Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN KASUS

EPILEPSI

Disusun Oleh:
Alvina Cita Indriani D
0961050194
Pembimbing :
dr.Dina Siti Daliyanti, Sp.A (K)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

PERIODE 2 OKTOBER – 9 DESEMBER 2017

RSUD KOTA BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA
LEMBAR PENGESAHAN

Presentase kasus dengan judul “Epilepsi pada anak” ini diajukan untuk memenuhi
persyaratan dalam mengikuti dam menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak

Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi

Periode `2 Oktober 2017-9 Desember 2017

Disusun Oleh :

Alvina Cita Indriani Djoedir

0961050194

Telah diterima dan disetujui oleh pembimbing

Bekasi, November 2017

dr. Dina Siti Daliyanti, SpA (K)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kata epilepsi berasal dari Yunani Epilambanmein yang berarti serangan. Epilepsi
sebetulnya sudah dikenal sekitar tahun 2000 sebelum Masehi. Hippokrates adalah orang
pertama yang mengenal epilepsi sebagai gejala penyakit dan menganggap bahwa epilepsi
merupakan penyakit yang didasari oleh adanya gangguan di otak. Epilepsi merupakan
kelainan neurologi yang dapat terjadi pada setiap orang di seluruh dunia.1
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar
lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di
negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50:100,000 sementara
di negara berkembang mencapai 100:100,000. Di Indonesia belum ada data epidemiologis
yang pasti tetapi diperkirakan ada 900.000 - 1.800.000 penderita, sedangkan penanggulangan
penyakit ini belum merupakan prioritas dalam Sistem Kesehatan Nasional., karena cukup
banyaknya penderita epilepsi dan luasnya aspek medik dan psikososial, maka epilepsi tetap
merupakan masalah kesehatan masyarakat sehingga ketrampilan para dokter dan paramedis
lainnya dalam penatalaksanaan penyakit ini perlu ditingkatkan.2,3
Salah satu masalah dalam penanggulangan epilepsi ialah menentukan dengan pasti
diagnosis epilepsi oleh karena sebelum pengobatan dimulai diagnosis epilepsi harus
ditegakkan dulu. Diagnosis dan pengobatan epilepsi tidak dapat dipisahkan sebab pengobatan
yang sesuai dan tepat hanya dapat dilakukan dengan diagnosis epilepsi yang tepat pula.
Diagnosis epilepsi berdasarkan atas gejala dan tanda klinis yang karakteristik. Jadi membuat
diagnosis tidak hanya berdasarkan dengan beberapa hasil pemeriksaan penunjang diagnostik
saja, justru informasi yang diperoleh sesudah melakukan wawancara yang lengkap dengan
pasien maupun saksi mata yang mengetahui serangan kejang tersebut terjadi dan kemudian
baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologi. Begitu diperkirakan diagnosis epilepsi telah
dibuat barulah dilanjutkan pemeriksaan tambahan untuk memastikan diagnosis dan mencari
penyebabnya, lesi otak yang mendasari , jenis serangan kejang dan sindrom epilepsi.4,5
BAB II
LAPORAN KASUS
BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA
RSUD KOTA BEKASI

STATUS PASIEN KASUS I

Nama Mahasiswa :Alvina Cita Indriani D. Pembimbing : dr.Dina, Sp.A (K)


NIM : 0961050194 Tanda tangan :

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. E

Umur : 2 tahun

Jenis kelamin : laki-laki

Berat badan : 9 kg

Tanggal lahir : 16 October 2015

Tanggal kunjungan RS : 23 November 2017

II. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan orang tua pasien
Lokasi : Bangsal Anggrek, kamar no. 10
Waktu : 24 November 2017

A. KELUHAN UTAMA
Pasien datang dengan keluhan kejang sejak 1 hari SMRS

B. KELUHAN TAMBAHAN
(-)
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Anak A, usia 1 tahun 6 bulan dibawa oleh kedua orang tuanya ke IGD RSUD
Kota Bekasi dengan keluhan kejang sejak ± 1 hari SMRS. Keluhan disertai BAB encer
> 3x/hari disertai muntah >4x/hari dan penurunan nafsu makan. Riwayat kejang
disertai penurunan kesadaran dialami pasien 1 hari SMRS.Keluhan kejang
berlangsung 5-10 menit,2x dalam sahari disertai penurunan kesadaran dan mata
mendelik ke atas.
Orang tua pasien menyangkal adanya sesak (-), kebiruan pada bibir dan
ekstremitas (-), mudah lelah (-), jantung berdebar-debar (-)..

RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DI DERITA

Penyakit Umur Penyakit Umur


Alergi (-) Difteria (-)
Cacingan (-) Diare (-)
Demam Berdarah (-) Kejang Usia 8 bulan dan 1
tahun
Demam Tifoid (-) Kecelakaan (-)
Otitis (-) Morbili (-)
Parotitis (-) Operasi (-)
ISPA (+). Ikterus (-)
Penyakit Jantung (-) Penyakit (-)
Ginjal
Penyakit Darah (-) Radang (-)
Paru
Tuberkulosis (-)

Kesimpulan penyakit yang pernah diderita: Pasien pernah mengalami kejang pada
usia 8 bulan dan 1 tahun

C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN


KEHAMILAN Morbiditas Kehamilan Hipertensi (-), Diabetes Mellitus (-),
Anemia (-), Penyakit Jantung (-),
Penyakit Paru (-), Infeksi Saat
Kehamilan (-), Keputihan (-).

