Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN KASUS

MENINGITIS BAKTERIAL

Disusun Oleh:
Alvina Cita Indriani D
0961050194
Pembimbing :
dr.Dina Siti Daliyanti, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 2 OKTOBER – 9 DESEMBER 2017

RSUD KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Presentase kasus dengan judul “ TB peritonitis” ini diajukan untuk memenuhi


persyaratan dalam mengikuti dam menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi

Periode `2 Oktober 2017-9 Desember 2017

Disusun Oleh :

Alvina Cita Indriani Djoedir

0961050194

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing

Bekasi, November 2017

dr. Dina Siti Daliyanti, SpA (K

2
BAB I

PENDAHULUAN
Infeksi akut sistem saraf pusat merupakan penyebab tersering dari demam yang disertai dengan

tanda dan gejala-gejala penyakit sistem saraf pusat itu sendiri pada anak. Infeksi dapat

disebabkan oleh berbagai mikroorganisme, infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme

tersebut dapat dipengaruhi oleh usia, faktor kekebalan tubuh dan epidemiologi daripada

mikroorganisme penyebabnya.1 Setelah masuk kedalam tubuh, kuman bertumbuh dan

berkembang biak dalam tubuh dan melalui proses perlawanan dari seluruh sistem pertahanan

tubuh. Yang kemudian dapat mencapai sistem saraf pusat yang kemudian menimbulkan gejala

prodormal seperti nyeri kepala, insomnia, iritasi mental, delirium sampai koma. 2 Apapun

mikroorganisme penyebab dari infeksi sistem saraf pusat, manifestasi yang terjadi umumnya

dapat sama yaitu seperti demam, fotofobia, nyeri dan kekakuan pada leher, kesadaran menurun,

stupor, koma, kejang dan defisit neurologis. Penyebaran infeksi sistem saraf pusat secara

anatomis dapat difus dan lokal pada satu tempat.1

Meningitis sendiri adalah merupakan inflamasi yang terjadi pada meningen yang meliputi

piamater, arachnoid, subarachnoid, dan cairan cerebrospinal. 2 Peradangan yang terjadi adalah

merupakan respon pertahanan tubuh terhadap mikroorganisme yang patogen. dan hingga saat ini

masih menjadi penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatus dan anak-anak.1Ensefalitis

adalah adalah infeksi jaringan parenkim otak yang dapat disebabkan oleh berbagai  jenis

mikroorganisme (virus, bakteri, jamur, protozoa) dan mengarah pada tidak berfungsinya

otak.Ensefalitis adalah penyakit yang sangat berbahaya jika tidak diobati.

3
Angka kematian tinggi disertai dengan gejala sisa yang juga tinggi. Gejala klinis dari ensefalitis

meliputi demam, penurunan kesadaran, kejang, dan kaku kuduk. Selain itu harus ditelaah dari

semua gejala dan juga pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan.

Ensefalitis yang sedang marak disebabkan oleh herpes virus dan Japanese ensefalitis. Pada

penyakit ensefalitis prognosis akan menjadi baik bila diobati dengan cepat. Oleh karena itu

diagnosis yang tepat sangat diperlukan.

4
BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN KASUS I

Nama Mahasiswa :Alvina Cita Indriani D. Pembimbing : dr.Dina, Sp.A (K)


NIM : 0961050194 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
No. RM : 09.85.xx.xx
Nama : An. A
Jenis Kelamin :Perempuan
Umur : 1 tahun 6 bulan
Tempat/Tanggal Lahir : Bekasi / 2 April 2016
Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001 Kelurahan Setia Makmur
Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 3 November 2017

5
II.IDENTITAS ORANG TUA / WALI
Ayah Ibu
Nama : Tn. RP Nama : Ny. DD
Umur : 30 Tahun Umur : 28 tahun
Suku Bangsa : Jawa Suku Bangsa : Jawa
Agama : Islam Agama : Islam
Pekerjaan : Pedagang makanan Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Penghasilan : Rp. 2.000.000,- Penghasilan :-
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMP
Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001 Alamat : Kp. Kapling Baru RT 001
Kelurahan Setia Makmur. Kelurahan Setia Makmur.

III. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua pasien
Lokasi : Bangsal Anggrek, kamar no. 14
Tanggal / pukul :4 November 2017 / 08.00 WIB

A. KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi dan kejang sejak 5 hari SMRS

B. KELUHAN TAMBAHAN
BAB encer disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan.

C. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG

6
Anak A, usia 1 tahun 6 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD
Kota Bekasi dengan keluhan demam tinggi (39*) dan kejang sejak ± 5 hari SMRS.
Keluhan disertai BAB encer > 3x/hari disertai muntah >4x/hari dan penurunan nafsu
makan. Riwayat kejang disertai penurunan kesadaran dialami pasien 2 hari
SMRS.Keluhan kejang berlangsung < 5 menit,2x dalam sahari disertai penurunan
kesadaran dan mata mendelik ke atas.
Orang tua pasien mengatakan sebelumnya pasien mengatakan sebelum ke
RSUD Bekasi , pasien sudah mendapatkan perawatan di RS Kartika Husada namun
tidak ada perbaikan dan disarankan untuk ke RSUD Bekasi.
Orang tua pasien menyangkal adanya sesak (-), kebiruan pada bibir dan
ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-)..

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DI DERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-)
Cacingan (-) Diare (-)
Demam Berdarah (-) Kejang Usia 8 bulan dan 1
tahun
Demam Tifoid (-) Kecelakaan (-)
Otitis (-) Morbili (-)
Parotitis (-) Operasi (-)
ISPA (+). Ikterus (-)
Penyakit Jantung (-) Penyakit (-)
Ginjal
Penyakit Darah (-) Radang (-)
Paru
Tuberkulosis (-)

Kesimpulan penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah mengalami kejang pada
usia 8 bulan dan 1 tahun

D. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN


KEHAMILAN Morbiditas Kehamilan Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-),

7
Anemia (-), Penyakit Jantung (-),
Penyakit Paru (-), Infeksi Saat
Kehamilan (-), Keputihan (-).

Perawatan Antenatal ANC rutin ke bidan , ibu pasien


menerima vitamin , dan melakukan
imunisasi TT 2x

KELAHIRAN Tempat Kelahiran Rumah bersalin

Penolong Persalinan Bidan

Cara Persalinan Partus pervaginam

Masa Gestasi 39 minggu ( cukup bulan )

Keadaan Bayi Berat lahir : 2700 gram

Panjang lahir : 49 cm

Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu

Langsung menangis (+)

Merah (+)

Pucat (-)

Biru (-)

Kuning (-)

Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu

Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran : Selama mengandung pasien , ibu


pasien sehat dan tidak terdapat penyulit proses kelahiran, pasien lahir secara spontan
dan cukup bulan.

