Anda di halaman 1dari 57

HUBUNGAN TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEJADIAN

INSOMNIA PADA LANSIA PENDERITA DIABETES MELITUS

TIPE II DI WILAYAH PUSKESMAS LIMBOTO BARAT

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di Indonesia pada tahun 2015 menempati peringkat ke tujuh didunia untuk

prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India,

Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah diabetes sebesar 10

juta. Prevalensi diabetes melitus yang terdiagnosis dokter atau gejala, tertinggi di

Indonesia terdapat di Sulawesi Tengah (3,7%), Sulawesi Utara (3,6%), Nusa

Tenggara Timur (3,3%) dan Gorontalo (2,8%). (Riskesdas, 2013) Prevalensi

diabetes melitus setiap tahun meningkat. Berdasarkan data yang didapatkan dari

dinas kesehatan Kabupaten Gorontalo diabetes melitus secara keseluruhan baik

pasien lama dan baru pada tahun 2014 berjumlah (2183 orang), 2015 (2830

orang), 2016 (2864 orang), dan 2017 (4662 orang). Berdasarkan data yang

didapatkan dari Puskesmas Limboto Barat dibidang Pengendalian Penyakit pada

tahun 2017 dari bulan januari - desember didapatkan 98 orang yang menderita

diabetes melitus sebanyak 77 orang pasien lama dan 21 orang pasien baru dengan

jumlah diabetes melitus tipe I sebanyak 39 orang dan diabetes melitus tipe II

sejumlah 59 orang. (Data Prolanis, 2017)


Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti terhadap 15

penderita diabetes melitus tipe II pada lansia, penderita mengatakan merasa

cemas, sering lapar dan sulit tidur yang merupakan beberapa penyebab dari

diabetes melitus tipe II, penderita mengatakan ketika merasa cemas dan sulit tidur

disebabkan oleh rasa sering haus dan buang air kecil berulang kali pada malam

hari.

Berdasarkan pengalaman pribadi saya, orang tua saya mengalami penyakit

diabetes melitus tipe II dan mengatakan sering haus, sulit untuk memulai tidur,

sering buang air besar, sering lapar, dan sering kesemutan pada tungkai dan kaki.

Berdasarkan uraian diatas peneliti tertarik dengan judul penelitian

“Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kejadian Insomnia pada Lansia Penderita

Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Puskesmas Limboto Barat”

1.2 Identifikasi Masalah

1. Mengapa insomnia ini menjadi salah satu penyebab peningkatan kadar

gula dalam darah?

2. Bagaimana kecemasan dapat menimbulkan insomnia pada lansia penderita

diabetes melitus ?

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas peneliti ingin mengetahui “Apakah ada

Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kejadian Insomnia pada Lansia Penderita

Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Puskesmas Limboto Barat”


1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Tingkat Kecemasan dengan

Kejadian Insomnia pada Lansia Penderita Diabetes Melitus Tipe II di wilayah

Puskesmas Limboto Barat

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Untuk Mengidentifikasi Karakteristik Responden (Umur, Jenis Kelamin,

Pendidikan dan Pekerjaan)

2. Untuk Mengidentifikasi Tingkat Kecemasan pada Lansia penderita

Diabetes Melitus Tipe II

3. Untuk Mengidentifikasi Kejadian Insomnia pada Lansia penderita

Diabetes Melitus Tipe II

4. Untuk Menganalisis Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kejadian

Insomnia pada Lansia Penderita Diabetes Melitus Tipe II

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil dari penelitian ini mempunyai dua aspek manfaat yaitu manfaat

teoritis dan manfaat praktis sebagai berikut:

1.5.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah

pengetahuan, pengalaman dan wawasan ilmiah serta dapat menerapkan metode

penelitian, khususnya mengenai hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian


insomnia pada lansia penderita diabetes melitus tipe II dan dapat digunakan

sebagai acuan penelitian selanjutnya.

1.5.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Puskesmas

Sebagai bahan masukkan bagi wilayah PuskesmasLimboto Barat dalam

menghadapi lansia penderita diabetes melitus tipe II yang mengalami

peningkatan kecemasan dengan kejadian insomnia

2. Bagi Profesi Keperawatan

Penelitian ini sebagai informasi yang menambah wawasan ataupun sebagai

bahan masukkan dalam perkuliahan ataupun praktek dilapangan

3. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah ilmu peneliti selanjutnya

tentang hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia

penderita diabetes melitus tipe II


TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus (DM) suatu kelainan pada seseorang yang ditandai

naiknya kadar glukosa dalam darah (hiperglikemia) yang diakibatkan karena

kekurangan insulin. (Padila, 2012)

Diabetes melitus tipe II merupakan diabetes yang tidak tergantung insulin,

jenis ini yang sering didapatkan. Biasanya timbul pada usia diatas 40 tahun,

namun bisa pula timbul pada usia lebih muda atau sekitar 20 tahun. Sekitar 90-

95% penderita diabetes melitus adalah diabetes melitus tipe II. (Tandra, 2015)

2.1.2Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus dibagi menjadi dua yaitu Diabetes Melitus tipe

I dan tipe II (Nurarif dan Kusuma, 2015)

a. Diabetes Melitus

Diabetes melitus terbagi menjadi 2 tipe antara lain

1) Tipe I : IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus), disebabkan oleh

destruksi oleh sel beta pulau langerhans akibat proses autoimun.

2) Tipe II : NIDDM (Non Insulin Dependent Diabetes Melitus),

disebabkan oleh kegagalan relatif sel beta dan resistensi insulin.

Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk

merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk

menghambat produksi glukosa oleh hati:


a. Tipe II dengan obesitas

Pada kegemukkan atau obesitas, sel-sel lemak yang menggemuk

seperti ini akan menghasilkan beberapa zat yang digolongkan

sebagai adipositokin yang jumlahnya lebih banyak daripada

keadaan tidak gemuk.

Sel lemak yang paling banyak menghasilkan adipositokin adalah

yang melapisi organ-organ didalam perut. Gemuk bisa disebabkan

oleh faktor turunan atau disebut juga faktor genetik yaitu apabila

didalam satu keluarga terdapat banyak yang gemuk serta karena

faktor usia lanjut.

b. Tipe II tanpa obesitas

Ketika tubuh tidak bisa mendapatkan energi yang cukup dari gula

karena kekurangan insulin, tubuh akan bergegas mengolah lemak

dan protein yang ada didalam tubuh untuk diubah menjadi energi.

Apabila hal tersebut berlangsung cukup lama, maka orang akan

tampak kurus dan berat badannya akan turun karena masa lemak

dan protein yang tersimpan dijaringan otot dan lemak menyusut.

Oleh karena itu penurunan berat badan yang drastis tanpa didahului

dengan upaya diet yang benar dan signifikan dalam kurun waktu

dua bulan perlu dicurigai sebagai tanda awal diabetes.

b. Gangguan toleransi Glukosa


c. Diabetes Kehamilan (Diabetes Kehamilan)

Diabetes ini muncul pada usia kehamilan ke-24 bulan (bulan keenam).

Diabetes gestasional biasanya menghilang setelah melahirkan. Namun hampir

di setengah angka kejadiannya, diabetes akan muncul kembali. Berdasarkan

data dari departemen kesehatan, jumlah pasien diabetes melitus rawat inap

maupun rawat jalan dirumah sakit menempati urutan pertama dari seluruh

penyakit endokrin dan 4% perempuan hamil menderita diabetes gestasional.

Angka lahir utama pada kasus dengan diabetes tak terkendali dapat terjadi 10

kali dalam normal. Diperkirakan kejadian diabetes dalam kehamilan adalah

sekitar 0,7%, tetapi seringkali sukar ditemukan karena rendahnya kemampuan

deteksi kasus. Kehamilan merupakan hal yang amat di nantikan oleh pasangan

suami istri. Mengetahui tentang riwayat calon pasangan adalah hal yang sangat

diperlukan. Jika sang ibu menderita diabetes dalam keluarga, maka resiko

diabetes pada anakanak mungkin hanya sekitar 1:20. Jika kedua pasangan

memiliki diabetes melitus tipe 1, maka anak-anak pun akan beresiko lebih

tinggi untuk terkena diabetes melitus dan anak-anak akan memiliki resiko lebih

rendah jika orang tua penderita diabetes adalah ibu. (Kurniadi dan Nurrahmani,

2015)

2.1.3Etiologi

Diabetes melitus tipe I disebabkan :

1. Faktor keturunan atau genetika

Jika salah satu atau kedua orangtua menderita diabetes, maka anak akan

beresiko terkena diabetes


2. Autoimun

Autoimunitas yaitu tubuh alergi terhadap salah satu jaringan atau jenis selnya

sendiri dalam hal ini, yang dalam pankreas. Tubuh kehilangan kemampuan

untuk membentuk insulin karena sistem kekebalan tubuh menghancurkan sel-

sel yang memproduksi insulin.

3. Virus atau zat kimia

Virus atau zat kimia yang menyebabkan kerusakan pada pulau sel (kelompok-

kelompok sel) dalam pankreas tempat insulin dibuat. Semakin banyak pulau sel

yang rusak, semakin besar kemungkinan seseorang menderita diabetes.

Diabetes melitus II disebabkan :

a. Faktor keturunan

b. Pola makan atau gaya hidup yang tidak sehat.

c. Kadar kolesterol yang tinggi

d. Jarang olahraga

e. Obesitas atau kelebihan berat badan.

