Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai

negara sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini

sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan

spektrum klinisnya sangat luas.

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang

disebabkan oleh Salmonella typhi. Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh

manusia. Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya

melalui sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat

bervariasi.1 Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan

bakterimia tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri

sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar

limfe usus dan peyer’s patch.1

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan

demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama

dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh

spesies Salmonella enteriditis. Sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam

tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu

bioserotipe paratyphi A, paratyphi B dan paratyphi C.1

Case Report – Demam Tifoid 1


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Definisi Demam Typhoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh

Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan

bacteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endocardial dan invasi bakteri

sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus

dan Peyer’s patch.1,3

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam

enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid

namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteridis

sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.

Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteridis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S.

Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii).1,3

1.2 Epidemiologi

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara

yang sedang berkembang. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis)

dilaporkan antara 3-19 tahun mencapai 91 % kasus.1

Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural

reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui

sekret saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang bervariasi. Salmonella typhi

yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di

dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. typhi

Case Report – Demam Tifoid 2


hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan

klorinasi dan pasteurisasi (temp 63◦C).1

Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar

bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).1

Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam

bakteremia kepada bayi nya.1

1.3 Etiologi

Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gram-negatif,

mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai

antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari

protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular

lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan

endotoksin.1,2

1.4 Patogenesis

Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,

yaitu :1,3

 Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch

 Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus

limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra intestinal system

retikuloendotelial

 Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah

Case Report – Demam Tifoid 3


 Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan

menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.

Jalur Masuknya Bakteri Ke Dalam Tubuh

Bakteri Salmonella typhi Bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui

mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati.

Keadaan-keadaan seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor

histamin H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi

dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri

melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus,

tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch,

merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus,

mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik

sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di

dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan

limfe.1,2,3

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan

oleh jumlah dan virulensi kuman serta respon imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke

luar dari habitatnya dan melalui ductus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan

cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh

Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari

ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau

penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di empedu dapat menginvasi ulang

dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja.1,2,3

Case Report – Demam Tifoid 4


Peran Endotoksin

Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti

dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan

limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati,

limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin

dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem

vascular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga

menstimulasi sistem imunologik.1,2,3

Respon Imunologik

Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik di tingkat local

(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam

menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan

pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T

ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan

reaktivitas selular terhadap antigen Salmonella ser. typhi pada uji hambatan migrasi leukosit.

Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam

tinja, tanpa memasuki epitel pejamu.1

1.5 Manifestasi Klinis

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-

14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak

memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala

ini disebabkan faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit

di rumahnya.1,4,5

Case Report – Demam Tifoid 5


Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era

pemakaian atibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid

mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam

timbul insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi

pada minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam

turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis, abses

jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid

melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi

harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem

syaraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan

kesadaran mulai apati sampai koma.1,4,5

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,

anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang

berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan

dapat juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai

akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid

sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh diare, konstipasi atau konstipasi kemudian disusul

episode diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi

dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai meteorismus, lebih banyak dijumpai

hepatomegaly dibandingkan splenomegaly.1,4,5

Rose spot, suatu ruam maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm,

sering kali dijumpai pada daerah abdomen, thoraks, ekstremitas dan punggung. Ruam ini

muncul pada hari ke 7-10 dan bertahan selama 2-3 hari.1

1.6 Diagnosis

Case Report – Demam Tifoid 6


Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan

gastrointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini

maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid.1

Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah. Pada dua minggu

pertama sakit, kemungkinan mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari

pada minggu berikutnya. Biakan yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan

keberhasilan lebih kecil. Biakan specimen yang berasal dari aspirasi sumsum tulang

mempunyai sensitivitas yang tertinggi, hasil positif didapat pada 90%. Akan tetapi prosedur

ini sangat invasive, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu

dapat dilakukan specimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang

cukup baik.1,4,5

Uji serologi Widal suatu metode serologic yang memeriksa antibodi aglutinasi

terhadap antigen somatic (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam

tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji Widal

slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai

normal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid,

akan tetapi apabila negative tidak menyingkirkan. Banyak studi yang lain menyebutkan

apabila titer O agglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4

kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Agglutinin H banyak dikaitkan dengan

pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi agglutinin dipakai pada deteksi

pembawa kuman S.typhi (karier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologic Widal

kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada daeraj endemis, dan sebaliknya

dapat timbul negatif palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti biakan darah positif.1,4,5

Gambaran Darah Tepi

Case Report – Demam Tifoid 7


Anemia normokromi normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi

pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang dibawah 3.000/µl3. Apabila

terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/µl3.

Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.1,4,5

1.7 Tatalaksana

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,

isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotic.

Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit

serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan

seksama. Pengobatan antibitiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya

patogenesis infeksi Salmonella typhi berhubungan dengan keadaan bacteremia.4,5

Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam

tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama

10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus malnutrisi atau

penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk ostemielitis akut,

dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka

relaps dan karier.1

Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan

dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali

pemberian secara intravena. Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali

pemberian per oral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan

demam lebih lama. Kombinasi trimethroprim sulfametoksazol (TMP-SMZ) memberikan

hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10

mg/kg/ hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis.1

Case Report – Demam Tifoid 8


Strain yang resisten umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.

Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1

atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hari

dibagi dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan.1

Efikasi kuinolon baik tetapi tidak dianjurkan untuk anak. Akhir-akhir ini cefixime oral

10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila

jumlah leukosit < 2000/µl atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi.1

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan shock,

pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal,

dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotic yang memadai,

dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan

penyulit perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfuse darah. Sedangkan apabila

diduga terjadi perforasi, adanya cairan dalam peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen

dapat membantu menegakkan diagnosis. Laparotomi harus segera dilakukan pada perforasi

usus disertai penambahan antibiotic metronidazole dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10

cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfuse

trombosit dianjurkan untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga

menyebabkan perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan

untuk dilakukan intervensi bedah.1,4,5

Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral ditambah

dengan probecenid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis peroral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu

memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila

terdapat kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibitiotik saja jarang berhasil.

Koleisistektomi dianjurkan setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam

Case Report – Demam Tifoid 9


4-6 dosis IV) selama 7-10 hari, setelah koleisistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30

mg/kgBB/hari dalam 3 dosis peroral selama 30 hari.1,4,5

Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam

tifoid serangan pertama.1

1.8 Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap

individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang dikonsumsi. Salmonella

typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57◦C untuk beberapa menit atau dengan

proses iodinasi/klorinasi.1,2

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57◦C beberapa menit dan secara merata juga

dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah

tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah

serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu

menekan angka kejadian demam tifoid.1,2,3

BAB III
LAPORAN KASUS
STATUS PEMERIKSAAN PASIEN

Case Report – Demam Tifoid 10


I. Identitas Pasien
Nomor Rekam Medis : 00-07-64-96
Nama : An. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 12 tahun
Tanggal Lahir : 03 Desember 2004
Agama : Islam
Alamat : Kalibata, Rawa Jati

II. Anamnesis
Anamnesis pertama dilakukan secara alloanamnesis pada tanggal 2 Agustus 2017
pukul 17.45 WIB.

Keluhan Utama : Demam


Keluhan Tambahan : Pusing, mual, batuk, nyeri ulu hati

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan demam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit. Demam yang dirasakan pasien hilang timbul. Pasien juga mengaku selama 2
minggu, demam selalu muncul pada hari selasa dan rabu saja. Pasien sudah
sempat berobat dan mengkonsumsi obat untuk menurunkan demamnya, tetapi
keluhan tetap timbul kembali. Pasien juga mengeluhkan adanya pusing , mual dan
batuk sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Batuk tidak disertai dahak. Selain
dari keluhan demam, batuk, mual dan pusing, pasien juga mengeluh adanya nyeri
di ulu hati ketika batuk.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya

Riwayat Penyakit Keluarga :


Dikeluarga pasien tidak ada yang memiliki keluhan seperti ini.

Case Report – Demam Tifoid 11


Riwayat Kehidupan Pribadi :
Riwayat Antenatal :
Pasien merupakan anak pertama dari ibu yang berusia 20 tahun saat hamil,
dengan usia kehamilan kurang bulan saat melahirkan (ibu lupa HPHT), riwayat
abortus disangkal. Ibu rajin memeriksakan kehamilan ke Bidan. Pada trimester
pertama ibu memeriksa kehamilan sebanyak 1 kali dalam sebulan. Pada trimester
kedua ibu memeriksa kehamilan sebanyak 2 kali dalam sebulan dan pada trimester
ketiga ibu memeriksa kehamilan sebanyak 4 kali dalam sebulan. Riwayat penyakit
saat hamil disangkal.

