Anda di halaman 1dari 13

KONSEP DASAR & ASKEP KASUS

APENDIKSITIS

MAKALAH
Untuk memenuhi tugas matakuliah
KMB
Yang dibina oleh Bapak Arief Bachtiar Ph.D.Ns

Oleh Kelompok 2 :

Aminatus Zahro P17220194056


Nabilatur Rosidah P17220194057
Indriani P17220194058
Elly Purwanti Manurung P17220194059
Devi Firdaus P.S P17220194060
Nurul Afidah P17220194061
Ica Cres Diana P17220194062
Latifatul Hasanah P17220194063
Desty Icha Cahyani A. P17220194064
Khamilanisa Nur Tauhidiya P17220194065

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MALANG


JURUSAN KEPERAWATAN
D-III KEPERAWATAN LAWANG
November, 2020
KATA PENGANTAR

Segala Puji syukur kita ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga bisa menyelesaikan makalah
“KONSEP DASAR & ASKEP KASUS APENDIKSITIS ”, dengan
tepat pada waktunya. Banyak rintangan dan hambatan yang dihadapi dalam
penyusunan makalah ini. Namun, berkat bantuan dan dukungan dari teman-teman
sehingga bisa menyelesaikan makalah ini.
Dengan adanya makalah ini di harapkan dapat membantu dalam proses
pembelajaran dan dapat menambah pengetahuan para pembaca. Penulis juga tidak
lupa mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan bantuan, dorongan, dan doa. Tidak lupa pula mengharap kritik dan
saran untuk memperbaiki makalah ini di karenakan banyak kekurangan dalam
mengerjakan makalah ini.

Malang, November 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Tujuan Penulisan.....................................................................................2
1.3 Manfaat Penulisan...................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
TINJAUAN PUSTAKA.........................................................................................3
2.1 Pengertian................................................................................................3
2.2 Etiologi......................................................................................................3
2.3 Tanda dan Gejala Klinis.........................................................................4
2.4 Patofisiologi..............................................................................................6
2.5 Komplikasi...............................................................................................7
2.6 Prognosis..................................................................................................9
2.7 Pemeriksaan Penunjang.......................................................................10
2.8 Penatalaksanaan Medis........................................................................11
BAB III..................................................................................................................22
FORMAT PENGKAJIAN DATA......................................................................22
BAB IV..................................................................................................................47
PENUTUP.............................................................................................................47
4.1 Kesimpulan............................................................................................47
4.2 Saran.......................................................................................................47
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................48

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit inflamasi pada sistem pencernaan sangat banyak, diantaranya
appendisitis dan divertikular disease. Apendiksitis adalah suatu penyakit inflamasi
pada apendiks diakibanya terbuntunya lumen apendiks..Apendiksitis disebabkan
terbuntunya lumen apendiks. dengan fecalit, benda asing atau karena terjepitnya
apendiks.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia menyatakan pada tahun 2008
jumlah penderita apendiksitis mencapai 591.819, pada tahun 2009 sebesar 596.132
orang dan insiden ini menempati urutan tertinggi di antara kasus kegawatan abdomen
lainnya (Depkes RI, 2013). Penderita apendiksitis yang dirawat di rumah sakit pada
tahun 2013 sebanyak 3.236 orang dan pada tahun 2014 sebanyak 4.351 orang
(Depkes RI, 2013). Kementrian Kesehatan menganggap apendiksitis merupakan isu
prioritas kesehatan di tingkat lokal dan nasional karena mempunyai dampak besar
pada kesehatan masyarakat (Depkes RI, 2013). Apendisitis merupakan salah satu
penyebab untuk dilakukan operasi kegawatdaruratan abdomen. Hal-hal yang
berhubungan dengan perawatan klien post operasi dan dilakukan segera setelah
operasi diantaranya adalah dengan melakukan latihan napas dalam, batuk efektif serta
latihan mobilisasi dini (Muttaqin, 2009)

1.2 Tujuan Penulisan


Mahasiswa dapat mengetahui :
1. Pengertian Apendiksitis
2. Etiologi Apendiksitis
3. Tanda dan Gejala Klinis Apendiksitis
4. Patofisiologi Apendiksitis
5. Komplikasi dari Apendiksitis
6. Prognosis Apendiksitis
7. Pemeriksaan Penunjang pada penderita Apendiksitis
8. Penatalaksanaan Medis Penyakit Apendiksitis