Perawatan Antenatal ANC rutin ke bidan , ibu pasien


menerima vitamin , dan melakukan
imunisasi TT 2x

KELAHIRAN Tempat Kelahiran Rumah bersalin

Penolong Persalinan Bidan

Cara Persalinan Partus pervaginam

Masa Gestasi 39 minggu ( cukup bulan )

Keadaan Bayi Berat lahir : 2700 gram

Panjang lahir : 49 cm

Lingkar kepala : Ibu pasien tidak tahu

Langsung menangis (+)

Merah (+)

Pucat (-)

Biru (-)

Kuning (-)

Nilai APGAR : Ibu pasien tidak tahu

Kelainan bawaan : Tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan / kelahiran : Selama mengandung pasien , ibu


pasien sehat dan tidak terdapat penyulit proses kelahiran, pasien lahir secara spontan
dan cukup bulan.

D. RIWAYAT PERKEMBANGAN
 Pertumbuhan gigi :6 bulan (Normal: 5–9 bulan)
 Psikomotor :
Tengkurap :3 bulan (Normal: 3–4 bulan)
Duduk :6 bulan (Normal: 6–9 bulan)
Berdiri :11 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan :belum bisa (Normal: 13 bulan)
Bicara :11 bulan, 2 kata (Normal: 9–12 bulan)
Membaca dan menulis :belum bisa (Normal: 6–7 tahun)
 Gangguan perkembangan mental / emosi: -
Kesimpulan riwayat perkembangan: Pada pasien tidak didapatkan keterlambatan
pertumbuhan dan perkembangan termasuk gangguan perkembangan mental.
E. RIWAYAT MAKANAN

Umur (bulan) ASI / PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim

0-2 ASI - - -

2-4 ASI - - -

4-6 ASI - - -

6-8 ASI + + -

8-10 ASI + + +

10-12 ASI + + +

14-16 ASI + susu + + +


formula

16-18 ASI +susu + + +


formula

Jenis Makanan dan Minuman Frekuensi dan Jumlah

Bubur lunak / Pengganti Bubur lunak 2x, 1/2 sepiring / hari

Sayur Setiap hari , 2-3 x/ hari


Daging Kadang-kadang , 1x/minggu

Telur 2-3x / minggu

Ikan Sering , 4 x / minggu ,1 ekor kecil/ hari

Tahu -

Tempe -

Susu ( merk / tambahan ) Susu SGM

Lain – Lain :

Air putih 300 ml/ hari

Kesulitan makan: Ada saat dimana pasien sulit untuk makan.


Kesimpulan riwayat makanan: Asupan makanan pasien cukup baik, dengan menu
bervariasi dan bergizi.

F. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar (umur) Ulangan (umur)

BCG 2 bulan - - - - -

DPT / DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan - - -

Polio 0 bulan 2 bulan 4 bulan 6 bulan - -

Campak - - 9 bulan - - -

Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan - - -

Kesimpulan riwayat imunisasi: Pasien telah mendapatkan imunisasi dasar lengkap dan
sesuai jadwal yang ada.

G. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi
No. Tanggal Jenis Hidup Lahir Abortus Mati Keterangan
Lahir Kelamin Mati (Sebab) Kesehatan
(Umur)
1. 4 tahun Laki-laki √ - - - Kaka
pasien
Ada riwayat
epilepsy

b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. RP Ny. DD
Perkawinan ke- 1 1
Pendidikan terakhir (tamat → SMA SMP
kelas/tingkat)
Agama Islam Islam
Suku Bangsa Jawa Jawa
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit , bila ada - -

c. Riwayat keluarga orang tua pasien: Tidak ada

d. Riwayat anggota keluarga lain yang serumah : Ada (kaka pasien)


Kesimpulan riwayat keluarga: terdapat riwayat keluarga yang mengalami kejang
dan epilepsi

RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah , ibu dan kakanya. Status rumah menyewa . Di
rumah pasien terdapat 1 lantai. Ibu pasien mengatakan ventilasi di rumah cukup baik,
pencahayaannya baik, sumber air bersih berasal dari air PAM dan sumber air minum
berasal dari air galon, setiap hari sampah rumah tangga diangkut oleh petugas
pembuangan sampah. Kondisi lingkungan sekitar cukup padat, rumah pasien di kelilingi
oleh bangunan – bangunan sekolah..
Kesimpulan keadaan lingkungan: Lingkungan rumah cukup baik, pasien tinggal di
lingkungan yang cukup padat penduduk.

III.PEMERIKSAAN FISIK
Lokasi : Bangsal melati , kamar no. 10

A. Status Generalis :
Keadaan Umum :
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan lain : Pucat (+), sianosis (-), ikterik (-), dyspnoe (-)

Tanda Vital
Nadi :110x/ menit, irama teratur, kuat, isi cukup, ekual kanan kiri.
Pernapasan :20 x /menit , tipe torako-abdominal
Suhu Tubuh :36.80C, suhu axilla

Kepala : Normosefali, ubun-ubun besar sudah menutup.


Rambut : Warna hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris,tampak pembengkakan pada mata, luka dan jaringan parut serta
kelainan dismorfik
Mata :
Visus : Baik Ptosis : -/-
Sklera ikterik : -/- Lagofthalmus : -/-
Konjungtiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Oedem palpebra: +/+
Kornea Jernih : +/+ Nistagmus : -/-
Pupil : Bulat, isokor, d=2 mm
Refleks cahaya : Langsung +/+ , Tidak langsung +/+
Telinga :
Bentuk : Normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : Lapang +/+ Membran timpani : Sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : Sulit dinilai
Cairan : -/-
Hidung :
Bentuk : Simetris Napas cuping hidung : -/-
Sekret : -/-, jernih Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/- Hipertrofi konka : +/-
Bibir : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-).
Mulut : Trismus (-), oral hygiene cukup baik, i, mukosa gusi berwarna
merah muda , mukosa pipi berwarna merah muda, arkus palatum
simetris dengan mukosa palatum berwarna merah muda.
Lidah : Normoglosia, mukosa berwarna merah muda, hiperemis (-) ,
atrofi papil (-), tremor (-), lidah kotor (-).
Tenggorokan :Tonsil T1/T1, tidak hiperemis, faring tidak hiperemis, uvula
terletak di tengah.
Leher : Bentuk tidak tampak adanya kelainan, edema (-), massa (-),tidak
tampak dan tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB tidak
tampak deviasi trakea.
Thoraks :Bentuk thoraks simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas
(-), retraksi suprasternal (-), retraksi intercostal (-), retraksi
subkostal (-).
Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra
Perkusi : Batas atas jantung ICS III linea parasternal sinistra
Batas kiri jantung ICS V linea midklavikula sinistra
Batas kanan jantung ICS III-IV linea sternalis kanan
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Paru :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris, tidak ada pernafasan yang
tertinggal , pernafasan tipe torako-abdomial, deformitas (-),
retraksi suprasternal (-), retraksi interkostal (-), retraksi subkostal
(-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), benjolan (-), gerak nafas simetris kanan dan
kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, regular, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