E. RIWAYAT PERKEMBANGAN
 Pertumbuhan gigi :6 bulan (Normal: 5–9 bulan)
 Psikomotor :

8
Tengkurap :3 bulan (Normal: 3–4 bulan)
Duduk :6 bulan (Normal: 6–9 bulan)
Berdiri :11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan :belum bisa (Normal: 13 bulan)
Bicara :11 bulan, 2 kata (Normal: 9–12 bulan)
Membaca dan menulis :belum bisa (Normal: 6–7 tahun)
 Gangguan perkembangan mental / emosi: -
Kesimpulan riwayat perkembangan: Pada pasien tidak didapatkan keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan termasuk gangguan perkembangan mental.
F. RIWAYAT MAKANAN

Umur (bulan) ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0-2 ASI - - -

2-4 ASI - - -

4-6 ASI - - -

6-8 ASI + + -

8-10 ASI + + +

10-12 ASI + + +

14-16 ASI + susu + + +


formula

16-18 ASI +susu + + +


formula

Jenis Makanan dan Minuman Frekuensi dan Jumlah

Bubur lunak / Pengganti Bubur lunak 2x, 1/2 sepiring / hari

Sayur Setiap hari , 2-3 x/ hari

9
Daging Kadang-kadang , 1x/minggu

Telur 2-3x / minggu

Ikan Sering , 4 x / minggu ,1 ekor kecil/ hari

Tahu -

Tempe -

Susu ( merk / tambahan ) Susu SGM

Lain – Lain :

Air putih 300 ml/ hari

Kesulitan makan: Ada saat dimana pasien sulit untuk makan.


Kesimpulan riwayat makanan: Asupan makanan pasien cukup baik, dengan menu
bervariasi dan bergizi.

G. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG 2 bulan - - - - -

DPT / DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -

Campak - - 9 bulan - - -

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap dan
sesuai jadwal yang ada.

H. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No. Tanggal Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Keterangan
Lahir Kelamin Mati (Sebab) Kesehatan
(Umur)
1. 8 tahun Perempuan √ - - - Kaka

10
pasien
(Sehat)

b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. RP Ny. DD
Perkawinan ke- 1 1
Pendidikan terakhir (tamat → SMA SMP
kelas/tingkat)
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit , bila ada - -

c. Riwayat keluarga orang tua pasien: Tidak ada


d. Riwayat anggota keluarga lain yang serumah : Tidak ada
Kesimpulan riwayat keluarga: Tidak terdapat riwayat keluarga yang mengalami
kejang

RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah , ibu dan kakanya. Status rumah menyewa . Di
rumah pasien terdapat 1 lantai. Ibu pasien mengatakan ventilasi di rumah cukup baik,
pencahayaannya baik, sumber air bersih berasal dari air PAM dan sumber air minum
berasal dari air galon, setiap hari sampah rumah tangga diangkut oleh petugas
pembuangan sampah. Kondisi lingkungan sekitar cukup padat, rumah pasien di kelilingi
oleh bangunan – bangunan sekolah..
Kesimpulan keadaan lingkungan: Lingkungan rumah cukup baik, pasien tinggal di
lingkungan yang cukup padat penduduk.

11
IV. PEMERIKSAAN FISIK

Lokasi : Bangsal melati , kamar no. 19


Tanggal / pukul : 4 November 2017 / 08.00 WIB

A. Status Generalis :
Keadaan Umum :
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan lain : Pucat (+), sianosis (-), ikterik (-), dyspnoe (-)

Data Antropometri
Berat badan : 8,9 kg Lingkar kepala : 48 cm
Panjang badan : 81 cm

Tanda Vital
Nadi :90x/ menit, irama teratur, kuat, isi cukup, ekual kanan kiri.
Pernapasan :20 x /menit , tipe torako-abdominal
Suhu Tubuh :39,90C, suhu axilla

Kepala : Normosefali, ubun-ubun besar sudah menutup.


Rambut : Warna hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris,tampak pembengkakan pada mata, luka dan jaringan parut serta
kelainan dismorfik
Mata :
Visus : Baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Oedem palpebra: +/+
Kornea Jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Pupil : Bulat, isokor, d=2 mm
Refleks cahaya : Langsung +/+ , Tidak langsung +/+

12
Telinga :
Bentuk : Normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : Lapang +/+ Membran timpani : Sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : Sulit dinilai
Cairan : -/-
Hidung :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/-, jernih Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Hipertrofi konka : +/-
Bibir : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-).
Mulut : Trismus (-), oral hygiene cukup baik, i, mukosa gusi berwarna
merah muda , mukosa pipi berwarna merah muda, arkus palatum
simetris dengan mukosa palatum berwarna merah muda.
Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-) ,
atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-).
Tenggorokan :Tonsil T1/T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, uvula
terletak di tengah.
Leher : Bentuk tidak tampak adanya kelainan, edema (-), massa (-),tidak
tampak dan tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB tidak
tampak deviasi trakea.
Thoraks :Bentuk thoraks simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas
(-), retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-), retraksi
subkostal (-).
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri jantung ICS V linea midklavikula sinistra
Batas kanan jantung ICS III-IV linea sternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)

13
Paru :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris, tidak ada pernafasan yang
tertinggal , pernafasan tipe torako-abdomial, deformitas (-),
retraksi suprasternal (-), retraksi interkostal (-), retraksi subkostal
(-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak nafas simetris kanan dan
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, regular, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar, warna kulit kuning langsat, tidak dijumpai
adanya efloresensi pada kulit perut, kulit keriput (-), umbilikus
normal, gerak dinding perut saat pernafasan simetris , tidak
tampak bagian yang tertinggal, gerakan peristaltik (-).
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 6 x / menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) di 9 kuadran abdomen, turgor kulitkembali
cepat, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba membesar.

Perkusi : hipertimpani
Kelenjar Getah Bening :
Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
Anggota Gerak :
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-/-), oedem
kaki (+/+)
Tangan Kanan Kiri

14
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Oedem - -
Kulit : Warna kulit kuning langsat, merata diseluruh tubuh, pucat
(-) ,sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, lembab , pengisian
kapiler 1 detik.
Tulang Belakang :Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

Status Neurologis :
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +

Refleks patologis Kanan Kiri


Babinski + +
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - - Tanda
Rangsang
Meningeal :
Kaku kuduk :+
Kernig : -/-
Brudzinski 1 : -/-
Brudzinksi 2 : -/-
Laseque : -/-

Saraf Kranialis :
-N. I (Olfaktorius)

15
Tidak dilakukan pemeriksaan
-N. II dan III (Optikus dan Okulomotorius)
Pupil bulat isokor 2 mm / 2 mm , RCL +/+ , RCTL +/+
-N. IV dan VI (Troklearis dan Abdusen)
Tidak dilakukan pemeriksaaan
-N. V ( Trigeminus )
Tidak ada gangguan sensibilitas wajah
N. VII ( Fasialis )
Wajah simetris
Motorik : dapat menutup mata sempurna dan dapat tersenyum dengan
baik
Sensorik : tidak dilakukan pemeriksaan
N. VIII ( Vestibulo-koklearis )
Bisa mendengar suara bisikan