3
1.3 Manfaat Penulisan
Mahasiswa mengetahui dan memahami :
1. Pengertian Apendiksitis
2. Etiologi Apendiksitis
3. Tanda dan Gejala Klinis Apendiksitis
4. Patofisiologi Apendiksitis
5. Komplikasi dari Apendiksitis
6. Prognosis Apendiksitis
7. Pemeriksaan Penunjang pada penderita Apendiksitis
8. Penatalaksanaan Medis Penyakit Apendiksitis

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada usus buntu atau umbai
cacing. Infeksi ini bisa mengakibatkan peradangan akut sehingga memerlukan
tindakan bedah segera untuk mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya
(Sjamsuhidajat, 2010).
Apendisitis merupakan peradangan yang berbahaya jika tidak ditangani segera
bisa menyebabkan pecahnya lumen usus (Williams & Wilkins, 2011).

2.2 Etiologi
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetus apendisitis. Sumbatan pada
lumen apendiks merupakan faktor penyebab dari apendisitis akut, di samping
hiperplasia (pembesaran) jaringan limfoid, timbuan tinja/feces yang keras
(fekalit), tumor apendiks, cacing ascaris, benda asing dalam tubuh (biji cabai,
biji jambu, dll) juga dapat menyebabkan sumbatan.

Diantara beberapa faktor diatas, maka yang paling sering ditemukan dan kuat
dugaannya sebagai penyebab appendisitis adalah faktor penyumbatan oleh
tinja/feces dan hyperplasia jaringan limfoid. Penyumbatan atau pembesaran
inilah yang menjadi media bagi bakteri untuk berkembang biak. 
Apendisitis belum ada penyebab yang pasti atau spesifik tetapi ada factor
prediposisi yaitu:
1)      Factor yang tersering adalah obstruksi lumen. Pada umumnya obstruksi
ini terjadi karena:
a.       Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b.      Adanya faekolit dalam lumen appendiks
c.       Adanya benda asing seperti biji-bijian
d.      Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya.
2)      Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
Streptococcus
3)      Laki-laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15-30
tahun (remaja dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
(Nuzulul, 2009)

5
2.3 Tanda dan Gejala Klinis
Gejala awal yang khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri
samar (nyeri tumpul) di daerah epigastrium di sekitar umbilicus atau
periumbilikus. Keluhan ini biasanya disertai dengan rasa mual, bahkan
terkadang muntah, dan pada umumnya nafsu makan menurun. Kemudian
dalam beberapa jam, nyeri akan beralih ke kuadran kanan bawah. Di titik ini
nyeri terasa lebih tajam dan jelas letaknya, sehingga merupakan nyeri somatic
setempat. Namun terkadang, tidak dirasakan adanya nyeri di daerah
epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa memelukan
obat pencahar. Tindakan ini dianggap berbahaya Karena bisa memepermudah
terjadinya perforasi .
Terkadang apendisitis juga disertai dengan demam derajat rendah sekitar 37,5-
38,5 derajat celcius . (Price dan Wilson, 2006).
Menurut Wijaya AN dan Putri (2013), gejala-gejala permulaan pada
apendisitis yaitu nyeri atau perasaan tidak enak sekitar umbilikus diikuti
anoreksia, nausea dan muntah, ini berlangsung lebih dari 1 atau 2 hari. Dalam
beberapa jam nyeri bergeser ke nyeri pindah ke kanan bawah dan
menunjukkan tanda rangsangan peritoneum lokal di titik Mc. Burney, nyeri
rangsangan peritoneum tidak langsung, nyeri pada kuadran kanan bawah saat
kuadran kiri bawah ditekan, nyeri pada kuadran kanan bawah bila peritoneum
bergerak seperti nafas dalam, berjalan, batuk, dan mengedan, nafsu makan
menurun, demam yang tidak terlalu tinggi, biasanya terdapat konstipasi, tetapi
kadang-kadang terjadi diare.
Untuk menegakkan diagnosa pada apendisitis didasarkan atas anamnese
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium serta pemeriksaan penunjang
lainnya. 3 anamnesa penting yakni:
1.    Anoreksia biasanya tanda pertama.
2.    Nyeri, permulaan nyeri timbul pada daerah sentral (viseral) lalu kemudian
menjalar ketempat appendics yang meradang (parietal). Retrosekal/nyeri
punggung/pinggang. Postekal/nyeri terbuka.
3.    Diare, Muntah, demam derajat rendah, kecuali ada perforasi.
Gejala usus buntu bervariasi tergantung stadiumnya:
1.   Penyakit Radang Usus Buntu akut (mendadak)

