Anda di halaman 1dari 7

A.

Definisi
Istilah kusta berasal dari bahasa sansekerta, yakni kushtha yang
berarti kumpulan gejala-gejala kulit secara umum. Penyakit kusta disebut
juga Morbus Hansen, sesuai dengan nama yang menemukan kuman yaitu
Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874 sehingga penyakit ini
disebut Morbus Hansen.
Menurut Depkes RI diacu dalam Hutabarat (2016) penyakit kusta
adalah penyakit menular yang menahun dan disebabkan oleh kuman kusta
(Mycobacterium leprae) yang menyerang syaraf tepi, kulit dan jaringan
tubuh lainnya. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular yang
menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial,
ekonomi, dan psikologis.
Permasalahan penyakit kusta ini bila dikaji secara
mendalam merupakan permasalahan yang sangat kompleks dan
merupakan permasalahan kemanusiaan seutuhnya. Masalah yang
dihadapi pada penderita bukan hanya dari medis saja tetapi juga adanya
masalah psikososial sebagai akibat penyakitnya. Dalam keadaan ini
warga masyarakat berupaya menghindari penderita. Sebagai akibat dari
masalah-masalah tersebut akan mempunyai efek atau pengaruh terhadap
kehidupan bangsa dan negara, karena masalah-masalah tersebut dapat
mengakibatkan penderita kusta menjadi tuna sosial, tuna wisma, tuna
karya dan ada kemungkinan mengarah untuk melakukan kejahatan atau
gangguan di lingkungan masyarakat.

B. Penyebab

Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobacterium leprae dimana untuk


pertama kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun (1973).
Cara penularannya yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian
besar ahli melalui saluran pernafasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung
yang lama dan erat). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel
rambut, kelenjar keringat, dan juga melalui air susu ibu. Basil ini
berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora, dapat
tersebar atau dalam berbagai ukuran bentuk kelompok, termasuk massa
ireguler besar yang disebut sebagai globi.

Kuman ini hidup intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar


pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari Retikulo Endotelial, waktu
pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu, diluar tubuh manusia (dalam
kondisis tropis) kuman kusta dari sekret nasal dapat bertahan sampai 9
hari (Desikan 1977, dalam Leprosy Medicine in the Tropics Edited by
Robert C. Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal kuman kusta adalah pada
suhu 27-30º C.

Penyakit kusta dalah penyakit menular menahun dan disebabkan


oleh kuman kusta. Penyakit ini dapat ditularkan dari penderita kusta
kepada orang lain, secara teoritis penularan ini dapat terjadi dengan cara
kontak yang erat dan lama dengan penderita. Timbulnya penyakit kusta
bagi seseorang tidak mudah, semua tergantung dari beberapa faktor, antara
lain: faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh.

C. Tanda dan Gejala

 Tanda-tanda pada kulit

1. Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh.

2. Bercak yang tidak gatal dan kulit mengkilap.

3. Adanya bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut.

4. Lepuh tidak nyeri.

 Tanda-tanda pada saraf

1. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan


dan muka.

2. Ganguan gerak anggota badan atau bagian muka.

3. Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau


sembuh.

D. Respon penyakit terhadap tubuh

Kusta merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae. Prevalensi pasien baru kusta di Indonesia memang
menurun seiring berjalannya waktu. Akan tetapi pasien kusta biasanya
mengalami suatu episode inflamasi yang disebut reaksi kusta. Terdapat
dua macam reaksi kusta yaitu reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2 (erythema
nodosum leprosum). Perbedaan ini didasarkan pada jenis imunitas yang
berperan. Apabila tidak ditangani dengan tepat maka reaksi ini akan
membawa pada kecacatan.

Reaksi kusta tipe I disebabkan karena peningkatan respon imun


seluler berupa reaksi hipersensitivita tipe lambat terhadap antigen
Mycobacterium leprae di saraf dan kulit. Reaksi ini meruapakan akibat
dari perubahan keseimbangan antara cell mediated immunity (CMI)
dengan basil. Ketika reaksi kusta tipe 1 terjadi maka terdapat dua
kemungkinan hasil akhir dari reaksi ini yaitu upgrading/reversal jika
terjadi peningkatan respon CMI terhadap antigen Mycobacterium leprae
sehingga mengarah ke bentuk klinis tuberkuloid atau downgrading jika
terjadi penurunan respon CMI terhadap antigen sehingga mengarah pada
bentuk klinis lepromatosa.

Pasien kusta tipe subpolar mempunyai imunitas yang tidak stabil


sehingga sering mengalami reaksi tipe I yang berulang terutama tipe
borderline borderline leprosy (BB) karena jumlah basil dan tingkat CMI
relatif seimbang sehingga sangat mudah mengalami perubahan respon
imun. Prevalensi reaksi kusta tipe 1 mencapai 8-33% dari keseluruhan
pasien kusta. Pada pasien kusta multibasiler (MB) terutama tipe BB
insidennya mencapai 70,9%. Reaksi kusta tipe 1 banyak dialami oleh laki-
laki dan berusia 14 tahun ke atas.

Reaksi kusta tipe 1 akan memberikan gejala keradangan pada kulit


atau saraf. Pada kulit akan menimbulkan kemerahan, bengkak, nyeri, dan
panas. Pada kasus-kasus tertentu, demam mungkin akan dialami oleh
pasien. Sedangkan pada saraf akan menimbulkan nyeri dan gangguan pada
saraf. Oleh karena reaksi ini dapat melibatkan saraf maka reaksi ini
mungkin akan menimbulkan kecacatan, seperti paralisis dan deformitas.