Abdomen :
Inspeksi : Perut tampak datar, warna kulit kuning langsat, tidak dijumpai
adanya efloresensi pada kulit perut, kulit keriput (-), umbilikus
normal, gerak dinding perut saat pernafasan simetris , tidak
tampak bagian yang tertinggal, gerakan peristaltik (-).
Auskultasi : Bising usus (+), frekuensi 6 x / menit
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-) di 9 kuadran abdomen, turgor kulitkembali
cepat, hepar tidak teraba membesar, lien tidak teraba membesar.

Perkusi : hipertimpani

Kelenjar Getah Bening :


Preaurikuler : Tidak teraba membesar
Postaurikuler : Tidak teraba membesar
Submandibula : Tidak teraba membesar
Axilla : Tidak teraba membesar
Inguinal : Tidak teraba membesar
Anggota Gerak :
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, sianosis (-/-), oedem
kaki (+/+)
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Kaki Kanan Kiri
Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Oedem - -
Kulit : Warna kulit kuning langsat, merata diseluruh tubuh, pucat
(-) ,sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik, lembab , pengisian
kapiler 1 detik.
Tulang Belakang :Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

Status Neurologis :
Refleks fisiologis Kanan Kiri
Biceps + +
Triceps + +
Patella + +
Achilles + +

Refleks patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - - Tanda
Schaeffer - -
Rangsang
Meningeal :
Kaku kuduk :-
Kernig : -/-
Brudzinski 1 : -/-
Brudzinksi 2 : -/-
Laseque : -/-

Saraf Kranialis :
-N. I (Olfaktorius)
Tidak dilakukan pemeriksaan
-N. II dan III (Optikus dan Okulomotorius)
Pupil bulat isokor 2 mm / 2 mm , RCL +/+ , RCTL +/+
-N. IV dan VI (Troklearis dan Abdusen)
Tidak dilakukan pemeriksaaan
-N. V ( Trigeminus )
Tidak ada gangguan sensibilitas wajah
N. VII ( Fasialis )
Wajah simetris
Motorik : dapat menutup mata sempurna dan dapat tersenyum dengan
baik
Sensorik : tidak dilakukan pemeriksaan
N. VIII ( Vestibulo-koklearis )
Bisa mendengar suara bisikan

N. IX dan X ( Glosofaringeus dan Vagus )


Tidak ada gangguan menelan
-N. XI ( Aksesorius )
Gerakan bahu dan leher tidak terganggu
- N. XII ( Hipoglosus )
Gerakan lidah tidak terganggu

IV. DIAGNOSA Kerja


Epilepsi
V. DIAGNOSA BANDING
Meningitis Bakterial

VI. ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG


EEG
CT scan

VII. PENATALAKSANAAN
Terapi medikamentosa
 Anti Piretik :
Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali
Ibuprofen 5-10 mg/kgBB/kali
 Anti Konvulsan
Diazepam Oral 0,3-0,5 mg/kgBB
Diazepam rectal 0,5 mg/kgBB
BB < 10 kg : 5 mg
BB > 10 kg : 10 mg

Prinsip pengobatan epilepsi: 6


1. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi
2. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi
3. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang pertama gagal
4. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang.
OAE pilihan pertama dan kedua : 6
1. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
2. Serangn tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
3. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin
4. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II : Etosuksimid
5. Serangan tonik, klonik, atonik
Semua OAE kecuali etosuksinid

VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam

FOLLOW UP

24/11/2017

S : kejang 3x, lama kejang 5-10 menit, demam

O : KU : tampak sakit sedang

Kes : composmentis

HR : 110x/menit

RR : 28x /menit

S : 38.8

Pemeriksaan fisik :

dalam batas normal

A : resi
Terapi :

• IVFD RL 10 tpm

• Sibital Loading 180 mg→2x25 mg

• Dexametason 3x1,5 mg

• PCT drip 180 mg

*Ceftriaxone 1x1 gr/Dx 5E 100 ml/1,5 jam

PCT 100 mg IV bila demam > 38’, bila kurang < 38’, beri syrup PCT 3x3/4 cth

Saran EEG

25/11/2017

S : batuk dan pilek, masih kejang 3x

O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran : composmentis

HR : 110x/menit,

RR : 22x/menit,

S : 37,8

Pemriksaan fisik dalam batas normal

A : resiko kejang berulang

Terapi :

• IVFD RL 10 tpm

• Sibital 2x25 mg
• Dexametason 3x1,5 mg

PCT drip 180 mg(k/p)

• Ceftriaxone 1x1 gr

• Asam Valproat 2x2 ml

27/11/2017

S : demam

O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran : composmentis

HR : 110x/meniy

RR : 20x/menit

S : 39,2’

Pemeriksaan Fisik : dalam batas normal

A : resiko kejang berulang

Terapi :