6
Pada kondisi ini gejala yang ditimbulkan tubuh akan panas tinggi Demam bisa
mencapai 37,8-38,8° Celsius, mual-muntah, nyeri perut kanan bawah, buat
berjalan jadi sakit sehingga agak terbongkok, namun tidak semua orang akan
menunjukkan gejala seperti ini, bisa juga hanya bersifat meriang, atau mual-
muntah saja.
2.   Penyakit Radang Usus Buntu kronik
Pada stadium ini gejala yang timbul sedikit mirip dengan sakit maag dimana
terjadi nyeri samar (tumpul) di daerah sekitar pusar dan terkadang demam
yang hilang timbul. Seringkali disertai dengan rasa mual, bahkan kadang
muntah, kemudian nyeri itu akan berpindah ke perut kanan bawah dengan
tanda-tanda yang khas pada apendisitis akut yaitu nyeri pd titik Mc Burney
(titik tengah antara umbilicus dan Krista iliaka kanan).
Penyebaran rasa nyeri akan bergantung pada arah posisi/letak usus buntu itu
sendiri terhadap usus besar, Apabila ujung usus buntu menyentuh saluran
kencing ureter, nyerinya akan sama dengan sensasi nyeri kolik saluran kemih,
dan mungkin ada gangguan berkemih. Bila posisi usus buntunya ke belakang,
rasa nyeri muncul pada pemeriksaan tusuk dubur atau tusuk vagina. Pada
posisi usus buntu yang lain, rasa nyeri mungkin tidak spesifik. (Anonim, 2008)
Pemeriksaan Diagnosa Penyakit
          Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menentukan dan
mendiagnosa adanya penyakit radang usus buntu (Appendicitis). Diantaranya
adalah pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan
radiology:
Pemeriksaan fisik.
a. Inspeksi: akan tampak adanya pembengkakan (swelling) rongga perut
dimana dinding perut tampak mengencang (distensi).
b. Palpasi: didaerah perut kanan bawah bila ditekan akan terasa nyeri dan bila
tekanan dilepas juga akan terasa nyeri (Blumberg sign) yang mana merupakan
kunci dari diagnosis apendisitis akut.
c. Dengan tindakan tungkai kanan dan paha ditekuk kuat / tungkai di angkat
tinggi-tinggi, maka rasa nyeri di perut semakin parah (psoas sign)
d. Kecurigaan adanya peradangan usus buntu semakin bertambah bila
pemeriksaan dubur dan atau vagina menimbulkan rasa nyeri juga.

7
e. Suhu dubur (rectal) yang lebih tinggi dari suhu ketiak (axilla), lebih
menunjang lagi adanya radang usus buntu.
f. Pada apendiks terletak pada retro sekal maka uji Psoas akan positif dan
tanda perangsangan peritoneum tidak begitu jelas, sedangkan bila apendiks
terletak di rongga pelvis maka Obturator sign akan positif dan tanda
perangsangan peritoneum akan lebih menonjol.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium darah, yang dapat ditemukan adalah kenaikan
dari sel darah putih (leukosit) hingga sekitar 10.000 – 18.000/mm3. Jika
terjadi peningkatan yang lebih dari itu, maka kemungkinan apendiks sudah
mengalami perforasi (pecah).
Pemeriksaan Radiologi
Foto polos perut dapat memperlihatkan adanya fekalit. Namun pemeriksaan
ini jarang membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis. Ultrasonografi
(USG) cukup membantu dalam penegakkan diagnosis apendisitis, terutama
untuk wanita hamil dan anak-anak. Tingkat keakuratan yang paling tinggi
adalah dengan pemeriksaan CT scan (93 – 98 %). Dengan CT scan dapat
terlihat jelas gambaran apendiks. Pada kasus yang kronik dapat dilakukan
rontgen foto abdomen, USG abdomen dan apendikogram.