Suatu penelitian retrospektif yang dilakukan di Divisi Kusta Unit


Rawat Jalan Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD Dr. Soetomo selama
Januari 2014 hingga Desember 2017 mendapatkan hasil bahwa reaksi tipe
1 terjadi pada 68 dari 516 pasien baru kusta (13,2%). Sebanyak 60,3%
berjenis kelamin laki-laki dan 41,2% berusia antara 15-34 tahun. Pasien
dengan reaksi tipe 1 paling banyak mengalami 1 gejala yaitu penebalan
bercak merah lama (80,9%) dan tanpa gejala sistemik (42,6%) begitu juga
tanpa gejala saraf tepi (70,6%). Reaksi ini umumnya terjadi saat dalam
masa pemberian multi drug treatment (MDT) dan saat 6 bulan pertama
pemberian MDT. Pasien yang telah didiagnosis mengalami reaksi kusta
tipe 1 paling banyak diterapi menggunakan obat antiinflamasi nonsteroid
(OAINS) dan terkadang dikombinasikan dengan kortikosteroid.

Literatur menunjukkan bahwa 6-67% pasien kusta akan mengalami


reaksi kusta tipe 1. Oleh sebab ini reaksi ini merupakan perjalanan alami
dari penyakit kusta sehingga prevalensinya tidak jauh berbedan di seluruh
dunia. Reaksi tipe 1 paling banyak didapatkan pada jenis MB (97%)
terutama tipe BB (72,1%). Tingginya proporsi pasien baru kusta jenis MB
disebabkan karena tipe ini memiliki gejala yang lebih nampak dibanding
jenis pausibasiler (PB) atau dapat disebabkan karena pemberian MDT
yang terlambat dan tidak teratur. Gejala khas yang paling sering muncul
pada reaksi tipe 1 yaitu bercak merah lama yang menebal. Penebalan
bercak merah lama merupakan tanda peningkatan CMI yang menunjukkan
bahwa keradangan hanya terlokalisir pada kulit saja. Selain itu reaksi tipe
1 mungkin akan memberika gejala munculnya bercak baru, nodul, maupun
gabungan antara ketiganya. Sedangkan gejala sistemik atau konstitusional
seperti demam, malaise, dan nyeri sendi jarang didapatkan pada pasien
reaksi tipe 1 karena peningkatan CMI menyebabkan gejalnya terbatas pada
saraf dan kulit saja. Sebaliknya pada pasien reaksi tipe 2 sering disertai
gejala sistemik seperti demam karena adanya peningkatan respon imun
humoral. Mengenai gejala saraf tepi pada reaksi tipe 1 yang muncul
biasanya hanya nyeri dan gangguan fungsi saraf karena terjadi
penongkatan CMI bahkan terkadang muncul tanpa gejala.

Reaksi tipe 1 banyak muncul selama masa pengobatan MDT yang


disebabkan karena adanya peningkatan CMI yang berlebihan untuk
memakan fragmen kuman yang telah mati akibat pemberian MDT.
Dengan gejala yang khas yaitu penebalan bercak merah lama. Jika terjadi
reaksi tipe 1 maka akan diberikan OAINS untuk derajat ringan atau
kortikosteroid untuk mencegah berjalannya inflamasi lebih lanjut pada
saraf yang menimbulkan kecacatan.

E. Pemeriksaan Diagnosis Penunjang

Deteksi dini untuk reaksi penyakit kusta sangat penting untuk


menekan tingkat kecacatan ireversibel yang mungkin terjadi sebagai gejala
sisa. Tingkat keberhasilan terapi tampak lebih baik jika penyakit kusta ini
dideteksi dan ditangani secara dini. Diagnosis dapat ditegakkan
berdasarkan :

1. Gambaran klinik

a) Gejala klinik tersebut diantara lain: Lesi kulit menjadi lebih merah
dan membengkak.

b) Nyeri, dan terdapat pembesaran saraf tepi.

c) Adanya tanda-tanda kerusakan saraf tepi, gangguan sensorik


maupun motorik.

d) Demam dan malaise.

e) Kedua tangan dan kaki membengkak.

f) Munculnya lesi-lesi baru pada kulit.

2. Laboratorium :

a) Darah rutin: tidak ada kelainan


b) Bakteriologi

c) Pemeriksaan histopatologi

Dari pemeriksaan ini ditemukan gambaran berupa Infiltrate limfosit


yang meningkat sehingga terjadi udema dan hiperemi. Diferensiasi
makrofag kearah peningkatan sel epiteloid dan sel giant memberi
gambaran sel langerhans. Kadang-kadang terdapat gambaran nekrosis
(kematian jaringan) didalam granulosum. Dimana penyembuhannya
ditandai dengan fibrosis.
DAFTAR PUSTAKA

Graber,Mark A,1998,Buku Saku Kedokteran university of IOWA,EGC,Jakarta

Harahap, M. 1997. Diagnosis and Treatment of Skin Infection, Blackwell Science,


Australia

Kaur dan Van Brankel. 2002. Dehabilitation of Leprosy Affected People a Study
On Leprosy Affected Beggars. Diakses dari:www.leprahealthnaction.org.
Tanggal akses 10 November 2017.

Trihono dan R. Gitawati. 2015. Hubungan antara penyakit menular dengan


kemiskinan di Indonesia. Jur. Peny. Mlr. Indo. 1(1):38—42

https://e-journal.unair.ac.id/BIKK/article/view/12531

Anda mungkin juga menyukai