Riwayat kehamilan :
Bayi lahir secara spontan ditolong oleh duku terlatih. Usia kehamilan kurang
bulan (ibu pasien lupa HPHT), ketuban pecah dini (-). Bayi lahir langsung
menangis, dengan berat badan 2800 gram, panjang lahir ibu pasien tidak
mengingatnya, lingkar kepala ibu pasien tidak ingat. Riwayat biru setelah lahir
disangkal.

Riwayat Pasca Lahir :


Sesaat setelah lahir, pasien mendapat suntikan vitamin K dan imunisasi
Hepatitis B 0 hari. ASI ibu banyak (+), bayi langsung menetek kuat, dan ASI
diberikan secara eksklusif. Tidak ada riwayat kuning. Bayi bergerak aktif,
menangis kuat, sesak napas (-), biru (-).
Kesan: riwayat kehamilan, persalinan dan pasca lahir pasien baik.

Riwayat Makan :

Usia 0 – 6 bulan Pemberian ASI eksklusif, durasi tiap menyusui,


lamanya ± 15 menit. Diberi setiap 2-3 jam.
Usia 6 – 11 bulan Pemberian ASI, pemberian susu formula ± 100 cc,
sebanyak lebih dari 3x dalam sehari.
Usia 12 bulan – 2 tahun Pemberian susu formula ± 200 cc sebanyak 4 kali
dalam sehari. Pasien juga diberi nasi tim dengan lauk
seperti ayam, ikan dan sayuran. Diberikan 3x sehari
dengan durasi makan 30 menit.
Usia 2 tahun – 6 tahun Pemberian susu formula sebanyak 4 kali dalam

Case Report – Demam Tifoid 12


sehari. Pasien diberi nasi + lauk + sayur sehari 3x
sebanyak 1 porsi dalam sekali makan dan diselingi
buah 1-2 kali sehari.
Usia 7 tahun – Sekarang Pemberian susu kental manis sebanyak 3 bungkus
perhari. Pasien diberi nasi + lauk + sayur sehari 3x
sebanyak 1 porsi dalam sekali makan dan diselingi
buah 1-2 kali sehari.
Kesan: Riwayat kualitas dan kuantitas makanan pasien baik, tahapan makanan
pasien baik sesuai dengan usia pasien.

Pertumbuhan dan Perkembangan :

Gigi pertama Usia : 12 bulan


Psikomotor Tengkurap : ibu tidak Berjalan : Usia 12 bulan
ingat
Duduk : Usia 6 bulan Berbicara : Usia 1,5 tahun
Berdiri : Usia 9 bulan Membaca / menulis : 5 tahun
Kesan : Riwayat tumbuh kembang sesuai dengan usia.
Status Imunisasi :

Vaksin Usia Pemberian


BCG 2 bulan
DPT/DT 2,4,6 bulan, 2 dan 5
tahun
Polio 0,2,4,6,18 bulan dan 5
tahun
Campak 9 bulan dan 5 tahun
Hepatitis B 0,1,5 bulan
MMR 15 bulan dan 6 tahun
Kesan: Riwayat imunisasi dasar pasien lengkap sesuai dengan usia pasien
berdasarkan Jadwal Imunisasi IDAI tahun 2004

Status Gizi :

Case Report – Demam Tifoid 13


BB/UU = 45/42 x 100% = 107% (P50-P75)
TB/U = 154/151 x 100% = 101% (P50-P75)
BB/TB = 45/44 x 100% = 102% (P50-P75)

Kesan : Gizi Cukup

Sosial Ekonomi dan Lingkungan :

Case Report – Demam Tifoid 14


Ayah bekerja sebagai karyawan swasta. Penghasilan kira-kira Rp. 4.500.000,-
per bulan, dan ibu juga bekerja sebagai karyawan swasta dengan penghasilan kira-
kira Rp. 4.500.000 – per bulan.
Pasien tinggal di rumah pribadi bersama ibu dan ayah. Rumah pasien berada
di perkampungan padat penduduk. Ayah dan ibu bekerja setiap hari. Ibu pasien
mengaku persiapan makanan serta alat-alat makan dan minum pasien selalu
dibersihkan sebelum dipakai. Air yang dipakai pasien berasal dari sumber air
sumur. Tempat pembuangan sampah akhir pasien berada jauh dari lingkungan
perumahan tersebut yang dipakai untuk bersama.
Pasien lebih sering jajan di luar. Pasien menyukai makanan pedas dan manis
yang diberi pewarna yang dijual oleh penjual gerobak.

