Anda di halaman 1dari 40

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Respon Tubuh terhadap Trauma atau Stres

Tubuh kita apabila mengalami trauma atau stres (baik fisik maupun

psikis), akan direspon otak dengan menstimulasi hipotalamus-pituari-adrenal

(HPA) aksis dan simpatik-adrenal-medullary (SAM) aksis. Produksi hormon

adrenokortikotropik oleh kelenjar hipofisis menghasilkan produksi hormon

glukokortikoid. SAM aksis dapat diaktifkan oleh stimulasi medula adrenal

untuk menghasilkan adrenalin dan noradrenalin katekolamin, melalui system

saraf simpatik persarafan organ limfoid. Leukosit memiliki reseptor untuk

hormon stres yang dihasilkan oleh hipofisis dan kelenjar adrenal dan dapat

dipengaruhi oleh pengikatan hormon ini pada reseptor masing-masing. Selain

itu, noradrenalin diproduksi di ujung saraf juga dapat memodulasi fungsi sel

kekebalan tubuh dengan cara mengikat reseptor di permukaan sel-sel dalam

organ limfoid. Interaksi ini berlangsung dalam dua arah, sehingga sitokin yang

diproduksi oleh sel-sel kekebalan tubuh tadi dapat memodulasi aktivitas

hipotalamus untuk memproduksi APC (Antigen Presenting Faktor); IL-1

(interleukin-1), NK (Natural Killer). Hal ini yang kemudian kita kenal dengan

mekanisme HPA aksis seperti yang terpapar pada gambar 2.1 berikut ini.

5
perpustakaan.uns.ac.id 6
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.1 HPA Aksis (sumber: Ronald Glaser and Janice, 2005).

Dalam responnya terhadap cidera, sel-sel imun setempat teraktivasi, dan

blood-borne immune cells dikerahkan ke tempat cidera. Disamping sebagai

pertahanan, sel imun berperan juga dalam munculnya sensitisasi nosiseptor

perifer melalui sintesa dan pelepasan mediator inflamasi serta interaksinya

dengan neurotransmiter dan reseptor-reseptornya. Sel-sel imun, sel glia, dan

sel saraf membentuk jaringan yang terintegrasi yang mengkoordinir respon

imun dan memodulasi eksitabilitas dari jalur nyeri (Ren & Dubner, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id 7
digilib.uns.ac.id

Kerusakan di jaringan kulit atau jaringan perifer menyebabkan terlepasnya

mediator kimiawi dan mensensitisasi nosiseptor sehingga terjadi penurunan

nilai ambang. Mediator lain: bradikinin, substansi P, turut berpengaruh dan

menimbulkan impuls nosiseptif. Terjadilah proses transmisi, yang mengantar

impuls nosiseptif melalui serabut aferen primer nosispetif dari perifer lewat

radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis. Dalam kornu

posterior terdapat sistem modulasi impuls nosiseptif yang disebut gerbang

kendali nyeri (gate control theory of pain). Gerbang kendali nyeri berperan

sebagai modulator terhadap semua impuls nosiseptif yang masuk, dengan

memperbesar atau menghambat impuls. Serabut fasikulus desenden keluar

dari otak berjalan menuju gerbang kendali nyeri menuju setiap segmen medula

spinalis. Serabut ini berfungsi membantu menghambat impuls nosiseptif yang

berjalan dari perifer menuju sentral dan melewati gerbang kendali nyeri.

Apabila intensitas impuls nosiseptif melampaui ambang sel transmisi, maka

impuls nosispetif akan berjalan mengikuti sistem aksi menuju pusat

supraspinal untuk dipersepsi di pusat somatosensoris sebagai pengalaman

nyeri.

B. Nyeri

Definisi nyeri menurut The International Association for the Study of

Pain adalah suatu pengalaman inderawi dan emosional yang tidak

menyenangkan berkaitan dengan terjadinya kerusakan jaringan atau potensial

terjadinya kerusakan jaringan (Katz & Seltzer, 2009).


perpustakaan.uns.ac.id 8
digilib.uns.ac.id

Nyeri merupakan keluhan yang paling sering menjadi sebab pasien

berkunjung ke praktek dokter, dimana nyeri hampir selalu merupakan

manifestasi dari proses patologi. Rencana penanganan nyeri itu sendiri harus

ditujukan terhadap proses yang mendasari dari timbulnya nyeri tersebut,

termasuk dalam usaha mengontrol nyeri yang terjadi. Pasien biasanya

menerima penatalaksanaan nyeri dari dokter umum atau spesialis setelah

diagnosis ditegakkan dan penanganan terhadap proses penyakit yang

mendasari nyeri tersebut mulai dilakukan (Morgan. et al, 2006).

Tahapan proses terjadinya nyeri adalah sebagai berikut :

1. Transduksi

Kerusakan jaringan menyebabkan terlepasnya substansi kimiawi

endogen berupa bradikinin, substansi P, serotonin, histamin, ion H, ion K,

dan prostaglandin.Zat kimia ini terlepas ke dalam cairan ekstraseluler

yang melingkupi nosiseptor. Kerusakan membran sel akan melepaskan

senyawa phospholipid yang mengandung asam arakhidonat dan terjadi

aktivasi ujung aferen nosiseptif. Asam arakhidonat atas pengaruh

prostaglandin (PG) endoperoxide synthase akan membentuk cyclic

endoperoxide (PGG2 dan PGH2), dan akan membentuk mediator

inflamasi sekaligus mediator nyeri tromboksan (TXA2), prostaglandin

(PGE2 dan prostasiklin (PGI2). Terbentuk pula leukotrien (LT)

atas pengaruh 5-lipooksigenase. Setelah kerusakan jaringan timbul

mediator nyeri atau inflamasi berupa substansi P, PGs, LTs, dan

bradikinin. Dari sel mast dilepaskan histamin. Kombinasi senyawa ini


perpustakaan.uns.ac.id 9
digilib.uns.ac.id

menimbulkan vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas vaskuler

lokal sehingga membantu gerakan cairan ekstravasasi ke dalam ruang

interstisial jaringan rusak. Proses ini mengawali mekanisme respon

inflamasi yang merupakan langkah pertama dalam proses pertahanan

jaringan dan reparasi luka. Mediator juga mengaktifkan nosiseptor. PGs

dan LTs tidak langsung mengaktifkan melainkan mensensitisasi

nosiseptor agar dapat distimuli oleh senyawa lain seperti bradikinin,

histamine, sehingga terjadi hiperalgesia, yaitu respon stimuli yang

meningkat, yang pada kondisi normal sudah menimbulkan sakit.

Pelepasan mediator kimiawi terus menerus dapat menyebabkan stimulasi

dan sensitisasi terus menerus pula, sehingga terjadi hiperalgesia, alodina,

dan proses berakhir sesudah terjadi proses penyembuhan. Selanjutnya

leukotrien D4 (LTD4) mengaktifkan makrofag dan basofil yang akan

menstimuli dan meningkatkan pelepasan eikosanoid, yaitu metabolit yang

terlepas akibat terjadinya metabolisme asam arakhidonat. Lekotrien D4

juga melepas substansi P dan secara tidak langsung bekerja pada neuron

sensoris dengan menstimuli sel lain untuk melepaskan bahan neuron aktif.

