pada scenario?
3. Jelaskan apa yang menyebabkan nafsu makan menurun dan hubungan
dengan penggunaan obat?
4. Mengapa kedua tungkai tidak dapat digerakkan tetapi masih terasa apabila
dicubit?
5. Bagaimana perspektif islam terkait scenario?
Jawaban :
1. Faktor instrinsik :
1. Perubahan fisiologis terkait usia
Di antara perubahan fisiologis yang berkaitan dengan usia dapat dapat
berupa perubahan penglihatan (pengurangan ketajaman visual, terutama di
malam hari; berkurangnya kemampuan mengakomodasi; presbiopia)
;perubahan dalam Sistem Saraf Pusat (defisiensi sensitivitas sentuhan,
sensasi getaran, sensitivitas termal; ketidakstabilan untuk berdiri;
perubahan dalam integrasi input sensorik dan respons motorik ; defisit
vestibular dan keseimbangan); perubahan dalam sistem muskuloskeletal
(sarkopenia; kekuatan otot berkurang terutama yang melibatkan otot anti-
gravitasi).
2. Kondisi predisposisi patologis.
Kondisi patologis yang cenderung jatuh dapat berupa neurologis
(strokeParkinsonisme; Demensia; Epilepsi), Kardiovaskular (Infark
Miokard; hipotensi ortostatik; aritmia); Metabolik Endokrin
(Hipotiroidisme; hipoglikemia; anemia), Gastrointestinal (perdarahan;
diare; sinkop post-prandial), Genito-Kemih (sinkop post-miksi;
inkontinensia urin), Musculoskeletal (artropati degeneratif; miopati),
Psikiatri (Depresi; Kecemasan)
3. Perubahan psikologis
Psikologis yang terkait dengan jatuh: takut jatuh dan sindrom
kecemasan pasca-jatuh mengakibatkan hilangnya kepercayaan diri dan
keterbatasan fungsional diri pada orang tua lansia yang tinggal di rumah
dan dilembagakan yang telah jatuh.

Faktor Ekstrinsik :
Penyebab jatuh yang ekstrinsik adalah faktor lingkungan seperti
penghalang, pencahayaan ambient yang tidak memadai, alas kaki dan
pakaian yang tidak memadai, lantai yang tidak rata atau licin, adanya anak
tangga, kurangnya pegangan tangan, ketinggian tempat tidur yang tidak
memadai, kursi yang tidak memadai, kursi yang tidak memadai, kamar
mandi yang tidak memadai, lingkungan yang tidak dikenal. Yang sangat
penting dalam konteks ini adalah penurunan akibat penyebab iatrogenik:
asupan 4 atau lebih obat (khususnya antihipertensi, diuretik,
benzodiazepin, antidepresan) dianggap sebagai faktor risiko independen
jatuh. Berdasarkan dari teori diatas, factor yang menyebabkan pasien
tersebut jatuh ada pada factor intrinsic dan pada faktor ekstrinsik.
Berdasarkan dari scenario, factor instrinsik yang dapat dihubungkan
berupa perubahan dalam sistem saraf pusatnya dan perubahan dalam
sistem muskuloskeletalnya. Hal ini dapat dikaitkan bahwan pada usia
lansia, memiliki ketidakstabilan untuk berdiri diikuti dengan postur pasien
yang bungkuk ke depan dengan kondisi bila berjalan agak pincang .Hal
tersebut dikarena juga predisposisi patologi yang dialami pasien yaitu lutut
pasien sering sakit dan bengkak. Maka, apabila pasien jatuh kekuatan otot
berkurang untuk menjaga keseimbang pasien dan integrasi input sensorik
dan respon motoriknya berkurang. Bila diakitkan dengan factor ekstrinsik
dapat dihubungkan dengan factor lingkungan pasien yang alas kaki
digunakan tidak sangat aman untuk kondisi pasien, atau lantai yang licin
meningkatkan resiko untuk pasien jatuh. Selain itu, penggunaan obat yaitu
glibenklamid dimana memberika efek samping hipoglikemi pada pasien
dapt menjadi salah satu resiko pasien untuk jatuh.
Referensi: Pasquetti, P., Apicella, L., & Mangone, G. (2014). Pathogenesis and
treatment of falls in elderly. Clinical cases in mineral and bone metabolism, 11(3),
222.