N. IX dan X ( Glosofaringeus dan Vagus )


Tidak ada gangguan menelan
-N. XI ( Aksesorius )
Gerakan bahu dan leher tidak terganggu
- N. XII ( Hipoglosus )
Gerakan lidah tidak terganggu

V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium Tanggal 4 November 2017
Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
HEMATOLOGI
Leukosit 9.4 Ribu/ul 5.5-10
Eritrosit 3.88 g/dl 4-5
Hemoglobin 8.5 % 11-14.5
Hematrokit 27.9 Ribu/ul 37-47

Index Eritrosit

16
MCV 72.0 fl 75-87
MCH 21.8 pg 24-30
MCHC 30.3 g/dl 31-37
Trombosit 464 ribu /UL 150-400

IMUNOSEROLOGI
PRP Kualitatif non reaktif Non Reaktif

KIMIA KLINIK
Diabetes
Glukosa darah Sewaktu 116 mg/dL 60-110

Elektrolit
Natrium (Na) 136 mmol/L 135-145
Kalium (K) 4.1 mmol/L 3.5-5.0
Clorida (Cl) 96 mmol/L 94-111

VI. RESUME
Anak A, usia 1 tahun 6 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD
Kota Bekasi dengan keluhan demam dan kejang sejak ± 5 hari SMRS. Keluhan
disertai BAB encer > 3x/hari disertai muntah dan penurunan nafsu makan. Riwayat
kejang disertai penurunan kesadaran dialami pasien 2 hari SMRS.

17
Orang tua pasien mengatakan sebelumnya pasien mengatakan sebelum ke
RSUD Bekasi , pasien sudah mendapatkan perawatan di RS Kartika Husada namun
tidak ada perbaikan dan disarankan untuk ke RSUD Bekasi.
Orang tua pasien menyangkal adanya sesak (-), kebiruan pada bibir dan
ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-)..
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang ,
compos mentis , kesan gizi baik. Tanda vital didapatkan g , Nadi: 80 x/menit , Suhu:
38.80C , Frekuensi pernafasan: 20 x / menit.
Pada pemeriksaan status neurologis, ditemukan kaku kuduk + dan babinski +.
Pada pemeriksaan penunjang didapatkan adanya penurunan eritrosit,
Hemoglobin, Hematokrit.
Ditemukan peningkatan dari MCV, penurunan dari MCH, MCHC dan
peningkatanb nilai trombosit.Ditemukan peningkatan dari Glukosa darah sewaktu

VII. DIAGNOSA BANDING


Epilepsi

VIII. DIAGNOSA KERJA


Meningitis Bakterial

IX. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


EEG
CT scan
Lumbal pungsi

X. PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa
 Anti Piretik :
Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali

18
 Anti Konvulsan
Diazepam Oral 0,3-0,5 mg/kgBB
Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB
BB < 10 kg : 5 mg
BB > 10 kg : 10 mg
 pada keadaan tertentu dapat diberikan kortikosteroid jika terdapat indikasi khusus.untuk
mencegah kejang berulang,
biasanya dapat diberikan:
fenitoin (rumatan 5-8 mg/kgBB)
fenobarbital ( rumatan 4-5 mg/kgBB)
 Sementara untuk terapi pengendalian tekanan intrakranial dapat diberikan diuretik
osmotik manitol dengan dosis 0,5-1 mg/kgbb/kali atau bisa dengan pemberian furosemid
1mg/kgbb/kali.

XI. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

19
XII. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
5/11/2017 KU : CM, TSS Ensefalitis -Kaen 3A/15 tpm

Hari perawatan Demam masih naik N : 90 x/m -ceftriaxon 1x600 mg


ke 2 turun
S : 36,6 0C -amikasin 2x60 mg
BB : 11 kg
RR : 20 x/m -dexametasone 2x0,3 cc

Kepala: Normosefali -Sibital 2x25 mg

Mata: CA-/-, SI -/-, -rencana CT scan


cekung -/-, oedem
palpebra +/+, RCL
+/+, RCTL +/+

Hidung: NCH (-),


Sekret (-/-)

Mulut: Kering (-),


Sianosis (-), Faring
hiperemis (-)

Leher: KGB tidak


teraba membesar

Thoraks:

C : BJ I-II regular , M

20
(-), G (-)

P :SN vesikuler ,Wh


-/-, Rh -/-

Abdomen: tampak
datar, BU 6x/menit,
hipertimpani

Extremitas :Akral
hangat

+ +

+ +

Oedem kaki : -/-

Tanggal S O A P

6/11 /2017 Panas, kembung KU: CM, TSS Ensefalitis -Kaen 3A/15 tpm

Hari N: 90 x/m -ceftriaxon 1x600 mg


perawatan ke
-3 S: 37.50C -dexametasone 2x0,3 cc

RR: 20 x/m CT scan hasil : -Sibital 2x25 mg

Kepala: Suspek
Normosefali Encephalitis di
lobus Frontal kiri
Mata: CA-/-, SI
-/-, cekung
-/-,oedem
palpebra +/+,
RCL +/+, RCTL
+/+

Hidung: NCH (-),


Sekret (-/-)

Mulut: Kering (-),


Sianosis (-)
,Faring hiperemis
(-)

Leher: KGB tidak


teraba membesar

Thoraks :

21
C: BJ I-II regular,
M (-), G (-)

P:SN
vesikuler ,Wh -/- ,
Rh -/-

Abdomen :

Shifting dullness
(+), pembesaran
organ (-), bising
usus 4x/menit .

Genitalia: edema
skrotum (-/-)

Extremitas :

Akral hangat

+ +

+ +

Oedem kaki : -/-

Tanggal S O A P

7/11/2017 Keluhan KU:CM, TSS Ensefalitis --Kaen 3A/15 tpm


berkurang
Hari perawatan N: 88 x/m -ceftriaxon 1x600 mg
ke-4
S: 36,6 0C -amikasin 2x60 mg
BB 11 kg
RR: 22 x/m -dexametasone 2x0,3 cc

Kepala: -Sibital 2x25 mg


Normosefali

Mata: CA-/-, SI
-/- , cekung -/-, Rencana pulang
oedem palpebra
-/-, RCL +/+,
RCTL +/+

Hidung: NCH (-),


Sekret (-/-).

Mulut : Kering
(-), Sianosis (-)
,Faring hiperemis
(-)

Leher: KGB tidak


teraba membesar

22
Thoraks :

C:BJI-II regular,
M (-) , G (-)

P:SN vesikuler ,
Wh -/- , Rh -/-.