Lekosit PMN melepaskan lekotrien B4 (LTB4).Keduanya berperan dalam

sensitisasi nosiseptor. Pada inflamasi, sistem imun akan melepaskan

sitokin proinflamasi

berinteraksi dengan neuron sensoris, mengaktifkan eikosanoid dalam sel

seperti fibroblas dan menyebabkan terlepasnya prostaglandin. Platelet dan


perpustakaan.uns.ac.id 10
digilib.uns.ac.id

sel mast melepas serotonin yang langsung mengaktifkan atau

mensensitisasi nosiseptor dan menimbulkan hiperalgesia. Proses

transduksi dapat dihambat oleh obat Anti Inflamasi Non Steroid (AINS)

(Setiabudi A, 2005).

2. Transmisi

Impuls akan ditransmisi oleh serabut aferen nosiseptif primer

lewat radiks posterior menuju kornu posterior medula spinalis.

Serabut perifer terdiri dari serabut sensorik, motorik somatik, motorik

otonomik. Serabut aferen primer nosiseptif khusus yang

menghantarkan impuls nosiseptif terdapat di kulit, periosteum, sendi,

ligamen, otot, dan visera. Serabut yang menghantarkan impuls

bermielin halus. Stimulus yang dapat direspon adalah stimulus

mekanik, mekanotermal, dan polimodal. Impuls di neuron aferen

primer melewati radiks posterior menuju medula spinalis pada

berbagai tingkat dan membentuk badan sel dalam ganglia radiks

posterior. Serabut aferen primer berakhir pada lamina I, substansia

gelatinosa lamina II, lamina III, lamina IV, dan lamina V. Impuls

ditransmisi ke neuron sekunder dan masuk ke traktus spinotalamikus

lateralis. Kornu posterior berfungsi sebagai jalur masuk desendens

dari otak untuk melakukan modulasi impuls dari perifer.Impuls

selanjutnya disalurkan ke daerah somatosensorik di korteks serebri.

Proses transmisi dapat dihambat oleh anestetik lokal (Sudrajad, 2006).


perpustakaan.uns.ac.id 11
digilib.uns.ac.id

3. Modulasi

Impuls setelah mencapai kornu posterior medula spinalis akan

mengalami penyaringan intensitas. Sistem pengendali modulasi ini

adalah sistem gerbang kendali spinal atau the gate control theory of

pain. Apabila impuls melebihi ambang sel transmisi maka akan

melewati sistem kendali gerbang spinal dan diteruskan ke pusat

supraspinal di korteks somatosensoris. Substansi yang bekerja sebagai

modulator penghambat nyeri di medula spinalis yaitu dinorfin,

enkefalin, noradrenalin, dopamin, serotonin, dan gamma amino butyric

acid (GABA). Sedangkan substansi yang meningkatkan nyeri yaitu

substansi P, adenosine triphosphate (ATP), dan asam amino eksitatori

(Sudrajad, 2006).

4. Persepsi

Sel transmisi di dalam sistim gerbang spinal kendali nyeri

menerima impuls sensoris yang datang dari perifer. Apabila impuls

melebihi atau sama dengan ambang sel transmisi, impuls nosiseptif

tersebut dapat melewati sistim gerbang kendali dan diteruskan ke

pusat-pusat supraspinal yang lebih tinggi di korteks somatosensoris,

kortek transisional dan sebagainya. Semua impuls nyeri sensoris

perifer serta sinyal kognitif pada korteks afeksi dan kognisi akan

berintergrasi dan menimbulkan persepsi yang diterima sebagai

pengalaman nyeri. Secara sederhana persepsi adalah hasil integrasi dari

apa yang ada pada pusat kognisi, pusat afeksi dan sistem sensoris
perpustakaan.uns.ac.id 12
digilib.uns.ac.id

diskriminatif yang dirasakan oleh individu, serta bagaimana cara

individu tersebut menghadapinya (Setiabudi, 2005).

Tipe nyeri ada beberapa jenis. Pertama yaitu nyeri nosiseptif yang

disebabkan oleh aktivasi nosiseptor (reseptor nyeri) sebagai respon terhadap

respon yang berbahaya. Kedua adalah nyeri nuropatik yaitu nyeri yang

disebabkan oleh sinyal yang diproses di sistim syaraf perifer atau pusat yang

menggambarkan kerusakan sistim syaraf. Terdapat beberapa hal yang sama

pada pola nyeri yaitu pola distribusi temporal dan spasial, karakteristik nyeri

(superfisial dan dalam), gejala-gejala klinis yang diakibatkannya, dan

petunjuk-petunjuk penting lainnya yang dapat mengarahkan ke suatu

diagnosis dan penatalaksanaan (Marsaban. et al, 2009).

Sindroma nyeri inflamasi dan nyeri neuropati dianggap sesuatu yang

berbeda. Inflamasi merupakan fenomena yang khas, yang melibatkan kaskade

dari sel-sel imun, seperti sel mast, netrofil, makrofag dan limfosit-T. Sel-sel

imun tersebut menghasilkan komponen-komponen sebagai mediator nyeri.

Beberapa tipe sel imun juga berperan penting dalam patogenesis dan

berubahnya karakter proses nosiseptif pada nyeri neuropatik perifer.

Walaupun peran dan waktu pemunculan sel-sel tersebut belum jelas benar,

mereka tampak bersamaan pada saat proses inflamasi terjadi. Gambar 2.2

menjelaskan, pasca cidera sel mast dan makrofag diaktifkan, beberapa blood-

born immune cells termasuk netrofil dilibatkan dalam usaha melakukan aksi

algesik baik secara langsung di nosiseptor, maupun tidak langsung dengan

melepaskan berbagai mediator imun (Thacker. et al, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id 13
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.2 Imunofisiologi Nyeri Inflamasi (sumber: Thacker. et al,2007).

Seperti terlihat pada gambar 2.3, pasca cidera terjadi aktivasi sel-sel

imun residen, elemen-elemen non neural (sel Schwann, sel mast, netrofil,

makrofag, dan sel T) ikut terlibat serta berproliferasi dan melepaskan

- -6, 2, histamin, PGE2, dan NGF yang memicu serta

mempertahankan abnormalitas sensoris pasca cidera (Thacker. et al,

2007).
perpustakaan.uns.ac.id 14
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.3 Imunofisiologi Pasca Cidera Saraf Tepi (sumber: Thacker. et al,
2007).

Nyeri akibat kerusakan jaringan bisa terjadi karena ada kerusakan jaringan

itu sendiri (nyeri nosiseptif), karena adanya reaksi inflamasi (inflammatory

pain), dan bisa juga karena adanya kerusakan jaringan syaraf yang disebut

nyeri neuropatik (neuropatic pain). Nyeri pasca bedah adalah suatu nyeri akut

yang termasuk nyeri patologik dan terjadi oleh sebab kerusakan jaringan dan

reaksi inflamasi. Sensasi nyeri yang dirasakan pasca bedah bisa disebabkan

oleh karena ada sensitisasi syaraf perifer dan sensitisasi syaraf sentral.

Selama inflamasi dan neuropati terjadi perubahan fenotipik serabut

ganglion dorsalis, yaitu terjadi peningkatan eksitabilitas, perubahan sinyal

sistem imun di SSP, dan modifikasi endokrin sehingga setelah kerusakan

jaringan, nosiseptor menjadi hipereksitabel. Interaksi sel-sel imun dan sel glia
perpustakaan.uns.ac.id 15
digilib.uns.ac.id

dengan sistem saraf akan merubah sensitivitas nyeri, dan memediasi transisi

nyeri akut ke nyeri kronis (Ren & Dubner, 2010).