2. Apakah hubungan Riwayat penyakit dengan kejadian jatuh pada scenario?


 Hipertensi
Hipertensi pada lansia disebabkan oleh perubahan struktur pembuluh
darah akibat proses penuaan. Hipertensi yang tidak terkontrol akan menyebabkan
penurunan aliran darah ke otak sehingga terjadi hipoperfusi kronis. Hipoperfusi
kronis yang berlangsung lama akan menyebabkan iskemia dan membentuk lesi
pada substansia alba yang dapat terdeteksi oleh Magnetic ResosnanceImaging
(MRI). Substansia alba merupakan regio otak yang berperan dalam transmisi
potensial aksi dari sistem saraf pusat menuju perifer.Kerusakan pada area
substansia alba akan menyebabkan penurunan kontrol keseimbangan postural
pada lansia.Ketidakseimbangan postural pada lansia dapat menyebabkan
tingginya risiko jatuh dan tingginya angka mortaliltas serta morbiditas pada
kelompok tersebut. Lansia yang jatuh menunjukkan penurunan yang signifikan
dalam kekuatan otot yang dinamis di sekitar lutut dan sendi pergelangan kaki
dibandingkan dengan orang dewasa yang lebih tua tanpa riwayat jatuh. Gaya
berjalan, ketidakseimbangan postural, dan kelemahan otot telah diidentifikasikan
sebagai penyebab kedua untuk jatuh pada lansia.

Lansia dengan hipertensi mengalami penurunan kontrol keseimbangan dan


disertai dengan gejala pusing. Hal tersebut merupakan efek sistemik dari
hipertensi yang berasal dari kerusakan arteri dan sirkulasi mikro pada pusat
postural keseimbangan dalam sistem saraf pusat (SSP) yaitu otak kecil dan
cochleo-vestibular system. Kontrol tekanan darah, semakin menurun seiring
dengan meningkatnya usia seseorang. Penurunan tersebut diakibatkan oleh
menurunnya sensitivitas barorefleks, aliran darah otak, dan konservasi natrium
ginjal yang mengancam regulasi tekanan darah normal dan perfusi serebral.
 Diabetes Mellitus Tipe 2
Diabetes melitus menyebabkan komplikasi semakin lama durasi seseorang
mengidap DM maka meningkatkan terjadinya berbagai macam komplikasi baik
mikrovaskuler maupun makrovaskuler sehingga dapat menyebabkan terjadinya
penurunan pada sistem keseimbangan tubuh. Menurut Montana Chronic
DiseasePrevention & Health Promotion Bureau fluktuasi atau penurunan glukosa
darah menempatkan seseorang dengan diabetes pada risiko untuk jatuh.
Komplikasi diabetes seperti neuropati ekstremitas bawah, penglihatan yang buruk,
maupun postural hipotensi juga meningkatkan risiko untuk jatuh. Demikian juga
faktor-faktor lain, termasuk obat-obatan diabetes, kekuatan dan keseimbangan
tubuh, bertambahnya usia, dan lingkungan tempat tinggal berperan terjadinya
jatuh.
Penderita diabetes mengalami defisiensi insulin yang menghambat transfer
glukosa ke sel dalam jaringan tubuh yang menyebabkan sel kelaparan dan terjadi
peningkatan glukosa dalam darah. Hal ini menimbulkan hambatan dalam perfusi
ke jaringan otot yang akan mengakibatkan jaringan otot kurang mendapatkan
suplai oksigen dan nutrisi yang menyebabkan sel kekurangan bahan untuk
metabolisme, sehingga energi yang dihasilkan berkurang yang berdampak pada
timbulnya kelemahan dan lebih lanjut dapat mengakibatkan atrofi otot.
Kelemahan otot menimbulkan gangguan pada keseimbangan tubuh statis maupun
dinamis. Gangguan tersebut akan menyebabkan tubuh goyah dan labil sehingga
meningkatkan risiko jatuh dan fraktur.
Diabetes merupakan faktor risiko utama untuk jatuh dipengaruhi oleh
penggunaan obat-obatan dalam jangka panjang, pola jalan yang buruk, dan
penurunan fungsi kognitif berhubungan antara diabetes dan jatuh.
Referensi : -Shen S, He T, Chu J, Jin H, Chen X. Uncontrolled
hypertension and orthostatic hypotension in relation to standing balance in
elderly hypertensive patients. Dovepress. 2015; (10):897–906.
-D’Silva L.J, James Lin, HinrichStaecker, Susan L. Whitney, Patricia M.
Kluding. (2016) Impactof Diabetic Complications on Balance and Falls:
Contribution of the Vestibular System. Phys Ther.;96:400–409.