Abdomen:
supel,datar,
BU(+)4x/menit

Extremitas Akral
hangat

+ +

+ +

Oedem kaki:

-/-

XIII. ANALISA KASUS

GEJALA PATOGENESIS
 demam  Tanpa memandang etiologinya, jalur akhir
penyebab demam yang paling sering adalah
adanya pirogen, yang kemudian secara
langsung mengubah set-point di
hipotalamus, menghasilkan pembentukan
panas dan konversi panas.
 Pirogen adalah suatu zat yang menyebabkan
demam, terdapat 2 jenis pirogen yaitu
pirogen eksogen dan pirogen endogen.
 Pirogen eksogen berasal dari luar tubuh
seperti toksin, produk-produk bakteri dan
bakteri itu sendiri mempunyai kemampuan
untuk merangsang pelepasan pirogen
endogen yang disebut dengan sitokin yang

23
diantaranya yaitu interleukin-1 (IL-1),
Tumor Necrosis Factor (TNF), interferon
(INF), interleukin-6 (IL-6) dan interleukin-
11 (IL-11).
 Sebagian besar sitokin ini dihasilkan oleh
makrofag yang merupakan akibat reaksi
terhadap pirogen eksogen. Dimana sitokin-
sitokin ini merangsang hipotalamus untuk
meningkatkan sekresi prostaglandin, yang
kemudian dapat menyebabkan peningkatan
suhu tubuh.

 kejang Manifestasi klinis khas yang berlangsung


secara intermitten dapat berupa gangguan
kesadaran, tingkah laku, motorik dan sensorik. Dan
autonom yang disebabkan oleh lepasnya muatan
litrik yang berlebihan di neuron otak.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada
lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut. Lesi
di otak tengah, thalamus, dan korteks serebri
kemungkinan besar bersifat epileptogenik,
sedangkan lesi di serebelum dan batang otak
umumnya tidak memicu kejang.
Di tingkat membran sel, focus kejang
memperlihatkan beberapa fenomena biokimiawi:
 Instabilitas membran sel
saraf, sehingga sel lebih
mudah mengalami

24
pengaktifan
 Neuron-neuron hipersensitif
dengan ambang untuk
melepaskan muatan menurun
dan apabila terpicu akan
melepaskan muatan secara
berlebihan
  Kelainan polarisasi yang disebabkan oleh kelebihan
asetilkolin atau defisiensi asam gama-aminobutirat
(GABA)
o Ketidakseimbangan ion yang
mengubah keseimbangan asam-basa
atau elektrolit, yang mengganggu
homeostasis kimiawi neuron sehingga
terjadi kelainan pada depolarisasi
neuron.
o Gangguan keseimbangan ini
menyebabkan peningkatan berlebihan
neurotransmitter eksitatorik atau
deplesi neurotransmitter inhibitorik

 Penurunan kesadaran saat  Pada kejang terjadi pelepasan muatan listrik


kejang yang tiba-tiba. Yang secara primer
melepaskan muatan listriknya adalah nuclei
intralaminares thalami yang dikenal juga
sebagai inti centre cephalic.
Inti tersebut merupakan terminal dari lintasan
ascendens aspesifik/lintasan ascenden
ekstralemiskal. Input korteks serebri melalui
lintasan afferent aspesifik itu menentukan derajat

25
kesadaran. Bila sama sekali tidak ada input, maka
timbul koma.
Terjadi lepas muatan listrik dari intralaminar
thalami secara berlebihan. Perangsangan
talamokortikol yang berlebihan ini menghasilkan
kejang otot seluruh tubuh dan sekaligus
menghalangi neuron-neuron kesadaran menerima
impuls afferent dari dunia luar sehingga kesadaran
hilang.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Meningitis merupakan inflamasi yang terjadi pada lapisan meningen yang meliputi

piamater, arachnoid, subarachnoid, dan cairan cerebrospinal. Peradangan yang terjadi

sebagai respon terhadap bakteri, virus, atau penyebab lainnya. Proses inflamasi terjadi

danmenyebar melalui ruangan subaraknoid di sekeliling otak dan medula spinalis serta

ventrikel.Sementara ensefalitis merupakan proses inflamasi pada parenkim otak yang

menyebabkan disfungsi serebral. Ensefalitis biasanya merupakan proses yang akut tetapi

dapat pula merupakan penyakit kronik degeneratif ataupun infeksi virus yang berjalan

lambat.3

26
2.2. Epidemiologi

Insidens meningitis tertinggi terjadi pada anak-anak dibawah usia 1 tahun. Risiko

terbesarnya terjadi pada bayi antara usia 1 hingga 12 bulan. Sebanyak 95% kasus terjadi

antara usia 1 bulan hingga usia 5 tahun. Namun sebenarnya meningitis dapat terjadi pada

setiap golongan usia. Risiko tambahan yang dapat mencetuskan terjadinya meningitis

adalah kontak erat dengan individu yang menderita penyakit infeksi, kemiskinan, jenis

kelamin, ras, dan riwayat pemberian ASI.3 Insidensi tertinggi kasus meningitis terjadi

pada suku asli amerika. Pada data WHO di negara Amerika serikat terdapat 6000 kasus

meningoensefalitis pertahunnya dimana separuhnya merupakan kasus yang terjadi pada

anak <18 tahun. Untuk kasus meningitis yang disebabkan oleh bakteri infeksi bakteri

Neisseria terjadi sebanyak 4 kasus dari 100.000 kasus pada anak dengan rentang waktu

usia 1 hingga 23 bulan, untuk bakteri yang disebabkan oleh S.Pneumoniae terjadi

sebanyak 6,5 kasus dari 100.000 kasus meningitis pada anak. Sementara kasusEnsefalitis

terjadi sebanyak 3,5 – 7,4 per 100.000 pasien dalam setahun dimana populasi terbanyak

pada anak-anak.4

2.3. Klasifikasi

Klasifikasi menurut yang terbagi menurut organ yang terkena proses peradangan,

meskipun tidak memberikan gejala yang spesifik pada setiap organ yang terkena. Radang

pada meningen disebut meningitis, pada jaringan medula spinalis dinamakan mielitis dan

pada otak dikenal sebagai ensefalitis.2 Pembagian dapat pula diklasifikasikan berdasarkan

etiologi yaitu mikroorganisme penyebab :

27
1. Infeksi Virus

2. Infeksi Bakteri

3. Infeksi Spiroketa

4. Infeksi Fungus

5. Infeksi Protozoa

6. Infeksi Metazoa

Berdasarkan epidemiologi klasifikasi meningitis dapat dibuat berdasarkan etiologi

terseringnya yaitu 1 :

a. Haemophilus Influenzae tipe B1

Strain H. Influenza memiliki bentul tidak berkapsul dan dapat ditemukan di

tenggorok atau nasofaring hingga 80% anak dan orang dewasa. 2-5% mengidap H.