Dari segi perjalanan waktu, nyeri terbagi atas nyeri akut dan nyeri kronik,

dimana nyeri pasca bedah termasuk dalam nyeri akut. Nyeri akut selalu

disebabkan oleh adanya kerusakan jaringan (nosiseptif), sedangkan nyeri

kronik tidak selalu disebabkan oleh adanya nosiseptif ini. Nyeri akut yang

tidak ditangani dengan baik bisa berkembang menjadi nyeri kronik (Lalenoh,

2009).

Hingga saat ini dikenal ada dua macam nyeri persisten kronis, yaitu nyeri

nosiseptif dan nyeri neuropati. Nyeri nosiseptif berhubungan dengan proses

peradangan akibat cidera jaringan, sedangkan nyeri neurogenik timbul akibat

kerusakan saraf perifer atau saraf sentral. Pada nyeri nosiseptif, lesi pertama

C yang bertanggung jawab terhadap sensitisasi, penyertaan nosiseptor yang

normalnya tidak aktif, aktivasi kanal ionic, dan reseptor membran (Pace. et al,

2006).

Kebanyakan neuroscience / neurology textbook menguraikan konsep nyeri

sebagai suatu proses yang dimulai dari ujung saraf sensoris primer di perifer

diteruskan melalui nekleus spinal atau supraspinal lalu mencapai area kortikal

yang berhubungan dengan demensi kesadaran dan nyeri. Banyak usaha

pengobatan nyeri berdasar konsep tradisional tersebut, yaitu dengan target

sistem saraf. Kebanyakan kurang berhasil. Salah satu alasan kegagalan itu

adalah bukan hanya tidak mempertimbangkan faktor rasa takut, cemas, dan
perpustakaan.uns.ac.id 16
digilib.uns.ac.id

pengalaman nyeri sebelumnya, tetapi hanya sekilas atau mengabaikan

neurobiologi nyeri yang melibatkan sistem imun (Thacker. et al, 2007).

C. Proses Penyembuhan Luka

Penyembuhan luka merupakan proses kompleks dan dinamis dari

perbaikan struktur sel dan jaringan. Penyembuhan luka melibatkan berbagai

proses dengan urutan: hemostasis, inflamasi akut, regenerasi sel parenkim,

migrasi dan proliferasi sel parenkim, sintesis protein ECM, remodeling

jaringan ikat dan komponen parenkim, kolagenasi, dan akuisisi kekuatan luka

(Winarto, 2005)

Proses penyembuhan luka secara sederhana dibagi menjadi tiga fase. Yang

pertama adalah fase inflamasi, kemudian diikuti oleh fase proliferasi, dan

diakhiri dengan fase maturasi atau remodeling (Prasetyono, 2009).

1. Fase Inflamasi

Fase inflamasi terjadi sejak hari pertama terjadinya luka sampai

kira-kira hari kelima pasca trauma. Fase inflamasi dimulai dengan adanya

peristiwa hemostasis yang terjadi dalam beberapa jam setelah trauma,

dengan konstriksi pembuluh darah dan pembentukan formasi jala fibrin,

sementara itu terjadilah reaksi inflamasi (Guo & Dipietro, 2010).

Vasokonstriksi akan diikuti dengan vasodilatasi kapiler, dengan

dihasilkannya serotonin dan histamin oleh sel mast yang meningkatkan

permeabilitas kapiler. Lekosit untuk selanjutnya akan mengeluarkan

sitokin proinflamasi dan faktor pertumbuhan untuk mengaktifkan proses


perpustakaan.uns.ac.id 17
digilib.uns.ac.id

inflamasi. Fase awal dari proses inflamasi ditandai dengan perekrutan

neutrofil yang mempunyai peran penting untuk fagositosis dan mensekresi

protease untuk membunuh bakteri serta membantu proses degradasi

jaringan nekrotik. Lebih jauh, neutrofil berfungsi sebagai chemo

attractans dari sel-sel yang lain untuk terlibat dalam proses inflamasi

(Reinke & Sorg, 2012).

2. Fase Proliferasi

Fase proliferasi terjadi kira-kira hari ketiga sampai hari kesepuluh

pasca trauma. Fokus utama proses penyembuhan pada fase ini adalah

penutupan luka dan perbaikan jaringan vaskuler (Reinke & Sorg, 2012).

Fase ini ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi pada

luka. Jaringan granulasi merupakan kombinasi dari elemen seluler

termasuk fibroblas dan sel inflamasi, bersamaan dengan timbulnya kapiler

baru tertanam dalam jaringan longgar ekstraseluler dari matrik kolagen,

fibronektin, dan asam hialuronik (Sudrajad, 2006)

Proses epitelisasi dimulai dari tepi luka oleh sel punca dari folikel

rambut dan kelenjar keringat. Proses ini diaktivasi oleh jalur sinyal dari

sel epitel dan nonepitel pada tepi luka yang melepaskan beberapa sitokin

dan faktor pertumbuhan seperti EGF, KGF, IGF-1, dan NGF (Reinke &

Sorg, 2012).

3. Fase Maturasi

fase ini berlangsung dari hari ke-7 dan bisa berlangsung lebih dari

satu tahun. Segera setelah matrik ekstraseluler terbentuk maka dimulailah


perpustakaan.uns.ac.id 18
digilib.uns.ac.id

reorganisasi. Kolagen berkembang cepat menjadi faktor utama pembentuk

matriks. Serabut kolagen pada permulaan terdistribusi acak membentuk

persilangan dan beragregasi menjadi bundel-bundel fibril yang secara

perlahan menyebabkan penyembuhan jaringan dan meningkatkan

kekakuan dan kekuatan ketegangan. Sesudah lima hari periode jeda,

dimana saat ini bersesuaian dengan pembentukan jaringan granulasi awal

dengan matriks sebagian besar tersusun dari fibronektin dan asam

hialuronidase, terjadi peningkatan cepat dari kekuatan tahanan luka karena

fibrogenesis kolagen. Pencapaian kekuatan tegangan luka berjalan lambat.

Sesudah 3 minggu kekuatan penyembuhan luka mencapai 20% dari

kekuatan akhir. Bagaimanapun, kekuatan akhir penyembuhan luka tetap

kurang dibanding dengan kulit yang tidak pernah terluka, dengan

kekuatan tahanan maksimal jaringan parut hanya 70 % dari kulit utuh

(Sudrajad, 2006).

Remodeling aktif jaringan parut akan terus berlangsung sampai

satu tahun dan tetap berjalan dengan lambat seumur hidup. Pada proses

remodeling terjadi reduksi secara perlahan pada vaskularisasi dan

selularitas jaringan yang mengalami perbaikan sehingga terbentuk

jaringan parut kolagen yang relatif avaskuler dan aseluler. Pengerutan

luka yang terjadi karena pergerakan ke dalam dari tepi luka juga

merupakan faktor berpengaruh dalam penyembuhan luka dan harus

dibedakan dengan kontraktur (Sudrajad, 2006).


perpustakaan.uns.ac.id 19
digilib.uns.ac.id

D. Nyeri Kronis Pasca Bedah

Nyeri kronis pasca bedah adalah nyeri yang menetap setidaknya selama

tiga bulan setelah tindakan bedah berlangsung. Nyeri yang timbul akibat

konsekuensi dari suatu keganasan atau infeksi kronis tidak termasuk dalam

definisi ini. Nyeri kronis pasca bedah bisa terjadi pada operasi besar seperti

amputasi, penggantian sendi, dan lain sebagainya, ataupun operasi-operasi

kecil seperti operasi hernia, dan vasektomi (Akkaya & Ozkan, 2009).