• IVFD RL 10 tpm

• Ceftriaxone 1x 1 gr
• PCT 100 mg (bila perlu)

• Sibital 2x 20 mg

• Asam Valproat 2x2 ml

28/11/2017

S : demam

O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran : composmentis

HR : 110x/meniy

RR : 20x/menit

S : 39,2’

Pemeriksaan Fisik : dalam batas normal

A : resiko kejang berulang

Terapi :

• Lepas infus

• Cefixim 2x1/2 cth


• Sibital 2x 20 mg

Asam Valproat 2x2 ml

29/11/2017

S : demam

O : KU : tampak sakit sedang, kesadaran : composmentis

HR : 110x/meniy

RR : 20x/menit

S : 39,2’

Pemeriksaan Fisik : dalam batas normal

A : resiko kejang berulang

Terapi :

• Rencana pulang

• Cefixime 2x3 ml (PO)


• Sibital 2x25 mg (PO)

• Sanmol 2x2 cth (bila demam)

ANALISA KASUS

An.E, datang dengan keluhan kejang sejak 1 hari SMRS, lama kejang 5-10 menbit. Kejang
3x dalam 1 hari tanpa disertai adanya demam dan pilek ataupun batuk.Tidak ada keluhan
BAB dan BAK.Riwayat epilepsi sejak usia 1 tahun.

Serangan epilepsi terjadi apabila proses eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada
proses inhibisi. Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal
mengalami depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara
tepat dan berulnag-ulang.

Cetusan listrik abnormal ini kemudian melibatkan neuron-neuron yang terkait di dalam
proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik dari sejumlah
neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai aktifitas listrik di
dalam otak sehingga terjadilah kejang pada epilepsy.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Epilepsi bukanlah suatu penyakit, tetapi sekumpulan gejala yang manifestasinya adalah
lewat serangan epileptik yang berulang. Epilepsi merupakan gangguan susunan saraf pusat yang
dicirikan oleh terjadinya serangan (seizure, fit, attack, spell) yang bersifat spontan (unprovoked)
dan berkala. Serangan dapat diartikan sebagai modifikasi fungsi otak yang bersifat mendadak
dan sepintas, yang berasal dari sekelompok besar sel-sel otak, bersifat sinkron dan berirama.
Serangan dapat berupa gangguan motorik, sensorik, kognitif atau psikis. Istilah epilepsi tidak
boleh digunakan untuk serangan yang terjadi hanya sekali saja, serangan yang terjadi selama
penyakit akut berlangsung dan occasional provokes seizures misalnya kejang atau serangan pada
hipoglikemia.21,22,23
Epilepsi didefinisikan sebagai gangguan kronis yang ditandai adanya bangkitan epileptik
berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi oleh karena lepas muatan
listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat berbagai etiologi. 24 Bangkitan epilepsi
adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal,
berlangsung secara mendadak dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran ,
disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf diotak yang bukan disebabkan oleh
suatu penyakit otak akut (unprovoked).25
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis epilepsi yang terjadi
bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur, onset, jenis serangan, faktor pencetus, kronisitas.
Epilepsi merupakan suatu gangguan kronik yang tidak hanya ditandai oleh berulanya
kejang, tetapi juga berbagai implikasi medis dan psikososial. 3 Gangguan fungsi otak yang bisa
menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh
adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit
atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan
kejang. 4

2.2 Epidemiologi
World Health Organization menyebutkan, insidens epilepsi di negara maju berkisar 50
per 100.000 penduduk, sedangkan di negara berkembang 100 per 100.000 ribu. Salah satu
penyebab tingginya insidens epilepsi dinegara berkembang adalah suatu kondisi yang dapat
menyebabkan kerusakan otak permanen. Kondisi tersebut di antaranya: infeksi, komplikasi
prenatal, perinatal, serta post natal.
Di Indonesia, diperkirakan, jumlah penderita epilepsi sekitar 1 - 4 juta jiwa. Di Bagian
llmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan sekitar 175 - 200
pasien baru per tahun, dan yang terbanyak pada kelompok usia 5 -12 tahun masing-masing
43,6% dan 48,670.5 Penelitian di RSU dr. Soetomo Surabaya selama satu bulan mendapatkan 86
kasus epilepsi pada anak. Penderita terbanyak pada golongan umur 1 - 6 tahun (46,5%),
kemudian 6 - 10 tahun (29,1%), 10 - 18 tahun (16,28%) dan 0 - 1 tahun (8,14%). Studi
prevalensi epilepsi pernah dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1984 dengan sampel 1 wilayah.
Hasil studi didapatkan prevalensi epilepsi sebesar 4,87 per 1000 penduduk.

2.3 Etiologi
ETIOLOGI (Anonymous 2003, Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005)
1. Idiopatik epilepsi : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebabnya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi
normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
2. Kriptogenik epilepsi : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui.
Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari
atau lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma
Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Simptomatik epilepsi : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari,
contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan
kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik (alkohol,
obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif.