Influenza tipe B. Terutama anak usia 1 bulan-4 tahun.angka kolonisasi terbesar pasca

kontak erat dengan anak lain yang menderita infeksi H. Influenza. sementara pada anak

yang belum diberikan vaksin usia umum terjadinya infeksi ini adalah usia 2 bulan hingga

2 tahun.

b. Streptococcus Pneumoniae1

Risiko sepsis dan meningitis akibat S.pneumoniae bergantung pada serotipe penginfeksi.

Tenggorokan dan nasofaring yang terinfeksi S.pneumoniae dapat diakibatkan dari kontak

keluarga sesudah lahir yang bersifat sementara yaitu usia 2-4 bulan, sering disertai produksi

28
antibodi yang homotip, dan jika baru atau kurang dari 1 bulan merupakan faktor resiko

untuk infeksi serius. Faktor resiko meningitis pneumokokus adalah didahului dengan

terjadinya infeksi di tempat lain seperti otitis media, sinusitis, pneumonia, otorrhea atau

rhinorrea.

c. Meningitis Neisseria1

Meningitis meningokokus dapat terjadi sporadis atau epidemi. Kebanyakan infeksi

karena grup B. Sementara epidemi disebabkan oleh grup A dan C. Penderita infeksi N

meningitidis padanasofaring terjadi pada 1-15 % orang dewasa. Kolonisasi bakteri ini

berakhir dalam beberapa minggu atau beberapa bulan. Dan Resiko terbesar terjadinya

Kolonisasi adalah anak usia kecil dan invidu non imun.

d. Meningitis Tuberkulosis

Meningitis tuberkulosis merupakan peradangan pada selaput otak (meningen)

yang disebabkan oleh bakteri mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah

satu bentuk komplikasi yang sering muncul pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer

muncul di paru-paru dan dapat menyebar secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah

tubuh di luar paru, seperti perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. 5 angka

kejadian jarang terjadi pada anak usia kurang dari 3 bulan. Namun mencapai puncak pada

usia 5 tahun pertama. Dengan kejadian tertinggi pada usia 6 bulan hingga 2 tahun.

Manifestasi pada meningitis tuberkulosis dibagi atas beberapa stadium yaitu:6

29
- Stadium I (inisial)

Pada stadium ini pasien dapat mengalami keadaan apatis, iritabel, keluhan

nyeri kepala, demam, malaise, anoreksia, mual,muntah namun belum terdapat

gejala neurologis.

- Stadium II

Pasien tampak mengantuk, disorientasi dan ditemukan tanda positif pada

rangsang meningeal, kejang, defisit neurologis fokal sudah mulai terjadi,

paresis nervus kranial, dan terdapat gerakan involunter (tremor,koreoatetosis,

hemibalismus).

- Stadium III

Gejala pada stadium II namun dapat disertai terjadinya penurunan kesadaran

pada penderita yang progresive semakin menurun hingga koma. Dapat pula

disertai dengan tanda-tanda peningkatan intrakranial, pupil dapat terfiksasi,

pernapasan pasien menjadi ireguler,terjadi peningkatan pada suhu tubuh, dan

ekstremitas dapat terjadi spastis.

2.4. Etiologi

Saat usia bulan awal kelahiran, bakteri yang menyebabkan meningitis pada bayi

normal merefleksikan flora pada sang ibu atau lingkungan sekitar bayi tersebut yaitu,

streptococcus grup B, basili enterik gram negatif, dan Listeria Monocytogenes.

30
Meningitis pada usia ini dapat juga disebabkan Haemophilus influenza dan patogen lain

pada usia yang lebih tua. Berikut daftar bakteri penyebab meningitis.3

Sementara pada meningitis tuberkulosis disebabkan oleh bakteri mycobacterium

tuberkulosis. Penyakit ini merupakan salah satu bentuk komplikasi yang sering muncul

pada penyakit tuberkulosis paru. Infeksi primer muncul di paru-paru dan dapat menyebar

secara limfogen dan hematogen ke berbagai daerah tubuh di luar paru, seperti

perikardium, usus, kulit, tulang, sendi, dan selaput otak. Mycobacterium tuberkulosis

merupakan bakteri berbentuk batang pleomorfik gram positif, berukuran 0,4-3μ,

mempunyai sifat tahan asam, dapat hidup selama berminggu-minggu dalam keadaan

kering, serta lambat bermultiplikasi (setiap 15 sampai 20 jam). Bakteri ini merupakan

salah satu jenis bakteri yang bersifat intraselular patogen pada hewan dan manusia.5

Tabel 1. Bakteri penyebab meningitis

Usia Paling sering Jarang

Neonatus Streptokokus grup B Listeria monocytogenes

Escheria Coli Stafilokokus koagulase

negatif

Klebsiella Enterobacter Enterococcus faecalis

Citrobacter diversus

Salmonella

Pseudomonas aeruginosa

HaemophilusInfluenza tipe

a,b,c,d,e,f

31
>1bulan Streptococcus pneumonia H.influenzae tipe B

Neisseria meningitidis Streptokokus grup A

Batang gram negatif

L monocytogenes

Meningitis yang terjadinya disebabkan oleh viral umummnya disebabkan oleh

virus enterovirus, termasuk coxsackie virus, echovirus, dan pada pasien yang tidak

mendapatkan vaksinasi virus polio. Virus enterovirus dan arbovirus merupakan penyebab

utama terjadinya meningoensefalitis. Kemudian virus lain yang dapat menyebabkan

meningitis adalah virus herpes simplek, virus Epstein Barr, sitomegalovirus, virus

limfositik koriomeningitis dan Human immunodeficiency virus. Virus mumps adalah

salah satu penyebab meningitis yang umum terjadi pada anak yang belum vaksinasi. 3

sementara meningitis bakteri pada usia 2 bulan sampai 12 tahun biasanya karena H

influenza tipe B, streptococcus pneumoniae, atau Neisseria meningitidis.

Sementara pada Ensefalitis, virus merupakan penyebab utama dari pada

ensefalitis akut. Berikut jenis virus yang paling sering menyebabkan ensefalitis 3 :

Tabel 2. Virus penyebab Ensefalitis

Acute Frekuensi

Adenovirus Jarang

Arbovirus Sering

32
Enterovirus Jarang

Herpesvirus

- Herpes simplek Sering

- Epstein-Barr
Jarang
- Sitomegalovirus
Sangat jarang
- Virus Varisela-zoster

- Human herpesvirus-6 Jarang

- Human herpesvirus-7
Jarang

Sangat jarang

Virus influenza Jarang

Virus koriomeningitis limfositik Jarang

Virus Campak Jarang

Virus Gondongan Sering

Virus Rabies Sering

Virus Rubella Jarang

2.5. Manifestasi klinis

Pada peradangan pada selaput meningen atau Meningitis, biasanya terdapat gejala

saluran nafas atas yang mendahuluinya. Namun, Awitan yang cepat adalah merupakan

salah satu ciri dari S. Pneumonia dan N. Meningitidis. Indikasi gejala terjadinya inflamasi

pada selaput otak adalah timbulnya gejala sakit pada kepala, iritabilitas, rasa mual,

33
terjadinya kaku kuduk, penurunan kesadaran atau letargi, fotofobia, muntah dan pada

banyak kasus biasanya ditandai dengan timbulnya demam.