Hal ini mengakibatkan metabolisme dalam tubuh tidak sempurna sehingga

membuat insulin dalam tubuh tidak dapat berfungsi dengan baik. Hormon insulin

dapat diserap oleh lemak yang ada dalam tubuh. Sehingga pola makan dan gaya

hidup yang tidak sehat bisa membuat tubuh kekurangan insulin (Russel, 2011)

Bila kadar glukosa darah tidak normal namun belum termasuk kriteria diagnosis

diabetes misalnya glukosa darah puasa dibawah 126 mg/dl tetapi 2 jam sesudah

makan 140-199 mg/dl maka keadaan ini disebut sebagai Toleransi Glukosa

Terganggu (TGT) atau Impiraired Glucose Tolerance (IGT). Sudah tentu orang
dengan TGT mempunyai risiko terkena diabetes melitus tipe II jauh lebih besar

daripada orang biasa. ( Tandra, 2015)

Tabel 1. Kadar glukosa dalam darah

Kadar glukosa darah Mg/dl Mmol/dl


Normal
Puasa < 100 < 5,6
2 jam sesudah makan < 140 < 7,8
Impiraired Fasting Glucose (IFG)
Puasa ≥ 100 &< 126 ≥ 5,6 &< 7,0
2 jam sesudah makan < 140 < 7,8
Impiraired Glucose Tolerance (IGT)
Puasa ≤ 126 ≤ 7,0
2 jam sesudah makan ≥140 &< 200 ≥ 7,8 &< 11,1
Diabetes Melitus
Puasa ≥ 126 ≥ 7,0
2 jam sesudah makan ≥ 200 ≥ 11,1
Sumber: Kurniadi dan Nurrahmani (2015)

Gula darah puasa adalah kadar gula setelah melakukan puasa selama 10-12 jam.

Kadar glukosa darah puasa adalah 80-120 mg/dl. Sementara gula darah 2 jam PP

(post prandial) adalah kadar gula setelah kita berpuasa selama 10-12 jam,

kemudian kita makan dan 2 jam kemudian kadar glukosa diperiksa. Gula darah

sewaktu adalah kapanpun kita periksa, tanpa ada syarat puasa dan makan.

Pemeriksaan glukosa darah hanya mencerminkan kadar glukosa darah pada saat

diabetisi diperiksa, tetapi tidak menggambarkan pengendalian diabetes jangka

panjang (± 3 bulan). (Kurniadi dan Nurrahmani, 2015)

2.1.4Mekanisme Ulkus Diabetes

Pada penderita diabetes, gula darah yang meningkat dalam jangka waktu

lama akan menyebabkan kelainan sistem syaraf yang disebut neuropati diabetik

dan kelainan pembuluh darah. Neuropati terdiri atas neuropati sensorik (rasa),
motorik (gangguan otot), dan autonomik. Keadaan-keadaan ini mengakibatkan

terhadap rangsang sakit menurun, perubahan kekuatan motorik sehingga timbul

perubahan tekanan pada telapak kaki. Keringat juga akan berkurang (neuropati

autonomik) sehingga kulit menjadi kering. Kesemuanya itu memudahkan

timbulnya luka. Selain itu, kaki juga akan rentan terhadap infeksi, mudah terjadi

infeksi,dan bahkan infeksi akan mudah meluas. Kelainan pembuluh darah

(penyempitan) menyebabkan adanya bagian kaki yang suplai darahnya berkurang

(iskemia) sehingga kelainan-kelainan tersebut diatas lebih sukar dikelola dan

susah sembuh.

Ada 3 alasan mengapa orang diabetes lebih beresiko mengalami masalah kaki.

Pertama, berkurangnya sensasi rasa nyeri setempat (neuropati) membuat pasien

tidak menyadari, dan bahkan sering mengabaikan, luka yang terjadi karena tidak

dirasakannya. Luka yang timbul secara spontan sering disebabkan karena trauma,

misalnya kemasukan pasir, tertusuk duri, lecet akibat pemakaian sepatu/sandal

yang sempit, atau bahan yang keras. Mulanya hanya kecil, tapi kemudian meluas

dalam waktu yang tidak begitu lama. Luka akan menjadi borok dan menimbulkan

bau yang disebut gangren. Jika tidak dilakukan perawatan akan sampai ke tulang

yang mengakibatkan infeksi tulang (osteomylitis). Upaya yang dilakukan untuk

mencegah perluasan infeksi terpaksa harus dilakukan amputasi (pemotongan

tulang).

Kedua, sirkulasi darah dan tungkai yang menurun dan kerusakan endotel

pembuluh darah. Manifestasi angiopati pada pembuluh darah penderita diabetes

melitus antara lain berupa penyempitan dan penyumbatan pembuluh darah perifer
(yang utama). Sering terjadi pada tungkai bawah (terutama kaki). Akibatnya,

perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi kurang baik dan timbul ulkus

yang kemudian dapat berkembang menjadi nekrosi/ gangren yang sangat sulit

diatasi dan tidak jarang memerlukan tindakan amputasi.

Gangguan mikrosirkulasi akan menyebabkan berkurangnya aliran darah dan

hantaran oksigen pada serabut saraf yang kemudian menyebabkan degenerasi dari

serabut saraf. Keadaan ini akan mengakibatkan neuropati. Disamping itu, dari

kasus ulkus/ gangren diabetes, kaki diabetes melitus 50% akan mengalami infeksi

akibat munculnya lingkungan gula darah yang subur untuk berkembangnya

bakteri patogen. Karena kekurangan suplai oksigen, bakteri-bakteri yang akan

tumbuh subur terutama bakteri anaerob. Hal ini karena plasma darah penderita

diabetes yang tidak terkontrol baik mempunyai kekentalan (viskositas) yang

tinggi sehingga aliran darah menjadi melambat. Akibatnya, nutrisi dan oksigen

jaringan tidak cukup, ini menyebabkan sukar sembuh dan kuman anaerob

berkembang biak.

Ketiga, berkurangnya daya tahan tubuh terhadap infeksi. Secara umum penderita

diabetes melitus lebih rentan terhadap infeksi. Hal ini dikarenakan kemampuan sel

darah putih yang ‘memakan’ dan membunuh kuman berkurang pada kondisi kadar

gula darah (KGD) diatas 200 mg. (Kurniadi dan Nurrahmani,2015)

2.1.5Manifestasi klinis

1. Tipe IDDM seperti :


a) Polipagia, poliuria, berat badan turun, polidipsi, lemah, dan samnolen

berlangsung beberapa hari atau minggu

b) Timbul ketoasidosis dan dapat meninggal bila tidak segera diobati

c) Biasanya memerlukan terapi insulin untuk mengontrol karbohidrat

2. Tipe NIDDM seperti :

a) Jarang memperlihatkan gejala klinis

b) Diagnosa dibuat berdasarkan pemeriksaan darah, tes toleransi glukosa

dilaboratorium

c) Lemah dan somnolen

d) Jarang menderita ketoasidosis (Riyadi, 2011)

e) Sering buang air kecil dengan volume yang banyak, yaitu lebih sering

daripada biasanya, apalagi pada malam hari (poliuria).

Jika kadar gula darah melebihi nilai ambang ginjal (>180 mg/dl), maka

gula akan keluar bersama urine. Untuk menjaga agar urine yang keluar

(yang mengandung gula itu) tidak terlalu pekat, tubuh akan menarik air

sebanyak mungkin kedalam urine sehingga urine keluar dalam volume

yang banyak dan kencing pun menjadi sering. Dalam keadaan normal,

urine akan keluar sekitar 1,5 liter/ hari, tetapi penderita diabetes yang tidak

terkontrol dapat memproduksi lima kali jumlah itu. Ia akan lebih sering

buang air kecil, terlebih pada malam hari sehingga bisa mengganggu tidur.

Baru tidur sebentar, harus bangun karena ingin buang air kecil.

f) Sering merasa haus dan ingin minum sebanyak-banyaknya (polidipsi),

dengan banyaknya urin yang keluar, badan akan kekurangan air atau
dehidrasi. Untuk mengatasi hal tersebut tubuh akan menimbulkan rasa

haus sehingga orang ingin selalu minum terutama yang dingin, manis,

segar, dan banyak. Tidak jarang, yang dipilih adalah minuman softdrink

dingin, menyegarkan, dan manis. Hal ini dapat merugikan karena

membuat kadar gula semakin tinggi. Namun, hal itu biasanya dilakukan

oleh seseorang yang awalnya sadar bahwa dia menderita diabetes.

g) Nafsu makan meningkat (polifagia) dan merasa kurang tenaga,

pemasukkan gula kedalam sel-sel tubuh kurang sehingga energi yang

dibentuk menjadi kurang. Inilah sebabnya orang merasa kurang tenaga.

Selain itu, sel juga menjadi kurang gula sehingga otak juga berpikir bahwa

kurang energi itu karena kurang makan, maka tubuh pun kemudian

berusaha meningkatkan asupan makanan dengan menimbulkan rasa lapar.

(Kurniadi dan Nurrahmani, 2015)

2.1.6 Patofisiologi

Pada diabetes melitus tipe II terdapat dua masalah yang berhubungan dengan

insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin

akan terikat dengan reseptor khusus pada permukaan sel. Sebagai akibat

terikatnya insulin dengan reseptor tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam

metabolisme glukosa didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes melitus tipe II

disertai dengan penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin tidak

menjadi efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan. Akibat

intoleransi glukosa yang berlangsung lambat dan progresif maka awitan diabetes
melitus tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalanya dialami pasien,

gejala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup kelelahan, iritabillitas,

poliuria, polidipsia, luka yang lama sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang

kabur (jika kadar glukosanya sangat tinggi). Penyakit diabetes membuat

gangguan/ komplikasi melalui kerusakan pembuluh darah diseluruh tubuh, disebut

angiopati diabetik. Penyakit ini berjalan kronis dan terbagi dua yaitu gangguan

pada pembuluh darah besar (makrovaskular) disebut makroangiopati, dan pada

pembuluh darah halus (mikrovaskular) disebut mikroangiopati. (Wijaya dan Putri,

2013)

2.1.7Pencegahan

1. Menurunkan berat badan.

Hal ini dikarenakan lemak dalam tubuh dapat menyerap insulin

2. Hindari makanan yang berlemak, instan, dan yang digoreng

3. Sebaiknya pilih makanan yang berserat tinggi dan glukosa kompleks

4. Kurangi makanan manis

5. Minum banyak air putih

6. Olahraga secara teratur

7. Hindari stress

8. Hindari alkohol atau softdrink

9. Hindari merokok

Penderita diabetes melitus yang merokok lebih beresiko, karena kebiasaan

mereka merusak jantung serta sistem sirkulasi dan mempersempit pembuluh


darah. Sebuah referensi menyatakan bahwa 95 % amputasi yang berkaitan

dengan diabetes dilakukan pada para perokok.