2.4 Patofisiologi
Apendisitis kemungkinan dimulai oleh obstruksi dari lumen yang disebabkan
oleh fses yang terlibat atau fekalit. Sesuai dengan pengamatan epidemiologi
bahwa apendisitis berhubungan dengan asupan makanan yang rendah serat.
Pada stadium awal apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa.
Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan peritoneal.
Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan
berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan. Dalam 10
stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen yang
menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks
menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis
ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum,
abses local akan terjadi (Burkit, Quick & Reed, 2007).

8
Pada umumnya obstruksi pada appendiks ini terjadi karena :
a. Hiperplasia dari folikel limfoid, ini merupakan penyebab terbanyak.
b. Adanya faekolit dalam lumen appendiks.
c. Adanya benda asing seperti biji – bijian. Seperti biji Lombok, biji jeruk dll.
d. Striktura lumen karena fibrosa akibat peradangan sebelumnya
e. Infeksi kuman dari colon yang paling sering adalah E. Coli dan
streptococcus
f. Laki – laki lebih banyak dari wanita. Yang terbanyak pada umur 15 – 30
tahun (remaja   dewasa). Ini disebabkan oleh karena peningkatan jaringan
limpoid pada masa tersebut.
g. Tergantung pada bentuk appendiks
h. Appendik yang terlalu panjang.
i. Messo appendiks yang pendek.
j. Penonjolan jaringan limpoid dalam lumen appendiks.
k. Kelainan katup di pangkal appendiks

2.5 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada apendisitis menurut Smeltzer dan Bare (2009).
yaitu :
a. Perforasi
Perforasi berupa massa yang terdiri dari kumpulan apendiks, sekum, dan
letak usus halus. Perforasi terjadi 70% pada kasus dengan peningkatan
11
suhu 39,50C tampak toksik, nyeri tekan seluruh perut dan leukositosis
meningkat akibat perforasi dan pembentukan abses.
b. Peritonitis
Peritonitis yaitu infeksi pada sistem vena porta ditandai dengan panas
tinggi 390C – 400C menggigil dan ikterus merupakan penyakit yang
jarang.
c. Abses
c Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang
mengandung pus. Hal ini terjadi bila Apendisitis gangren atau mikroperforasi
ditutupi oleh omentum
2.6 Prognosis
9
Prognosis appendicitis akan membaik dengan diagnosis dan penanganan dini
karena jika terlambat akan meningkatkan risiko komplikasi, bahkan dapat
berakhir dengan kematian.

2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang post operasi apendiktomi menurut Wijaya dan Putri
(2013), yaitu:
a. Laboratorium
Pada pemeriksaan ini leukosit meningkat rentang 10.000 –hingga 18.000 /
mm3, kemudian neutrofil meningkat 75%, dan WBC meningkat sampai
20.000 mungkin indikasi terjadinya perforasi (jumlah sel darah merah)
b. Data Pemeriksaan Diagnostik
Radiologi yaitu pada pemeriksaan ini foto colon menunjukkan adanya
batu feses pada katup. Kemudian pada pemeriksaan barium enema
menunjukkan apendiks terisi barium hanya sebagian.

2.8 Penatalaksanaan Medis


Pada penatalaksanaan post operasi apendiktomi dibagi menjadi tiga (Brunner
& Suddarth, 2010), yaitu:
a. Sebelum operasi
1) Observasi

Dalam 8-12 jam setelah munculnya keluhan perlu diobservasi ketat


karena tanda dan gejala apendisitis belum jelas. Pasien diminta tirah
baring dan dipuasakan. Laksatif tidak boleh diberikan bila dicurigai
adanya apendisitis. Diagnosis ditegakkan dengan lokasi nyeri pada
kuadran kanan bawah setelah timbulnya keluhan.
2) Antibiotik

Apendisitis ganggrenosa atau apenditis perforasi memerlukan


antibiotik, kecuali apendiksitis tanpa komplikasi tidak memerlukan
antibiotik. Penundaan tindakan bedah sambil memberikan antibiotik
dapat mengakibatkan abses atau preforasi.

