I’TIKAF
PENDAHULUAN
Dalam agama islam terdapat rukun islam dimana terdapat perintah untuk
berpuasa (khususnya ramadhan). Allah memberi perintah ini tentu mengandung
hikmah dan manfaat. Sebagian umat muslim melaksanakan ibadah puasa hanya
sekedar melaksanakannya, tanpa mengetahui syarat syah ,apa – apa saja yang
membatalkan puasa serta manfaat puasa bagi yang menjalankannya. Apabila
mereka asal melaksanakan ibadah puasa niscaya mereka hanya mendapatkan
1
rasa lapar, haus dan lelah. Hal tersebut sangatlah merugikan bagi diri sendiri jika
telah berpuasa satu hari penuh tanpa mengetahui dan melakukan apa-apa saja
yang sebaiknya dilakukan di saat berpuasa dimaka hal tersebut mendatangkan
pahala dan kebaikan .
Umat muslim melaksanakan ibadah puasa dimulai dari terbitnya sampai
terbenamnya matahari dengan menahan haus, lapar dan hawanafsu lainnya.
Dimana Rasullulah SAW juga melaksanakan puasa, maka bagi orang yang tidak
memiliki udzur atau alasan-alasan yang syar’i diperintahkan utuk berpuasa. Allah
memberikan balasan secara langsung bagi umatnya yang melaksanakan ibadah
puasa.
Ibadah puasa terdiri dari puasa wajib dan sunnah, dimana puasa wajib
harus dikerjakan oleh umat muslim, dan apabila ditinggalkan akan mendapat
dosa. Sedangkan puasa sunah apabila dikerjakan mendapat pahala, apabila
ditinggalkan tidak berdosa. Tidak salah jika kita melaksakan puasa sunah
meskipun hal trsebut tidak diwajibkan.
Selain ibadah puasa, dalam islam juga terdapat kegiatan beribadah yaitu
i’tikaf. Dimana ibadah ini merupakan sunah akan tetapi akan menjadi wajib
apabila telah mewajibkan atas dirinya sendiri, dengan mengeluarkan nazar
(nadzr).
Banyak yang menyimpulkan bahwa i’tikaf hanya berdiam diri di dalam
masjid tanpa menegtahui amalan apa saja yang harus dikerjakan, syarat-syarat
beri’tikaf dan lain sebagainya. Ada pula yang menganggap beri’ktikaf hanya
dilakukan disaat bulan ramadhan saja, padahal beri’tikaf juga dapat dilakukan di
bulan bulan lainnya.
1. Definisi Puasa
Makna puasa (shaum) dalam bahasa arab adalah menahan diri dari sesuatu.
Allah Ta’ala berfirman tentang,
ص ْومًا َفلَنْ أ ُ َكلِّ َم ْال َي ْو َم إِ ْنسِ ًّيا ُ َْف ُكلِي َوا ْش َر ِبي َو َقرِّ ي َع ْي ًنا ۖ َفإِمَّا َت َر ِينَّ م َِن ْال َب َش ِر أَ َح ًدا َفقُولِي إِ ِّني َن َذر
َ ت لِلرَّ حْ ٰ َم ِن
Arti : maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu
melihat seorang manusia, maka katakanlah: "Sesungguhnya aku telah
2
bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak
akan berbicara dengan seorang manusiapun pada hari ini". (Maryam:26)
ۚ ص َيا َم إِلَى ٱلَّي ِْل ۟ ْط ٱأْل َ ْب َيضُ م َِن ْٱل َخيْطِ ٱأْل َسْ َو ِد م َِن ْٱل َفجْ ر ۖ ُث َّم أَ ِتم
ِّ ُّوا ٱل ُ ُوا َح َّت ٰى َي َت َبي ََّن لَ ُك ُم ْٱل َخي
۟ وا َوٱ ْش َرب
۟ َُۚ و ُكل
ِ
Arti : ..makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang)
malam... (Q.S Al-Baqarah (2) : 187)
3
Puasa Ramadhan dimulai ketika melihat atau menyaksikan bulan pada
awal bulan tersebut. Apabila langit dalam keadaan berawan yang
mengakibatkan bulan tak dapat dilihat dan disaksikan, bulan Sya’ban
disempurnakan menjadi 30 hari. Kewajiban puasa sebulan penuh pada
Ramadhan baru dimulai pada tahun kedua Hijriah. Menurut riwayat lain,
sebelum turunnya perintah puasa Ramadhan, Rasulullah bersama sahabat-
sahabatnya serta kaum Muslimin melaksanakan puasa pada setiap tanggal
13, 14, dan 15 bulan-bulan Qomariyah. Selain itu, mereka juga biasa
berpuasa tanggal 10 Muharam, sampai datang perintah puasa wajib di bulan
Ramadhan.
