ُي لَه
َ ضل ْل فَالَ َهاد ُ ْ َ َ ُ ّ ْح ْم َد للَّه نَ ْح َم ُدهُ َونَ ْستَع ْينُهُ َونَ ْسَت ْغف ُرهُ َو َنعُ ْوذُ بِاهلل م ْن ُش ُر ْو ِر أَْن ُفسنَا َو َسيّئَات أَ ْع َمالنَا َم ْن َي ْهده اهللُ فَالَ ُم َ إِ ّن ال
ُأَ ْش َه ُد أَ ْن الَ إِلهَ إِالّ اهللُ َوأَ ْش َه ُد أَ ّن ُم َح ّم ًدا َع ْب ُدهُ َو َر ُس ْولُه
.ان إِلَى َي ْوِم ال ّديْن ٍ َصحابِ ِه ومن تَبِع ُهم بِِإحس
َ ْ ْ َ ْ َ َ َ ْ ّم َعلى ُم َح ّمد َو َعلى آله ِوأ
ِِ ٍ
ْ ص ّل َو َسلَ لله ّم ُ َا
آم ُن ْوا اّت ُقوا اهللَ َح ّق ُت َقاتِِه َوالَ تَ ُم ْوتُ ّن إِالّ َوأَْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن َ يَاأ َّي َها الّ َذيْ َن
اءل ُْو َن بِ ِه ِ ِ ِ ِ ّ اح َد ٍة و َخلَ َق ِم ْنها َزوجها وب ِ سو ِ ِ
َ اء َواّت ُقوا اهللَ الَذي تَ َس ً ث م ْن ُه َما ِر َجاالً َكث ْي ًرا َون َس ََ ََ ْ َ َ َ ٍ اس اّت ُق ْوا َربّ ُك ُم الّذي َخلَ َق ُك ْم م ْن َن ْف ُ َيَاأ َّي َها الن
َواْأل َْر َح َام إِ ّن اهللَ َكا َن َعلَْي ُك ْم َرقِ ْيبًا
أ َّما َب ْع ُد،صلِ ْح لَ ُك ْم أَ ْع َمالَ ُك ْم َو َي ْغ ِف ْرلَ ُك ْم ذُ ُن ْوبَ ُك ْم َو َم ْن يُ ِط ِع اهللَ َو َر ُس ْولَهُ َف َق ْد فَ َاز َف ْو ًزا َع ِظ ْي ًما ْ ُآم ُن ْوا اّت ُقوا اهللَ َو ُق ْول ُْوا َق ْوالً َس ِديْ ًدا ي ِ
َ يَاأ َّي َها الّذيْ َن
…
،ًضالَلَة َ َو ُك ّل ُم ْح َدثٍَة بِ ْد َعةٌ َو ُك ّل بِ ْد َع ٍة، َو َش ّر اْأل ُُم ْو ِر ُم ْح َدثَا ُت َها،ّم ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ فَِأ ّن أَص َد َق ال
َ صلّى اهلل َعلَْيه َو َسل َ ى ُم َح ّمد ُ َو َخ ْي َر ال َْه ْدى َه ْد،اب اهلل ُ َْحديْث كت َ ْ
ِ ِ
.ضالَلَة في النّا ِر َ َو ُك ّل
Ibadallah,
Sudah menjadi tabiat manusia, ia akan lebih konsumtif menghamburkan uang, manakala mulai mengeyam
kehidupan yang mapan dan kemudahan ekonomi. Seolah-olah kekayaan kurang berarti banyak bila pemiliknya
tidak mempergunakannya untuk keperluan yang lebih besar dan kemewahan. Misalnya dengan banyak memenuhi
kebutuhan-kebutuhan yang kurang penting baginya. Begitulah keadaan seseorang, ia lebih mudah beradaptasi
dengan hidup enak ketimbang dengan hidup menderita.
Alquran telah menegaskan bahwa tipologi manusia, menghamburkan uang dan berfoya-foya saat berada dalam
kondisi berada, menghindari gaya kesederhanaan dan keseimbangan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
ٰ
ِ ََر َما يَ َشا ُء ۚ إِنَّهُ بِ ِعبَا ِد ِه َخبِي ٌر ب
صي ٌر ِ ْق لِ ِعبَا ِد ِه لَبَ َغوْ ا فِي اأْل َر
ٍ ض َولَ ِك ْن يُن َِّز ُل بِقَد ْ ُ َولَوْ بَ َسطَ هَّللا
َ الرِّز
Dan jikalau Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka
bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Mahamengetahui
(keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Mahamelihat. (asy-Syura/42:27).