2.4 Faktor Resiko


Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang penyebabnya
bervariasi terdiri dari berbagai faktor. Epilepsi yang tidak diketahui factor penyebabnya disebut
idiopatik. Umumnya factor genetik lebih berperan pada epilepsi idiopatik. Sedang epilepsi yang
dapat ditentukan faktor penyebabnya disebut epilepsi simtomatik.
Beberapa factor resiko terjadinya epilepsy antara lain :
1. Faktor Prenatal
a. Usia ibu saat hamil
b. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
c. Kehamilan primipara / multipara
d. Pemakaian bahan toksik
2. Faktor Natal
a. Afiksia
b. BBL
c. Kehamilan premature / postmatur
d. Partus lama
e. Persalinan dengan alat ( forsep, vakum, SC )
f. Perdarahan intrakranial
3. Faktor Postnatal
a. Kejang demam
b. Trauma kepala
c. Infeksi SSP
d. Epilepsy akibat toksik
e. Gangguan metabolik
4. Faktor keturunan
5. Kelainan Genetik

2.5 Patofisiologi
Serangan epilepsi terjadi apabila prose eksitasi di dalam otak lebih dominan dari pada proses
inhibisi. Perubahan-perubahan di dalam eksitasi aferen, disinhibisi, dan pergeseran konsentrasi
ion ekstraseluler, voltage- gated ion channel openening, dan menguatnya sinkronisasi neuron
sangat penting artinya dalm hal inisiasi dan perambatan aktivitas epileptik. Aktivitas neuron
diatur oleh konsentrasi ion di dalam ruang ekstraseluler dan imtraseluler, dan oleh gerakan
keluar masuk ion-ion menembus membran neuron.2,3
Lima buah elemen fisiologi dari neuron-neuron tertentu pada korteks serebri penting
dalam mendatangkan kecurigaan terhadap adanya epilepsi:
1. Kemampuan neuron kortikal untuk bekerja pada frekuensi tinggi dalam merespon
depolarisasi diperpanjang akan menyebabkan eksitasi sinaps dan inaktivasi konduksi Ca2+
secara perlahan.
2. Adanya koneksi eksitatorik rekuren (recurrent excitatory connection), yang
memungkinkan adanyan umpan balik positif yang menyebarkan dan membangkitkan
aktivitas kejang.
3. Kepadatan komponen dan keutuhan dari pandangan umum terhadap sel-sel piramidal
pada daerah tertentu di korteks, termasuk pada hipocampus, yang bisa dikatakan sebagai
tempat paling rawan untuk terkena aktivitas kejang. Hal ini menghasilkan daerah-daerah
potensial luas, yang kemudian memicu aktifitas penyebaran nonsinaptik dan aktifitas
elektrik.
4. Bentuk siap dari frekuensi terjadinya potensiasi (termasuk jga merekrut respon NMDA)
menjadi ciri khas dari jaras sinaptok di korteks.
5. Efek berlawanan yang jelas (contohnya depresi) dari sinaps inhibitor rekuren dihasilkan
dari frekuensi tinggi peristiwa aktifasi.
Serangan epilepsi akan muncul apabila sekelompok kecil neuron abnormal mengalami
depolarisasi yang berkepanjangan berkenaan dengan cetusan potensial aksi secara tepat dan
berulnag-ulang. Cetusan listrik abnormal ini kemudian melibatkan neuron-neuron yang
terkait di dalam proses. Secara klinis serangan epilepsi akan tampak apabila cetusan listrik
dari sejumlah neuron abniormal muncul secar bersama-sama, membentuk suatu badai
aktifitas listrik di dalam otak.2,6

Badai listrik tadi menimbulkan bermacam-macam serangan epilepsi yang berbeda (lebih
dari 20 macam), bergantuk pada daerah dan fungsi otak yang terkena dan terlibat.2,3

Sebagi penyebab terjadinya epilepsi, terdiri dari 3 kategori yaitu :2,7


1. Non Spesifik Predispossing Factor (NPF)
membedakan seorang peka tidaknya terhadap serangan epilepsi dibanding orang lain.
Setiap orang sebetulnya dapat dimunculkan bangkitan epilepsi hanya dengan dosis
rangsangan berbeda-beda.

2. Spesific Epileptogenic Disturbances (SED)


Kelainan ini dapat diwariskan maupun didapat dan inilah yang bertanggung jawab atas
timbulnya epileptiform activyti di otak. Timbulnya bangkitan epilepsi merupakan kerja
sama SED dan NPF.
3. Presipitating Factor (PF)
Merupakan faktor pencetus terjadinya bnagkitan epilepsi pada penderita epilepsi yang
kronis. Penderita dengan nilai ambang yang rendah, PF dapat membangkitkan reactive
seizure dimana SED tidak ada.
Ketiga hal di atas memegang peranan penting terjadinya epilepsi sebagai hal dasar.