3. Jelaskan apa yang menyebabkan nafsu makan menurun dan hubungan


dengan penggunaan obat?
Penyebab Nafsu Makan Turun Pada Lansia:
a. Berkurangnya kemampuan mencerna makanan (akibat
kerusakan gigi atau ompong)
Pada lansia terjadi gangguan nutrisi terjadi pada gigi geligi dan
semuanya tanggal yang akan mengalami kesulitan dalam mengunyah
makanan, apabila makanan yang disajikan tidak diolah sedemikian rupa
sehingga tidak memerlukan pengunyahan maka akan terjadi gangguan
dalam pencernaan dan penyerapan oleh usus.
b. Berkurangnya cita rasa (rasa dan buah)
Hal ini terjadi pada lansia dengan berkurangnya cita rasa yang
disebabkan oleh gangguan pada indera pengecap yang menurun serta
adanya iritasi yang kronis dari selapur lendir. hilangnya sensitivitas dari
syaraf pengecap di lidah terutama rasa manis dan asin, serta hilangnya
sensitivitas dari syaraf pengecap tentang rasa asin, asam dan pahit. Pada
lansia apabila terjadi gangguan emosional seperti stress,putus asa dan rasa
takut akan menyebabkan mulut kering, yang dipengaruhi oleh pengaruh
simpatik dari sistem syaraf autonom yang menyebabkan sekresa saliva.
Keluhan mulut kering dapat menghambat nafsu makan pada lansia yang
menyebabkan asupan nutrisi berkurang. Pada lansia sesuai dengan
pertambahan umur yang akan menurunkan produksi saliva dan mengubah
komposiai sedikit
c. Berkurangnya koordinasi otot-otot syaraf
Sistem persyarafan yang terjadi suatu perubahan sistem
persyarafan yang cepat dapat menurunkan hubungan persyarafan di lambat
dalam respon dan waktu bereaksi, serta mengecilnya syaraf panca indera,
adanya gangguan pendengaran, penglihatan serta sistem respirasi. Pada lansia
gangguan ini terjadi karena pengaruh pertambahan umur dan menununnya
fungsi organ tubuh misalnya pada gangguan refleks yang dapat menurun.
Pada syaraf otot terejadi flaksi
atau lemah, tonus kurang, tendernes dan tidak mampu bekerja. Untuk otot
pada saluran cema yang terjadi suatu kelemaban karena penggunaan yang
menurun yang berakibat terjadinha konstipasi.
d. faktor penyerapan makanan pada lansia
masalah nutrisi pada lansia dipengaruhi oleh sungsi absorbsi yang
lemah (adanya daya penyerapan yang terganggu.) Apabila hal ini terjasi pada
lansia maka akan mempengaruhi status gizinya yang beraibat timbulnya
penyakit yang diakibatkan oleh asupan makanan yang terganggu
e. Keadaan fisik yang kurang baik
Keadaan fisik pada lansia terjadi suatu perubahan-perubahan fisik
diantaranya dari perubahan sel yang lebih sedikit jumlahnya dan lebih besar
ukurannya. Masalah yang menyangkut fisik yaitu lansia tidak bisa berjalan
atau melakukan sesuatu sendiri. Masalah fisik misalnya apatis dan lesu
dengan tanda-tanda fizik yaitu berat badan menurun, wajah pucat, sedangkan
kelemahan fisik terjadi seperti artritis (cedera serebrovaskuler) yang
menyebabkan kesulitan untuk berbelanja dan memasak (Darmojo. 2000).
f. faktor ekonomi
g. faktor sosial lansia
h. faktor penyakit
pada skenario pasien mengidap penyakit PPOK ditandai dengan
mengkonsumsi obat semprot/ isap karena sesak dan pasien memiliki
riwayat bahwa menjadi perokok aktif sejak muda. pada pasien PPOK
banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis,
sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang
makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera
makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena
tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien
dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak
mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.

Hubungan dengan penggunaan obat :


Penggunaan obat pasien Glimepirid 2 mg, Captopril 25 mg.

GLIMEPIRID
Efek Samping
Efek samping utama yang perlu diperhatikan dalam penggunaan glimepiride
adalah hipoglikemia.
Efek Samping yang Sering Terjadi
Hipoglikemia dapat terjadi pada 4-20% pengguna glimepiride. Pengeluaran
insulin dengan pemberian sulfonilurea dapat terjadi tanpa melihat kadar glukosa
dalam darah. Penyakit ginjal dapat memperpanjang waktu kerja glimepiride dan
menyebabkan hipoglikemia yang lebih berat. Hipoglikemia yang terjadi dapat
berat dan bersifat fatal sehingga obat perlu digunakan dengan hati-hati pada
pasien geriatri.
Efek Samping yang Lebih Jarang Terjadi
Efek samping yang lebih jarang terjadi adalah pusing (1.7%), astenia (1.6%),
nyeri kepala (1.5%), dan mual (1.1%).
Efek Samping yang Sangat Jarang Terjadi
Efek samping yang sangat jarang terjadi (<1%) adalah reaksi alergi kulit, ruam
kulit, pruritus, urtikaria, diare, nyeri perut, muntah, agranulositosis, anemia,
anemia aplastik, leukopenia, pansitopenia, trombositopenia, kolestasis, gangguan
fungsi hati, reaksi porfiria, kuning, dan hiponatremia.
Terdapat juga reaksi alergi terhadap glimepiride yang
dilaporkan postmarketing hingga terjadi anafilaksis, angioedema, dan sindroma
Steven-Johnson.
Obat golongan sulfonilurea dapat menyebabkan anemia hemolitik pada pasien
dengan defisiensi glucose 6-phosphate dehydrogenase (G6PD). Terdapat juga
laporan yang menyatakan terjadinya anemia hemolitik pada pasien tanpa
defisiensi G6PD.

CAPTOPRIL
Efek Samping: 
Efek samping dari captopril yang sering terjadi adalah hilangnya rasa (kadang-
kadangjuga penciuman), batuk kering, exanthema ( ruam-ruam pada kulit).
Referensi : - Nazari, Nuri, Rusli Yusuf, and Teuku Tahlil. "Dukungan dan
karakteristik keluarga dengan pemenuhan nutrisi pada lansia." Jurnal Ilmu
Keperawatan 4.2 (2016).
-MENGKO, CORNELIS YOHNI. ASUHAN KEPERAWATAN PENYAKIT PARU
OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) PADA PASIEN Tn.“T” DI RUANG
BOUGENVIL RUMAH SAKIT dr. SOEDJONO MAGELANG. Diss. poltekkes
kemenkes yogyakarta, 2018.
-Davis SN. The role of glimepiride in the effective management of Type 2
diabetes. Journal of Diabetes and its Complications [Internet]. 2004;18(6):367–76.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/15531188
-Sola D, Rossi L, Schianca GPC, Maffioli P, Bigliocca M, Mella R, et al. State of
the art paper Sulfonilureas and their use in clinical practice. Archives of Medical
Science [Internet]. 2015;11(4):840–8. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/26322096
-Basit A, Riaz M, Fawwad A. Glimepiride: evidence-based facts, trends, and
observations. Vascular Health and Risk Management [Internet]. 2012;(8):463–72.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23028231
-Sanofi-Aventis. Amaryl (Glimperide tablets) [Internet]. FDA. FDA; 2008.
Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2009/020496s021lbl.pdf
-Sanofi-Aventis. Highlights of Prescribing Information Amaryl [Internet]. FDA.
FDA; 2013. Available from:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2013/020496s026lbl.pdf

4. Mengapa kedua tungkai tidak dapat digerakkan tetapi masih terasa apabila
dicubit?
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang
disebabkan seringkali oleh kecelakaan atau trauma. Apabila cedera itu mengenai
daerah L1-2 dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi
motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih. Trauma
medulla spinalis diklasifikasikan sebagai komplet : kehilangan sensasi dan fungsi
motorik volunter total, dan tidak komplet : campuran kehilangan sensasi dan
fungsi motorik volunteer.
Pada penampang transversal medulla spinalis, dapat dijumpai bagian
sentral yang berwarna lebih gelap (abu-abu) yang dikenal dengan istilah gray
matter. Gray matter adalah suatu area yang berbentuk seperti kupu-kupu atau
huruf H. Area ini mengandung badan sel neuron beserta percabangan dendritnya.
Di area ini terdapat banyak serat-serat saraf yang tidak berselubung myelin serta
banyak mengandung kapiler-kapiler darah. Hal inilah yang mengakibatkan area
ini berwarna menjadi lebih gelap.

Gray matter dapat dibagi kedalam 10 lamina atau 4 bagian, yaitu :


1. kornu anterior/dorsalis, yang mengandung serat saraf motorik, terdiri atas
lamina VIII, IX, dan bagian dari lamina VII.
2. Kornu posterior/ventralis, yang membawa serat serat saraf sensorik, terdiri atas
lamina I-IV.

Efek trauma terhadap tulang belakang bisa bisa berupa fraktur- dislokasi,
fraktur, dan dislokasi. Frekuensi relatif ketiga jenis tersebut adalah 3:1:1. Fraktur
tidak mempunyai tempat predileksi, tetapi dislokasi cenderung terjadi pada
tempat-tempat antara bagian yang sangat mobil dan bagian yang terfiksasi, seperti
vertebra C1-2, C5-6 dan T11-12. Dislokasi bisa ringan dan bersifat sementara atau
berat dan menetap. Tanpa kerusakan yang nyata pada tulang belakang, efek
traumatiknya bisa mengakibatkan lesi yang nyata di medulla spinalis.
Setiap segmen medula spinalis memiliki empat radix, sebuah radix ventralis dan
sebuah radix posterior pada sisi kiri dan sepasang di sisi kanan. Radix saraf ini
keluar dari kolumna vertebralis melalui foramina intervetebralis.
Pada spina servikalis, radix keluar melewati bagian atas kolumna
vertebralis, sedangkan pada segmen bawah T1 radix keluar melewati bagian
bawah korpus vertebralis. Radix ventralis berfungsi sebagai traktus motoris yang
keluar dari medula spinalis, sedangkan radix posterior bersifat sensoris terhadap
struktur superfisial dan profunda tubuh. Efek trauma yang tidak dapat langsung

bersangkutan dengan fraktur dan dislokasi, tetapi dapat menimbulkan lesi pada
medulla spinalis dikenal sebagai trauma tak langsung. Tergolong dalam trauma
tak langsung ini ialah whiplash (lecutan), jatuh terduduk atau dengan badan
berdiri, atau terlempar oleh gaya eksplosi bom.
Jadi berdasarkan skenario gejala klinis yang ditemukan Setelah jatuh,
penderita langsung tidak dapat berdiri lagi karena ke 2 tungkainya lumpuh tetapi
kalau dicubit masih terasa sakit.kemungkinan terjadinya lesi di medula spinalis
pars lumbar incomplete atau terjadinya lesi di radix ventralis.

Referensi : -Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.


Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997.

-Adams RD, Victor M, Ropper AH. Disease of Spinal Cord in Principles of


Neurology, 7th ed. McGraw-Hill, New York, 2001.
5. Perspektif Islam : : ‫صلَّى هللاُ َعلَيْ] ِه َو َس]لَّ َم‬ َ ِ‫ال َرسُوْ ُل هللا‬ ِ ‫ع َْن أَبِ ْي هُ َر ْي َرةَ َر‬
َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ قَا َل ق‬
ُ
‫ َوأَقَلُّهُ ْم َم ْن يَجُوْ ُز َذلِك‬. َ‫“أَ ْع َما ُر أ َّمتـ ِ ْي َما بَيــْنَ ِستِّ ْينَ َو َسب ِْع ْين‬
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, bahwa sesungguhnya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Usia umatku (umat Islam) antara
60 hingga 70 tahun. Dan sedikit dari mereka yang melewatinya”. [HR. At-
Tirmidzi dan Ibnu Mâjah. ShahîhulJâmi’ 1073]
Saat fase ini mulai datang, kekuataan fisik sedikit demi sedikit menyusut,
ketajaman mata mulai berkurang sehingga dibutuhkan alat bantu untuk
melihat, daya ingat menurun dan kulit mengendur serta guratan-guratan
tanda penuaan pun muncul. Rambut-rambut putih sedikit demi sedikit
menghiasai kepalanya. Penyakit-penyakit degeneratif pun banyak muncul
pada fase ini.

Allâh Azza wa Jalla berfirman:


‫ْق‬
ِ ‫ع‬َ ‫ي‬ ‫أَفَاَل‬  ۖ‫ق‬
ِ ‫َو َم ْن نُ َع ِّمرْ هُ نُنَ ِّك ْسهُ فِي ْالخَ ْل‬
Dan barang siapa Kami panjangkan umurnya niscaya Kami kembalikan
dia kepada kejadiannya. Maka apakah mereka tidak
memikirkannya?. [Yaasiin/36:68]
Imam Ibnu Katsîr rahimahullah menjelaskan, “Allâh Azza wa Jalla
mengabarkan bahwa seorang hamba ketika usianya semakin panjang, maka ia
dikembalikan ke keadaan lemah setelah kekuataan dan keadaan tidak berdaya 
setelah kondisi prima”. 
Syaikh as-Sa’di rahimahullah  mengatakan, “Akan kembali ke keadaan
semula, keadaan yang lemah : Lemah dalam pikiran dan lemah dalam
kekuatan. Tidakkah mereka memikirkan bahwa anak Adam itu lemah dalam
segala aspek, maka hendaknya mereka memanfaatkan ucapan dan daya pikir
mereka untuk taat kepada Rabb mereka”.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kemudian setelah usia 40
tahun, (kekuatan dan fungsi organ) tubuh mulai menurun. Dan menurunnya
kekuatan fisik berlangsung secara bertahap, sebagaimana dahulu kekuatan
fisik berkembang dengan bertahap”.

Anda mungkin juga menyukai