A. Pemeriksaan Sistem :

Keadaan umum : tampak sakit sedang

Pemeriksaan tanda-tanda vital :


Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi 115 x/ menit
Frekuensi nafas 23 x / menit
Suhu 39,0 ˚C

Pemeriksaan antropometri :
Berat badan : 45 kg
Tinggi badan : 154 cm
1. Kepala :
 Bentuk : Normocephali (Lingkar Kepala 52 cm)
 Rambut dan Kulit Kepala : Rambut berwarna hitam, pertumbuhan
Merata.
 Mata : Mata cekung - / - , Conjungtiva anemis - /-,
Sklera ikterik - / -
 Telinga : Liang telinga lapang / lapang, Sekret - /
-Serumen -/-

Case Report – Demam Tifoid 15


 Hidung : Cavum nasi lapang / lapang, secret - / -
 Mulut :
o Bibir : bibir kering (+), Sianosis sirkumural (-)
o Gigi – geligi : Lengkap
 Lidah : Coated tounge (+)
 Tonsil : T1- T1, mukosa hiperemis (-)
 Faring : Mukosa faring hiperemis (-)
2. Leher : Simetris, tidak ada pembengkakan.
3. Thoraks :
Dinding thoraks : Normochest (Laterolateral >
Anteroposterior)
Paru :
 Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kanan
dan kiri
 Palpasi : Vokal fremitus simetris kanan dan kiri
 Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
 Auskultasi : Bunyi nafas dasar: Vesikuler/ Vesikuler
Bunyi nafas tambahan : Rhonki - / -, Wheezing - / -
Jantung :
 Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
 Palpasi : Ictus cordis teraba di garis midclavicularis
sinistra intercostal V
 Perkusi : Batas kanan jantung : linea parasternalis
dextra
Batas kiri jantung : linea midclavicularis sinistra Intercostal V
 Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, Murmur (-),
Gallop (-)
4. Abdomen :
 Inspeksi : Dinding perut tampak datar
 Palpasi : Supel (+), Nyeri tekan (+) kuadran tengah
atas (ulu hati), hati dan limpa tidak teraba
membesar.
 Perkusi : Timpani (+), Nyeri ketok (-)

Case Report – Demam Tifoid 16


 Auskultasi : Bising usus (+) 5 kali / menit
5. Anus dan Rektum : Tidak dilakukan pemeriksaan
6. Genitalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
7. Anggota Gerak :

Kiri Kanan
Atas Akral hangat, sianosis (-), Akral hangat, sianosis (-),
CapillaryRefill Time <2 detik CapillaryRefill Time<2 detik
Bawah Akral hangat, sianosis (-), Akral hangat, sianosis (-),
Capillary Refill Time < 2 Capillary Refill time < 2
detik detik

8. Tulang Belakang : Lordosis (-), Kifosis (-), Skoliosis (-)


9. Kulit : Ruam kemerahan (-), Rumple Leed Test (-)
10. Kelenjar Getah Bening : Kelenjar getah bening tidak teraba membesar di
regio submandibula, regio submentalis, regio
colli anterior, dan regio colli posterior

B. Pemeriksaan Neurologis :
 Nervus Cranialis : Tidak dilakukan
 Pemeriksaan Reflek :
o Refleks Fisiologis : Tidak dilakukan
o Refleks patologis : Tidak dilakukan

III. Pemeriksaan Penunjang :


Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah H2TL pada tanggal 2 Agustus
2017
Hemoglobin 11,2 g/dL Leukosit 8200 /uL
Hematokrit 36,2 % Trombosit 391.000/uL

Pemeriksaan Widal pada tanggal 2 Agustus 2017 :