Setiap pasien yang mengalami trauma berat atau pasca operasi harus

dilakukan penanganan nyeri yang sempurna, karena dampak dari nyeri itu sendiri

akan menimbulkan Metabolic Stress Respons (MSR) yang mempengaruhi sistem

tubuh penderita dan menimbulkan perubahan fisiologi dan psikologi pada

penderita (Stephen, 2000).

Nyeri pasca bedah adalah nyeri akut yang diawali oleh kerusakan jaringan

akibat tindakan pembedahan. Nyeri akut tidak menguntungkan bagi penderita

dikarenakan adanya efek seperti kegelisahan, perubahan hemodinamik, gangguan

pernafasan, retensi urine, ileus dan lain-lain. Keadaan tersebut mengakibatkan

penyembuhan luka yang lambat, gangguan mobilisasi, dan jangka waktu rawat di

rumah sakit yang semakin bertambah (Aitkenhead dan Smith, 1990).

Meskipun nyeri pasca bedah bisa dikontrol baik selama ataupun segera

setelah pembedahan dengan anestesi lokal, opioid, maupun cyclo-oxygenase

(cox) inhibitor, tapi nyeri yang menetap sampai setelah luka operasi sembuh

bisa menjadi suatu masalah. Hal tersebut dikenal sebagai nyeri kronis pasca

bedah, dimana ketidaknyamanan tersebut berlanjut antara tiga sampai enam

bulan pasca operasi (Kehlet. et al, 2006). Disebutkan antara 10 sampai 50%
perpustakaan.uns.ac.id 20
digilib.uns.ac.id

pasien mengalami nyeri kronis pasca bedah, setelah menjalani proses

pembedahan seperti operasi hernia, mastektomi atau lumpektomi, bedah

thorak, amputasi kaki, maupun coronary artery bypass grafting (CABG)

(Tillu. et al, 2012).

Kebanyakan referensi menyebutkan kurang lebih 80% pasien mengalami

nyeri pasca operasi yang pengobatannya tidak adekuat. Telah diamati bahwa

50% pasien mungkin menderita nyeri kronis pasca operasi termasuk depresi

ringan dan katastropi akibat nyeri (Harsoor, 2011).

Saat ini banyak data dari berbagai penelitian mengenai seberapa sering

kejadian nyeri kronis pasca operasi. Tabel 2.1 menyajikan salah satu contoh

dari penelitian tentang data kejadian nyeri kronis pasca operasi dari berbagai

macam prosedur pembedahan. Tetapi dari berbagai penelitian, estimasi

seberapa sering kejadian nyeri kronis pasca operasi dari masing-masing

prosedur sangat lebar, sebagai contoh mastektomi 20-30%, amputasi 50-85%,

histerektomi 5-30%, bedah jantung 30-55%, hernia 5-35%, dan torakotomi 5-

65% (Niraj & Rowbotham, 2011).


perpustakaan.uns.ac.id 21
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.1 Perkiraan Kejadian Nyeri Kronis Paska Bedah (sumber: Niraj &
Rowbotham, 2011).

Nyeri kronis pasca bedah terjadi melalui mekanisme kompleks yang

belum jelas. Berbagai mekanisme bertanggung jawab atas sindroma nyeri

yang berbeda, bahkan setelah suatu tindakan operasi yang sama (Akkaya &

Ozkan, 2009).

Nyeri kronis pasca bedah dapat disebabkan oleh inflamasi yang

sedang berlangsung maupun sebagai manifestasi nyeri neuropatik akibat

cedera saraf perifer besar pada saat tindakan bedah. Pada nyeri yang

disebabkan oleh inflamasi terjadi peningkatan kepekaan rasa sakit sebagai

respon terhadap cedera jaringan dan inflamasi. Hal ini terjadi akibat

pelepasan mediator inflamasi, yang kemudian menurunkan ambang


perpustakaan.uns.ac.id 22
digilib.uns.ac.id

nosiseptor penginervasi jaringan yang mengalami inflamasi tersebut

(sensitisasi perifer). Bila terjadi peningkatan rangsangan (eksitabilitas) neuron

sistem saraf pusat (sensitisasi sentral), nyeri inflamasi dapat timbul sebagai

respon berlebihan terhadap input sensoris biasa. Nyeri neuropatik merupakan

nyeri yang timbul setelah cedera saraf dan sistem transmisi sensorik di

sumsum tulang belakang dan otak (Akkaya & Ozkan, 2009).

Dalam praktek klinis, sebagian besar nyeri kronis pasca bedah merupakan

nyeri neuropatik. Cedera saraf utama yang melewati lokasi operasi

merupakan salah satu prasyarat terjadinya nyeri kronis pasca bedah. Pada

sekelompok kecil pasien, respon peradangan kontinu dapat memberikan

kontribusi terhadap timbulnya nyeri inflamasi persisten, misalnya nyeri yang

terjadi setelah operasi hernia inguinalis dengan mesh. Berdasarkan temuan

elektromiografi setelah dilakukan torakotomi, terdapat cedera saraf

interkostal di sekitar tempat insisi hingga 50-100%. Selain itu tingkat

kerusakan saraf yang dinilai berdasarkan adanya perubahan ambang sensorik

dan respon somatosensori terhadap rangsangan listrik pada daerah bekas

operasi torakotomi, berkorelasi dengan intensitas nyeri kronis (Akkaya &

Ozkan, 2009).

Namun, terdapat penelitian klinis yang bertentangan dengan penelitian di

atas. Maguire. et al, dalam Taylan & Derya (2009), melakukan uji

elektrofisiologi terhadap pasien yang akan dilakukan torakotomi sebelum,

segera setelah operasi, minggu ke enam pasca operasi dan bulan ketiga pasca

operasi. Mereka tidak menemukan adanya hubungan antara cedera saraf


perpustakaan.uns.ac.id 23
digilib.uns.ac.id

interkostal dan nyeri kronis. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

kontribusi sistem saraf pusat dan perifer untuk mengetahui pada tingkat mana

suatu lesi dapat menimbulkan nyeri neuropatik melalui cedera saraf, serta

cedera jaringan selain saraf yang rawan menimbulkan nyeri neuropatik

(Akkaya & Ozkan, 2009).

Strategi yang bagus untuk mencegah terjadinya nyeri kronis pasca bedah

adalah dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin menjadi

penyebab meningkatnya kejadian nyeri kronis pasca bedah. Jika ini bisa

dilakukan, maka intervensi yang spesifik bisa kita lakukan. Beberapa faktor

yang dilaporkan berhubungan dengan terjadinya nyeri kronis pasca bedah

adalah :

1. Nyeri prabedah

Beratnya nyeri sebelum operasi telah menunjukkan di beberapa

penelitian berhubungan dengan timbulnya nyeri kronis pasca bedah. Hal

ini pertama kali dikemukakan sehubungan dengan phantom limb pain

setelah amputasi. Disebutkan juga terdapat hubungan yang kuat pada

prosedur pembedahan hernia dan torakotomi (Niraj & Rowbotham, 2011).