10. Minum obat yang dianjurkan dokter untuk menurunkan kadar gula

11. Bagi penderita diabetes melitus tipe I, pemberian insulin secara teratur perlu

diberikan melalui terapi insulin.

12. Obat penyembuh diabetes memang tidak ada, terapi dengan mengendalikan

gula dalam darah, seseorang dapat terhindar dari bahaya penyakit ini.

Mengubah pola makan dan gaya hidup menjadi lebih baik dan lebih sehat

harus dijalankan. Orang-orang yang menduga bahwa dirinya menderita

diabetes hendaknya memeriksakan diri kedokter yang telah berpengalaman

dalam pencegahan dan penanganan penyakit diabetes (Russel, 2011)

2.1.8 Penatalaksanaan

Insulin adalah hormon yang dihasilkan pankreas, sebuah organ disamping

lambung. Hormon ini melekatkan dirinya pada reseptor-reseptor yang ada pada

dinding sel. Insulin bertugas untuk membuka reseptor pada dinding sel agar

glukosa memasuki sel. Lalu sel-sel tersebut mengubah glukosa menjadi energi

yang diperlukan tubuh untuk melakukan aktivitas. Dengan kata lain, insulin

membantu menyalurkan gula kedalam sel agar diubah menjadi energi. Jika jumlah

insulin tidak cukup, maka terjadi penimbunan gula dalam darah sehingga

menyebabkan diabetes. (Russel, 2011)

Pemakaian Insulin pada diabetes melitus tipe II diperlukan pada keadaan:

1. Penurunan berat badan yang cepat

2. Hiperglikemia berat yang disertai ketosis


3. Ketoasidosis diabetic (KAD) atau hiperglikemia hiperosmolar non ketotik

(HONK)

4. Hiperglikemia dengan asidosis laktat

5. Stress berat

6. Kehamilan dengan diabetes melitus gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan

7. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat (Nurarif dan kusuma, 2015)

2.1.9 Komplikasi

1. Komplikasi metabolik

a. Ketoasidosis diabetic, berlawanan dengan reaksi hipoglikemik, reaksi

ketoasidosis diabetikum timbul karena kadar gula dalam darah meningkat

terlalu tinggi, biasanya >600 mg/dl.

b. HHNK (Hiperglikemik Hiperosmolar Non Ketotik)

2. Komplikasi

Adapun komplikasi ditimbulkan oleh penyakit diabetes melitus antara lain:

a. Mikrovaskular kronis (penyakit ginjal dan mata) dan neuropati

a) Penyakit ginjal

Dalam proses metabolisme didalam tubuh, terjadi pengolahan bahan baku

menjadi zat yang dibutuhkan tubuh. Sebagai akibatnya, proses ini juga

menghasilkan zat-zat sisa atau zat metabolik yang beredar didalam darah

yang harus dikeluarkan dari tubuh. Ginjal dilengkapi kumparan-kumparan

pembuluh darah halus yang disebut glomerulus, serupa dengan filter kecil
jika terjadi gangguan pada filter ini, maka ginjal tidak dapat berfungsi

dengan baik, dan zat-zat sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dan dapat

menumpuk dan meracuni tubuh. Sejumlah besar glukosa dalam urine

membuat ginjal beresiko terkena infeksi yang dapat menyebar dari kandung

kemih (sistitis dan pielonefritis) ke ginjal (nefropati). Nefropati diabetik

disebabkan oleh kelainan pembuluh darah halus pada glomerulus ginjal.

Pada keadaan normal, protein yang terkandung didalam darah tidak akan

bisa menembus ginjal. Jika sel dalam ginjal rusak, beberapa molekul protein

yaitu albumin, bisa melewati dinding pembuluh darah halus dan masuk

kesaluran urine. Jika tidak segera diobati dapat menyebabkan gagal ginjal.

b) Penyakit mata

Ada beberapa gangguan komplikasi diabetes pada mata seperti retinopati,

katarak dan glaukoma. Retinopati merupakan kelainan yang mengenai

pembuluh darah halus pada retina. Retina terdapat di dalam bola mata

sebelah belakang dan kerjanya adalah menangkap cahaya yang datang dari

luar setelah menembus lensa mata. Katarak (kekeruhan pada lensa mata)

lensa mata terdapat didepan retina yang meneruskan sinar ke retina. Katarak

menyebabkan cahaya tidak sampai ke retina sehingga orang tidak bisa

melihat. Glaukoma terjadi karena meningkatnya tekanan pada bola mata.

Keluhannya adalah rasa nyeri pada mata dan penglihatan berkurang.

c) Neuropati (saraf)

Neuropati dapat terjadi pada saraf yaitu neuropati pada tungkai dan kaki,

pada saluran pencernaan, dan pada kandung kemih. Neuropati pada tungkai
dan kaki, dirasakan di tungkai bawah dan sebelah kiri dan kanan adalah

kesemutan. Pada sebagian orang, neuropati dapat menyebabkan nyeri,

berdenyut terus- menerus (neuralgi). Jika kondisi demikian maka biasanya

tidur akan terganggu Makrovaskular ( MCl, stroke, penyakit vaskular

perifer) (Wijaya dan Putri,2013)

2.2 Kecemasan

2.2.1 Definisi kecemasan

Kecemasan adalah gangguan syaraf/ emosi yang bersifat umum dengan

berbagai kombinasi tanda-tanda fisik dan psikologis yang tidak dapat dikaitkan

dengan kerusakan nyata pada ‘free floating anxiety’. Ada dua macam kecemasan:

1. Kecemasan normal

2. Kecemasan yang disebabkan oleh penyakit, terbagi menjadi dua:

a) Kecemasan akibat rasa panik (akut) adalah kecemasan yang terjadi secara

kadang-kadang, yang berlangsung dalam jangka waktu singkat

b) Kecemasan difusif (bersifat menyebar) adalah ditandai dengan kecemasan/

ketakutan, berlangsung dalam jangka waktu lama, (Aprilistyawati, 2013).

Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari, seperti rasa takut, terkejut, tidak

berdaya, rasa berdosa/ bersalah, terancam, dan sebagainya. Juga ada segi-segi

yang ada diluar kesadaran dan tidak bisa menghindari perasaan yang tidak

menyenangkan itu. Rasa cemas itu terdapat dalam semua gangguan penyakit jiwa,

dan ada bermacam-macam:


1) Rasa cemas yang timbul akibat melihat dan mengetahui ada bahaya yang

mengancam dirinya

2) Rasa cemas yang berupa penyakit dan terlihat dalam beberapa bentuk.

3) Cemas karena merasa berdosa atau bersalah, karena melakukan hal-hal yang

berlawanan dengan keyakinan atau hati nurani

Dapat disimpulkan bahwa cemas itu timbul karena orang tidak mampu

menyesuaikan diri dengan dirinya, dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Adapun cara-cara untuk menghilangkan ketegangan batin ialah dengan jalan

menghilangkan penyebabnya. Tetapi tidak semua orang sanggup mengatasinya

dengan cara tersebut, dan mencari jalan lain yang kurang sehat yaitu berupa

usaha-usaha yang tidak disadari. Adapun cara-caranya sebagai berikut:

a) Pembelaan

Usaha yang diakukan untuk mencari alasan-alasan yang masuk akal bagi

tindakan yang sesungguhnya tidak masuk akal

b) Proyeksi

Proyeksi adalah menimpakan sesuatu yang terasa dalam dirinya kepada orang

lain, terutama tindakan, pikiran atau dorongan-dorongan yang tidak masuk akal

sehingga dapat diterima dan kelihatannya masuk akal

c) Identifikasi

Identifikasi merupakan kebalikan dari proyeksi, dimana orang turut merasakan

sebagian dari tindakan atau sukses yang dicapai oleh orang lain

d) Hilang hubungan (disasosiasi)


Pada hakikatnya perbuatan, pikiran, dan perasaan orang berhubungan satu

sama lain.

e) Refresi

Refresi adalah tekanan untuk melupakan hal-hal dan keinginan-keinginan yang

tidak disetujui oleh hati nuraninya.

f) Substitusi

Substitusi adalah cara pembelaan diri yang paling baik diantara cara-cara yang

tidak disadari alam menghadapi kesukaran. Dalam subtitusi orang melakukan

sesuatu karena tujuan-tujuan yang baik, yang berbeda satu sama sekali dari

tujuan asli yang mudah diterima, dan berusaha mencapai sukses dalam hal itu.

(Aqib, 2013)

Anxiety (kecemasan) terbagi menjadi tiga yaitu:

a) Kecemasan ringan, disebabkan oleh ketegangan dalam kehidupan seharihari

dan menyebabkan seseorang menjadi waspada

b) Kecemasan sedang, memungkinkan individu memusatkan pada hal yang

dirasa penting dan mengesampingkan hal lain sehingga perhatian hanya pada

hal yang selektif namun dapat melakukan sesuatu dengan terarah.

c) Kecemasan berat, terjadi bila individu mengalami pengurangan lapang

persepsi sehingga cenderung memusatkan pada sesuatu yang terinci dan

spesifik dan tidak dapat berpikir tentang hal lain. Semua perilaku ditujukan

untuk mengurangi ketegangan. Orang tersebut memerlukan banyak


pengarahan untuk dapat memusatkan pikiran pada suatu area lain. (Keliat

Dkk, 2011).

2.2.2 Cara mengukur kecemasan

Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan,

sedang atau berat sekali orang menggunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal

dengan nama Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri

dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci dengan gejala-

gejala yang spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka

(score) antara 0-4, yaitu :

Nilai 0= tidak ada gejala (keluhan)

1=gejala ringan

2=gejala sedang

3=gejala berat

4=gejala berat sekali

Masing-masing nilai angka (score) dari ke 14 kelompok gejala tersebut

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat

kecemasan seseorang yaitu:

Total nilai (score) :

< 14= tidak ada kecemasan

14-20= kecemasan ringan

21-27= kecemasan sedang


28-41= kecemasan berat

42-56= kecemasan berat sekali

Alat ukur HRS-A tidak dimaksudkan untuk menegakkan diagnosa gangguan

kecemasan. Diagnosa gangguan cemas ditegakkan dari pemeriksaan klinis oleh

psikolog, sedangkan untuk mengukur derajat berat ringannya gangguan cemas itu

digunakan alat ukur HRS-A, (Hawari, 2013).