Puasa wajib, dimana puasa wajib ini dubagi menjadi tiga jenis.
Pertama puasa wajib karena datangnya bulan tertentu (Puasa
Ramadhan). Kedua, puasa karena sesuatu (sebab), yaitu puasa
karafat. Ketiga, puasa yang diwajibkan kepadanyanya karena nadzr
(Nadzar).
Puasa haram, menurut Madzhab Hanafi puasa ini terbagi menjadi
dua yaitu :
1. Puasa bagi para istri yang tidak mendapat atau tanpa izin dari
suami
َال ِبإِ ْذ ِن ِه إِالَّ َشا ِه ٌد ُج َها َو َز ْو َتصُو َم أَنْ ل ِْل َمرْ أَ ِة َي ِح ُّل
4
2. Puasa di waktu syakk (keraguan), yaitu tanggal 30 Sya’ban, jika
hal ini meragukan apakah sudah masuk Ramadhan atau belum.
Para fuqaha menyepakati bahwa hari syaak tidak makruh dan
diperbolehkan puasa jika bertepatan dengan kebiasaan puasa
sunnah, misalkan puasa Senin – Kamis.
5
5. Diharamkan berpuasa dia kahir bulan Sya’ban dan hari syakk
menurut madhzab Imam Syafi’i kecuali terdapat kebiasaa
berpuasa didalamnya, puasa senin-kamis misalnya dimana
kebetulan hari tersebut bertepatan di paruh kedua Sya’ban, puasa
nadzar (nadzr), qadha atas puasa sunnah atau wajib, kafarat.
6. Puasa yang kawatir jika dirinya akan celaka jika melaksanakan
puasanya.
Puasa Makruh, misalnya puasa hari sabtu semata, puasa hari jumat
semata, puasa dahrm puasa hari syakk.
Madzab Hanafi, puasa makruh ini terbagi menjadi dua yaitu makruh
tahriiman dimana puasa hari Idul Fitri, Adha, hari-hari Tasyriq, dan
hari syakk, karena ada larangan untuk berpuasa di hari tersebut,
puasa di hari tersebut sah tetapi menpatkan dosa. Makruh tanziihan
adalah puasa hari Asyura (10 Muharram) semata tanpa disertai
dengan puasa tanggal 9 atau 11. Yang termasuk makruh ini adalah
puasa dahr, sebab puasa ini melemahkan tubuh dan ada hadist yang
berbunyi,
صا َم اَل َ َاأْل َبَد
َ ْصا َم مَن
“ Orang yang berpuasa setiap hari tidak terhitung pyasanya”
Makruh juga puasa “diam”, diam terus tanpa berbicara sepatah kata
apapun. Negitu juga puasa orang yang sedang berpergian apabila
puasanya memberatkannya.
6
Puasa sunnah yang disepakati oleh para ulama adalah :
1. Puasa sehari dan tidak puasa sehari. Hal ini terdapat pada hadist
Bukhari dan Muslim,
“Puasa yang paling utama adalah puasa Nabi Dawud. Beliau
biasa berpuasa sehari dan tidak berpuasa sehari”.
2. Puasa tiga hari setiap bulan. Lebih utama dilaksanakan pada hari-
hari yang malamnya terang bulan yaitu tanggal 13,14,15. Pahala
atas puasa ini setar dengan puasa dahr, karena pahalanya
dilipatgandakan, tanpa ada mudharat atau aspek negatif. Hadist
riwayat Abu Dzar, bahwa Nabi Muhammad bersabda kepadanya,
“Apabila kau berpuasa tiga hari dalam satu bulan, lakukanlah
pada tanggal 13,14 dan 15”.