Dalam penelitian pada pasien yang menjalani operasi hernia, Page. et

al, menemukan bahwa sekitar seperempat dari seluruh jumlah pasien tidak

merasakan sakit saat beristirahat sebelum operasi hernia, setengah jumlah

pasien merasakan sakit ringan, dan sisanya merasakan nyeri ringan sampai

sedang saat beristirahat sebelum operasi (Akkaya & Ozkan, 2009).


perpustakaan.uns.ac.id 24
digilib.uns.ac.id

2. Cedera syaraf

Lesi pada syaraf perifer juga sering dikaitkan dengan kejadian

nyeri kronis pasca bedah. Hal ini faktor yang paling penting pada beberapa

penelitian pasca torakotomi, dan kejadian kerusakan syaraf telah

memperlihatkan sebagai prediksi yang signifikan setelah herniorepair.

Kerusakan syaraf sering berhubungan dengan tanda klasik dari nyeri

neuropatik (Niraj & Rowbotham, 2011).

3. Proses inflamasi yang menetap

Trauma pembedahan menghasilkan pelepasan dari berbagai macam

mediator inflamasi (seperti prostaglandin, sitokin) dan hal ini dapat

mensensitisasi aferen sensoris dan menyebabkan nyeri. Biasanya proses

ini berkurang seiring dengan penyembuhan luka. Dalam beberapa kasus,

dikatakan bahwa proses inflamasi ini menetap (contohnya proses inflamasi

disekitar mesh yang dipasang pada herniorepair), menyebabkan perubahan

plastisitas di medula spinalis. Mekanisme ini sebenarnya bukan

merupakan faktor penyebab pada kebanyakan pasien dengan nyeri kronis

pasca bedah (Niraj & Rowbotham, 2011).

4. Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi

Kuatnya nyeri pada awal pasca operasi menjadi hal yang sangat

penting pada beberapa situasi. Efek yang diberikan juga bervariasi

tergantung prosedur yang dijalani. Sebagai contoh, nyeri yang berlangsung

selama 30 hari pasca operasi dilaporkan menjadi prediktor yang signifikan


perpustakaan.uns.ac.id 25
digilib.uns.ac.id

pada operasi hernio repair, tetapi penelitian lain pada thoraxotomy hal itu

tidak terjadi (Niraj & Rowbotham, 2011).

Banyak penelitian terhadap nyeri kronis pasca bedah

mempublikasikan tentang pentingnya perawatan adekuat nyeri pasca

operasi pada periode akut (Akkaya & Ozkan, 2009).

5. Faktor genetik

Dalam populasi umum, kepekaan terhadap nosiseptif fisiologis dan

nyeri klinis dapat berbeda pada masing-masing individu. Dengan

demikian, dalam generasi yang berbeda serta tingkat pengalaman

merasakan nyeri yang berbeda, masing-masing individu dapat

memperlihatkan respon yang berbeda pula (Akkaya & Ozkan, 2009).

6. Faktor Pembedahan

Beberapa faktor bedah penting yang mungkin berkaitan dengan

terjadinya nyeri kronis pasca bedah, yaitu: durasi operasi, teknik bedah

(laparoskopi vs bedah terbuka), lokasi dan jenis sayatan, pengalaman ahli

bedah, dan tempat di mana intervensi bedah dilakukan. Peters. et al,

menemukan lebih banyak nyeri kronis yang terjadi setelah operasi lama

yang berlangsung lebih dari 3 jam(Akkaya & Ozkan, 2009).

7. Faktor Psikososial

Terdapat banyak artikel yang berhubungan dengan efek faktor

psikososial pada nyeri pasca operasi akut. Katz. et al, menyimpulkan

bahwa kecemasan praoperasi adalah faktor risiko dalam terbentuknya

nyeri sampai 30 hari setelah operasi payudara. Insiden nyeri pasca operasi
perpustakaan.uns.ac.id 26
digilib.uns.ac.id

akut dipengaruhi oleh catastrophization (keyakinan negatif dan respon

berlebihan) (Akkaya & Ozkan, 2009).

E. Mediator Nyeri

Nyeri berhubungan dengan segala kerusakan dari permukaan kulit.

Intensitas dan durasi dari nyeri tergantung sifat trauma itu sendiri, proses

penyembuhan, dan faktor dari individu. Pelepasan mediator nyeri merupakan

mekanisme dalam menanggapi nyeri tersebut sehubungan dengan adanya

stimulus perifer tersebut. Berbagai macam mediator nyeri yang dikeluarkan

sangat berguna dalam proses penyembuhan luka selama beberapa waktu,

tetapi dilaporkan bahwa pelepasan mediator nyeri yang terjadi terus menerus

melewati periode inflamasi akan menyebabkan efek yang kurang baik atau

merusak proses penyembuhan luka itu sendiri (Widgerow & Kalaria, 2012).
perpustakaan.uns.ac.id 27
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.4 Respon Mediator Inflamasi (sumber: Widgerow & Kalaria,


2012).

Pembebasan mediator nyeri yang berlebihan bisa menyebabkan

hipersensitisasi pada nosiseptor, hiperinflamasi seluler, perubahan matrik

ekstraseluler, dan potensial mengakibatkan terjadinya jaringan fibrotik

yang berlebihan. Pada keadaan nyeri kronis, bisa jadi disebabkan oleh

pelepasan mediator yang terjadi berlarut-larut (Widgerow & Kalaria,

2012).

1.Sitokin

Istilah limfokin pertama kali digunakan pada tahun 1960 untuk

golongan protein yang diproduksi oleh limfosit B dan T yang diaktifkan.


perpustakaan.uns.ac.id 28
digilib.uns.ac.id

Ternyata sel-sel lain seperti makrofag, eosinofil, sel mast, sel endotel, dan

epitel juga memproduksi sitokin. Oleh karena itu istilah yang lebih tepat

adalah sitokin. Sitokin merupakan protein sistim imun yang mengatur

interaksi antar sel dan memacu reaktivitas imun, baik pada imunitas

nonspesifik maupun spesifik (Baratawidjaja, 2006).

Menurut definisinya sitokin adalah polipeptida yang diproduksi

sebagai respon terhadap mikroba dan antigen lain yang diperantarai dan

mengatur reaksi imunologik dan reaksi inflamasi. Banyak sitokin yang

telah diidentifikasi, baik dari struktur molekul maupun fungsinya.

Beberapa diantaranya merupakan mediator utama yang meningkatkan

reaksi imunologik yang melibatkan makrofag, limfosit, dan sel-sel lainnya,

jadi berfungsi sebagai imunomodulator spesifik maupun non-spesifik.

Pada 2nd International Lymphokin Workshop di Swiss tahun 1979, dicapai

kesepakatan untuk memberi satu nama generik kepada mediator-mediator

tersebut yang ternyata mempunyai sifat biokimia dan sifat biologik serta

fungsi yang serupa. Nama yang disepakati adalah interleukin yang berarti

adanya komunikasi antar sel leukosit. Hingga sekarang telah ditemukan

beberapa jenis interleukin yaitu IL-1 hingga IL-35, dan berbagai

percobaan telah dilakukan untuk menentukan fungsi masing-masing

(Kresno, 2010).
perpustakaan.uns.ac.id 29
digilib.uns.ac.id

Tabel 2.2 Sistemik Respons to Stress: Anti Inflamatory or Anti Infection


(sumber: Robert S Munfort and Jerome Pugin, 2001).