Pada pemeriksaan fisik, dapat Ditemukan tanda postif pada pemeriksaan kernig

dan Brudzinsi pada anak berusia lebih dari 12 bulan. Hal ini membuktikan terjadinya

iritasi pada selaput otak atau iritasi meningen yang menyebabkan hasil positif pada

pemeriksaan rangsang meningen. Sementara, pada bayi kecil tanda peradangan

meningeal umumnya tidak spesifik, misalnya bayi dapat mengalami iritabilitas, gelisah,

penurunan kesadaran dan asupan makanan yang menjadi buruk. Kemudian dapat terdapat

tanda neurologis fokal yang ditemukan misalnya saja terdapatnya kejang. Gejala lain

yang timbul adalah gejala yang bersifat umum yaitu : artralgia, mialgia, petekie ataupun

lesi purpura , sepsis, syok dan dapat terjadi koma. Tanda peningkatan tekanan

intrakranial juga dapat ditemukan dengan keluhan seperti sakit kepala, diplopia, dan

muntah. Sementara untuk melihat tanda peningkatan tekanan intrakranial pada bayi dapat

dilihat dari ubun-ubun yang membonjol. Sementara, pada peningkatan intrakranial yang

disertai dengan herniasi otak dapat menimbulkan manifestasi seperti terjadinya ptosis,

kelumpuhan nervus VI, anisokor, bradikardi dengan hipertensi dan apneu. Pada oklusi

pada sinus venosus, empiema subdural, atau adanya abses otak dapat terjadi papiledema.3

Pada peradangan yang tejadi pada parenkim otak atau Ensefalitis, Manifestasi

klinis dari ensefalitis selalu didahului dengan gejala prodormal terlebih dahulu, gejala

prodormal itu sendiri sangat tidak spesifik, misalnya saja batuk, nyeri pada tenggorokan,

demam, sakit kepala, dan dapat disertai keluhan abdominal. Gejala yang lebih khas

adalah letargia yang progresif, perubahan perilaku dan dapat diikuti defisit neurologis. 3

manifestasi kejang adalah keadaan yang sering terjadi pada anak-anak. Gejala yang juga

34
sering terjadi pada anak adalah ruam makulopapular. Pada keadaan berat manifestasi

yang dapat terjadi misalnya adalah koma, mielitis transversa, penyakit kornu anterior dan

atau neuropati perifer.3 Sementara pada ensefalitis West Nile manifestasi klinis yang

ditimbulkan dapat dari asimptomatis hinga meninmbulkan kematian.dan keparahannya

meningkat seiring dengan pertambahan usia dari penderita. Pada anak manifestasinya

dapat asimptomatis namun juga dapat timbul gejala yang khas yaitu demam, ruam,

atralgia, limfadenopati, keluhan gastrointestinal, dan konjungtivitis.

2.6. Patogenesis

Infeksi akut sistem saraf sentral merupakan penyebab demam yang paling sering yang

disertai dengan tanda dan gejala-gejala penyakit sistem saraf sentral pada anak itu sendiri.

Infeksi disebabkan oleh mikroba apapun, patogen spesifik tersebut dipengaruhi oleh

umur hospes, imunitas hospes dan epidemiologi daripada patogen. Infeksi ialah invasi

dan multiplikasi kuman (mikroorganisme) di dalam jaringan tubuh. Yang dimaksud

dengan kuman adalah bakteri, protozoa, dan virus. Invasi atau penetrasi berarti

penembusan. Halangan kuman dalam memasuki tubuh terjadi oleh berbagai macam

mekanisme atau barrier tubuh. Setelah masuk kedalam tubuh kuman bertumbuh dan

berkembang biak dalam tubuh dan melalui proses perlawanan dari seluruh sistem

pertahanan tubuh. Hasil dari mekanisme perlawanan tubuh terhadap kuman dapat

menyisakan zat sisa yang berupa toksin dan menyebabkan toksemia yang dapat

menimbulkan gejala umum sperti demam, rasa tidak enak badan dan anoreksia yang

35
dikenal sebagai gejala prodormal.dan pada sistem saraf pusat menimbulkan nyeri kepala,

insomnia, iritasi mental, delirium sampai koma. Selanjutnya jika mekanisme pertahanan

tubuh tidak dapat melawan kuman yang masuk maka kuman akan terus bermultiplikasi

dan menyebar dalam darah yang disebut fasebakterimia. Dan apabila kuman menetap dan

bermultiplikasi didalam darah fase ini disebut fase septikemia. Pada fase ini kuman dapat

menyebar ke seluruh tubuh dan kepada organ-organ dan menimbulkan kerusakan juga

disfungsi pada organ yang menjadi target infeksi kuman. Gejala yang merupakan

manifestasi infeksi pada suatu organ dinamakan gejala lokalisatorik. Infeksi pada tubuh

pada akhirnya dapat mencapai sistem saraf pusat misalnya melalui invasi hematogenik

yaitu melalui arteri intraserebral yang merupakan penyebaran ke otak secara langsung.

Dari arteritis itu kuman dapat tiba di likuor serebro spinal dan invasi ke dalam otak dapat

terjadi melelui penerobosan pia mater. Akhirnya saraf tepi digunakan sebagai jembatan

bagi kuman yang tiba di susunan saraf pusat. Walaupun sebenarnya otak memiliki

penjagaan khusus terhadap bahaya yang masuk melalui hematogen yang dikenal sebagai

sawar darah otak atau “blood brain barrier”. Pada fase toksemia dan septikemia “blood

brain barrier” mengalami kerusakan. Kuman hanya dapat menginfeksi susunan saraf

pusat jika kuman berjumlah sangat banyak dan sudah terjadi nekrosis intraserebral

terlebih dahulu. “blood brain barrier” selain mencegah invasi kuman juga menghambat

penetrasi fagosit dan antibiotik. Dan lagi jaringan otak tidak memiliki fagosit yang efektif

dan tidak memiliki lintasan limfatik untuk pemberantasan infeksi. Maka saat terjadi

infeksi di otak, infeksi tersebut akan bersifat virulan dan sangat destruktif. 2 penyebaran

infeksi secara antomis dapat difus dan setempat, meningitis dan meningoensefalitis

merupakan contoh infeksi difus. Meningitis menunjukan keterlibatan langsung meningen

36
sedangkan ensefalitis melibatkan parenkim otak. Sementara keterlibatan antara meningen

dan parenkim otak harus dipikirkan meningoensefalitis.1

Meningitis bakteri merupakan akibat dari penyebaran mikroorganisme hematogen dari

tempat infeksi yang jauh. Mungkin terdapat pengidap organisme yang berkolonisasi lama

tanpa penyakit atau invasi cepat pasca kolonisasi baru.sebelum atau bersama infeksi virus

saluran pernafasan atas dapat memperberat patogenisitas meningitis penghasil bakteri.

