Epidemiologi Filariasis
Penyakit filariasis terutama ditemukan di daerah khatulistiwa dan merupakan masalah di dataran
rendah. Kadang-kadang dapat juga ditemukan di daerah bukit yang tidak terlalu tinggi. Di Indonesia
penyakit ini lebih banyak ditemukan di daerah pedesaan. Di daerah kota hanya Wuchereria bancrofti
yang telah ditemukan, seperti kota Jakarta, Tangerang, dan Semarang, dan mungkin di beberapa kota
lainnya.
Di Indonesia filariasis tersebar luas; daerah endemi terdapat di banyak pulau di seluruh
Nusantara, seperti di Sumatera dan sekitarnya, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Irian Jaya.
Masih banyak daerah yang belum diselidiki.
Pemberantasan filariasis sudah dilakukan oleh Departemen Kesehatan sejak tahun 1970 dengan
pemberian DEC dosis rendah jangka panjang (100 mg/minggu selama 40 minggu).
Survei prevalensi filariasis yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan menunjukkan bahwa
prevalensi infeksi cukup tinggi bervariasi dari 0,5 – 19,46 % (P2M & PLP, 1999). Prevalensi infeksi
dapat berubah-ubah dari masa ke masa dan pada umumnya ada tendensi menurun dengan adanya
kemajuan dalam pembangunan yang menyebabkan perubahan lingkungan. Untuk dapat memahami
epidemiologi filariasis, perlu diperhatikan faktor-faktor hospes, hospes reservoar, vektor dan keadaan
lingkungan yang sesuai untuk menunjang kelangsungan hidup masing-masing.
Hospes
Manusia yang mengandung parasit selalu dapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang
rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemi (transmigran) lebih rentan terhadap
infeksi filariasis dan lebih menderita daripada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak
terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit
lebih nyata pada laki-laki, karena pekerjaan fisik yang berat.
Hospes Reservoar
Tipe Brugia malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia.
Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis,
meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi.
Vektor
Banyak species nyamuk telah ditemukan sebagai vektor filariasis, tergantung pada jenis cacing
filarianya. Wuchereria bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan (urban) ditularkan oleh Culex
quinquefasciatus yang tempat perindukannya di air kotor dan tercemar.
Wuchereria bancrofti di daerah pedesaan (rural) dapat ditularkan oleh bermacam species
nyamuk. Di Irian Jaya Wuchereria bancrofti ditularkan terutama oleh Anopheles farauti yang dapat
menggunakan jejak kaki binatang (foot print) untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga
sebagai vektor: Anopheles koliensis, Anopheles punctulatus, Culex annulirostris, dan Aedes kochi.
Wuchereria bancrofti di daerah lain dapat ditularkan oleh species lain, seperti Anopheles subpictus di
daerah pantai di NTT. Selain nyamuk Culex, Aedes pernah juga ditemukan sebagai vektor.
Brugia malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai species
Mansonia, seperti Mansonia uniformis, Mansonia bonneae, Mansonia dives, dll, yang berkembangbiak di
daerah rawa di Sumatera, Kalimantan, Maluku, dll. Brugia malayi yang periodik ditularkan oleh
Anopheles barbirostris yang memakai sawah sebagai tempat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi.
Brugia timori, species yng ditemukan di Indonesia sejak tahun 1965 hingga sekarang hanya
ditemukan di daerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh Anopheles barbirostris yang
berkembangbiak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman.
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan yang dapat menunjang kelangsungan hidup hospes, hospes reservoar dan
vektor, merupakan hal yang sangat penting untuk epidemiologi filariasis. Jenis filariasis yang ada di suatu
daerah endemi dapat diperkirakan dengan melihat daerah lingkungannya. Filariasis di daerah endemi
dapat diduga jenisnya dengan melihat keadaan lingkungan. Pencegahan filariasis, hanya dilakukan
dengan menghindari gigitan nyamuk. Untuk mendapat infeksi diperlukan gigitan nyamuk yang banyak
sekali. Pengobatan massal dengan DEC dapat menurunkan angka filariasis dengan jelas. Pencegahan
dengan obat masih dalam taraf penelitian.
“Occult Filariasis”
(Tropical Pulmonary Eosinofilia)
Distribusi Geografik
Penyakit ini dilaporkan di Indonesia, Singapura, Vietnam, Muangthai, Afrika, dan Curacao.
Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan gejala klinis, hipereosinofilia, peningkatan kadar IgE yang tinggi,
peningkatan zat anti terhadap mikrofilaria dan gambaran rontgen paru.
Konfirmasi diagnosis tersebut adalah dengan menemukan benda Meyers Kouwenaar pada sediaan
biopsi, atau dengan melihat perbaikan gejala setelah pengobatan dengan DEC.
Pengobatan
Obat pilihan adalah DEC dengan dosis 6mg/kg BB/hari selama 21 – 28 hari. Pada stadium dini
penderita dapat disembuhkan dengan parameter darah dapat pulih kembali sampai kadar yang hampir
normal. Pada stadium klinik lanjut, sering kali terdapat fibrosis dalam paru dan dalam keadaan tersebut,
fungsi paru mungkin tidak dapat pulih sepenuhnya.
=====0=====