Sitokin proinflamasi diinduksi berbagai sel atas pengaruh mikroba,

trauma atau kerusakan sel penjamu. Sitokin mengawali, mempengaruhi

dan meningkatkan respon imun nonspesifik. Makrofag dirangsang oleh

INF- - -1 disamping juga memproduksi sitokin-sitokin

tersebut. IL-1, IL-6, dan TNF-

inflamasi spesifik. Disamping itu dikenal sitokin-sitokin yang berfungsi

dalam diferensiasi dan fungsi serta mengontrol sel sistim imun dan

jaringan (Baratawidjaja, 2006).


perpustakaan.uns.ac.id 30
digilib.uns.ac.id

2. IL-6

Interleukin-6 merupakan sitokin proinflamasi yang berperan dalam

maturasi dan aktivasi neutrofil, maturasi makrofag, serta deferensiasi dari

limfosit-T sitotoksik dan sel NK. IL-6 adalah salah satu mediator yang

paling awal dan penting dalam induksi dan mengontrol sintesa protein fase

akut pada trauma, infeksi, pembedahan, dan luka bakar. Setelah terjadi

cedera, konsentrasi plasma IL-6 bisa dideteksi dalam 60 menit dengan

konsentrasi puncak antara 4 sampai 6 jam, dan dapat bertahan sampai 10

hari. IL-6 dipertimbangkan sebagai marker yang sangat relevan dari

derajat kerusakan jaringan dalam prosedur pembedahan yang berhubungan

dengan morbiditas pasca operasi (Oliveira. et al, 2011).

IL-6 merupakan sitokin yang memiliki banyak fungsi, sebagai

sitokin proinflamasi dan memiliki sifat regulasi yang lain. IL-6 berefek

pada sel target dengan mengikat reseptor membran yang spesifik IL-6 (IL-

6R), yang mengaktifkan glikoprotein transduser 130 (gp130), sub unit

kedua dari komplek IL-6R. Neuron yang tidak terikat membran IL-6R,

masih dapat bereaksi terhadap IL-6 ketika IL-6 terikat dalam bentuk IL-6R

yang terlarut IL-6 / kompleks IL-6R terlarut mengaktifkan gp130, yang

diekspresikan pada sebagian besar sel-sel, termasuk neuron. Sementara

peran fungsional ekspresi gen gp130 pada neuron belum diketahui secara

pasti, protein ini dikaitkan dengan sensitisasi saraf nyeri melalui aktivasi

phosphoinositide 3 kinase, protein kinase C-delta dan Janus kinase / sinyal

transduser dan jalur signaling aktivator transkripsi 3 dan melalui regulasi


perpustakaan.uns.ac.id 31
digilib.uns.ac.id

TRPV1 (Andratsch, 2009). Sehingga dari efek sensitisasi nyeri inilah yang

memicu nyeri akut pasca insisi yang dapat berlanjut menjadi nyeri kronis

apabila tidak mendapatkan tatalaksana yang tepat.

Proses inflamasi setelah insisi pembedahan di jaringan perifer

diawali dengan adanya pelepasan mediator inflamasi oleh sel residen,

meliputi salah satunya sel mast. Beberapa mediator inflamasi yang

dilepaskan oleh sel mast, telah diketahui menghasilkan nosisepsi selama

periode pasca operasi (Yasuda. et al, 2013). Sel mast yang teraktifasi dapat

mengeluarkan histamin, berbagai macam mediator inflamasi seperti

beberapa eichosanoid, proteoglycan, protease, serta beberapa kemokin

dan sitokin proinflamasi seperti tumor necrosing factor- (TNF-

interleukin IL-6, IL-4, IL-13, dan transforming growth factor- . TNF-

dan IL-10 dari sel mast meningkatkan migrasi lekosit dan memperberat

lesi inflamasi. Walaupun memiliki fungsi yang bermanfaat dalam hal

pertahanan diri, sitokin proinflamasi bisa memacu terjadinya kondisi

patologis ketika diproduksi secara berlebihan (Kim. et al, 2006).

Telah lama diketahui bahwa aktivasi ekspresi gen IL-6 dapat

dipengaruhi melalui jalur faktor transkripsi NF- . Beberapa produk gen

proinflamasi diidentifikasi memiliki peran penting pada penekanan

apoptosis, proliferasi, angiogenesis, invasi, dan metastasis. Diantaranya

produk gen tersebut adalah: TNF- , IL-6, IL-17, IL-18, MMP-9, VEGF,

COX-2 dan 5- LOX. Ekspresi gen ini diatur oleh faktor transkripsi NF-kB,

aktif pada kebanyakan kanker (Lin and Karin, 2007).


perpustakaan.uns.ac.id 32
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.5 Jalur NF-kB (sumber: Kresno, 2011).

IL-6 telah lama dianggap sebagai sitokin proinflamasi yang diinduksi

oleh LPS bersama dengan TNF-a dan IL-1. IL-6 sering digunakan sebagai

penanda untuk aktivasi sistemik dari sitokin proinflamasi. Seperti banyak

sitokin lainnya, IL-6 memiliki kedua sifat, baik proinflamasi, maupun anti

inflamasi. Meskipun IL-6 adalah penginduksi kuat dari respon protein fase

akut, ia juga memiliki sifat anti inflamasi. Bukti terbaru yang dihasilkan

dari tikus yang dihilangkan IL-6 telah menunjukkan bahwa IL-6, seperti

anggota lain dari family ligan reseptor gp130, terutama bertindak sebagai

suatu sitokin anti

kompleks IL-6 dengan sinyal ubiquitin unit transduksi sinyal gp130. IL-6
perpustakaan.uns.ac.id 33
digilib.uns.ac.id

termasuk dalam famili dari ligan reseptor gp130 yang meliputi IL-11,

faktor inhibisi leukemia, ciliary neurotrophic factor, oncostatin M, dan

cardiotrophin-1. Karena molekul-molekul peptida menggunakan reseptor

seluler umum, mereka berbagi banyak gambaran fisiologis yang

diakibatkan oleh IL-6. IL-6 menurunkan sintesis IL-1 dan TNF- IL-6

melemahkan sintesis dari sitokin proinflamasi ketika memiliki sedikit efek

pada sintesis dari sitokin anti inflamasi seperti IL-10 dan Transforming

Growth Factor- (TGF- . IL-6 menginduksi sintesis dari glukokortikoid

dan meningkatkan sintesis IL-1ra dan mengeluarkan reseptor TNF larut

pada sukarelawan manusia. Pada saat yang sama, IL-6 menghambat

produksi dari sitokin proinflamasi seperti GM-CSF, IFN- -2.

Hasil dari efek imunologi ini menempatkan IL-6 diantara kelompok

sitokin anti inflamasi (Albinsaid, 2013).

3. Skor histologi

Skor histologi adalah interprestasi berupa perhitungan presentasi sel

dan intensitas warna (Leake, 2000). Pemeriksaan imunohistokimia

merupakan metode pemeriksaan pewarnaan jaringan berdasar kerja

imunoenzym untuk memeriksa adanya antigen atau mencari lokasi antigen

dalam spesimen (Warsito, 1991). Imunohistokimia dilaksanakan

berdasarkan pada interaksi antigen-antibodi yang terjadi antara marker sel

CD8+ dengan antibodi primer. Deteksi yang digunakan adalah deteksi

kromogenik berdasarkan warna yang timbul sebagai akibat reaksi

enzimatis yang terjadi antara enzim HRP dengan substratnya.


perpustakaan.uns.ac.id 34
digilib.uns.ac.id

Pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal untuk

mendapatkan skor histologi telah banyak digunakan. Gava. dkk,

mempergunakan pemeriksaan imunohistokimia untuk mendapatkan skor

histologi dalam penelitiannya terhadap reseptor progesteron A dan B pada

ovarium tikus. Pemeriksaan imunohistokimia dengan antibodi monoklonal

dapat juga digunakan terhadap subset limfosit T. Sevcikova, dkk,

menggunakannya untuk penelitiannya tentang jumlah limfosit CD4+,

limfosit CD8+, atau perubahan rasio CD4+/CD8+ pada penderita kanker

payudara.