ُــب َو ْال َما ُل آفَـتُهُ التَّــ ْب ِذ ْي ُر َوالنَّــهْب َ ْال َع ْقــــــ ُل آفَـتُهُ اإْل ِ ْع َجابُ َو ْالغ
َض ُـ
Kelemahan akal itu bangga diri dan emosi
Dan penyakit harta itu pemborosan dan perampokan.
Secara global, Alquran telah menjelaskan cara pengelolaan ekonomi dengan segala penjabarannya, yang intinya
mencakup dua hal. Inilah yang dimaksud dengan “ushul iqtishad”, yaitu husnun nazhari fiktisabil mal (kecakapan
mencari materi) dan husnun nazhar fi sharfihi fi masharifihi (kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos
pengeluaran yang tepat). Lihatlah, bagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala membuka jalan bagi perolehan ma’isyah
melalui cara-cara yang tetap menjaga muru`ah dan agama (pekerjaan yang halal).
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
َض َوا ْبتَ ُغوا ِم ْن فَضْ ِل هَّللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هَّللا َ َكثِيرًا لَ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِحُون
ِ ْصاَل ةُ فَا ْنت َِشرُوا فِي اأْل َر
َّ ت ال ِ ُفَإ ِ َذا ق
ِ َضي
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah
Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung. (al-Jumu’ah/62:10).
Begitu pula Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan agar manusia bersikap hemat dalam pembelanjaan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
ْط فَتَ ْق ُع َد َملُو ًما َمحْ سُورًا ْ ك َم ْغلُولَةً إِلَ ٰى ُعنُقِكَ َواَل تَ ْبس
ِ ُطهَا ُك َّل ْالبَس َ َواَل تَجْ َعلْ يَ َد
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya
karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal. (al-Isra`/17:29)
Ibadallah,
Agar tercipta mentalitas yang baik berhubungan dengan gaya hidup itu, Allah Subhanahu wa Ta’alamemerintahkan
manusia agar dalam pemenuhan kebutuhannya dilakoni secara bersahaja, tengah-tengah, dan tidak boros dalam
pengeluaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menegaskan dalam sabdanya, yang artinya: “Makanlah,
bersedekahlah, dan pakailah dalam keadaan tanpa menghamburkan uang dan kesombongan”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya: “Jauhilah gaya hidup bermewahan. Sesungguhnya
hamba-hamba Allah itu bukan orang-orang yang bermewah-mewahan”.
Secara khusus, sifat ini juga menjadi kriteria menonjol pada diri ibadur-rahman. Yakni para hamba Allah yang
sebenarnya. Allah berfirman tentang mereka:
Mereka tidak menghambur-hamburkan uang dengan belanja di luar kebutuhannya. Juga bukan orang-orang yang
bakhil kepada keluarganya, sehingga kebutuhan bagi keluarganya pun terpenuhi dan tidak kekurangan. Mereka
membelanjakan hartanya secara adil. Dan sebaik-baik urusan adalah yang tengah-tengah, tidak berlebihan ataupun
tidak kikir.
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah,
Larangan kepada manusia agar tidak melakukan pemborosan dan penghamburan atas uang dan harta yang
dimilikinya, pasti mengandung manfaat. Dan manusia pun sebenarnya sanggup mengetahui hikmah di balik
larangan tersebut.
Di antara hikmahnya, ialah untuk menjaga kekayaan itu sendiri. Bahwa pada hari Kiamat kelak, sumber pendapatan
harta itu dipertanyakan, dan demikain pula dengan pembelanjaannya. Pembelanjaan harta atau uang pada perkara
tidak dibutuhkan, sungguh sangat bertentangan dengan salah satu tujuan syariat Islam, yaitu hifzhul-mal (menjaga
harta benda). Dalam hal ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan,
apalagi jika harta itu dimanfaatkan untuk perbuatan maksiat.
Sahabat mulia, yakni Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu telah mendefinisikan makna mubadzdzirin (orang-
orang yang melakukan pemborosan). Beliau radhiyallahu ‘anhu menjelaskan, mubadzdzirin ialah orang-orang yang
membelanjakan (uang) pada perkara-perkara yang tidak dibenarkan. Maka, cukuplah untuk menjadi bahan
perenungan, bahwa Allah membenci pemborosan.
Sisi lain, materi diperlukan setiap orang untuk memenuhi hajat hidupnya. Dengan materi, seseorang dapat lebih
mudah memenuhi kebutuhan hidupnya. Begitu pula dengan harta, selain sebagai penopang hidup, juga berfungsi
sebagai pemelihara kehormatan dan kewibawaan seseorang di tengah komunitas sosialnya.