3. Puasa Senin-Kamis setiap minggu. Nabi Muhammad biasa
berpuasa pada hari Senin dan Kamis. Beliau bersabda,
"Sesungguhnya amal-amal manusia dibeberkan (kepada Allah)
pada hari Senin dan Kamis."
4. Puasa enam hari di bulan Syawal. Boleh dikerjakan terpisah-pisah,
tapi lebih afdhal berurutan dan langsung setelah hari raya. Orang
yang menjalani puasa ini setelah puasa bulan Ramadhan seakan-
akan telah menjalani puasa dahr yang bernilai fardu.
5. Puasa Arafah, tanggal 9 Dzulhijah bagi selain jamaah Haji.
Berdasarkan hadist berikut,
“Puasa hari Arafah menghapus kesalahan-kesalahgan yang
dilakukan selama setahun sebelumnya dan setahun setelahnya”.
Dan bagi umat muslim yang menunaikan ibadah Haji, tidak
sisunahkan melaksanakan puasa di hari Arafah agar masih
betenaga saat berdoa.
6. Puasa delapan hari sebelum hari Arafah pada bulan Dzulhijjah,
bagi oelaksana Haji dan lainnya.
7. Puass Tasu’a dan Asyura, taggal 9 dan 10 Muharram,
disunnahkan keduanya dilaksanakan.
8. Puasa pada empat bulan suci, tiga diantaranya adalah
Dzulqa’dah, Dzulhijjah, dan Muharram dan yang terpisah adalah
Rajab.Kesunahan puasa ini menurut Imam Maliki dan Syafi’i. Dan
menurut Hambali hany amenyunahkan puasa bulan Muharram.
7
9. Puasa Sya’ban, berdasat hadist Ummu Salamah, bahwa
sepanjang tahun Nabi Muhammad SAW tidak pernah berpuasa
selama sebulan penuh kecuali pada bulan Sya’ban yang beliau
lanjutkan dengan puasa Ramadhan.
3. Syarat-Syarat Puasa
Syarat Wajib
Berikut ini adalah syarat-syarat wajib puasa:
1. Islam, sebagai kewajiban utama menurut madzab Hanafi, tapi
terhitung syarat sah bagi jumhur.
2. Baligh, Puasa tidak wajib bagi anak kecil, dikarenakan dinggap belum
mampu melaksanakannya. Puasa sah dilakukan oleh anak kecil yang
mumayiz, sama sepeeti shalat. Menurut madzab Syafi’i, Hanafi dan
Hambali walinya wajib menyuruh untuk berpuasa setelah umur tujuh
tahun dan walinya wajib memukulnya jika meninggalkan puasa tanpa
sebab jika sudah umur sepuluh tahun. Dengan tujuan anak terbiasa
melaksnakan perintah puasa.
3. Berakal sehat, puasa tiidak diwajibkan bagi orang yang gila, orang
pingsan, dan orang mabuk. Jadi bagi orang yang telah hilang akalnya
maka tidak berkewajiban dlam melaksanakan puasa.
4. Mampu, mampu dalam hal ini adalah sehat dan tidak sakit. Puasa
tidak wajib bagi orang yang sakit. Tapi wajib mengqadhanya.
5. Suci dari haid dan nifas (bagi kaum wanita)
6. Menetap atau bermukim
Syarat Sah
Dalam Madzab Hanafi, terdapat tiga syarat sah puasa yaitu, niat,
tidak haid dan nifas, dan kosong dari perkara yang membatalkannya.
Madzab Maliki terdapat empat syarat diantaranya adalah niat, suci dari
haid dan nifas, Islam, dan waktu yang tidak diharamkan untuk berpuasa.
8
4. Udzur yang Membolehkan Untuk Tidak Berpuasa
Perjalaan
“Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain.” (QS. Al Baqarah: 185)
Hukum puasa disaat kondisi badan tidak sehat (sakit) ialah tidak usah
berpuasa, sesuai dengan firman Allah
9
“….dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka
(wajiblah baginya bershiyam), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan
tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu,
supaya kamu bersyukur. (QS. Al-baqarah:185)
10
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla meringankan setengah shalat untuk
musafir dan meringankan puasa bagi musafir, wanita hamil dan
menyusui.” (HR. An Nasai no. 2275, Ibnu Majah no. 1667, dan Ahmad
4/347).
Usia Lanjut
Para ulama sepakat bahwa orang tua yang tidak mampu berpuasa,
boleh baginya untuk tidak berpuasa dan tidak ada qodho baginya.
Menurut mayoritas ulama, cukup bagi mereka untuk memberi fidyah
yaitu memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang
ditinggalkan. Pendapat mayoritas ulama inilah yang lebih kuat. Hal ini
berdasarkan firman Allah Ta’ala,
11
Diperbolehkan tidak berpuasa bagi orang yang dipaksa oleh orang lain,
dan harus mengqadha menurut para jumhur. Dalam Madzab Syafi’i
orang yang puasanya dipaksa tidak batal. Dan bagi wanita yang apabila
disetubuhi secara paksa dalam keadaan tidur, dia harus mengqadhanya
dilan hari.
5. Puasa dalam Bidang Kesehatan
Puasa Ramadhan Bagi Ibu Hamil
Disaat bulan ramadhan adalah sebuah kewajiban bagi umat
muslim dalam melaksanakan ibadah puasa.Kecuali bagi yang tengah
berhangan secara syar’i misalkan Ibu hamil . Dikawatirkan berpuasa
disaat hamil dapat mengganggu berat badan janin.Tidak semua ibu hamil
khawatir akan hal tersebut dan saat berpuasa tidak menyebabkan
tubuhnya menjadi lemah.
` Terdapat penelitian yang menjelaskan beberapa manfaat puasa
Ramadhan bagi kesehatan ibu hamil di antaranya studi kohort retrospektif
yang bertujuan untuk mengamati faktor resiko dan efek puasa Ramadhan
terhadap kesehatan ibu hamil dan janin menjelaskan bahwa, ibu hamil
yang berumur 25 - 35 tahun dengan index masa tubuh normal (18.5 -
24.9) serta tidak memiliki penyakit kronik, tidak terpengaruh oleh puasa
Ramadhan dalam tiga variabel janin yaitu berat badan, tinggi dan lingkar
kepala.
Dari hasil penelitian di atas dapat dikatakan bahwa melaksanakan
ibadah puasa Ramadhan untuk ibu hamil adalah sebuah pilihan. Jika
memang mengkuatirkan kondisi janin setelah melalui konsultasi dengan
dokter yang dalam bidangnya, maka disarankan untuk tidak berpuasa.
Tetapi jika setelah melalui pemeriksaan medis dan tidak ada kekuatiran
akan timbul masalah kesehatan baik pada ibu atau janin, maka tidak
menjadi masalah untuk tetap menjalankan ibadah puasa di bulan
Ramadhan.
Puasa Bagi Pasien dengan Penyakit Ginjal (Kususnya Puasa
Ramadhan)
Beberapa penelitian yang menjelaskan bahwa pasien dengan batu
ginjal diperbolehkan berpuasa dengan catatan harus berkonsultasi
dengan dokter urologi untuk pengkajian lanjut kondisi fisik sehingga dapat
diputuskan apakah akan menjalankan puasa atau tidak. Begitu juga bagi
12
pasien yang telah mendapatkan terapi transplantasi (cangkok) ginjal,
mereka dapat menjalankan puasa Ramadhan dengan aman karena
puasa tidak mempengaruhi secara signifikan pada berat badan, tekanan
darah, fungsi ginjal dan profil lemak. meskipun banyak penelitian yang
menjelaskan tentang amannya puasa Ramadhan bagi orang dengan
penyakit ginjal.
Maka dari itu, sebelum menjalankan puasa khususnya di puasa
Ramadhan, disarankan untuk konsultasi dengan dokter sehingga dapat
meminimalkan resiko atau keluhan selama puasa.
Puasa Bagi kecerdasan
Berpuasa juga dapat membantu menjernihkan fikiran,
menciptakan ide-ide yang cemerlang. Luqman pernah berkata pada
putranya ,”Anakku, apabila lambung terisi penuh, pikiran menjadi tumpul,
hikmah menjadi bisu, dan organ organ tubuh menjadi malas untuk
beribadah”.