F. Dexmedetomidine

Dexmedetomidine adalah merupakan dextro-rotary S-enantiomer of

medetomidine yang secara kimia digambarkan sebagai (+)-4-(S)-[1-(2,3-

dimethylphenyl) ethyl]-1H-Imidazole monohydrochloride (Lirola, 2006).

Gambar 2.6 Struktur Kimia Dexmedetomidine (sumber: Lirola, 2006).

Dexmedetomidine merupakan golongan obat a2-agonis yang memiliki

efek neuroprotetif, kardioprotektif, dan sedasi (Stoelting, 2006). Karakteristik


perpustakaan.uns.ac.id 35
digilib.uns.ac.id

ini yang membuat a2-agonis memiliki potensi tinggi dalam neuroanesthesia

dan perawatan intensif. Pada dosis 10 dan 20 µg/kg, Dexmedetomidine

menurunkan inflamasi pulmo yang diinduksi CLP, menurunkan angka

mortalitas, dan menurunkan produksi IL-6 serta TNF-

model tikus sepsis (Yuqing, 2013).

Sejak laporan pertama dari klonidin , ag -adrenoreseptor, indikasi

untuk kelas obat ini terus berkembang. Pada bulan Desember 1999,

Dexmedetomidine disetujui sebagai agen terbaru di grup ini dan

diperkenalkan ke dalam praktek klinis sebagai obat penenang jangka pendek

(kurang 24 jam). A -adrenoreseptor memiliki beberapa hal yang

menguntungkan selama periode perioperatif, yaitu menurunkan simpatik tone,

menurunkan respon neuroendokrin dan hemodinamik terhadap anestesi dan

pembedahan, mengurangi kebutuhan anestesi dan opioid, menyebabkan

sedasi dan analgesia, serta memungkinkan fungsi psikomotorik

dipertahankan dengan baik dan membuat pasien merasa nyaman. Efek

samping terdiri dari ringan sampai depresi kardiovaskular moderat , dengan

sedikit penurunan tekanan darah dan denyut jantung (Gertler. et al, 2001).

1. 2- adrenoseptor

Dexmedetomidine menyebabkan penurunan tekanan darah dan denyut

jantung, analgesia dan efek sedatif (Kaymak. et al, 2008). Klasifikasi

2 2 dibagi ke

dalam 3 subtipe
perpustakaan.uns.ac.id 36
digilib.uns.ac.id

a. Subtipe A, ditemukan pada sistem saraf pusat, bertanggung jawab

terhadap efek sedatif, analgesia dan simpatolitik. Subtipe A merupakan

inhibitor terhadap saluran kalsium pada lokus ceruleus batang otak.

b. Subtipe B, ditemukan pada pembuluh darah perifer, bertanggung jawab

terhadap respons hipertensif sesaat melalui mekanisme efektor yang

sama dengan subtipe A.

c. Subtipe C, ditemukan pada sistem saraf pusat, bertanggung jawab

terhadap efek ansiolitik (Yazbek dan Aouad, 2006).

Dipercaya bahwa aktivasi reseptor -adrenergik atau -adrenergik

menghasilkan efek rangsang dalam beberapa jaringan dan efek

penghambatan jaringan lain, sub kelas dari -adrenoseptor ditemukan untuk

mengatur pelepasan neurotransmitter, maka dapat disimpulkan bahwa

reseptor ini terletak di presynaptic. Namun klasifikasi reseptor berdasarkan

postsinaptik dan ekstrasinaptik. presinaptik mungkin

mempunyai efek klinis terbesar, karena mereka mengatur pelepasan

norepinefrin dan adenosin trifosfat melalui mekanisme umpan balik negative

(Gertler. et al, 2001).


perpustakaan.uns.ac.id 37
digilib.uns.ac.id

Gambar 2.7 Fisiologi dari R -Agonis (sumber: Gertler, 2001).

-adrenergik memediasi efeknya dengan mengaktifkan protein yang

mengikat guanin nukleotida (protein G). Activated protein G memodulasi

aktivitas seluler dengan sinyal second messenger atau oleh aktivitas saluran

ion modulasi (Gertler, et al, 2001).

Second messenger, ketika diaktifkan, menyebabkan penghambatan

adenilat siklase, yang pada gilirannya menghasilkan penurunan pembentukan

adenosin monofosfat 3,5-siklik (cAMP). Spesifik kinase cAMP-dependent

memodifikasi aktivitas protein target dengan mengendalikan fosforilasi.

Modulasi aktivitas saluran ion menyebabkan hiperpolarisasi dari membran

sel. Refluks kalium melalui hiperpolarisasi saluran membran yang tereksitasi

dan menyediakan sarana yang efektif untuk menekan perangsangan neuron.


perpustakaan.uns.ac.id 38
digilib.uns.ac.id

-adrenoceptor juga menekan masuknya kalsium ke terminal saraf,

yang mungkin bertanggung jawab terjadinya penghambatan pada sekresi

neurotransmiter. Dari sudut pandang anestesiologi, hiperpolarisasi saraf

merupakan elemen kunci dalam mekanisme -adrenoreseptor

(Gertler. at al, 2001).

2. Farmakokinetik

Dexmedetomidine dapat diberikan secara intravena (iv), intramuskular

(im) dan transdermal. Dexmedetomidine memiliki fase distribusi yang cepat

dengan waktu paruh 6-9 menit. Selama fase eliminasi, waktu paruh kira-kira

2-3 jam (Lirola, 2006). Parameter farmakokinetik dexmedetomidine yang

diberikan melalui intravena yaitu:

a. Fase distribusi cepat dengan waktu paruh distribusi (t1/2) ± 6 menit,

dengan onset klinis 10-15 menit sejak mulai pemberian, dengan durasi

selama 30-60 menit.

b. Waktu paruh eliminasi akhir ± 2 jam.

c. Volume distribusi steady state (Vss) ± 118L.

d. Pembersihan ± 89 L/jam (Yazbek dan Auoad, 2006).

Dexmedetomidine dimetabolisme dalam hati, dan ada tiga jenis reaksi

awal metabolisme, yaitu konjugasi, metilasi, dan oksidasi.

Dexmedetomidine merupakan inhibitor sitokrom mikrosomal P-450 yang

memediasi proses oksidasi. Dexmedetomidine tidak mempengaruhi sintesis,

penyimpanan dan metabolisme neurotransmiter dan tidak memblokade

reseptor, sehingga efek hemodinamik dapat diatasi dengan pemberian obat


perpustakaan.uns.ac.id 39
digilib.uns.ac.id

2 spesifik (atipamezol). Atipamezol bereaksi dengan

meningkatkan pengembalian norepineprin sentral , dan memiliki durasi aksi 2

jam (Menda. et al, 2010).

3. Farmakodinamik

Dexmedetomidine 2 adrenergik yang sangat

1 2= 1:1600 (Lirola, 2006).

Dexmedetomidine 2

adrenergik dibandingkan dengan klonidin. Dalam penelitian ini didapatkan

bahwa Dexmedetomidine 2

adrenergik dibanding Klonidin. Dexmedetomidine menyebabkan inhibisi dari

aliran simpatik pusat yang berlebihan dan hal ini menyebabkan hambatan

dalam pelepasan norepinefrin yang menyebabkan bradikardi dan hipotensi.