2.2.3 Etiologi Kecemasan

Penyebab kecemasan sukar untuk diperkirakan dengan tepat. Hal ini disebabkan

oleh adanya sifat subyektif dari kecemasan, yaitu : bahwa kejadian yang sama

belum tentu dirasakan sama pula oleh setiap orang. Dengan kata lain suatu

rangsangan atau kejadian dengan kualitas dan kuantitas yang sama dapat

diinterpretasikan secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.

Teori kognitif menyatakan bahwa reaksi kecemasan timbul karena kesalahan

mental. Kesalahan mental ini karena kesalahan menginterpretasikan suatu situasi

yang bagi individu merupakan sesuatu yang mengancam. Melalui teori belajar

sosial kognitif, Bandura menyatakan bahwa takut dan kecemasan dihasilkan dari

harapan diri yang negatif karena mereka percaya bahwa mereka tidak dapat

mengatasi dari situasi yang secara potensial mengancam bagi mereka (Prabowo,

2014).

2.2.4 Penatalaksanaan

Terapi yang diberikan pada kasus reaksi kecemasan berlebihan adalah dengan

konseling dan medikasi: dengan informasikan bahwa stress dan rasa khawatir
keduanya mempunyai efek fisik dan mental. Dengan mengurangi dampak stress

merupakan pertolongan yang paling efektif. Mengenali, menghadapi dan

menantang kekhawatiran yang berlebihan dapat mengurangi gejala anxietas.

Kenali kekhawatiran yang berlebihan atau pikiran yang pesimistik. Medikasi

merupakan terapi sekunder, tapi dapat digunakan jika dengan konseling gejala

menetap, (Prabowo, 2014).

2.3 Insomnia

2.3.1 Definisi insomnia

Insomnia adalah suatu gejala kelainan dalam pemenuhan kebutuhan tidur yang

dimanifestasikan dengan kesulitan berulang untuk memulai tidur atau bahkan

mempertahankan tidur walaupun ada kesempatan untuk melakukannya, (Prabowo,

2014).

Gangguan tidur dan depresi cenderung muncul bersamaan. Kesulitan tidur

dianggap sebagai gejala gangguan mood. Setidaknya 80% dari menderita depresi

mengalami insomnia atau kesulitan tidur, seringkali kesulitan untuk tetap tertidur.

Depresi berpengaruh terhadap kualitas tidur yang menyebabkan seseorang merasa

lelah setelah bangun. Insomnia atau kesulitan tidur bukanlah suatu penyakit.

Insomnia adalah cara tubuh bereaksi terhadap stress. Jumlah waktu tidur yang

dibutuhkan oleh tiap orang berbeda-beda. Kebanyakan orang dewasa memerlukan

tidur 8 jam setiap malam. Jika tidak mendapatkan cukup tidur, kita akan merasa

mengantuk disiang hari. Pola tidur berubah sesuai dengan usia, (Lubis, 2016).

2.3.2 Etiologi
Insomnia dapat disebabkan oleh stress, kecemasan dan depresi, obat-obatan,

kafein, nikotin dan alkohol, kondisi medis dan perubahan lingkungan atau jadwal

kerja.

2.3.3 Gejala

1. Kesulitan untuk memulai tidur pada malam hari

2. Sering terbangun pada malam hari

3. Bangun tidur terlalu awal

4. Kelelahan atau mengantuk pada siang hari

5. Iritabilitas, depresi atau kecemasan

6. Konsentrasi dan perhatian berkurang

7. Peningkatan kesalahan dan kecelakaan

8. Ketegangan dan sakit kepala

9. Gejala gastrointestinal (Prabowo, 2014)

2.3.4 Cara Mengukur Insomnia

Gangguan pola tidur diukur dengan menggunakan panduan wawancara dengan

mengacu pada Insomnia Rating Scale (IRS) yang digunakan oleh Kelompok Studi

Biologik Jakarta (KSPBJ), sehingga dapat mengetahui skor insomnia secara

objektif. Skala pengukuran insomnia ini tersusun atas 8 pertanyaan terdiri dari:

a) Lamanya tidur

Nilai 0: untuk jawaban tidur lebih dari 6,5 jam

Nilai 1: untuk jawaban 5 jam 30 menit – 6 jam 30 menit

Nilai 2: untuk jawaban antara 4 jam 30 menit- 5 jam 30 menit


Nilai 3: untuk jawaban tidur kurang dari 4 jam 30 menit

b) Mimpi-mimpi

Nilai 0: untuk jawaban tidak bermimpi sama sekali

Nilai1: untuk jawabanterkadang bermimpi dan mimpi yang menyenangkan

Nilai 2: untuk jawaban selalu bermimpi dan mimpi yang mengganggu

Nilai 3: untuk jawaban selalu mimpi buruk dan tidak menyenangkan

b) Kualitas tidur

Nilai 0: untuk jawaban tidur sangat lelap dan sulit terbangun

Nilai 1: untuk jawaban tidur nyenyak dan sulit terbangun

Nilai 2: untuk jawaban tidur tidak nyenyak, dan sangat mudah terbangun

c) Masuk tidur

Nilai 0: untuk jawaban memulai waktu tidur kurang dari 5 menit

Nilai 1: untuk jawaban memulai waktu tidur antara 6 – 15 menit

Nilai 2: untuk jawaban memulai waktu tidur untuk antara 16 – 29 menit

Nilai 3: untuk jawaban memulai tidur antara 30 - 44 menit

Nilai 4: untuk jawaban memulai waktu tidur antara 45 – 60 menit

Nilai 5: untuk jawaban memulai waktu tidur lebih dari 60 menit

d) Bangun malam hari

Nilai 0: untuk jawaban tidak terbangun sama sekali

Nilai 1: untuk jawaban terbangun 1-2 kali

Nilai 2: untuk jawaban terbangun 3-4 kali

Nilai 3: untuk jawaban terbangun lebih dari 4 kali

e) Waktu untuk kembali tidur setelah bangun malam hari


Nilai 0: untuk jawaban kurang dari 5 menit

Nilai 1: untuk jawaban 6-15 menit

Nilai 2: untuk jawaban antara 16-60 menit

Nilai 3: untuk jawaban lebih dari 1 jam

f) Bangun dini hari

Nilai 0 : untuk jawaban bangun pada waktu biasanya

Nilai 1: untuk jawaban 30 menit lebih cepat dari biasanya dan tidak bisa

tidur lagi

Nilai 2: untuk jawaban bangun 1 jam lebih cepat dan tidak bisa tidur lagi

Nilai 3: untuk jawaban lebih dari 1 jam bangun lebih awal dan tidak dapat

tidur kembali

g) Perasaan segar diwaktu bangun

Nilai 0: untuk jawaban perasaan segar

Nilai 1: untuk jawaban tidak begitu segar

Nilai 2: untuk jawaban tidak segar sama sekali (Aspuah, 2013)

2.4 Lansia

2.4.1 Definisi lansia

Lanjut Usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun keatas. Pada

lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara

perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki

kerusakan yang terjadi. (Sunaryo et al, 2012)


2.4.2 Batasan Lanjut Usia

Menurut pendapat berbagai ahli dalam effen di (2009), batasan-batasan

umur yang mencakup batasan umur lansia sebagai berikut:

1. Menurut undang-undang Nomor 13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2

yang berbunyi “lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60

tahun keatas”.

2. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia

menjadi 4 yaitu : Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, Lanjut usia

(elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua

(very old) diatas 90 tahun.

3. Menurut Dra.Jos Masdani (Psikolog UI) terdapat empat fase, yaitu: pertama

(fase inventus) ialah 25-40 tahun, kedua (fase virilities) ialah 40-55, ketiga

(fase presenium) ialah 55-65 tahun, keempat (fase senium) ialah 65 tahun

hingga tutup usia.

4. Menurut Prof.Dr. koesoemanto Setyonegoro masa lanjut usia (getiatric age):

>65 tahun atau 70 tahun. Masa lanjut usia (getiatric age) itu sendiri dibagi

menjadi tiga batasan umur, yaitu young old (70-75 tahun), old (70-75 tahun),

dan very old (>80 tahun) (Sunaryo et al, 2012)

2.4.3 Perubahan yang Terjadi pada Lansia

1. Perubahan Fisik

a. Sel

Jumlah lebih sedikit, ukuran lebih besar, mekanisme perbaikan sel terganggu,

menurunnya proporsi protein diotak, otot, ginjal, darah dan hati.


b. Sistem Persyarafan

Lambat dalam respon dan waktu untuk bereaksi, mengecilnya saraf panca

indra, kurang sensitif terhadap sentuhan, hubungan persarafan menurun.

c. Sistem Pendengaran

Prebiaskusis/ gangguan pendengaran, hilang kemampuan pendengaran pada

telinga dalam terutama terhadap bunyi suara atau nada yang tinggi dan tidak

jelas, sulit mengerti kata-kata terjadi pengumpulan seruman dapat mengeras.

d. Sistem Penglihatan

Sfingter pupil timbul sclerosis, hilang respon terhadap sinar, kornea lebih

berbentuk sferis (bola), kekeruhan pada lensa, hlangnya daya akomodasi,

menurunnya daya membedakan warna biru dan hijau pada skala, menurunnya

lapangan pandang, menurunnya elastisitas dinding aorta, katub jantung

menebaldan menjadi kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun

±1%/tahun, kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah meningkat.

e. Sistem Pengaturan suhu tubuh

Temperatur tubuh menurun secara fisiologis, keterbatasan, reflek menggigil

dan tidak dapat memproduksi panas yang banyak sehingga terjadi penurunan

aktivitas otot.

f. Sistem Respirasi

Menurunnya kekuatan otot pernafasan dan aktivitas dari silia-silia paru-paru

kehilangan elastisitas, alveoli ukurannya melebar, menurunnya 02 pada arteri

menjadi 75mmHg, menurunnya batuk.

g. Sistem Gastrointestinal
Terjadi penurunan selera makan rasa haus, asupan makanan dan kalori, mudah

terjadi konstipasi dan gangguan percernaan lainnya, terjadi penurunan produksi

saliva, karies gigi, gerak peristaltik usus dan pertambahan waktu pengosongan

lambung.

h. Sistem Genitourinaria

Ginjal mengecil aliran darah keginjal menurun, fungsi menurun, fungsi tubulus

berkurang, otot kandung kemih menjadi menurun, vesika urinaria susah

dikosongkan, pembesaran prostat, atrofi vulva.

i. Sistem Endokrin

Produksi hormon menurun fungsi paratiroid dan sekresi tidak berubah,

menurunnya aktivitas tiroid, menurunnya produksi aldesteron, menurunnya

sekresi hormon kelamin.

j. Sistem Integumen

Kulit mengerut / keriput, permukaan kulit kasar dan bersisik, respon terhadap

trauma menurun, kulit kepala dan rambut menipis dan berwarna kelabu,

elastisitas kulit berkurang pertumbuhan kuku lebih lambat, kuku menjadi keras

dan seperti bertanduk, kelenjar keringat berkurang.

k. Sistem Muskuloskeletal

Tulang kehilangan cairan dan makin rapuh, tubuh menjadi lebih pendek,

persendian membesar dan menjadi kaku, tendon mengerut dan menjadi

sklerosis, atrofi serabut otot.

2. Perubahan Psikososial
Pensiun adalah nilai seseorang sering diukur oleh produktivitasnya dan identitas

dikaitkan dengan peranan dalam pekerjaan. Bila seseorang pensiun (purna tugas),

ia akan mengalami kehilangan financial, status, teman, pekerjaan, merasakan atau

sadar akan kematian, perubahan dalam hidup, ekonomi akibat pemberhentian dari

jabatan, penyakit kronis dan ketidakmampuan, gangguan syaraf panca indra,

gangguan gizi akibat kehilangan jabatan, dan hilngnya kekuatan dan ketegapan

fisik.

3. Perubahan Spiritual

Perubahan spiritual yaitu agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam

kehidupan, lansia makin teratur dalam kehidupan keagamaannya, hal ini terlihat

dalam berpikir dan bertindak dalam sehari-hari serta perkembangan spiritual pada

usia 70 tahun adalah universalizing (berpikir dan bertindak dengan cara

memberikan contoh cara mencintai dan keadilan

4. Perubahan Mental

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental adalah Perubahan fisik,

Kesehatan umum, Tingkat Pendidikan, Keturunan (hereditas) serta Lingkungan

5. Perubahan Intelegensi (IQ)

Untuk mengendalikan hal ini, maka sebaiknya setiap orang walaupun dalam

kondisi lansia, juga tetap mempertahankan cara belajar.

6. Perubahan Ingatan

Dalam komunikasi, memori memegang peranan yang penting dalam

mempengaruhi baik persepsi maupun berpikir, (Mujahidullah, 2012)

2.4.4 Tipe lansia


Beberapa tipe pada lanjut usia :

1. Tipe arif bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman menyesuaikan diri dengan perubahan

zaman, mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,

dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan

2. Tipe mandiri

Mengganti kegiatan yang dengan yang baru, selektif dalam mencari pekerjaan,

teman bergaul dan memenuhi undangan

3. Tipe tidak puas

Konflik lahir batin menentang proses penuaan sehingga menjadi pemarah,

tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, pengkritik dan banyak

menuntut.

4. Tipe pasrah

Menerima menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama, ringan kaki,

pekerjaan apa saja dilakukan

5. Tipe bingung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, minder, menyesal, dan acuh

tak acuh, (Rosidawati et al, 2010).

2.4.5 Macam-macam usia

1. Usia Biologis

Memberikan taksiran dari posisi individu saat ini sehubungan dengan potensi

jangka hidupnya.

2. Usia Psikologis
Menunjukkan kapasitas adaptif individu dibandingkan dengan orang lain pada

umur kronologis yang sama. Kemampuan belajar, intelegensi, ingatan, emosi,

motivasi dan sebagainya dapat diukur untuk memprediksi sejauh mana

seseorang mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan.

3. Usia Fungsional

Mengukur tingkat kemampuan individu untuk berfungsi didalam masyarakat,

dibandingkan dengan orang lain pada orang kronologis yang sama. Apakah ia

masih mampu hidup mandiri, atau melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu

sehingga berguna bagi masyarakat.

4. Usia Sosial

Menunujukkan sejauh mana seseorang dapat berpartisipasi sosial, melakukan

peran-peran sosial, dibandingkan dengan anggota masyarakat lainnya pada usia

kronologis yang sama.

5. Usia Subjektif

Usia subjektif adalah usia seseorang berdasarkan perasaan subjektifnya, apakah

lebih muda ataukah lebih tua dari usia kronologisnya.

6. Usia Religius

Menunjukkan tinggi rendahnya religiusitas seseorang, (Indriana, 2012).

2.4.6 Ciri-ciri masa Tua

1. Menurut Hurlock (1980) terdapat beberapa ciri-ciri orang lanjut usia, yaitu:

a. Usia lanjut merupakan periode kemunduran

b. Orang lanjut usia memiliki status kelompok minoritas

c. Menua membutuhkan perubahan peran


d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

2. Karakteristik masa tua

Menurut Butler dan Lewis (1983) serta Aiken (1989) terdapat berbagai

karakteristik lansia yang bersifat positif. Beberapa diantaranya adalah:

a. Keinginan untuk meninggalkan warisan;

b. Fungsi sebagai seseorang yang dituakan;

c. Kelekatan dengan objek-objek yang dikenal;

d. Perasaan tentang siklus kehidupan;

e. Kreativitas,

f. Rasa ingin tahu dan kejutan (surprise)

g. Perasaan tentang penyempurnaan atau pemenuhan kehidupan, dan lain-

lain, (Marmi dan Margiyati, 2013).

2.4.7 Masalah Psikologis dan Kesehatan Mental Spritualitas Lansia

Masalah kesehatan mental pada lansia dapat berasal dari 4 aspek yaitu fisik,

psikologis, sosial dan ekonomi. Masalah tersebut dapat berupa emosi labil, muda

tersinggung, gampang merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan

kehilangan, dan tidak berguna. Lansia dengan problem tersebut menjadi rentan

mengalami gangguan psikiatrik seperti depresi, anxiety (kecemasan), psikosis

(kegilaan) atau kecanduan obat. Masalah kesehatan mental lansia adalah masalah

penyesuaian. Penyesuaian tersebut karena adanya perubahan dari keadaan

sebelumnya (fisik masih kuat, bekerja dan berpenghasilan) menjadi kemunduran.


Lansia juga identik dengan menurunnya daya tahan tubuh dan mengalami

berbagai macam penyakit. Lansia akan memerlukan obat yang jumlah atau

macamnya tergantung dari penyakit yang diderita. Faktor psikologis dan

emosional masih terkait dengan kehidupan lansia. Pada lansia permasalahan

psikologis terutama muncul bila lansia tidak berhasil menemukan jalan keluar

masalah yang timbul sebagai akibat proses menua. Rasa tersisih, tidak dibutuhkan

lagi, ketidakikhlasan menerima kenyataan baru seperti penyakit yang tidak

kunjung sembuh, kematian pasangan, merupakan sebagian kecil dari keseluruhan

perasaan tidak enak yang harus dihadapi lansia, (Marmi dan Margiyati, 2013).

2.4.8 Teori Penuaan

1. Teori biologis

Teori biologis menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk perubahan fungsi

dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian. Perubahan-perubahan

dalam tubuh termasuk perubahan molekular dan seluler dalam sistem organ

utama dan kemampuan tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan

penyakit.

2. Teori genetika

Teori genetika menjelaskan bahwa penuaan terutama dipengaruhi oleh

pembentukkan gen dan dampak lingkungan pada pembentukkan kode genetik.

Menurut teori genetika, penuaan merupakan suatu proses yang secara tidak

sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk mengubah sel atau

struktur jaringan.

3. Teori wear-and-tear
Teori ini mengusulkan bahwa akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi

dapat merusak sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan

akhirnya malfungsi organ tubuh. Pendukung teori ini percaya bahwa tubuh

akan mengalami kerusakan berdasarkan suatu jadwal.

4. Teori imunitas

Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem imun yang

berhubungan dengan penuaan. Ketika orang bertambah tua, pertahanan mereka

terhadap organisme asing megalami penurunan, sehingga mereka lebih rentan

untuk menderita berbagai penyakit seperti kanker dan infeksi.

5. Teori Neuroendokrin

Teori-teori biologi penuaan, berhubungan dengan hal-hal seperti yang telah

terjadi pada struktur dan perubahan pada tingkat molekul dan sel, Nampak

sangat mengagumkan dalam beberapa situasi.

6. Teori psikososiologis

Teori psikososial memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku

yang menyertai peningkatan lansia, sebagai lawan dari impliksai biologi pada

kerusakan anatomis.

7. Teori kepribadian

Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan psikologis tanpa

menggambarkan harapan atau tugas spesifik lansia.

8. Teori perkembangan

Tugas perkembangan merupakan aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi

oleh seseorang pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai


penuaan yang sukses. Erickson menguraikan tugas utama lansia adalah mampu

melihat kehidupan seseorang sebagai kehidupan yang dijalani dengan

integritas.

9. Teori disengagement

Teori disengagement (teori pemutusan hubungan), dikembangkan pertama kali

pada awal tahun 1960-an, menggambarkan proses penarikan diri oleh lansia

dari peran bermasyarakat dan tanggung jawabnya.menurut ahli teori ini, proses

penarikan diri ini dapat diprediksi, sistematis, tidak dapat dihindari, dan

penting untuk fungsi yang tepat dari masyarakat yang sedang tumbuh.

10. Teori aktivitas

Lawan dari teori disengagement adalah teori aktivitas penuaan, yang

berpendapat bahwa jalan menuju penuaan yang sukses adalah dengan cara

tetap aktif. Havighurst yang pertama menulis tentang pentingnya tetap aktif

secara sosial sebagai alat untuk penyesuian diri yang sehat untuk lansia pada

tahun 1952.

11. Teori kontinuitas

Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu sebelumnya dan

kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi bagaimana seseorang akan dapat

menyesuaikan diri terhadap perubahan akibat penuaan. (Stanley dan Beare,

2012)
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini di mulai dari Pengambilan data awal sampai selesai penelitian di

wilayah Puskesmas Limboto Barat, dengan waktu Penelitian ini dari tanggal 04

Januari-23 Maret 2018

3.2 Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah deskriptif menggunakan metode Survey Analitik dengan

pendekatan Cross Sectional yaitu untuk mencari hubungan antara variabel yang

ada terhadap data yang dikumpulkan atau data yang diperoleh saat itu juga. Cara

ini dilakukan menyebarkan kuisioner secara langsung. (Setiadi, 2013)

3.3 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Variabel Independen yaitu kecemasan

2. Variabel Dependen yaitu Insomnia

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan semua variabel dan istilah yang

digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga akhirnya mempermudah

pembaca dalam mengartikan makna penelitian. (Setiadi, 2013)

Kecemasan merupakan suatu keadaan perasaan dimana individu merasa lemah

sehingga tidak berani untuk bersikap


Insomnia adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami kesulitan tidur pada

malam hari

3.5 Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu

penelitian. Penentuan sumber data dalam suatu penelitian sangat penting dan

menentukan keakuratan hasil penelitian, (saryono dan anggraeni, 2013).

Populasi dalam penelitian ini adalah lansia yang mengalami diabetes melitus

tipe II di wilayah puskesmas Limboto Barat sejumlah 59 orang.

2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini menggunakan Total Sampling adalah

dimana jumlah populasi dijadikan sampel. Jadi sampel dalam penelitian ini

adalah lansia yang mengalami diabetes melitus tipe II di wilayah puskesmas

Limboto Barat sejumlah 59 orang.

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Ada beberapa teknik pengumpulan data yang dapat dilakukan peneliti

sebagai berikut:

1. Wawancara

Pada metode ini, pengumpulan data dilakukan dengan. Tanya jawab (dialog)

langsung antara pewawancara dengan responden. Oleh karena kegiatan

dilakukan secara berhadapan langsung, maka faktor internal pewawancara

sangat berpengaruh sehingga pewawancara perlu latihan.


Bila dilihat dari sumber datanya, maka pengumpulan data dapat menggunakan

sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer diperoleh

langsung dari subjek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat

pengambil data, langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.

Sedangkan sumber data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain,

tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. (Saryono dan

Anggraeni, 2013)

2. Kuisioner

Suatu cara pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengedarkan suatu

daftar pertanyaan yang berupa formulir, (Setiadi, 2013).

3.7 Teknik Analisis Data

Analisis yang di gunakan univariat dan bivariat. Penelitian bertujuan untuk

mengetahui hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia terhadap

diabetes melitus tipe II pada lansia diwilayah Kecamatan Limboto Barat.

1. Analisis Univariat

Analisis univariat, data yang diperoleh dari hasil pengumpulan dapat disajikan

dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, ukuran tendensi sentral atau grafik. Jika

data mempunyai distribusi normal, maka dapat digunakan sebagai ukuran

pemusatan dan standar deviasi (SD) sebagai ukuran penyebaran.

2. Analisa Bivariat

Analisis bivariat merupakan analisis untuk mengetahui interaksi dua variabel,

baik berupa komparatif, asosiatif maupun korelatif. Terdapat uji parametrik dan

non parametrik pada analisis bivariat.


Analisis bivariat dilakukan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara

variabel yang digunakan uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Square.

Untuk melihat ada tidaknya hubungan antar variabel yang digunakan uji

statistik dengan menggunakan Chi-Square yaitu untuk melihat hubungan

variabel independen dengan variabel dependen. Pada penelitian yang saya

ajukan dengan judul Hubungan tingkat Kecemasan dengan Kejadian Insomnia

pada Lansia Penderita Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Puskesmas Limboto

Barat. Memasukan data kedalam rumus Chi Kuadrat, (Saryono dan Anggraeni.

2013).
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Deskripsi Hasil Penelitian

1. Letak Geografis

Kecamatan Limboto barat terdiri dari 10 Desa yaitu Desa Yosonegoro, Pone,

Ombulo, Daenaa, Padengo, Haya-Haya, Hutabohu, Huidu, Huidu Utara,

Tunggulo. Dengan batas administrasi kecamatan adalah sebagai berikut:

1) Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Tibawa

2) Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Limboto

3) Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Tabongo

4) Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Gorontalo Utara

2. Iklim

Sebagaimana pada umumnya Kabuaten Gorontalo yang merupakan daerah tropis

yang terdapat 2 musim yaitu musim penghujan yang berlangsung dari bulan

Desember sampai bulan Maret dan musim kemarau yang berlangsung dari bulan

Juni sampai bulan September, iklim ini bergantian dalam keadaan normal setiap 6

bulan. Suhu rata - rata 280 – 320 Celsius dengan curah hujan rata – rata 128,75 mm

dan rata – rata hari hujan 187 hari hujan pertahun. Kelembaban rata – rata 70% -

90%. Demikian juga kondisi iklim diwilayah Puskesmas Limboto Barat.


3. Kependudukan

Kebijakan kependudukan diarahkan kepada pembangunan sumber daya manusia

yang berciri mandiri untuk melanjutkan pengembangan kualitas dan peningkatan

mobilitas dengan tetap memberikan dukungan terhadap pengendalian jumlah,

struktur, komposisi serta pertumbuhan dan persebaran penduduk yang ideal,

melalui upaya pengendalian kelahiran, menekan angka kematian dan

meningkatkan kualitas program keluarga berencana. Berdasarkan hasil verifikasi

pendataan KK Miskin diperoleh jumlah penduduk di wilayah Puskesmas Limboto

Barat pada tahun 2016 sebanyak 23.717 jiwa, dengan jumlah kepala keluarga

sebanyak 7306 jiwa. Jumlah penduduk laki – laki sebanyak 11.797 Jiwa dan

penduduk perempuan sebanyak 11.920 Jiwa.

4. Agama

Mayoritas pemeluk agama di Wilayah kerja Puskesmas Limboto Barat adalah

agama islam

5. Potensi Sumber Daya Ekonomi dan Alam

Potensi sumber daya terdiri dari lahan pertanian, perkebunan, peternakan

6. Organisasi Puskesmas

Sejalan dengan visi dan misi Dinas Kesehatan Kabupaten Gorontalo, Puskesmas

Limboto Barat mempunyai Visi yaitu “ Kabupaten Gorontalo Gemilang untuk

Mewujudkan Masyarakat Madani” dan Misi yaitu:

1) Mendorong kemandirian hidup sehat bagi perorangan kelurga dan

masyarakat
2) Memberdayakan masyrakat untuk meningkatkan derajt kesehatan secara

terpadu dan berkesinambungan

3) Meningkatkan pelayanan kesehatan yang merata, bermutu dan berkeadilan

dengan pengutamaan pada upaya promotif dan preventif .

4)

4.1.2 Pengujian Persyaratan/ Analisis

1. Analisis Univariat

1) Karakteristik Responden berdasarkan Kelompok Umur

Tabel 5. Distribusi berdasarkan Kriteria Lansia penderita diabetes melitus tipe II


di Wilayah Puskesmas Limboto Barat tahun 2018 dengan jumlah sampel
59 orang
Variabel Jumlah Presentase %
60-74 Tahun 59 100.0
Sumber : Data Primer (2018)

Berdasarkan 5 Karakteristik responden Lansia penderita diabetes melitus tipe II di

Wilayah Puskesmas Limboto Barat tahun 2018 berusia 60-74 tahun dengan

Penderita diabetes melitus tipe II.

2) Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin

Tabel 6 Distribusi karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan


perempuan

Variabel Jumlah Presentase %


Laki-laki 10 16.9
Perempuan 49 83.1
Total 59 100.0
Sumber : Data Primer (2018)

Berdasarkan tabel 6 Jenis kelamin responden penderita diabetes melitus tipe II

lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki. Responden laki-laki berjumlah

10 orang (16,9 %)sedangkan perempuan berjumlah 49 orang (83,1 %).


3) Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan

Tabel 7 Distribusi karakteristik responden berdasarkan pendidikan

Variabel Jumlah Presentase %


SD 49 83.1
SMP 7 11.9
SMA 3 5.1
Total 59 100.0
Sumber : Data Primer (2018)

Berdasarkan tabel 7 Karakteristik responden lansia penderita diabetes melitus tipe

II memiliki pendidikan terakhir lebih banyak tamat SD dibandingkan dengan

tamat SMP dan SMA. Responden tamat SD berjumlah 49 orang (83,1 %), tamat

SMP berjumlah 7 orang (11,9 %) dan SMA berjumlah 3 orang (5,1 %)

4) Karakteristik Responden Berdasarkan Pekerjaan

Tabel 8 Distribusi karakteristik responden berdasarkan pekerjaan

Variabel Jumlah Presentase %


Petani 10 16.9
IRT 49 83.1
Total 59 100.0
Sumber : Data Primer (2018)

Berdasarkan tabel 8 Karakteristik responden lansia penderita diabetes melitus tipe

II berdasarkan pekerjaan lebih banyak IRT dibandingkan petani. Responden

petani berjumlah 10 orang (16,9 %) dan IRT berjumlah 49 orang (83,1 %)

5) Distribusi Tingkat Kecemasan pada Lansia penderita Diabetes Melitus Tipe II

di Wilayah Puskesmas Limboto Barat


Tabel 9 Distribusi Tingkat Kecemasan di Wilayah Puskesmas Limboto Barat

Kecemasan N Presentase %
Ringan 9 15.3
Sedang 15 61.0
Berat 3 23.7
Total 59 100.0

Sumber: Data Primer ((2018)

Berdasarkan tabel 9 diketahui responden tingkat kecemasan lebih banyak

mengalami kecemasan sedang berjumlah 36 orang (61,0 %), dibandingkan dengan

kecemasan ringan berjumlah 9 orang (15,3 %), dan kecemasan berat berjumlah 14

orang (23.7 %)

6) Distribusi Kejadian Insomnia pada Lansia penderita Diabetes Melitus Tipe II di

Wilayah Puskesmas Limboto Barat

Tabel 10 Distribusi Kejadian Insomnia pada Lansia penderita Diabetes Melitus


tipe II
Insomnia N Presentase %
Tidak Insomnia 9 15.3
Insomnia 50 84.7
Total 59 100.0
Sumber : Data Primer (2018)

Berdasarkan tabel 10 diketahui dari 59 responden kejadian insomnia lebih banyak

mengalami insomnia berjumlah 50 (84,7%) dibandingkan tidak mengalami

insomnia berjumlah 9 (15,3%).