b. Operasi
Operasi / pembedahan untuk mengangkat apendiks yaitu apendiktomi.
Apendiktomi harus segera dilakukan untuk menurunkan resiko perforasi.
Apendiktomi dapat dilakukan dibawah anestesi umum dengan
pembedahan abdomen bawah atau dengan laparoskopi. Laparoskopi
merupakan metode terbaru yang sangat efektif (Brunner & Suddarth,2010).
Apendiktomi dapat dilakukan dengn menggunakan dua metode
pembedahan, yaitu secara teknik terbuka (pembedahan konvensional
10
laparatomi) atau dengan teknik laparoskopi yang merupakan teknik
pembedahan minimal invasive dengan metode terbaru yang sangat efektif
(Brunner & Suddarth, 2010).

1) Laparatomi
Laparatomi adalah prosedur vertical pada dinding perut ke
dalam rongga perut. Prosedur ini memungkinkan dokter melihat dan
merasakan organ dalam untuk membuat diagnosa apa yang salah.
Adanya teknik diagnosa yang tidak invasif, laparatomi semakin
kurang digunakan dibanding terdahulu. Prosedur ini hanya dilakukan
jika semua prosedur lainnya yang tidak membutuhkan operasi, seperti
laparoskopi yang seminimal mungkin tingkat invasifnya juga
membuat laparatomi tidak sesering terdahulu. Bila laparatomi
dilakukan, begitu organ-organ dalam dapat dilihat dalam masalah
teridentifikasi, pengobatan bedah harus segera dilakukan.
Laparatomi dibutuhkan ketika ada kedaruratan perut. Operasi
laparatomi dilakukan bila terjadi masalah kesehatan yang berat pada
area abdomen, misalnya trauma abdomen. Bila klien mengeluh nyeri
hebat dan gejala-gejala lain dari masalah internal yang serius dan
kemungkinan penyebabnya tidak terlihat seperti usus buntu, tukak
peptik yang berlubang, atau kondisi ginekologi maka dilakukan
operasi untuk menemukan dan mengoreksinya sebelum terjadi
keparahan lebih. Laparatomi dapat berkembang menjadi pembedahan
besar diikuti oleh transfusi darah dan perawatan intensif (David dkk,
2009).

2) Laparoskopi
Laparaskopi berasal dari kata lapara yaitu bagian dari tubuh mulai
dari iga paling bawah samapi dengan panggul. Teknologi laparoskopi
ini bisa digunakan untuk melakukan pengobatan dan juga mengetahui
penyakit yang belum diketahui diagnosanya dengan jelas.
Keuntungan bedah laparoskopi :
a) Pada laparoskopi, penglihatan diperbesar 20 kali, memudahkan
dokter dalam pembedahan.
b) Secara estetika bekas luka berbeda dibanding dengan luka operasi
pasca bedah konvensional. Luka bedah laparoskopi berukuran 3
sampai 10 mm akan hilang kecuali klien mempunyai riwayat
keloid.
c) Rasa nyeri setelah pembedahan minimal sehingga penggunaan
obat-obatan dapat diminimalkan, masa pulih setelah pembedahan
lebih cepat sehingga klien dapat beraktivitas normal lebih cepat.

c. Setelah operasi
Dilakukan observasi tanda-tanda vital untuk mengetahui terjadinya
perdarahan di dalam, hipertermia, syok atau gangguan pernafasan.
Baringkan klien dalam posisi semi fowler. Klien dikatakan baik apabila
dalam 12 jam tidak terjadi gangguan, selama itu klien dipuasakan sampai
fungsi usus kembali normal. Satu hari setelah dilakukan operasi klien
dianjurkan duduk tegak di temmpat tidur selama 2 x 30 menit. Hari kedua
dapat dianjurkan untuk duduk di luar kamar. Hari ke tujuh dapat diangkat

11
dan dibolehkan pulang (Mansjoer, 2010)

Burner and suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah edisi 8.volume 2. Jakarta
: EGC.
Smelzzer dan Bare C, 2000. Buku Ajar Medikal Brunner and Suddarth, Edisi VIII, Volume
2, EGC Jakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai