Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PENGANTAR ILMU FIKIH KELOMPOK VI

“KAIDAH FIKIH”

Disusun oleh :
Syamda Jabbal Thariq
Nurul Zakiyah
Muhammad Abdul Fattah Al-Kahfi
Nurlaela

INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL LAA ROIBA


Cibinong - Bogor
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. tak lupa
shalawat dan salam kita limpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad
SAW. karena dengan rahmat dan hidayah-Nya jugalah penulis dapat menyelesaikan
makalah ini tepat pada waktunya.
Tujuan pembuatan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah
“PENGANTAR ILMU FIKIH”, dan untuk mengetahui serta menggali informasi
tentang “KAIDAH FIKIH”.
Apabila dalam penyusunan makalah ini terdapat suatu kekurangan, penulis
memohon maaf dan berharap banyak kepada dosen pengajar dan teman-teman untuk
memberikan kritik dan saran yang membangun serta penilaian terhadap penyusunan
makalah ini.
Semoga makalah ini dapat membantu kegiatan proses belajar mengajar
dandapat member manfaat bagi kita semua.

Bogor, 16 November 2019

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ......................................................................................... ii


DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii
BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................... 1
C. Tujuan Pembahasan .................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN ..................................................................................... 2

A. Pengertiaan Kaidah Fikih ........................................................................... 2


B. Sejarah Perkembangan Kaidah Fikih .......................................................... 2
C. Pembagian Kaidah Fikih ............................................................................. 5
D. Manfaat Kaidah Fikih ................................................................................. 7
E. Urgensi Kaidah Fikih .................................................................................. 8
F. Kedudukan Kaidah Fikih ............................................................................ 9
G. Sistematika Kaidah Fikih ............................................................................ 10

BAB III PENUTUP ............................................................................................. 11

KESIMPULAN .................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Qawaidul fiqhiyah (kaidah-kaidah fikih) adalah suatu kebutuhan bagi kita
semua. Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti
sama sekali apa itu kaidah-kaidah fikih. Maka dari itu, kami selaku penulis mencoba
untuk menerangkan tentang kaidah-kaidah fikih, mulai dari pengertian, sejarah,
perkembangan dan beberapa urgensi kaidah-kaidah fikih.
Dengan menguasai kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui benang merah
yang menguasai fikih, karena kaidah fikih itu menjadi titik temu dari masalah-
masalah fikih, dan lebih baik di dalam menerapkan fikih dalam waktu dan tempat
yang berbeda untuk kasus, adat, kebiasaan dan keadaan yang berlainan. Selain itu
juga akan lebih bijak di dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik,
budaya dan lebih mudah mencari solusi terhadap masalah-masalah yang terus
muncul dan berkembang dalam masyarakat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kaidah fikih ?
2. Apa manfaat dan urgensi dari kaidah-kaidah fikih ?
3. Bagaimana kedudukan dan sistematika kaidah fikih ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Mengetahui pengertian kaidah fikih.
2. Mengetahui manfaat dan urgensi kaidah fikih.
3. Mengetahui kedudukan dan sistematika kaidah fikih.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Kaidah Fikih


Di dalam bahasa Indonesia, kaidah artinya aturan atau patokan. Ahmad Warson
menambahkan bahwa, kaidah bisa berarti dasar, pondasi, prinsip, metode dan cara.
Dalam artian istilah, mayoritas Ulama Ushul mendefinisikan kaidah dengan :
“Hukum yang biasa berlaku yang berkesesuaian dengan sebagian besar bagiannya”.1
Sedangkan arti fiqh secara bahasa lebih dekat dengan ilmu, dan menurut istilah,
fiqh adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum yang Allah SWT. tetap kan yang
bersifat praktis yang diambilkan dari dalil-dalil yang terperinci.
Jadi, dari semua uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa kaidah fikih adalah
suatu perkara umum yang berlaku pada semua bagian-bagian atau cabang-cabangnya
yang dengannya diketahui hukum-hukum cabang itu. Dari pengertian tersebut dapat
diketahui bahwa setiap kaidah fikih telah mengatur beberapa masalah fikih dari
berbagai bab.

B. Sejarah Perkembangan Kaidah Fikih


Sejarah perkembangan dan penyusunan kaidah fikih diklarifikasikan menjadi 3
fase, yaitu :
1. Fase pertumbuhan dan pembentukan
Masa pertumbuhan dan pembentukan berlangsung selama tiga abad lebih.
Dari zaman kerasulan hingga abad ke-3 hijriyah. Periode ini dari segi fase sejarah
hukum Islam, dapat dibagi menjadi tiga; zaman Nabi Muhammad SAW., yang
berlangsung selama 22 tahun lebih (610-632 H / 12 SH-10 H), dan zaman tabi’in-
tabi’in yang berlangsung selama 250 tahun (724-974 / 100-351 H). Tahun 351 H /
1974 M, dianggap sebagai zaman kejumudan, karena tidak ada lagi ulama pendiri

1
Fathi, Ridwan, 1969 : Hlm. 171-172

2
mazhab. Ulama pendiri mazhab terakhir adalah Ibn Jarir al-Thabari (310 H / 734
M), yang mendirikan mazhab jaririyah.
Dengan demikian, ketika fikih telah mencapai puncak kejayaan, kaidah fikih
baru dibentuk dan ditumbuhkan. Ciri-ciri kaidah fikih yang dominan adalah
Jawami al-Kalim (kalimat ringkas tapi cakupan maknanya sangat luas). Atas dasar
ciri dominan tersebut, ulama menetapkan bahwa hadist yang mempunyai ciri-ciri
tersebut dapat dijadikan kaidah fikih. Oleh karena itulah periodesasi sejarah
kaidah fikih dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Sabda Nabi Muhammad SAW., yang jawami al-Kalim dapat ditinjau dari
dua segi, yaitu :
Segi sumber : ia adalah hadist, oleh karena itu, ia menjadai dalil hukum
Islam yang tidak mengandung pengecualian.
Segi cakupan makna dan bentuk kalimat : ia dikatakan sebagai kaidah fikih
karena kalimatnya ringkas, tapi cakupan maknanya luas.
Beberapa sabda Nabi Muhammad SAW. yang dianggap sebagai kaidah
fikih :
“Pajak itu disertai imbalan jaminan”
“Tidak boleh menyulitkan (orang lain) dan tidak boleh dipersulitkan (oleh orang
lain)”2
Demikian beberapa sabda Nabi Muhammad SAW., yang dianggap sebagai
kaidah fikih. Generasi berikutnya adalah generasi sahabat, sahabat berjasa dalam
ilmu kaidah fikih, karena turut serta membentuk kaidah fikih. Para sahabat dapat
membentuk kaidah fikih karena dua keuatamaan, yaitu mereka adalah murid
Rasulullah SAW. dan mereka tahu situasi yang menjadi turunan wahyu dan
terkadang wahyu turun berkenaan dengan mereka.
Generasi berikutnya adalah tabi’in-tabi’in selama 250 tahun. Diantara ulama
yang mengembangkan kaidah fikih pada generasi tabi’in, salah satunya adalah

2
Muhammad Shidqi ibn Ahmad Al-Burnu. Hal. 77

3
Abu Yusuf Ya’kub ibn Ibrahim (113-182), dengan karyanya yang terkenal, kitab
Al-Kharaj, kaidah-kaidah yang disusun adalah :
“Harta setiap yang meninggal yang tidak memiliki ahli waris diserahkan ke bait
al-mal”
Kaidah tersebut berkenaan dengan pembagian harta pusaka Baitul Mal
sebagai salah satu lembaga ekonomi umat Islam dapat menerima harta
peninggalan (tirkah atau mauturs), apabila yang meninggal dunia tidak memiliki
ahli waris.
Ulama berikutnya yang mengembangkan kaidah fikih adalah Imam Asy-
Syafi’i, yang hidup pada fase kedua abad kedua hijriah (150-204 H), salah satu
kaidah yang dibentuknya yaitu :
“Sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan terpaksa adalah tidak diperbolehkan
ketika tidak terpaksa”

2. Fase perkembangan dan kodifikasi


Dalam sejarah hukum Islam, abad 4 H, dikenal sebagai zaman taqlid. Pada
zaman ini, sebagian besar ulama melakukan tarjih (penguatan-penguatan)
pendapat imam mazhabnya masing-masing. Usaha kodifikasi kaidah-kaidah fikih
bertujuan agar kaidah-kaidah itu bisa berguna bagi perkembangan ilmu fikih pada
masa-masa berikutnya.
Pada abad 8 H, dikenal sebagai zaman keemasan dalam kodifikasi kaidah
fikih, karena perkembangan kodifikasi kaidah fikih begitu pesat. Buku-buku
kaidah fikih terpenting dan termasyhur abad ini adalah :
o Al-Asybah wa al-Nazha’ir, karya ibn wakil al-Syafi’i (W. 716 H)
o Kitab al-Qawaid, karya al-Maqarri al-Maliki (W. 750 H)
o Al-Majmu’ al-Mudzhab fi Dhabh Qawaid al-Mazhab, karya al-Ala’i al-
Syafi’i (W. 761 H)
o Al-Qawaid fi al-Fiqh, karya ibn Rajab al-Hambali (W. 795 H)

4
3. Fase kematangan dan penyempurnaan
Abad 10 H dianggap sebagai periode kesempurnaan kaidah fiqh, meskipun
demikian tidak berarti tidak ada lagi perbaikan-perbaikan kaidah fiqh pada zaman
sesudahnya. Salah satu kaidah yang disempurnakan di abad 13 H adalah :
“seseorang tidak dibolehkan mengelola harta orang lain, kecuali ada izin dari
pemiliknya”
Kaidah tersebut disempurnakan dengan mengubah kata-kata idznih menjadi
idzn. Oleh karena itu kaidah fikih tersebut adalah :
“seseorang tidak diperbolehkan mengelola harta orang lain tanpa izin”

C. Pembagian Kaidah Fikih


1. Segi fungsi
Dari segi fungsi, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu sentral
dan marginal. Kaidah fikih yang berperan sentral, karena kaidah tersebut memiliki
cakupan-cakupan yang begitu luas. Kaidah ini dikenal sebagai al-Qawaid al-
Kubra al-Asasiyyat, contoh :
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”
Kaidah ini mempunyai beberapa turunan kaidah yang berperan marginal,
diantaranya :
“Sesuatu yang dikenal secara kebiasaan seperti sesuatu yang telah ditentukan
sebagai syarat”
Sesuatu yang ditetapkan berdasarkan kebiasaan seperti ditetapkan dengan naskh”
Dengan demikian, kaidah yang berfungsi marginal adalah kaidah yang
cakupannya lebih atau bahkan sangat sempit sehingga tidak dihadapkan dengan
furu’.

2. Segi mustasnayat
Dari sumber pengecualian, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu : kaidah yang tidak memiliki pengecualian dan kaidah yang mempunyai

5
pengecualian. Kaidah fikih yang tidak mempunyai pengecualian adalah sabda
Nabi Muhammad SAW. contohnya :
“Bukti dibebankan kepada penggugat dan sumpah dibebankan kepada tergugat”
Kaidah fikih lainnya adalah kaidah yang mempunyai pengecualian kaidah
yang tergolong pada kelompok yang terutama diikhtilafkan oleh ulama.

3. Segi kualitas
Dari segi kualitas, kaidah fikih dapat dibedakan menjadi beberapa macam,
yaitu :
• Kaidah kunci
Kaidah kunci yang dimaksud adalah bahwa seluruh kaidah fikih pada
dasarnya dapat dikembalikan kepada suatu kaidah, yaitu :
“Menolak kerusakan (kejelekan) dan mendapatkan maslahat”
Kaidah diatas merupakan kaidah kunci, karena pembentukan kaidah fikih
adalah upaya agar manusia terhindar dari kesulitan dan dengan sendirinya ia
mendapat kemaslahatan.

• Kaidah asasi
Adalah kaidah fikih yang tingkat kesahihannya diakui oleh seluruh aliran
hukum Islam. Kaidah fikih tersebut adalah :
“Perbuatan / perkara itu bergantung pada niatnya”
“Kesulitan mendatangkan kemudahan”
“Adat dapat dijadikan pertimbangan dalam menetapkan hukum”

• Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni


Kaidah fikih yang diterima oleh semua aliran hukum sunni adalah “majallah
al-Ahkam al-Adliyyat”, kaidah ini dibuat di abad 19 M, oleh Lajnah Fuqaha
Utsmania.

6
D. Manfaat Kaidah Fikih
Manfaat dari kaidah fikih adalah :
1. Dengan kaidah-kaidah fikih kita akan mengetahui prinsip-prinsip umum
fikih dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai dan kemudian
menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fikih akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.
3. Dengan kaidah fikih akan lebih baik dalam menetapkan materi-materi dalam
waktu dan tempat yang berbeda, untuk keadaan dan suasana yang berbeda.
4. Meskipun kaidah-kaidah fikih merupakan teori-teori fikih yang diciptakan
oleh Ulama, pada dasarnya kaidah fikih yang sudah mapan sebenarnya
mengikuti al-Qur’an dan al-Sunnah, meskipun dengan cara yang tidak
langsung.

Menurut Imam Ali al-Nadawi (1994)

1. Mempermudah dalam menguasai materi hukum.


2. Kaidah dapat membantu menjaga dan menguasai persoalan-persoalan yang
banyak diperdebatkan.
3. Mendidik orang yang berbakat fikih dalam melakukan analogi (ilhaq) dan
takhrij untuk memahami permasalahan-permasalahan baru.
4. Mempermudah orang yang berbakat fikih dalam mengikuti (memahami)
bagian-bagian hukum dalam mengeluarkan dari tema yang berbeda-beda
serta meringkasnya dalam satu topik.
5. Meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan menunjukan bahwa
hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling berdekatan atau
menegakkan maslahat yang lebih besar.
6. Pengetahuan tentang kaidah fikih merupakan kemestian karena kaidah fikih
mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.

7
E. Urgensi Kaidah Fikih
Kaidah fikih dikatakan penting dilihat dari dua sudut :
1. Dari sudut sumber, kaidah merupakan mediabagi peminat fikih Islam untuk
memahami dan menguasai maqasid al-Syari’at, karena dengan mendalami
beberapa nash, ulama dapat menemukan persoalan esensial dalam satu
persoalan.
2. Dari segi istinbath al-ahkam, kaidah fikih mencakup beberapa persoalan yang
sudah dan belum terjadi. Oleh karena itu, kaidah fikih dapat dijadikan sebagai
salah satu alat dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi yang belum ada
ketentuan atau kepastian hukumnya.
Abdul Wahab Khallaf dalam ushul fikihnya berkata bahwa hash-hash tasyrik
telah mensyariatkan hukum terhadap berbagai macam undang-undang, baik
mengenai perdata, pidana, ekonomi dan undang-undang dasar telah disempurnakan
dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip-prinsip umum dan qanun-qanun
tasyrik yang kulli yang tidak terbatas suatu cabang undang-undang.
Karena cakupan dari lapangan fikih begitu luas, maka perlu adanya kristalisasi
berupa kaidah-kaidah kulli yang berfungsi sebagai klasifikasi masalah-masalah furu’
menjadi beberapa kelompok. Dengan berpegang pada kaidah-kaidah fiqhiyah, para
mujtahid merasa lebih mudah dalam mengistinbathkan hukum bagi suatu masalah,
yakni dengan menggolongkan masalah yang serupa di bawah lingkup satu kaidah.
Selanjutnya Imam Abu Muhammad Izzuddin ibnu Abbas Salam
menyimpulkan bahwa kaidah-kaidah fiqhiyah sebagai suatu jalan untuk
mendapatkan suatu kemaslahatan dan menolak kerusakan serta bagaimana
menyikapi kedua hal tersebut. Sedangkan al-Qrafy dalam al-Furuqnya menulis
bahwa seorang fikih tidak akan besar pengaruhnya tanpa berpegang pada kaidah
fiqhiyah, karena jika tidak berpegang pada kaidah itu maka hasil ijtihadnya banyak
pertentangan dan berbeda antara furu’-furu’ itu. Dengan berpegang pada kaidah
fiqhiyah tentunya mudah menguasai furu’nya dan mudah dipahami oleh pengikutnya.

8
F. Kedudukan Kaidah Fikih
Kaidah fikih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1. Kaidah fikih sebagai pelengkap, bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil
setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Kaidah
fikih yang dijadikan sebagai dalil pelengkap tidak ada ulama yang
memperdebadkannya, artinya ulama “sepakat” tentang menjadikan kaidah fikih
sebagai dalil pelengkap.
2. Kaidah fikih sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil
hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok. Dalam hal ini
para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan kaidah fikih sebagai dalil
hukum mandiri. Imam al-Haramayn al-Juwayni berbendapat bahwa kaidah
fikih boleh dijadikan dalil mandiri.
Namun al-Hawani menolak pendapat Imam al-Haramayn al-Juwayni.
Menurutnya, berdalil hanya dengan kaidah fikih tidak dibolehkan. Al-Hawani
mengatakan bahwa setiap kaidah bersifat pada umumnya, aglabiyat atau aktsariyat.
Oleh karena itu, setiap kaidah mempunyai pengecualian-pengecualian. Karena
memiliki pengecualian yang kita tidak mengetahui secara pasti pengecualian-
pengecualian tersebut, kaidah fikih tidak dijadikan sebagai dalil yang berdiri
sendiri merupakan jalan keluar yang bijak.
Kedudukan kaidah fikih dalam konteks studi fikih adalah simpul sederhana
dari masalah-masalah fiqhiyah yang begitu banyak. Al-Syaikh Ahmad ibnu al-
Syaikh Muhammad al-Zarqa berpendapat sebagai berikut : “kalau saja tidak ada
kaidah fikih ini, maka hukum fikih yang bersifat furu’iyyat akan tetap bercerai
berai”.
Dalam konteks studi fikih, al-Qurafi menjelaskan bahwa syari’ah mencakup
dua hal : pertama, ushul; dan kedua, furu’. Ushul terdiri atas dua bagian, yaitu
ushul al-Fiqh yang didalamnya terdapat patokan-patokan yang bersifat
kebahasaan; dan kaidah fikih yang di dalamnya terdapat pembahasan mengenai

9
rahasia-rahasia syari’ah dan kaidah-kaidah dari furu’ yang jumlahnya tidak
terbatas.

G. Sistematika Kaidah Fikih


Pada umumnya pembahasan kaidah fikih berdasarkan pembagian kaidah-
kaidah asasiah dan kaidah-kaidah ghairu asasiah. Kaidah-kaidah asasiah adalah
kaidah yang disepakati oleh Imam Mazhahib tanpa diperselisihkan kekuatannya,
jumlah kaidah asasiah ada 5 macam, yaitu :
1. Segala macam tindakan tergantung pada tujuannya
2. Kemudharatan itu harus dihilangkan
3. Kebiasaan itu dapat menjadi hukum
4. Yakin itu tidak dapat dihilangkan dengan keraguan
5. Kesulitan itu dapat menarik kemudahan
Sebagai fuqaha’ menambah dengan kaidah “tiada pahala kecuali dengan niat”.
Sedangkan kaidah ghairu asasiah adalah kaidah yang merupakan pelengkap dari
kaidah asasiah, walaupun kebahasaannya masih tetap diakui.

10
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

1. Kaidah-kaidah fikih itu terdiri dari banyak pengertian, karena kaidah itu bersifat
menyeluruh yang meliputi bagian-bagiannya dalam arti bisa diterapkan kepada
juz’iyatnya (bagian-bagiannya).
2. Salah satu manfaat dari adanya kaidah fikih, kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fikih dan akan mengetahui pokok masalah yang mewarnai fikih dan
kemudian menjadi titik temu dari masalah-masalah fikih.
3. Adapun kedudukan dari kadiah fikih itu ada dua, yaitu :
• Sebagai pelengkap, bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil setelah
menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
• Sebagai dalil mandiri, bahwa kaidah fikih digunakan sebagai dalil hukum yang
berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua dalil pokok.

11
DAFTAR PUSTAKA

Djazuli, HA, Kaidah-kaidah fiqh, Jakarta : kencana, 2006


Mujib, Abdul, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Malang : Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan
Ampel, 1978.
Usman, Muslih, Kaidah-kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta : Rajawali Pers,
1999.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.
Mubarok, Jaih, Kaidah Fioqh, Jakarta : Rajawali Pers, 2002.
Djazuli, HA, Ilmu Fiqh, Jakarta : Kencana, 2005.
Asjmuni, A Rahman, Kaidah-kaidah Fiqh, Jakarta : Bulan Bintang, 1976.
Ash-shiddiqie, Hasbi, Mabahits fi al-Qawaidul Fiqhiyah., 1999.
Al-Nadwi, Ali Ahmad, Al-Qawaidul Fiqhiyah, Beirut : Dar al-Kalam, 1998.
Faisal, Enceng Arif, Kaidah Fiqh Jinayah, Bandung : Pustaka Bani Quraisy , 2004.
http://moenawar.multiply.com/journal/item/10?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal
%2Fitem

12

Anda mungkin juga menyukai