Hipotesis secara seluler dan molekular yang banyak dianut sekarang adalah : membran
neuron dalam keadaan normal mudah dilalui oleh ion klaium dan ion klorida, tetapi sangat sulit
dilalui ion natrium dan kalsium. Dengan demikian konsentrasi yang tinggi ion kalium dalam sel
(intraseluler), dan konsentrasi ion natrium dan kalsium ekstraseluler tinggi. Sesuai dengan teori
Dean (Sodium pump), sel hidup mendorong ion natrium keluar sel, bila natrium ini memasuki
sel, keadaan ini sama halnya dengan ion kalsium.2,3
Bangkitan epilepsi karena transmisi impuls yang berlebihan di dalam otak yang tidak
mengikuti pola yang normal, sehingga terjadi sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini dapat
terjadi pada sekelompok atau seluruh neuron di otak secara serentak, secara teori sinkronisasi ini
dapat terjadi.2,3
1. fungsi jaringan neuron penghamabat (neurotransmiter GABA dan Glisin) kurang optimal
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan.
2. keadaan dimana fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat dan Aspirin) berlebihan
hingga terjadi pelepasan impuls epileptik berlebihan juga.
Fungsi neuron penghambat bisa kurang optimaal antara lain bila konsentrasi GABA (gamma
aminobutyric acid) tdak normal. Pada otak manusia yang menderita epilepsi ternyata kandungan
GABA rendah. Hambatan oleh GABA dalam bentuk inhibisi potensial presinaptik (IPSPs =
inhibitory post synaptic potentials) adalah lewat reseptor GABA.
Sinkronisasi dapat terjadi pada sekelompok kecil neuron sekelompok besar atau seluruh
neuron otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron ini menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari serangan epileptik. Secara teoritis ada 2 penyebabnya yaitu fungsi
neuron penghambat kurang optimal (GABA) sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan, sementara itu fungsi jaringan neuron eksitatorik (Glutamat) berlebihan.
Berbagai penyakit dapat menyebabkan terjadinya perubahan keseimbangan antara neuron
inhibitor dan eksitator, misalnya kelainan herediter, kongenital, hipoksia, infeksi, tumor,
vaskuler, obat atau toksin. Kelainan tersebut dapat mengakibatkan rusaknya faktor inhibisi dan
atau meninkatnya fungsi neuron eksitasi, sehingga mudah timbul epilepsi bila ada serangan yang
memadai.2,3
Daerah yang rentan terhadap kerusakan bila ada abnormalitas otak antara lain di
hipokampus. Oleh karena setiap serangan kejang selalu menyebabkan kenaikan eksitabilitas
neuron, maka serangan kejang cenderung berulang dan selanjutnya menimbulkan kerusakan
yang lebih luas. Pada pemeriksaan jaringan otak penderita epilepsi yang mati selalu didapatkan
kerusakan di daerah hipokampus. Oleh karena itu tidak mengherankan bila lebih dari 50%
epilepsi parsial fokus asalnya berada di lobus temporalis dimana terdapat hipokampus dan
merupakan tempat asal epilepsi dapatan.
Pada bayi dn anak-anak sel neuron masih imatur sehingga mudah terkena efek traumatik,
gangguan metabolik, gangguan sirkulasi, infeksi dan sebagainya. Efek ini dapat berupa
kemusnahan neuron-neuron serta sel-sek glia atau kerusakan pada neuron atau glia, yang pada
gilirannya dapat memebuat neuron glia atau lingkungan neuronal epileptogenik. Kerusakan otak
akibat trauma, infeksi, gangguan metabolisme dan sebagainya, semuanya dapat mengembagkan
epilepsi. Akan tetapi anak tanpa brain demage dapat juga terjadi epilepsi, dalam hal ini
faktorgenetik dia diadan nggap penyebabnya, khususnya grand mal dan petit mal serta benigne
centrotempora epilepsy. Walaupun demikian proses yang mendasari serangan epilepasi
idiopatik, melalui mekanisme yang sama.

2.6 Klasifikasi
KLASIFIKASI ILAE 1981
Untuk tipe serangan kejang/bangkitan epilepsi (Kustiowati dkk 2003, Sirven, Ozuna 2005).
Serangan parsial
 Serangan parsial sederhana (kesadaran baik).
- Motorik
- Sensorik
- Otonom
- Psikis
 Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
 Serangan umum sekunder
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.
 Serangan umum.
- Absans (lena)
- Mioklonik
- Klonik
- Tonik
- Atonik.
 Tak tergolongkan.

KLASIFIKASI ILAE 1989 untuk sindroma epilepsi (Kustiowati dkk 2003)

Berkaitan dengan letak fokus


 Idiopatik (primer)
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di sentrotemporal (Rolandik benigna)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
- Primary reading epilepsy“.
 Simptomatik (sekunder)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
- Kronik progesif parsialis kontinua
 Kriptogenik

Umum
 Idiopatik (primer)
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi absans pada anak
- Epilepsi absans pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
 Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West (Spasmus infantil dan hipsaritmia).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik
- Epilepsi absans mioklonik
 Simptomatik
- Etiologi non spesifik
- Ensefalopati mioklonik neonatal
- Sindrom Ohtahara
- Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.

Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
 Serangan umum dan fokal
- Serangan neonatal
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi
- Sindroma Taissinare
- Sindroma Landau Kleffner
 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
 Epilepsi berkaitan dengan situasi
- Kejang demam
- Berkaitan dengan alkohol
- Berkaitan dengan obat-obatan
- Eklampsi.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik (reflek epilepsi)

2.7 Diagnosis
2.7.1 Anamnesis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis dengan hasil
pemeriksaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila secara kebetulan melihat serangan yang
sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah dapat ditegakkan.
Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh, karena pemeriksa hampir tidak
pemah menyaksikan serangan yang dialami penderita. Penjelasan perihal segala sesuatu yang
terjadi sebelum, selama dan sesudahserangan (meliputi gejala dan lamanya serangan)
merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis. Anamnesis juga
memunculkan informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis,
ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan obat-obatan tertentu.
Anamnesi (auto dan aloanamnesis), meliputi:
- Pola / bentuk serangan
- Lama serangan
- Gejala sebelum, selama dan paska serangan
- Frekwensi serangan
- Faktor pencetus
- Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
- Usia saat serangan terjadinya pertama
- Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan
- Riwayat penyakit, penyebab
dan terapi sebelumnya
- Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga

Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut (Ahmed, Spencer 2004, Hadi 1993, Harsono
2001, Kustiowati dkk 2003).
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia serangan
dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan kejang yang dimulai
pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada masa perinatal, kelainan
metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada
usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang
biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau
tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada waktu
serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang dirasakan pasien
menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila
muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien dengan
epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak
enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan
gangguan penglihatan sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus
oksipitalis. Pada serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini
disebabkan terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh
pasien sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan dengan
serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak dapat menjawab
pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan saksi mata yang mengetahui
serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah
pada awal serangan kejang terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi
tubuh? Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah
mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
“automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh?
Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari
lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral
lesi. Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus
oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai dengan serangan
kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode sesudah
serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal period ” Sesudah
mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu tertidur. Periode disorientasi
dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami
serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang
disebut “Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia
dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di
hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan
kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik klonik
dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari. Serangan
kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan kejang lobus
frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena kurang tidur,
cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang tidak teratur, konsumsi
alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional, panas, kelelahan fisik dan mental,
suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui
faktor pencetus ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu
dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti kejang .
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini mencoba
untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti kejang atau belum
dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan tentang
berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan kejang secara
lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat serangan
kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu untuk mencegah
supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang atau mungkin ada
“aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk
mengurangi bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan mengetahui
gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat mengidentifikasi derajat
beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin disebabkan oleh karena kurangnya
perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit
lain yang menyertai.

Riwayat medik dahulu.


Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan informasi yang berguna
dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang berkaitan dengan serangan kejang dan pengetahuan
tentang lesi yang mendasari dapat membantu untuk pengobatan selanjutnya (Ahmed, Spencer
2004).
1. Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan kejang
demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13 %.
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis? atau
penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan kejang.
Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial.
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi pasien epilepsi dan ini penting
sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu dan sekaligus untuk bahan evaluasi (Ahmed,
Spencer 2004).
1. Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi mungkin dapat
menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola dengan baik. Dan juga
dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat terhadap pasien dan
bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara menghadapi penyakit yang
dialaminya itu.
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan
kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif. Kebanyakan
pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila serangan kejangnya tidak
terkendali dengan baik untuk memperoleh dan menjalankan pekerjaan adalah merupakan
suatu tantangan tersendiri. Pasien sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran,
sebagai kasir atau tugas - tugas yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja
di bagian konstruksi, mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan
penyuluhan yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak
membahayakan dirinya.
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak
mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun
masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang pasien
epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan kehamilan
pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi penyuluhan
terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi, demikian juga beberapa
obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga menggunakan kontrasepsi oral
seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital. Dan bagi pasien yang sedang hamil
diperlukan obat tambahan seperti asam folat untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural
tube defects“ pada bayinya.
5. Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya serangan
kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol. Selain berinteraksi
dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan ekstraserbasi serangan
kejang khususnya sesudah minum alkohol .

Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom epilepsi
yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor genetik dimana
manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile myoclonic epilepsy (JME)“,“
familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum
tonik klonik disertai kejang demam plus (Ahmed, Spencer 2004).

Riwayat allergi.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu dibedakan apakah
ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi hipersensitif. Bila terdapat semacam
”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur
dari sinar matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas? (Ahmed, Spencer
2004)

Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan bagaimana
kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama
ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya. (Ahmed, Spencer 2004)

Riwayat Pemeriksaan penunjang lain.


Perlu ditanyakan juga kemungkinan apa pasien sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti
elektroensefalografi atau CT Scan kepala atau MRI. (Ahmed, Spencer 2004)
2.7.2 Pemeriksaan Fisik
PEMERIKSAAN FISIK DAN NEUROLOGI.
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma
kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan
neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anak - anak pemeriksa
harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran
antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral.

Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien yang berusia lebih tua
sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk mendeteksi adanya penyakit vaskular.
pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul
oleh karena banyak kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya
kardiovaskular seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah
ada sindrom neurokutaneus seperti “ café au lait spots “ dan “ iris hamartoma” pada
neurofibromatosis, “ Ash leaf spots” , “shahgreen patches” , “ subungual fibromas” , “ adenoma
sebaceum” pada tuberosclerosis, “ port - wine stain “ ( capilarry hemangioma) pada sturge-
weber syndrome. Juga perlu dilihat apakah ada bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada
waktu serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan pasien
jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva yang dapat terlihat oleh
karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada “dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh
karena pemberian fenobarbital jangka lama. (Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni
2004).

Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, “gait“ , koordinasi, saraf kranialis, fungsi
motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti hemiparese ,distonia,
disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin dapat menunjukkan adanya
lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia
mungkin oleh karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin.
Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan
gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif seperti demensia,
mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya kelainan neurodegeneratif.
Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral
sedangkan adanya distonia bisa menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.
(Ahmed, Spencer 2004, Harsono 2001, Oguni 2004, Sisodiya, Duncan 2000).

2.7.3 Pemeriksaan Penunjang


PEMERIKSAAN LABORATORIUM.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektro ensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan
penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Adanya kelainan
fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya
kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal.
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal
gelombang delta.
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal. Bentuk epilepsi tertentu mempunyai gambaran EEG yang khas, misalnya spasme
infantile mempunyai gambaran EEG
hipsaritmia, epilepsi petit mal gambaran EEG nya gelombang paku ombak 3 siklus per detik (3
spd), epilepsi mioklonik mempunyai gambaran EEG gelombang paku / tajam / lambat dan paku
majemuk yang timbul secara serentak (sinkron).

b. Rekaman video EEG


Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami
serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber
serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG,
serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang
mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti,
serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter.
Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan
operasi.

c. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat
struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk
membandingkan hipokampus kanan dan kiri.
Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan
timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium,
magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat
memberikan petunjuk yang sangat berguna. Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga
sebaiknya dilakukan bila dicurigai adanya “ drug abuse” (Ahmed, Spencer 2004, Oguni 2004).