7. I’tikaf
Definisi I’tikaf
Menurut Madzab Maliki
13
Dalam madzab ini i’tikaf berarti berdiamnya seorang muslim yang
mimayiz di sebuah masjid yang boleh didatangi oelh semua orang,
disertai dengan puasa dan menjahui jimak selama seharo semalam atau
lebih dengan tujuan ibadah serta diiringi dengan niat. Tidak ada ukuran
batas maksimal dalam beri’tikaf.
Menurut Madzab Hanafi
Dimana yang dimaksud dengan I’ikaf adalah berdiam diri di masjid
disertai dengan puasa dan niat. Bagi laki-laki I’tikaf dilaksanakan di masjid
jamaah (terdapat imam), dan bagi perempuan I’tikaf dilakukan di masjid
(Mushalla) rumahnya.
Hukum I’tikaf
Para ulama sepakat bahwa I’tikaf yang tidak di nadzarkan maka
tudak wajib baginya.
Menurut Madzab Maliki
I’tikaf adalah ibadah sunnah yang dianjurkan oleh syariat bagi
kaum pria maupun wanita, khususnya sepuluh malam terakhir di bulan
Ramadhan. Dan akan menjadi wajib jika di nadzarkan.
Menurut Hambali dan Syafi’i
Ibadah ini adalah sunnah di semua waktu, namun jika dinadzarkan
akan menjadi wajib.
Syarat-syarat I’tikaf
I’tikaf dikatan sah apabila telah memenuhi syarat berikut ini :
1. Islam
2. Berakal, I’tikaf tidak sah apabila dilaksnakan oleh orang yang tidak
berakal (gila) dan anak kecil yang belum mumayiz.
3. Di Masjid, Di atas telah disampaikan bahwa beri’tikaf harus
dilaksanakan dimasjid. Kecuali Madzab Hanafi dimana membolehkan
bagi wanita yang beri’tikaf di masjid (mushalla) rumahnya, atau tempt
yang khusus digunakan untuk shalat dirumahnya.
4. Niat, I’tikaf tidak sah jika tidak disarakan dengan niat, karena ibadah
ini tergolong dalam ibadah mahdhah.
5. Puasa, Seperti yang telah dijelaskan menurud berbagai madzab
diatas, bahwa I’tikaf tetap sah tanpa puasa kecuali dinadzarkan
bersamaan dengannya.
14
6. Suci dari junub, haid dan nifas. Apabila dalam melaksanakan I’tikaf
mengalami mimpi basah, maka diwajibkan untuk mandi wajib.
7. Izin suami bagi istrinya, menurut madzab Hambali, Syafi’i, Hanafi.
Tidak sah beri’tikafnya seorang istri tanpa izin suaminya meski telah
dinadzarkan.
Kesimpulan
Melakukan ibadah puasa tidak hanya sekedar menahan lapar,minum
tetapi juga hawa nafsu lainnya. Ibadah ini juga berpahala bagi orang yang
melaksanakannya dengan niat Allah ta’ala. Selain itu berpuasa juga berdampak
baik bagi kesehatan. Dimana kita dianjurkan untuk menjaga pola makan, makan
makanan yang sehat dan tidak berlebihan.
Seperti halnya berpuasa, I’tikaf juga merupakan ibadah yang berpahala.
Dimana selain kita mendekatkan diri kepada Allah, kita juga mendapatkan
ketengan batin, fikira, perasaan. Beri’tikaf menjauhkan kita dari kegiatan-kegiatan
yang yang sifatnya tidak bermanfaat. Maka dari itu niatkanlah I’tikaf karena Allah
ta’ala, niscaya akan mendapatkan manfaat yang luarbiasa.
Daftar Pustaka
Sumarno A.S dan Merses V.D, “Puasa Ramadhan Dalam Perspektif Kesehatan:
Literatur Review”, Khazanah:Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol.15, No.01
(2017).[http://jurnal/uin-
antasari.ac.id/index.php/khazanah/artikel/view/1139/1461]
15