Bakteri akan memasuki likuor serebrospinal melalui pleksus khoroideus ventrikel

lateralis dan meningen. Kemungkinan bakteri bersirkulasi likuor serebrospinal

ekstraserebral dan sela subarakhnoid dan dengan cepat bermultiplikasi karena kadar

komplemen dan antibodi likuor serebrospinal tidak cukup untuk menahan proliferasi

bakteri. Faktor kemotaktik merangsang respon radang lokal yang ditandai dengan

infiltrasi sel polimorfonuklear. Adanya lipopolisakarida dinding sel bakteri (endotoksin)

bakteri gram negatif dan komponen dinding sel pneumokokus akan merangsang respon

radang yang mencolok dengan produksi lokal faktor nekrosis tumor , interleukin-1 ,

prostaglandin E dan mediator radang sitokin lain. Dilanjutkan dengan infiltrasi neutrofil,

kenaikan permeabilitas vaskuler, perubahan sawar darah otak, dan trombosis vaskuler. 1

Sementara Ensefalitis dapat bersifat difus ataupun terlokalisir. Terdapat 2 macam

mekanisme bagaimana organisme menyebabkan ensefalitis yaitu :

1. Infeksi secara langsung ke parenkim otak

2. Merupakan respons yang dimediasi sistem imun di sistem saraf

sentral yang biasanya terjadi beberapa hari setelah manifestasi

ekstraneural muncul.3

37
2.7. Diagnosis

Meningitis

Diagnosis meningitis dapat diperkuat melakukan pemeriksaan penunjang

yaitu misalnya dengan analisis likuor serebrospinal yang menunjukan

mikroorganisme pada pewarnaan gram dan biakan,pleiositosis neutrofil, kenaikan

kadar protein dan penurunan kadar glukosa. Berikut merupakan beberapa cara

penegakan diagnosis meningitis 1 :

1.Pungsi lumbal

Harus segera dilakukan untuk pasien dengan gejala yang mengarah pada

meningitis bakterialis Namun harus diperhatikan kontraindikasi mutlak dan

relatifnya. Kontraindikasi segera pada pungsi lumbal adalah :

- Bukti kenaikan tekanan intrakranial

- Gangguan kardiopulmonal berat

- Infeksi kulit yang menutupi tempat pungsi lumbal

Sementara, trombositopenia adalah merupakan kontraindikasi relatif untuk pungsi

lumbal segera. Sementara indikasi dari pada pungsi lumbal segera adalah : Bukti

adanya koagulasi intravaskuler tersebar atau petekie.3

38
Gambar 1 Hasil temuan cairan serebrospinal pada infeksi sistem saraf pusat

1.Sistem deteksi antigen

Sistem deteksi antigen yang paling luas digunakan didasarkan pada aglutinasi

partikel lateks. Bila pada meningitis maka antigen paling baik terdeteksi pada likuor

serebro spinal.walaupun antigenuria juga dapat terjadi. Namun serum bukan media yang

baik untuk mendeteksi antigen karena sering terjadi positif palsu.antigen lebih baik
39
dideteksi pasca pmberian antibiotik karena antigen masih dapat dideteksi pada beberapa

hari setelah pemberian antibiotik. Sementara biakan mungkin saja negatif.1

3. Biakan darah

Biakan darah seharusnya dilakukan pada setiap penderita yang diduga meningitis,

terutama mereka yang diobati secara empiris sebelum pemeriksaan likuor serebrospinal.

Biakan darah dapat menampakan bakteri yang menyebabkannya pada >80% meningitis

pada anak.3

4. Pemeriksaan polmerase chain reaction

Digunakan untuk mendeteksi infeksi enterovirus dan herpes simpleks. Pemeriksaan PCR

lebih sensitif dibandingkan dengan kultur virus.3

5. Pewarnaan gram

Pewarnaan gram dapat positif pada kebanyakan penderita meningitis sekitar 70%-

90%. Walaupun identifikasi diplokokus atau kobasili pleomorfik gram positif atau gram

negatif. Namun pengobatan tidak dapat diubah hanya berdasarkan pada pewarnaa gram

melainkan harus disertai bukti hasil kultur.1

Ensefalitis

Pada Ensefalitis diagnosis ditegakan oleh pemeriksaan cairan serebrospinal yang

menunjukan pleiositosis limfositik, sedikit peningkatan protein cairan serebrospinal dan

40
kadr glukosa normal.namun pada pemeriksaan. Pada infeksi tuberkulosis, infeksi

kriptokokal, dan karsinomatosis meningeal dapat terjadi peningkatan ektrim dari protein

likuor serebrospinal disertai penurunan kadar glukosa.

1. Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)

Adalah metode pemeriksaan definitif yang akan menunjukan aktivitas

gelombang yang lambat dan biasanya bersifat difus. meskipun pada beberapa kasus

dapat ditemukan kelainan yang bersifat fokal. Pada Pemeriksaan pencitraan dapat pula

menunjukan hasil yang normal, atau dapat pula pembekakan otak difus, atau pun

abnormalitas yang dapat bersifat fokal lainnya. Adanya fokus lesi di lobus temporal

pada EEG atau pencitraan, yang menunjukan kekhasan pada penyakit infeksi pada

otak.3

2. Pemeriksaan serologis

Pemeriksaan serologis biasanya dilakukan pada beberapa kecurigaan terhadap

infeksi misalnya arbovirus, epstein barr, dan mycoplasma pneumonia. Pemeriksaan

serologis jarang dilakukan terhadap indikasi lain misalnya berdasarkan riwayat

perjalanan penyakit, statu sosial, ataupun terdapatnya riwayat medis tertentu. Selain

pemeriksaan seorologis pemeriksaan kultur terhadap virus yang diisolasi pada likuor

serebro spinal, tinja serta swab nasofaring juga dapat dilakukan terutama pada penyakit

ensefalitis virus.3

3. Pemeriksaan protein chain reaction (PCR)

41
Pemeriksaan PCR dilakukan jika penyebab spesifik tidak diketahui, virus yang

dapat di identifikasi dari pemeriksaan PCR adalah virus herpes simplek, enterovirus,

virus west nile, dan virus lainnya. Namun pada kenyataannya meski sudah dilakukan

pemeriksaan PCR dan ekstensif lainnya namun jarang dapat ditemukan etiologi dari

ensefalitis.3

2.8 Tatalaksana

Meningitis

Pemberian antibiotik awal pada peradangan sistem saraf pusat didasari dengan
melihat manifestasi klinis awal pada pasien.misalnya saja anak dengan kondisi yang
memburuk secara progresif dalam kurun waktu kurang dari 24jam jika tidak
menunjukan gejala kenaikan intrakranial dapat langsung diberikan antibiotik segera
setelah melakukan pungsi lumbal. Namun pada pasien yang menunjukan keadaan
terdapat peningkatan tekanan intrakranial dan terdapat gejala neurologis fokal
antibiotik dapat segera diberikan tanpa menunggu pungsi lumbal dan ct scan terlebih
dahulu disertai dengan tatalaksana terhadap peningkatan tekanan intrakranial.1