Hal ini juga mengurangi transduksi sinyal rasa sakit dengan menarik reseptor

membran presinaps, dan dengan demikian memiliki efek sedasi dan

menghilangkan kecemasan (Gertler, 2001).

Pada penelitian yang dilakukan Shi pada tahun 2012 disimpulkan bahwa

dexmedetomidine menghambat reaksi inflamasi sistemik yang disebabkan

oleh lipopolisakarida (LPS). Penggunaan dexmedetomidine dapat

menyebabkan penurunan kadar TNF- - -6 dan faktor inflamasi

lainnya. Hal ini memberikan dugaan bahwa dexmedetomidine berperan

sebagai anti inflamasi.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Elbert, tentang respon autonom,

kardiovaskuler, dan sedasi akibat konsentrasi plasma dexmedetomidine,


perpustakaan.uns.ac.id 40
digilib.uns.ac.id

disimpulkan bahwa konsentrasi plasma yang rendah akan menghasilkan efek

sedasi, analgesi ringan, penurunan tekanan darah dan denyut jantung yang

signifikan, tanpa disertai perubahan pada tekanan vena sentral atau tekan arteri

pulmonal. Respon yang berlawanan terjadi pada konsentrasi plasma yang

tinggi (Kaymak. et al, 2008).

4. Mekanisme aksi

Mekanisme aksi dexmedetomidine adalah unik dan berbeda dari agen-

agent yang saat ini digunakan sebagai agen obat penenang, termasuk

Klonidin. Aktivasi dari reseptor di sumsum otak dan tulang belakang

menghambat perangsangan neuron, menyebabkan hipotensi, bradikardia,

sedasi, dan analgesia. Tanggapan terhadap aktivasi dari reseptor di tempat

lain termasuk penurunan sekresi air liur, dan penurunan motilitas usus pada

saluran pencernaan, kontraksi otot polos pembuluh darah, penghambatan

pelepasan renin, peningkatan filtrasi glomerulus, dan peningkatan sekresi

natrium dan air di ginjal, penurunan tekanan intraokular, dan penurunan

pelepasan insulin dari pankreas (Gertler, 2001).

Secara umum, aktivasi presinaptik -adrenoseptor yang menghambat

pelepasan norepinefrin, akan mengakhiri penyebaran sinyal rasa sakit.

Aktivasi pos -adrenoseptor dalam sistem saraf pusat (SSP)

menghambat aktivitas simpatik dan dengan demikian dapat menurunkan

tekanan darah dan denyut jantung. Gabungan efek ini dapat menghasilkan

analgesia, sedasi, dan anxiolysis. Dexmedetomidine menggabungkan semua


perpustakaan.uns.ac.id 41
digilib.uns.ac.id

efek ini, sehingga menghindari beberapa efek samping dari terapi dengan

multiagen (Gertler, 2001).

Gambar 2.8 Mekanisme Aksi dari R -Agonis (sumber: Gertler,


2001).

Mekanisme -agonis belum sepenuhnya

dijelaskan. Sejumlah tempat, baik supraspinal dan spinal, memodulasi

transmisi sinyal nosiseptif dalam SSP. Bahkan di -adrenoreseptor

dapat memediasi antinosisepsi, obat-obatan tersebut dapat bekerja di daerah

ini untuk mengurangi transmisi noiseptif yang menyebabkan analgesia.

Aktivasi dari G1 protein - kanal kalium meyebabkan hyperpolarisasi

membran, terjadi penurunan laju perangsangan dari sel yang tereksitasi

dalam SSP. Hal ini dianggap sebagai mekanisme yang signifikan dari
perpustakaan.uns.ac.id 42
digilib.uns.ac.id

penghamba -adrenoreseptor. M -

adrenoseptor adalah mengurangi jumlah kalsium ke dalam sel, sehingga

menghambat pelepasan neurotransmiter. Efek ini melibatkan peraturan

langsung kalsium masuk melalui tipe N voltage calsium gated channel dan

independen cAMP serta fosforilasi protein. Hal ini dimediasi oleh G protein.

Hal ini adalah dua mekanisme yang sangat berbeda dalam menyebabkan

analgesia (Gertler, 2001).

2-adrenergik banyak ditemukan pada sistem saraf pusat,

dengan konsentrasi tertinggi didapatkan pada lokus ceruleus, nuklei nor

adrenergik predominan di batang otak dan merupakan modulator penting dari

2a di lokus ceruleus

akan menyebabkan penghambatan pelepasan norepinefrin dan menghasilkan

efek sedative dan hipnotik. Lokus ceruleus merupakan asal dari jalur

descenden noradrenergik medulospinal yang diketahui sebagai modulator

neurotransmisi nosiseptif. Stimulasi pada area ini akan menghentikan sinyal

nyeri dan menghasilkan analgesi (Kaymak. et al, 2008).

Pada tahun 2102, Yuqing. et al, melakukan pengukuran Ekspresi dari

TLR4 dan MyD88 yang dilakukan dengan western blotting. Aktivasi NF- B

pada jaringan paru-paru tikus dinilai dengan western blotting dan

imunohistokimia. Ditemukan bahwa Dexmedetomidine (10 dan 20 mg/kg)

menghambat ekspresi TLR4/MyD88 dan aktivasi NF B.


perpustakaan.uns.ac.id 43
digilib.uns.ac.id

G. Penelitian yang relevan

Dexmedetomidine menghambat reaksi inflamasi sistemik yang

disebabkan oleh lipopolysaccharide (LPS). Penggunaan Dexmedetomidine

dapat menyebabkan penurunan kadar TNF- , IL-1ß, IL-6 dan faktor inflamasi

lainnya. Hal ini memberikan dugaan bahwa Dexmedetomidine berperan

sebagai anti inflamasi (Shi, 2012). Hasil penelitian yang sama didapatkan

pada penelitian Kawasaki. et al, (2013) terhadap manusia. Dari penelitian

tersebut disimpulkan bahwa Dexmedetomidine memiliki efek supresi

terhadap produksi mediator proinflamasi dalam darah manusia yang diinduksi

lipopolisakarida. -

adrenergik dan inhibisi NF- .

Penelitian yang dilakukan di Zhongshan Hospital pada tikus yang di

injeksi lipopolisakarida intravena dengan pemberian dexmedetomidine

dengan dosis 0,5µg/kg (dosis rendah), 1,5µg/kg (dosis sedang), 4,5µg/kg

(dosis tinggi) memberikan kesimpulan bahwa pada dosis dexmedetomidine

1,5µg/kg dan 4,5µg/kg dapat efektif menghambat ekspresi NF- pada

jaringan paru yang memberi efek proteksi inflamasi pada jaringan paru (Shi,

2012).

Pada penelitian lain disebutkan bahwa kadar IL-6 dan TNF- dalam

plasma menurun pada tikus model CLP yang mendapatkan Dexmedetomidine

dosis 10 µg/kgBB dan 20 µg/kgBB. Akan tetapi pada pemberian dosis kecil,

Dexmedetomidine tidak memberikan efek apapun terhadap sitokin

proinflamasi tersebut (Yuqing, 2013).


perpustakaan.uns.ac.id 44
digilib.uns.ac.id

H. Kerangka Teori

DEXMEDETOM
IDINE

Keterangan :

: berhubungan / menghasilkan

: menghambat

Gambar 2.9 Kerangka Teori.

Anda mungkin juga menyukai