S. Typhose H (+) 1/320 S. Paratyphi A H (-)
S. Typhose O (+) 1/320 S. Paratyphi B H (-)
S. Paratyphi A O (+) 1/160 S. Paratyphi C H (-)

Case Report – Demam Tifoid 17


S. Paratyphi B O (+) 1/320 S. Paratyphi C O (-)

IV. Diagnosa Kerja :


Demam Typhoid

V. Rencana Tatalaksana dan Terapi :


Rawat Inap
IVFD : Ringer Laktat 24 tpm (makro)
Medikamentosa : Kloramfenikol 4 x 1 g
Sanmol 4 x 500 mg (injeksi)
Ranitidin 2 x 50 mg (injeksi)

VI. Prognosis

 Ad vitam : Bonam
 Ad functionam : Bonam
 Ad sanationam : Bonam

FOLLOW UP PASIEN

Tanggal Subjective Objective Assessment Planning


3/8/2017 - Demam KU : Tampak Sakit sedang Demam Typhoid -Rawat Inap
(06.00WIB) -batuk KES : Compos Mentis -Diet : Lunak tidak

Case Report – Demam Tifoid 18


(kadang- HR :105 x/menit merangsang
kadang) RR :21 x/menit -IVFD : Ringer Laktat
tidak S : 38,3◦C (24 tpm makro)
berdahak TD : 100/70 mmhg
- pusing TB : 154 cm Medikamentosa
- mual BB : 45 kg - Ranitidin 2 x 50 mg
- Nyeri pada IV
ulu hati Kepala : Normocephali - Ceftriaxone 2 x 1000
-belum Mata : CA -/-, SI -/- mg IV
BAB sudah Mulut : coated tounge + -Sanmol 4 x 500 mg
2 hari Leher : KGB tidak membesar IV
Thoraks :
I : Pergerakan dinding dada
simetris
P : VF simetris
P : Sonor/Sonor
A : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Batas jantung kiri-kanan
normal
A : Bunyi jantung I & II
regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
I : Perut tampak datar
A : BU (+) 5 x/menit
P : Timpani, Nyeri ketuk (-)
P : Supel, Nyeri tekan (+)
pada regio epigastrika

Ekstremitas :

Case Report – Demam Tifoid 19


CRT < 2, Edema (-)
Akral Hangat

4/8/2017 -Batuk KU : Tampak Sakit sedang Demam Typhoid -Rawat Inap


(06.00 berdahak KES : Compos Mentis -Diet : Lunak tidak
WIB) (warna HR : 90 x/menit merangsang
putih) RR : 18 x/menit -IVFD : Ringer Laktat
-Nyeri pada S : 36,4◦C (20 tpm makro)
ulu hati TD : 110/80
TB : 154 cm Medikamentosa
BB : 45kg - Ranitidin 2 x 50 mg
IV
Kepala : Normocephali - Ceftriaxone 2 x 1000
Mata : CA -/-, SI -/- mg IV
Leher : KGB tidak membesar -Sanmol 4 x 500 mg
Thoraks : IV
I : Pergerakan dinding dada
simteris
P : VF simetris
P : Sonor/Sonor
A : Vesikuler, Rh -/-, Wh -/-

Jantung :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Batas jantung kiri-kanan
normal
A : Bunyi jantung I & II
regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
I : Perut tampak datar
A : BU (+) 5 x/menit
P : Timpani, Nyeri ketuk (-)

Case Report – Demam Tifoid 20


P : Supel, Nyeri tekan (+)
regio epigastrika

Kulit : Dalam batas normal


Ekstremitas :
CRT < 2, Edema (-)
Akral Hangat

5/8/2017 -Belum KU : Tampak Sakit sedang Demam Typhoid -Rawat Inap


(06.00 BAB KES : Compos Mentis -Diet : Lunak tidak
WIB) -Batuk HR : 72 x/menit merangsang
berdahak RR : 20 x/menit -IVFD : Ringer Laktat
-Nyeri ulu S : 36,9◦C (20 tpm makro)
hati TD : 110/80 mmHg
TB : 154 cm Medikamentosa
BB : 45 kg - Ranitidin 2 x 50 mg
IV
Kepala : Normocephali - Ceftriaxone 2 x 1000
Mata : CA -/-, SI -/- mg IV
Leher : KGB tidak membesar -Sanmol 4 x 500 mg
Thoraks : IV
I : Pergerakan dinding dada
simteris
P : VF simetris
P : Sonor/Sonor
A : Vesikuler ,Rh -/-, Wh -/-