Pilihan terapi awal (empiris) untuk bayi dan anak yang memiliki keadaan
imunokompeten harus didasarkan pada kerentanan terhadap bakteri tertentu. Yang
paling penting adalah bahwa antibiotik harus mencapai kadar bakterisid yang optimal
pada likuor serebrospinal. Sefalosporin generasi ketiga, atau sefotaksin masi menjadi
standart baku terapi pada meningitis bakterial.1

42
Tabel 3. Antibiotik empirik

Antibiotik Dosis Kali pemberian

Seftriakson 100mg/kgb/24jam 1x/hari atau


50mg/kgbb/dosis dalam 24
jam.

Sefotaksim 200mg/kgbb/24jam Diberikan tiap 6 jam

Jika infeksi dicurigai infeksi L.cytomonogenes misalnya pada bayi 1-2 bulan atau
defisiensi limfosit T ampisilin harus diberikan bersama dengan seftriakson atau
sefotaksim karena semua sefalosporin tidak aktif melawan L.cytomonogenes pilihan
keduanya dapat diberikan trimetropim-sulfametoksazol.1

Tabel 4.terapi antibiotik inisial berdasarkan usia

Usia Rekomendasi terapi Alternatif terapi

Bayi baru lahir Sefotaksim atau seftriakson Gentamisin ditambah


(0-28 hari) ditambah ampisilin dengan ampisilin seftadizim
atau tanpa gentamisin ditambah ampisilin

Bayi >1 bulan – Seftriakson atau sefotaksim Seftriakson atau sefotaksim


anak balita (1 ditambah vankomisin ditambah rifampin
bulan – 4 tahun)

Anak dan Seftriakson atau sefotaksim Sefepim atau seftazidim


remaja (5-13 ditambah vankomisin ditambah vankomisin
tahun)dan

43
dewasa

Meningitis tuberkulosis
Pengobatan sesuai dengan rekomendasi American Academy of Pediatrics 1994, yaitu

dengan memberikan 4 jenis obat dalam kurun waktu 2 bulan.dilanjutkan pemberian

obat INH dan rifampisin selama 10 bulan.

Tabel 5. Pengobatan meningitis Tuberkulosis

Nama obat Dosis pemberian Dosis maksimal

Isoniazid 10-20mg/kgbb/hari 300mg/hari

Rifampisin 10-20mg/kgbb/hari 600mg/hari

Pirazinamid 15-30mg/kgbb/hari 2000mg/hari

Etambutol 15-20mg/kgbb/hari 1000mg/hari

Streptomisin IM 20-30mg/kgbb/hari 1gram/hari

Ensefalitis

Tatalaksana yang diberikan kepada pasien ensefalitis tidaklah spesifik. Pasien


biasanya dapat diberikan terapi suportif misalnya seperti tatalaksana terhadap
keadaan hiperpireksia, tatalaksana terhadap gangguan keseimbangan elektrolit yang
mungkin dapat terjadi, tatalaksana terhadap kejang yang bisa terjadi pada anak-anak
yang menderita ensefalitis dan juga tatalaksana terhadap jika terdapat peningkatan
tekanan intrakranial.6

44
Pemberian pengobatan dapat berupa antipiretik sebagai terapi simptomati terhadap
hiperpireksia yang dapat terjadi, dan pada keadaan tertentu dapat diberikan kortikosteroid
jika terdapat indikasi khusus.untuk mencegah kejang berulang biasanya dapat diberikan
fenitoin dan fenobarbital sesuai standart terapi. Sementara untuk terapi pengendalian
tekanan intrakranial dapat diberikan diuretik osmotik manitol dengan dosis 0,5-1
mg/kgbb/kali atau bisa dengan pemberian furosemid 1mg/kgbb/kali.6

45
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Bulletin of the World Health Organization : Typhoid. 2015. Diunduh
dari : http://www.who.int/immunization/diseases/typhoid/en/. Diakses pada tanggal 12 Agustus
2017.
2. Purba IE, Wandra T, Nugrahini N, et al. 2016. Program Pengendalian Demam Tifoid di
Indonesia: tantangan dan peluang. Diunduh dari:
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/5447/4483. Diakses pada tanggal
12 Agustus 2017.
3. Badan Litbang Kesehatan. Riset Keseha-tan Dasar 2007. Jakarta; 2008. Diunduh
di: https:// www.k4health.org/sites/defa ult/files/laporan Nasional Riskesdas 2007.
pdf. Diakses pada 12 Agustus 2017.
4. Staf Pengajar Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Buku Ajar
Mikrobiologi Kedokteran. Edisi Revisi. Jakarta;2010.Hal 201-3.
5. Soedarmo S.S, Garna H, Hadinegoro S.R, Satari H.I. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis;
Edisi Kedua. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta. Hal 338-346.
6. Pedriatric Infectious Diseases. Patogenesis of Typhoid Fever. 2013. Diunduh dari:
https://twitter.com/peds_id/status/368058311981027330. Diakses pada 13 Agustus 2017.
7. Hadinegoro SR. Kadim M. Davaera Y et al. Update Management of Infectious Diseases and
Gastrointetinal Disorders. 2012. Diunduh dari: http://fk.ui.ac.id/wp-
content/uploads/2016/01/Buku-PKB-63.pdf. Diakses pada 13 Agustus 2017.
8. Sudoyo AW. Setiyohadi B. Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta:
Interna Publishing; 2010. Hal 2797-806.
9. Malik AS. Complications of Bacteriologically Confirmed Typhoid Fever in Children. Journal of
Tropical Pediatrics. 2002 Apr;48:102-8.
10. Sidabutar S. Satari HI. Pilihan terapi empiris demam tifoid pada anak : kloramfenikol atau
seftriakson?. Sari Pediatri 2010;11(6):434-9.
11. Allan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tatalaksana Demam Tifoid. Dalam pediatrics update.
Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta: 2003.

46

Anda mungkin juga menyukai