PEMERIKSAAN ELEKTROENSEFALOGRAFI.
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan perekaman pada wktu
sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan stimulasi fotik dan hiperventilasi.
Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis
epilepsi dengan beberapa alasan sebagai berikut (Duncan, Kirkpatrick, Harsono 2001, Oguni
2004)
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi pasien dengan
serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil pemeriksaan EEG akan
membantu dalam membuat diagnosis, mebgklarifikasikan jenis serangan kejang yang
benar dan mengenali sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola epileptiform pada
EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung diagnosis epilepsi. Adanya gambaran
EEG yang spesifik seperti “3-Hz spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah
sindrom epilepsi yang spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat menjelaskan
manifestasi klinis daripada“aura“ maupun jenis serangan kejang. Pada pasien yang akan
dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini selalu dilakukan dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan dalam menilai
hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan kemungkinan epilepsi
didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan
ulang maka persentasinya meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi
tetap memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil wawancara
dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan adanya epilepsi
sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil orang-orang normal oleh karena itu
hasil pemeriksaan EEG saja tidak dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan
diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG mungkin saja dapat
berubah menjadi multifokus atau menyebar secara difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan epileptiform, bila
pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran epileptiform difus maupun yang fokus
kadang-kadang dapat membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang
kedalam serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.
PEMERIKSAAN VIDEO-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis epilepsi atau
serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada pemeriksaan rutin EEG hasilnya
negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi, atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi
dipertimbangkan akan dilakukan terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini
berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya
selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari
hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi (Kirpatrick, Sisodiya,
Duncan 2000, Stefan, 2003).

PEMERIKSAAN RADIOLOGI
Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural diotak (Harsono 2003,
Oguni 2004)
Indikasi CT Scan kepala adalah: (Kustiowati dkk 2003)
- Semua kasus serangan kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di
otak.
- Perubahan serangan kejang.
- Ada defisit neurologis fokal.
- Serangan kejang parsial.
- Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
- Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun demikian pemeriksaan
MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas
tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil
diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan MRI kepala
ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan
coronal dan irisan saggital (Duncan, Kirkpatrick, Kustiowati dkk 2003).
2.8 Penatalaksanaan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengatasi kejang dengan dosis optimal terendah. Yang
terpenting adalah kadar obat antiepilepsi bebas yang dapat menembus sawar darah otak dan
mencapai reseptor susunan saraf pusat.6
Serangan epilepsi dapat dihentikan oleh obat dan dapat pula dicegah agar tidak kambuh.
Obat tersebut disebut sebagai obat antikonvulsi atau obat antiepilepsi. 6
Prinsip pengobatan epilepsi: 6
5. Mendiagnosis secara pasti, menentukan etiologi, jenis serangan dan sindrom epilepsi
6. Memulai pengobatan dengan satu jenis obat antiepilepsi
7. Penggantian obat antiepilepsi secara bertahap apabila obat antiepilepsi yang pertama gagal
8. Pemberian obat antiepilepsi sampai 1-2 tahun bebas kejang.
OAE pilihan pertama dan kedua : 6
6. Serangan parsial (sederhana, kompleks dan umum sekunder)
OAE I : Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
7. Serangn tonik klonik
OAE I :Karbamazepin, fenobarbital, primidon, fenitoin, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin, asam valproat
8. Serangan absens
OAE I : Etosuksimid, asam valproat
OAE II : Benzodiazepin
9. Serangan mioklonik
OAE I : Benzodiazepin, asam valproat
OAE II : Etosuksimid
10. Serangan tonik, klonik, atonik
Semua OAE kecuali etosuksinid
Syarat penghentian obat anti epilepsi: 6
1. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2
tahun bebas bangkitan
2. Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam
jangka waktu 3-6 bulan
3. Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan
utama
Penderita epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan bebas serangan paling sedikit 2 tahun.
Bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir, obat dihentikan dan penderita tidak mengalami
kejang lagi, dapat dikatakan bahwa penderita telah mengalami remisi. 30% penderita tidak akan
mengalami remisi walau sudah minum obat teratur.
Faktor yang mempengaruhi remisi adalah lamanya kejang, etiologi, tipe kejang, umur
awal terjadi kejang, kejang tonik-klonik, kejang parsial kompleks akan mengalami remisi pada
hampir lebih dari 50% penderita. Makin muda usia awal terjadinya kejang, remisi lebih sering
terjadi.6
Umur onset yang relatif lambat sesudah usia 2 atau 3 tahun, juga merupakan faktor yang
menguntungkan. Resiko kekambuhan setelah penghentian pengobatan tergantung pada faktor
yang sama dengan remisi kejang. 6

DAFTAR PUSTAKA

1. Tjahjadi Petrus, Dikot Yustiani, Gunawan Dede. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi.
Dalam: Harsono, penyunting. Kapita Selekta Neurologi. Edisi-2. Yogyakarta: Gajahmada
University Press; 2007: h.119-133.
2. Syeban Zakiah, Markam S, Harahap Tagor. Epilepsi. Dalam: Markam Soemarmo,
penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara; 2009: h. 100-
102.
3. Passat Jimmy. Epidemiologi Epilepsi. Dalam: Soetomenggolo Taslim, Ismael Sofyan,
Penyunting. Neurologi Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 1999: h.190-197.
4. Sunaryo utoyo.2007. Diagnosis Epilepsi. Surabaya; Bagian neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma .
5. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008
6. Markam S, Gunawan S, Indrayana, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam: Markam
Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi-1. Tangerang: Binarupa Akasara;
2009: h. 103-113.
7. Busquets JM, Hwang PH. Nonpolypoid rhinosinusitis: Classification, diagnosis and
treatment. In Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD, eds. Head & Neck Surgery –
Otolaryngology. 4th ed. Vol 1. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2006; 406-
416.
8. Mangunkusumo E, Rifki N. sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar NH (eds). Buku ajar
Ilmu Kesehatan THT-KL, edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2001. Hal 120-4.
9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus Paranasal. Dalam: Soepardi EA dkk (eds). Buku
ajar ilmu kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007. Hal 145-9.
10. Lund VJ. Anatomi of the nose and Paranasal Sinuses. In: Jones A (Ed). Scott-Brown’s
Otolaryngology. 7th ed. London Hoddler Arnold, 2008; 2:2493-2521.2.
11. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Editor Irawati S, edisi 11. Jakarta:
Balai Pnerbit EGC; 2008. Hal 345-6

Anda mungkin juga menyukai