Jantung :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba
P : Batas jantung kiri-kanan
normal
A : Bunyi jantung I & II
regular, murmur (-), gallop (-)

Case Report – Demam Tifoid 21


Abdomen :
I : Perut tampak datar
A : BU (+) 5 x/menit
P : Timpani, Nyeri ketuk (-)
P : Supel, Nyeri tekan + regio
epigastrika

Ekstremitas :
CRT < 2, Edema (-)
Akral Hangat

6/8/2017 -Sudah KU : Tampak Sakit sedang Demam Typhoid -Rawat Inap


06.00 WIB BAB 1x KES : Compos Mentis -Diet : Lunak tidak
normal HR : 78 x/menit merangsang
-Demam (-) RR : 20 x/menit -IVFD : Ringer Laktat
-Nyeri perut S : 36,8◦C (20 tpm makro)
(-) TD : 110/80 mmHg
TB : 154 cm Medikamentosa
BB : 45 kg - Ranitidin 2 x 50 mg
IV
Kepala : Normocephali - Ceftriaxone 2 x 1000
Mata : CA -/-, SI -/- mg IV
Leher : KGB tidak membesar -Sanmol 4 x 500 mg
Thoraks : IV
I : Pergerakan dinding dada
simteris
P : VF simetris
P : Sonor/Sonor
A : Vesikuler ,Rh -/-, Wh -/-

Jantung :
I : Ictus cordis tidak terlihat
P : Ictus cordis teraba

Case Report – Demam Tifoid 22


P : Batas jantung kiri-kanan
normal
A : Bunyi jantung I & II
regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :
I : Perut tampak datar
A : BU (+) 5 x/menit
P : Timpani, Nyeri ketuk (-)
P : Supel, Nyeri tekan (-)

Ekstremitas :
CRT < 2, Edema (-)
Akral Hangat

BAB IV
ANALISA KASUS

Telah di rawat pasien An. S usia 12 tahun 7 bulan jenis kelamin perempuan pada
tanggal 2 Agustus 2017 di bangsal Anggrek RSU UKI. Pada hari pertama datang ke IGD
RSU UKI pasien didiagnosa dengan demam typhoid. Berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik yang ditemukan pada tanggal 2 Agustus 2017 :

Case Report – Demam Tifoid 23


Tabel 4.1 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik yang ditemukan pada Kasus

Anamnesis Pemeriksaan Fisik


 Demam sejak 2 minggu , hilang  Keadaan umum tampak sakit sedang
timbul.  Tekanan darah : 120/70 mmHg
 Pusing sejak 1 hari sebelum masuk  Frekuensi nadi 115 x/ menit
rumah sakit.  Frekuensi nafas 23 x / menit
 Mual sejak 1 hari sebelum masuk  Suhu 39,2 ˚C
rumah sakit.  Berat badan : 45 kg
 Batuk sejak 1 hari sebelum masuk  Tinggi badan : 154 cm
rumah sakit.  Kepala : lidah kotor warna putih
 Nafsu makan berkurang ditengah (+)
 Perut tengah atas sakit.  Abdomen : dinding perut tampak
 Riwayat jajan di luar (+) datar,supel (+), nyeri tekan (+)
kuadran tengah atas, hati dan limpa
tidak teraba membesar, timpani (+),
nyeri ketok (-)
 Pada pemeriksaan kulit tidak
didapatkan bercak kemerahan.
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan, menurut penulis pasien
mengalami suspect demam tifoid. Berdasarakan buku ajar infeksi dan pediatrick tropis,
manifestasi klinis demam tifoid berupa1 :

Tabel 4.2 Manifestasi Klinis Demam Tifoid

Manifestasi Klinis Demam Tifoid


1. Demam :
 Step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam timbul insidious,
kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada
minggu ke – 4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus
infeksi seperti kolesistitis, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai
koma.