2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat dilakukan dengan tabulasi silang (Crosstab) untuk menemukan

bentuk hubungan statistik antara variabel independen dan dependen.

Berdasarkan analisis diketahui 9 responden yang mengalami kecemasan ringan

(15,3%) dengan tidak mengalami insomnia 4 orang (6,8%) dan mengalami

insomnia 5 orang (8,5%), dari 36 responden yang mengalami kecemasan sedang

(61,0%) tidak mengalami insomnia 4 orang (6,8%) dan mengalami insomnia 32

orang (54,2%), 14 responden mengalami kecemasan berat (23,7%) tidak

mengalami insomnia 1 orang (1,7%) dan mengalami insomnia 13 orang (23,7%).

Berdasarkan analisis tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang

mengalami kecemasan sedang dan berat lebih banyak mengalami insomnia

dibandingkan kecemasan ringan.

Hasil analisa data dengan menggunakan uji statistic Chi-square diperoleh hasil

nilai Pvalue 0,028 < 0,05 sehingga H0 ditolak. Artinya ada Hubungan Tingkat

Kecemasan dengan Kejadian Insomnia pada lansia penderita Diabetes Melitus tipe

II.

4.2 Pembahasan

4.2.1 Analisa Univariat

1. Karakteristik Responden

a. Umur

Berdasarkan hasil penelitian diketahui respoden di Wilayah Puskesmas Limboto

Barat penderita diabetes melitus berusia 60-74 tahun berjumlah 59 orang

berdasarkan batasan lansia menurut WHO. Menurut peneliti bahwa umur

berpengaruh terhadap lansia penderita diabetes melitus tipe II, didapatkan dari 59
responden sebagian besar mengalami insomnia dengan usia 60-74 tahun

mengalami insomnia dengan sering terbangun dini hari, merasa tidak segar pada

malam hari, mengalami mimpi buruk. Pada usia 61-81 tahun cenderung memiliki

kualitas tidur yang buruk berkaitan dengan penurunan fungsi-fungsi fisiologis.

Selain itu proses patologis terkait usia dapat menyebabkan perubahan pola tidur.

Kuantitas tidur buruk menyerang 50% orang yang berusia 65 tahun atau lebih.

(kozier et al dalam Hubura 2017). Insomnia sering muncul dengan gangguan

kejiwaan seperti gangguan kecemasan dan depresi. Hal itu meningkat seiring

bertambahnya usia. Pada usia lanjut sering mengalami pola terbangun pada dini

hari. Beberapa usia lanjut dapat tertidur secara normal tetapi terbangun beberapa

jam kemudian dan sulit untuk tertidur kembali (Bekti dalam Giatiningsih, 2011)

b. Jenis Kelamin

Berdasarkan hasil penelitian jenis kelamin menunjukkan bahwa responden

perempuan lebih banyak dibandingkan responden laki-laki. Responden

perempuan berjumlah 49 orang (83,1%) dan laki-laki 10 orang (16,9%).

Responden wanita yang mengalami kecemasan ringan 6 orang, kecemasan sedang

31 orang, dan berat 12 orang sedangkan responden laki-laki yang mengalami

kecemasan ringan 3 orang, kecemasan sedang 5 orang dan berat 2 orang. Menurut

peneliti perempuan lebih banyak mengalami insomnia dibandingkan laki-laki hal

ini karena perempuan lebih sering terbangun 1-2 kali untuk buang air kecil,

minum air dan tidak dapat menahan kencing. Responden mengalami insomnia

(kesulitan tidur), kesulitan tidur ini bisa menyangkut lamanya waktu tidur

(kuantitas) atau kelelapan (kualitas) tidur. Sekitar 20- 40% masyarakat mengalami
masalah insomnia. Wanita dikatakan lebih sering menderita insomnia

dibandingkan dengan laki-laki (Mukhlidah dalam Anggraeni 2013).

c. Pendidikan

Berdasarkan hasil penelitian diketahui pendidikan terakhir lansia lebih banyak

tamat SD berjumlah 49 orang (83,1). Menurut peneliti semakin tinggi pendidikan

semakin tinggi pula pengetahuan seseorang dalam hal mencegah suatu penyakit.

Tingkat pendidikan yang tinggi bisa memungkinkan individu untuk mengakses

dan memahami informasi tentang kesehatan sehingga lansia memiliki

pengetahuan untuk memilih strategi dalam mengatasi insomnia. Tingkat

Pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan penyakit sangat berpengaruh,

(Menurut darmojo dalam Hubura 2015) tingkat pendidikan merupakan salah satu

faktor sosiokultural yang bisa mempengaruhi insomnia.

d. Pekerjaan

Berdasarkan hasil penelitian di wilayah puskesmas limboto barat diketahui dari 59

responden memiliki pekerjaan IRT berjumlah 49 orang (83,1%) lebih banyak

dibandingkan Petani berjumlah 10 orang (16,9%). Menurut peneliti pekerjaan

tidak berpengaruh dalam kehidupan lansia karena lansia dengan melakukan hal-

hal yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Adapun menurut (susilo dalam

marini, 2015) masalah insomnia yang terjadi pada lansia ini disebabkan oleh

banyak hal. Hal-hal yang bisa menyebabkan terjadinya insomnia pada lansia

tersebut berupa faktor dari luar (ekstrinsik) yaitu gaya hidup dan lingkungan yang

kurang tenang serta faktor dari dalam (intrinsik) yaitu kecemasan, kondisi fisik

dan depresi, pada umumnya kesempatan untuk turut berperan dengan cara penuh
arti bagi kehidupan seseorang yang penting bagi dirinya adalah suatu komponen

kesejahteraan yang penting bagi lansia. Penelitian menunjukkan bahwa hilangnya

fungsi peran pada lansia secara negatif sangat mempengaruhi kepuasaan hidup.

Selain itu juga penelitian terbaru menunjukkan pentingnya aktivitas mental dan

fisik yang berkesinambungan untuk mencegah kehilangan dan pemeliharaan

kesehatan. (Stanley dan Beare, 2012)

e. Kecemasan

Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Puskesmas Limboto barat di ketahui dari

59 responden yang mengalami kecemasan lebih banyak yaitu kecemasan sedang

berjumlah 36 orang (61,0%). Menurut peneliti tingkat kecemasan seseorang

berbeda dan lansia penderita diabetes melitus sangat rentan karena lansia merasa

bahwa penyakit ini akan memberi dampak lebih bahaya jika tidak dicegah ataupun

ditangani segera. (Kozier, dkk dalam Anggraeni 2013) yang menyatakan bahwa

kecemasan sering kali mengganggu tidur. Seseorang yang yang pikirannya

dipenuhi dengan masalah pribadi mungkin tidak rileks dengan cukup untuk dapat

tidur. Kecemasan meningkatkan kadar norepinefrin dalam darah melalui stimulus

sistem syaraf simpatis. Perubahan kimia ini menyebabkan kurangnya waktu tidur

tahap IV NREM, dan tidur REM serta lebih banyak perubahan dalam tahap tidur

lain dan lebih sering terbangun. Masalah kesehatan mental pada lansia berasal dari

4 aspek yaitu fisik, psikologis, sosial dan ekonomi yang berupa mudah

tersinggung, kecewa, perasaan kehilangan, gampang merasa dilecehkan dan

merasa tidak berguna, lansia dengan beberapa masalah ini dapat mengalami

gangguan psikiatrik seperti depresi, kecemasan (ansietas), psikos (kegilaan) atau


kecanduan obat. Kecemasan timbul karena individu tidak mampu menyesuaikan

diri dengan dirinya, dengan lingkungannya, dan lingkungan sekitarnya. (Marmi

dan Margiyati, 2013)

f. Insomnia

Berdasarkan hasil penelitian jumlah responden yang mengalami insomnia lebih

banyak dengan jumlah 50 orang (84,7%). Menurut peneliti lansia mengalami

insomnia karena sering merokok dan mengkonsumsi minuman yang mengandung

kafein yang menyebabkan timbulnya kesulitan tidur Insomnia adalah suatu gejala

kelainan dalam pemenuhan kebutuhan tidur yang dimanifestasikan dengan

kesulitan berulang untuk memulai tidur atau bahkan mempertahankan tidur

walaupun ada kesempatan untuk melakukannya (Prabowo, 2014). Beberapa faktor

resiko terjadinya insomnia adalah faktor psikologik (memendam kemarahan,

cemas ataupun depresi), kebiasaan (penggunaan kafein, alkohol yang berlebihan,

tidur berlebihan, merokok sebelum tidur) usia diatas 50 tahun (Turana dalam

Sohati 2012)

4.2.2 Analisa Bivariat

1. Hubungan tingkat Kecemasan dengan Kejadian Insomnia pada Lansia penderita

Diabetes Melitus Tipe II

Berdasarkan hasil penelitian diketahui 59 responden mengalami kecemasan

sedang (61,0 %) dibandingkan kecemasan ringan (15,3 %) dan berat (23,7%).

Pada umumnya responden mengalami kecemasan pada usia 60-74 tahun,

responden perempuan sebagian besar mengalami kecemasan dibandingkan laki-

laki, responden pada penelitian ini lebih banyak pendidikan terakhir SD


dibandingkan SMP dan SMA, responden memiliki pekerjaan diantaranya Petani

dan IRT Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan

tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia penderita diabetes

melitus tipe II.