Ibnu Hibban rahimahullah mengatakan,
َو ِم ْن أَحْ َس ِن َما يَ ْست َِعس ُْن بِ ِه ْال َمرْ أُ َعلَى إِقَا َم ِة ُمرُوْ َءتِ ِه ْال َما ُل الصَّال ُح
Termasuk hal terpenting untuk membantu seseorang menegakkan kehormatan dirinya ialah harta yang baik.
Dengan modal uang di genggaman, seseorang sudah bisa menjaga agama, kehormatan dan kemuliaan dirinya. Ia
tidak perlu menghinakan wajahnya dengan perbuatan yang dapat menghinakannya. Semisal mengemis, meminta-
minta, atau bahkan tidak menutup kemungkinan mencuri maupun korupsi, dan perbuatan lain yang tidak
dibenarkan syariat. Karena semua perbuatan itu sangat jelas dilarang agama. Bahkan, dengan uang di tangan,
seseorang tidak perlu gali lubang dengan berhutang. Meskipun berhutang termasuk muamalah yang jaiz (boleh),
akan tetapi sedikit atau banyak akan membekaskan tekanan tersendiri.
Hidup berjalan ibarat roda. Kadang berada di atas menangguk berbagai kenikmatan. Namun siapa sangka, tiba-tiba
berada di bawah, hidup penuh dengan kesulitan. Sehingga tidak ada pihak lain yang bersalah kecuali dirinya
sendiri.
Oleh karena itu, syariat Islam memberi peringatan bahaya as-saraf (pemborosan) maupun berlebihan dalam
pembelanjaan. Dengan memperhatikan bahaya ini, maka seseorang bisa tetap memiliki neraca yang tetap aman,
tidak besar pasak daripada tiang.
Adapun ditinjau dari aspek manfaat, perintah untuk tidak bergaya hidup berfoya-foya, memiliki pengaruh positif
yang kembali kepada diri orang tersebut. Dia akan lebih mudah beradaptasi menghadapi setiap perubahan dalam
menghadapi kehidupan. Kadang menyenangkan dan kadang harus hidup penuh keprihatinan. Dan seandainya
keadaan ekonomi keluarga ditakdirkan mengalami kesulitan, maka setidaknya seseorang itu tidak terlampau kaget
dengan perubahan yang terjadi secara tiba-tiba.
Syaikh al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Orang yang terbiasa hidup dalam kemewahan, akan merasakan sulit
menghadapi berbagai keadaan. Sebab, tidak menutup kemungkinan datang kepadanya persoalan-persoalan yang
tidak memungkinkan orang tersebut menyelesaikannya dalam kenyamanan”.
Nilai positif lain dari cara hidup sederhana, dapat mendorong seseorang menjadi pribadi yang pandai bersyukur dan
toleran, menghargai nikmat-nikmat Allah sekecil apapun. Karena masih banyak orang yang berada di bawahnya
secara ekonomi. Dengan itu, keimanannya akan bertambah.
ٍ أَقُوْ ُل هَ َذا القَوْ َل؛ َوأَ ْستَ ْغفُ ُر هللاَ لِ ْي َولَ ُك ْم َولِ َسائِ ِر ال ُم ْسلِ ِم ْينَ ِم ْن ُكلِّ َذ ْن
َ ب فَا ْستَ ْغفِرُوْ هُ يَ ْغفِرْ لَ ُك ْم إِنَّهُ هُ َو ال َغفُوْ ُر
الر ِح ْي ُم
Khutbah Kedua:
Ibadallah,
Al-i’tidal atau wasath (memilih sikap tengah-tengah) merupakan spirit umum dalam Islam. Dalam konteks gaya
hidup, berhemat memiliki keselarasan dengannya. Perilaku tersebut sangat bermanfaat, baik bagi individu maupun
pemerintahan. Meksi demikian, bukan berarti seorang muslim harus menghapus menu daging –umpamanya- yang
sebenarnya terjangkau olehnya. Atau kemudian hanya membeli dan mengenakan baju-baju tambalan dan
berpenampilan kumuh atau kotor. Akan tetapi, seperti diungkap oleh Imam Ibnu Katsiir, janganlah engkau bakhil
lagi kikir, sehingga tidak memberi kepada siapapun. Dan jangan berlebihan dalam menggunakan uang, sehingga
mengakibatkan pembelanjaannya di luar kemampuannya dan melebihi pendapatan yang diperolehnya. Karena dua
hal ini menjadi sumber celaan.
Inilah keseimbangan dalam pengaturan uang, berada di antara sudut sifat bakhil dan pemborosan. Dengan begitu,
urusan menjadi stabil dan sempurna. Sedangkan di luar ini, hanya berakibat dosa dan malapetaka, menunjukkan
kekurangan akal dan kondisinya. Oleh sebab itu, menilik manfaat yang begitu besar, anak-anak pun pantas untuk
dilatih menjalani hidup dengan hemat dan bersahaya.