Case Report – Demam Tifoid 24


 Demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi
harinya.
2. Gejala Sistem Saraf Pusat :
Kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai
apati sampai koma.
3. Gejala Sistemik Lainnya :
Nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang
tenggorokkan
4. Gejala Gastrointestinal :
Diare, obtipasi, atau obtipasi kemudian disusul episode diare.
5. Pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedangkan tepi dan
ujungnya kemerahan, gejala meteorismus, hepatomegaly, dan splenomegaly.
6. Rose spot, suatu ruam maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1 – 5 mm,
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada
orang kulit putih. Ruam muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan 2 – 3 hari.
7. Bradikardi relatif.
Sumber : Soedormo SPS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi
kedua. Cetakan ketiga. Badan penerbit IDAI. Jakrta 2012. 338 – 346.1

Penularan bakteri Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi terjadi melalui makanan
dan minuman yang tercemar serta tertelan melalui mulut.1,2
Diagnosa dapat ditegakkan dengan pasti pada pemeriksaan laboratorium demam
tifoid, yaitu pemeriksaan Widal dikatakan positif apabila terjadi peningkatan titer O ≥ 1/ 320.
Pemeriksaan biakan empedu pada minggu pertama kuman ditemukan dalam darah, pada
minggu kedua kuman ditemukan di urin dan pada minggu ketiga kuman ditemukan di dalam
tinja.1
Pada hari yang sama, pasien telah melakukan pemeriksaan darah Hb, Ht, leukosit dan
trombosit dengan hasil kadar Hb 11,2 g/dl, Ht 36,2 %, leukosit 8200/µL, trombosit
391.000/µL. Berdasarakan buku ajar infeksi dan pediatrik tropis serta buku demam tifoid,
pada pemeriksaan laboratorium demam tifoid ditemukan jumlah leukosit yang rendah
(leukopenia) atau jumlah leukosit yang normal.1
Pada pemeriksaan Widal didapatkan hasil :
S. Typhose H (+) 1/320 S. Paratyphi A H (-)
S. Typhose O (+) 1/320 S. Paratyphi B H (-)
S. Paratyphi A O (+) 1/160 S. Paratyphi C H (-)

Case Report – Demam Tifoid 25


S. Paratyphi B O (+) 1/320 S. Paratyphi C O (-)
Dari hasil pemeriksaan didapatkan S. Typhose O (+) 1/320
Maka dari itu, dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
telah dilakukan, penulis mendiagnosis pasien mengalami demam tifoid.
Pasien di rawat inap dan diberikan pengobatan, yaitu berupa terapi cairan pengganti
yaitu Ringer Laktat 24 tpm (makro), serta obat – obatan yang diberikan berupa ceftriaxone 2
x 1000 mg (injeksi), sanmol 4 x 500 mg (injeksi), dan ranitidine 2 x 50 mg (injeksi).
Tatalaksana umum berupa tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting
dalam menangani demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik.
Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik, pemberian nutrisi yang
adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi, merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki
kualitas hidup seorang anak penderita demam tifoid.1,4,5
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak di negara
berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya. Berdasarkan ketiga
faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi pengobatan demam tifoid pada anak, terutama
di negara berkembang. Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam
tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan
dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Namun Kloramfenikol mempunyai
kekurangan, yaitu menyebabkan efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum
tulang, menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan
Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan
sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier S. typhi.1

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedormo SPS, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi dan Pediatrik

Tropis. Edisi kedua. Cetakan ketiga. Badan Penerbit IDAI. Jakarta 2012. 338 – 46.

2. Samekto W. Demam Tifoid. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang

2001. ISBN 979 – 704- 049 – 6.

Case Report – Demam Tifoid 26


3. Supali T, Margono S S, Abidin S A N. Demam Typhoid. Dalam : Buku Ajar

Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. 2013. Jakarta : Badan Penerbit FK UI.

Hal:338-345.

4. Sucipta A A M. Baku Emas Pemeriksaan Laboratorium Demam Tifoid Pada Anak.

2015. Jurnal Skala Husada Vol. 12 No. 1. Hal:22-6.

5. Purba I E, Wandra T, Nugrahini N, Nawawi S, dkk. Program Pengendalian Demam

Tifoid di Indonesia : Tantangan dan Peluang. Media Litbangkes Vol. 26 No. 2.

Hal:99-108

Case Report – Demam Tifoid 27

Anda mungkin juga menyukai