Hasil uji Chi-square yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara tingkat

kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia penderita diabetes melitus tipe

II, didapatkan hasil analisisnya yaitu diketahui nilai P = 0,028. Hal ini

menunjukkan bahwa nilai P < α (0,05). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa

ada hubungan tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia penderita

diabetes melitus tipe II.

Menurut peneliti, responden dengan kecemasan ringan yang tidak mengalami

insomnia 4 orang dan mengalami insomnia 5 orang, hal ini dikarenakan karena

responden mengatakan pola tidur dengan sering terbangun pada malam hari

terutama pada lansia penderita diabetes melitus tipe II yang sering buang air kecil,

haus, lapar mengakibatkan responden sulit memulai tidur dengan kurang dari 8

jam sehari. Sedangkan pada 4 responden yang tidak mengalami insomnia karena

responden tidur dengan baik karena dapat menahan buang air kecil, tidak

mengalami kesukaran dalam tidur dan tidak mengalami mimpi-mimpi yang buruk.

Responden dengan tingkat kecemasan berat yang tidak mengalami insomnia satu

diantaranya karena salah satu faktor yang mempengaruhi responden cepat tertidur

karena kelelahan setelah beraktivitas pada siang hari.


Menurut (Stuart dalam Marini 2015) adanya hubungan tingkat kecemasan dengan

kejadian insomnia sesuai pernyataan yang menyatakan bahwa salah satu faktor

yang mempengaruhi insomnia pada lansia adalah kecemasan atau stress.

Lebih lanjut menjelaskan bahwa adanya kecemasan menyebabkan kesulitan

memulai tidur, masuk tidur memerlukan waktu yang lebih dari 60 menit,

timbulnya mimpi menakutkan dan mengalami kesukaran bangun dipagi hari,

merasa kurang segar.

Gangguan tidur dan depresi cenderung muncul bersamaan. Kesulitan tidur

dianggap sebagai gejala gangguan mood. Setidaknya 80% dari menderita depresi

mengalami insomnia atau kesulitan tidur, seringkali kesulitan untuk tetap tertidur.

Depresi berpengaruh terhadap kualitas tidur yang menyebabkan seseorang merasa

lelah setelah bangun. Insomnia atau kesulitan tidur bukanlah suatu penyakit.

Insomnia adalah cara tubuh bereaksi terhadap stress. (Lubis, 2016) Menurut

Kurniadi dan Nurrahmani, 2015. Salah satu faktor penyebab kadar gula dalam

darah meningkat yaitu kurang tidur. Hasil riset para ahli dari University Of

Chicago mengungkapkan bahwa kurang tidur selama 3 hari mengakibatkan

kemampuan tubuh dalam memproses glukosa menurun drastis atau resiko

diabetes melitus. Prevalensi insomnia yang didefinisikan sebagai gangguan tidur

kronis yaitu sebanyak 50-70% dari semua lansia yang berusia >65 tahun,

penelitian sebelumnya juga menyebutkan di Thailand, hampir50% pasien yang

berusia >60 tahun mengalami insomnia.

Hasil Penelitian ini sejalan dengan penelitian Marini (2015). Terdapat hubungan

antara tingkat kecemasan dengan kejadian Insomnia pada lansia di Balai Panti
Tresna Werda Ilomata Kota Gorontalo. Lansia lebih banyak mengalami tingkat

kecemasan sedang, dibandingkan kecemasan ringan (34,3%), dan kecemasan

berat (17,1%). Adanya hubungan dari kedua variabel ditunjukkan dari hasil

perhitungan uji chi-square dengan derajat kemaknaan 0,05 dimana P<0,05 (P =

0,001 lebih kecil dari 0,05). Menurut Penelitian Hubura 2017, Terdapat Pengaruh

Terapi Murothal Alquran dan Terapi Musik Klasik terhadap Kejadian Insomnia

pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Beringin Kota Gorontalo,

menggunakan uji statistik paired sampel T test sebesar P value= 0,000 < taraf

nyata (α=0,05). Setelah dilakukan perlakuan murothal Al-quran dan terapi musik

klasik terhadap kejadian insomnia pada lansia didapatkan hasil bahwa mIRThal

al-quran dan musik klasik berpengaruh dalam menurunkan insomnia.

4.3 Keterbatasan Penelitian

Pengisian kuesioner dilakukan dengan cara peneliti yang mengisi langsung lembar

kuesioner dengan setiap pertanyaan yang dijawab responden. Beberapa

permasalahan muncul saat pengumpulan data, ada responden yang menolak untuk

diwawancarai, responden tidak mau dibagikan kuesioner dengan alasan masih

ingin istirahat, responden mengatakan masih banyak urusan dan ada juga

responden yang menolak untuk diambil dokumentasi saat diwawancarai.


PENUTUP

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Puskesmas Limboto Barat tentang

Hubungan Tingkat Kecemasan dengan Kejadian Insomnia pada Lansia Penderita

Diabetes Melitus tipe II, dapat disimpulkan :

1. Karakteristik responden penderita diabetes melitus tipe II berusia 60-74

tahun dan umumnya jumlah responden perempuan lebih banyak

dibandingkan laki-laki, responden wanita berjumlah 49 orang dan laki-laki

berjumlah 10 orang dengan pendidikan terakhir SD dan memiliki

pekerjaan IRT dan laki-laki bekerja sebagai Petani.

2. Tingkat kecemasan Lansia penderita Diabetes Melitus tipe II di Wilayah

Puskesmas Limboto Barat 2018 diketahui dari 59 responden lebih banyak

mengalami kecemasan sedang berjumlah 36 orang (61,0%) dibandingkan

kecemasan ringan dan berat

3. Kejadian Insomnia pada lansia penderita diabetes melitus tipe II yang

berada di Wilayah Puskesmas Limboto Barat 2018 diketahui dari 59

responden sebagian besar mengalami insomnia berjumlah 50 orang

(84,7%)

4. Ada hubungan tingkat Kecemasan Kejadian Insomnia pada Lansia

penderita Diabetes Melitus tipe II di Wilayah Puskesmas Limboto barat

2018.

Dengan adanya hubungan dari kedua variabel ditunjukkan dari hasil penelitian uji

Chi-square dengan P value = 0,028 artinya terdapat hubungan


5.2 Saran

1. Bagi Puskesmas

Sebagai masukkan bagi wilayah Puskesmas limboto barat dalam hal ini

diharapkan petugas kesehatan dalam program lansia (Prolanis) agar dapat

memberikan penyuluhan pada keluarga tentang bagaimana menghadapi atau

menangani tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia pada lansia penderita

diabetes melitus tipe II dengan beberapa pencegahan.

2. Bagi Profesi Keperawatan

Diharapkan bagi mahasiswa khususnya keperawatan dalam mempelajari

bagaimana cara menghadapi ataupun mencegah lansia penderita diabetes melitus

tipe II mengalami tingkat kecemasan dengan kejadian insomnia

3. Bagi Peneliti selanjutnya

Diharapkan untuk penelitian lebih lanjut agar dapat meneliti faktor resiko depresi,

kebiasaan merokok, mengkonsumsi alkohol berlebihan yang berhubungan dengan

kejadian insomnia serta memilih responden dewasa agar lebih baik untuk di ajak

kerja sama saat penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Akbar, 2015. Hubungan Antara Tingkat Kecemasan dengan Prestasi Akademik


Mahasiswa. Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi

Aspuah, 2013. Kumpulan Kuisioner dan Instrumen Penelitian Kesehatan,


Yogyakarta: Nuha Medika

Aprilistyawati, 2013. Keperawatan Psikiatri dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta:


Imperium

Aqib, 2013. Konseling Kesehatan Mental, Bandung: CV Yrama Widya

Bararah dan Jauhar, 2013. Asuhan Keperawatan, Jakarta: Prestasi Pustaka

Betteng Dkk. 2014. Analisis Faktor Resiko Penyebab terjadinya Diabetes Melitus
Tipe II pada Wanita Usia Produktif, Jurnal 2 (2) Hal 405

Fatimah, 2015. Diabetes Melitus Tipe II. Jurnal Vol 4 No 5 Hal 93

Hawari, 2013. Manajemen Stres, Cemas dan Depresi, Jakarta: FKUI Jakarta

Hubura, 2017. Pengaruh Terapi Murothal Al-quran dan Terapi Musik Klasik
terhadap Kejadian Insomnia pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha
Beringin. Kabupaten Gorontalo. Universitas Muhammadiyah Gorontalo.
Skripsi

Indriana, 2012. Gerontologi dan Progeria, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Keliat Dkk, 2011. Manajemen Kasus Gangguan Jiwa, Jakarta: Buku Kedokteran
EGC

Kurniadi dan Nurrahmani, 2015. Stop penyakit Jantung Koroner, Kolesterol


tinggi, Diabetes Melitus, Hipertensi, Yogyakarta: Istana Media

Kurniali, 2013. Hidup bersama diabetes, Jakarta: PTElex Media Komputindo

LPPM UMG, 2016. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa, Gorontalo:


LPPM UMG
Lubis, 2016. Depresi Tinjauan Psikologi, Jakarta: Kencana

Marmi dan Margiyati, 2013. Pengantar Psikologi Kebidanan, Yogyakarta: Pustaka


Pelajar
Marini, 2015. Hubungan Tingkat Kecemasan dengan kejadian Insomnia Pada
Lansia di Balai Sosial Panti Tresna Werda Ilomata. Kota Gorontalo.
Universitas Muhammadiyah Gorontalo. Skripsi

Mujahidullah, 2012. Keperawatan Geriatrik, Yogyakarta: 2012

Prabowo, 2014. Buku Ajar Keperawatan Jiwa, Yogyakarta: Nuha Medika

Restada, 2016. Hubungan Lama Menderita dan Komplikasi Diabetes Melitus


dengan Kualitas Hidup pada Penderita Diabetes Melitus. Gatak
Sukoharjo. Universitas Muhammadiyah Surakarta. Skripsi

Riskesdas, 2013. Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian RI

Riyadi, 2011. Keperawatan Medikal Bedah,Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Saryono dan Anggraeni, 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif,


Yogyakarta:Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai