Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

WADIAH

Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah ulumul qur’an
yang di ampu oleh Dosen Mahmudah, M.Ag

‫ع‬

Di susun oleh :

M.Irfan Sholeh S20171063


Andre Eka Setiawan S20171055

FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWALUS SAHSIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI JEMBER
2018
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama ALLAH SWT yang Maha pengasih lagi Maha penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta
inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. makalah ilmiah ini
telah kami susun dengan semaksimal mungkin.

Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih terdapat kekurangan
di sana sini, baik dari susunan kalimat dan tata bahasanya. Oleh karena itu kritik dan sarannya
sangat kami perlukan disini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah ilmiah ini dapat menambah ilmu pengetahuan
kepada pembaca sekalian.
DAFTAR ISI

1. Cover………………………………………………………………….1
2. Kata Pengantar………………………………………….…………….2
3. Daftar isi…………………………………..…………….…………….3
4. BAB 1 PENDAHULUAN
a. Latar belakang……………………………………..……………..4
b. Rumusan masalah…………………………….…….…………….4
c. Tujuan…………………………………………………………….4
5. BAB 2 PEMBAHASAN……………………………….……………..5
a. Pengertian cadar ………………………………………………….5
6. DAFTAR PUSTAKA………………………………….……………..9

A.
Latar belakang penulisan makalah ini, yaitu dengan banyak melihat fenomena yang ada
sekitar kita dimana salah satunya yang akan kami bahas dalam makalah ini, yaitu penitipan
barang (wadi’ah). Seiring dengan bermunculannya lembaga-lembaga penitipan barang dapat
sedikit membantu ketika seorang ingin menitipkan barangnya dalam waktu yang cukup lama,
mereka tidak khawatir dengan keadaan keadaan barang yang ditinggalkannya itu, sebab dalam
lembaga tersebut telah menjamin akan keaslian barangnya. Namun dengan sedikit mengeluarkan
biaya.
Kita lihat di masyarakat sangatlah tidak  asing lagi dalam hal penitipan barang, atau
menitipkan sebuah barang kepada orang lain.  Seseorang berani menitipkan barang kepada orang
lain hanya yang biasa di kenal saja, sungguh belum tentu seorang yang kita kenal tersebut bisa
menjaga barang kita dengan baik, bisa saja terjadi kelalaian atau kerusakan ketika barang yang
dititipkan tersebut dipakai oleh seorang yang diberikan amanah tersebut, dengan alasan yang
banyak dan dengan kedekatannya seorang penitip kepada seorang yang diberikan amanah,
kemudian seorang yang diberi amanah tersebut menipu, ketika terjadi kerusakan pada barang
yang dititipkan kepadanya. Dengan alasan apapun bisa di terima si penitip karena si penitip
yakin bahwa orang yang  dikenal dan dekat denganya tidak mungkin melakukan penipuan
terhadap dirinya.   
Hal ini yang sering dilalaikan oleh seorang yang diberikan amanah, menganggap barang
yang dititipkan tersebut adalah barang yang bisa dipakainya juga. Ternyata tidak seperti itu,
seorang yang diberikan amanah hanya berhak menjaga barang yang di titipkan kepadanya. dan
ketika si penitip memperbolehkannya atau memberikan izin memakai barang yang dititipkan
tersebut. Barulah seorang yang diberikan amanah tersebut memakainya dengan ketentuan selalu
menjaga, memperbaiki ketika terjadi kerusakan, dan mengatakan dengan sebenarnya kepada si
penitip ketika barang akan diserahkan kembali kepada si penitip. Jangan sekali-kali mengharap
apapun, baik upah menjaga, dan upah-upah lainnya kepada si penitip dan menjagalah dengan
baik dan ikhlas. Karena belum tentu serang yang menitipkannya tersebut orang yang memiliki
cukup uang untuk mengganti jasa tersebut. dan kepada seorang yang menitipkan barang kepada
orang lain hendaklah sadar akan jasa orang yang rela riberikan amanah tersebut.
Oleh karena itu, fenomena yang demikian perlulah diperhatikan oleh seorang yang
diberikan amanah dan pemberi amanah. Mempelajari apa yang harus di kerjakan ketika seorang
diberikan atau memberikan barang titipan(wadi’ah) kepada orang lain. Memilih jalan yang lebih
aman dengan menitipkan barang pada lembaga-lembaga penitipan barang yang ada di sekitar
kita.

B.     Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis merumuskan beberapa permasalah yang akan di bahas
pada bab pembahasan di belakang diantaranya yaitu:
a.       Apa definisi wadi’ah dan dasar hukumnya?
b.      Apakah syarat dan rukun wadi’ah?
c.       Berapakah macam-macam wadi’ah?
d.      Apakah Hukum Menerima Benda titipan (wadi’ah)?
e.       Apakah wadiah yad-amanah dapat berubah menjadi wadiah yad-damannah?
f.       Bagaimana dengan pendapat para ulama’ mengenai pengambilan laba dalam wadiah?
g.      Bagaiaman dengan pendapat para ulama’ dengan adanya jaminan wadi’ah?

C.    Tujuan
Rumusan masalah diatas memberikan penulis pemikiran bahwa tujuan dari penulisan
makalah ini yaitu:
a.       Agar mengetahu  definisi  wadi’ah dan dasar hukumnya.
b.      Agar mengetahui syarat dan rukun wadi’ah.
c.       Agar mengetahui macam-macam wadi’ah.
d.      Agar mengetahui hokum menerima benda titipan (wadi’ah).
e.       Agar mengetahui perubahan wadi’ah yad-amanah menjadi wadiah yad-dhamanah.
f.       Agar memperjelas pendapat para ulama mengenai pengambilan laba dalam wadi’ah.
g.      Agar mengetahui pendapat para ulama’ adanya jaminan wadi’ah.
BAB II

PENGERTIAN

A. Wadiah

Pengertian Akad Wadiah Wadiah dalam bahasa fiqih adalah barang titipan atau
memberikan, juga diartikan i’tha’u al-mal liyahfadzahu wa fi qabulihi yaitu memberikan
harta untuk dijaganya dan pada penerimaannya. Karena itu, istilah wadi’ah sering disebut
sebagai ma wudi’a ‘inda ghair malikihi liyahfadzuhu yang artinya sesuatu yang
ditempatkan bukan pada pemiliknya supaya dijaga. Seperti dikatakan qabiltu minhu
dzalika al-malliyakuna wadi’ah ‘indi yang berarti aku menerima harta tersebut darinya.
Sedangkan AlQur’an memberikan arti wadi’ah sebagai amanat bagi orang yang
menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali. 1
Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ahli fikih. Pertama, ulama Mazhab Hanafi
mendifinisikan wadi’ah dengan, “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta,
baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.” Misalnya,
seseorang berkata kepada orang lain, “Saya titipkan tas saya ini kepada Anda,” lalu orang
itu menjawab, “Saya terima.” Maka sempurnalah akad wadi’ah. Atau seseorang
menitipkan buku kepada orang lain dengan mengatakan, “Saya titipkan buku saya ini
kepada Anda,” lalu orang yang dititipi diam saja (tanda setuju). Kedua, ulama Mazhab
Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali (jumhur ulama) mendefinisikan wadi’ah
dengan “Mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.”
Wadi’ah dipraktekkan pada bank-bank yang menggunakan sistem syariah, seperti Bank
Muamalat Indonesia (BMI, Bank Islam). Bank Muamalat Indonesia mengartikan wadi’ah
sebagai titipan murni yang dengan seizin penitip boleh digunakan oleh bank. Konsep
wadi’ah yang dikembangkan oleh BMI adalah wadi’ah yad ad dhamanah (titipan tentang
resiko ganti rugi). Oleh sebab itu, wadi’ah yang oleh para ahli fiqih disifati dengan yad
Al-Amanah (titipan murni tanpa ganti rugi) dimodifikasi dalam bentuk yad ad dhamanah

1 Dwi Suwiknyo, Kompilasi Tafsir Ayat-Ayat Ekonomi Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010,
hlm.20
(dengan resiko ganti rugi).2 Konsekuensinya adalah jika uang itu dikelola pihak BMI dan
mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik bank. Di samping itu,
atas kehendak BMI sendiri, tanpa ada persetujuan sebelumnya dengan pemilik uang,
dapat memberikan semacam bonus kepada para nasabah wadi’ah. Dalam hal ini praktek
wadi’ah di BMI sejalan dengan pendapat ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki.3

Al-Wadi’ah dalam segi bahasa dapat diartikan sebagai meninggalkan atau


meletakkan, atau meletakkan sesuatu pada orang lain untuk dipelihara dan dijaga. Dari
aspek teknis, wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip kehendaki. Menurut PSAK 59, Wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga
dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki Bank
bertanggung jawab atas pengembalian titipan. Secara komulatif, wadi’ah memiliki dua
pengertian , yang pertama pernyataan dari seseorang yang telah memberikan kuasa atau
mewakilkan kepada pihak lain untuk memelihara atau menjaga hartanya; kedua, sesuatu
harta yang dititipkan seseorang kepada pihak lain dipelihara atau dijaganya.4

B. Jenis jenis Wadiah Akad berpola titipan (wadi’ah) ada dua, yaitu Wadi’ah yad Amanah
dan Wadi’ah yad Dhamanah. Pada awalnya, Wadi’ah muncul dalam bentuk yad al-
amanah “tangan amanah”, yang kemudian dalam perkembangan memunculkan yadh-
dhamanah “tangan penanggung”. Akad Wadi’ah yad Dhamanah ini akhirnyabanyak
dipergunakan dalam aplikasi perbankan syariah dalam produk-produk pendanaan.4
Dalam Islam wadi’ah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: Wadi’ah yad Amanah
yaitu barang yang dititipkan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak yang
menerima titipan, sehingga dengan demikian pihak yang menerima titipan tidak
bertanggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang yang dititipkan. Penerima

2 Ibid hlm 28
3 Sutan Remy Sjahdeini, Perbankan Islam dan Kedudukan dalam Tata Hukum Perbankan Inonesia,
Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2007, hlm. 54.

4 Ahmad Hasan Ridwan, Bmt & Bank Islam Instrumen Lembaga Keuangan Syariah, Bandung:
Pustaka Bani Quraisy, 2004 h. 14
titipan hanya punya kewajiban mengembalikan barang yang dititipkan pada saat diminta
oleh pihak yang menitipkan secara apa adanya
C. .A.    Rukun Wadi’ah
Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah
hanyalah ijab dan qobul. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun
wadi’ah ada tiga yaitu:

1.      Orang yang berakad

2.      Barang titipan

3.      Sighah, ijab dan kobul

B.     Syarat

1.      Orang yang berakad

Orang yang berakad hendaklah orang yang sehat (tidak gila) diantaranya yaitu:
a.       Baligh
b.      Berakal
c.      Kemauan sendiri, tidak dipaksa
Dalam mazhab Hanafi baliqh dan berakal tidak dijadikan syarat dari orang yang sedang
berakad, jadi anak kecil yang dizinkan oleh walinya boleh untuk melakukan akad wadi’ah ini.

2.      Barang titipan
Barang yang dititipkan harus jelas dan dapat dipegang atau dikuasai, maksudnya ialah
barang itu haruslah jelas identitasnya dan dapat dikuasai untuk dipelihara.

3.      Sighah (akad)
Syarat sighah yaitu kedua belah pihak melafazkan akad yaitu orang yang menitipkan
(mudi’) dan orang yang diberi titipan (wadi’)

D. Macam-macam Wadi’ah

a.       Wadi’ah yad-amanah

Para ulama ahli fiqh mengatakan bahwa akad wadi’ah bersifat mengikat kedua belah
pihak. Akan tetapi, apakah orang yang tanggung jawab memelihara barang itu bersifat ganti rugi
(dhamaan).
Ulama fikih sepakat, bahwa status wadi’ah bersifat amanat, bukan dhamaan, sehingga
semua kerusakan penitipan tidak menjadi tangggung jawab pihak yang menitipi, berbeda
sekiranya kerusakan itu disengaja oleh orang yang dititipi, sebagai alasannya adalah sabda
Rasulullah:

“orang yang dititipi barang, apabila tidak melakukan pengkhianatan tidak dikenakan ganti rugi.”
(HR. Baihaqi dan Daru-Quthni)
Dalam riwayat lain dikatakan:

“tidak ada ganti rugi terhadap orang yang dipercaya memegang amanat.” (HR. Daru-Quthni”.

Dengan demikian, apabila dalam akad wadi’ah ada disyaratkan untuk ganti rugi atas orang
yang dititipi maka akad itu dianggap tidak sah. dan orang yang dititipi pun juga harus menjaga
amanat dengan baik dan tidak menuntut upah (jasa) dari orang yang menitipkan.

b.       Wadi’ah yad-dhamanah

Akad ini bersifat memberikan kebebasan kepada pihak penerima titipan dengan atau
tanpa seizin pemilik barang dapat memanfaatkan barang dan bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan pada barang yang dinggunakannya.

E.    Hukum Menerima Benda Titipan

Hukum menerima benda titipan dapat di bagati atas 5 yaitu:


1.      Haram: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum haram jika orang yang dititipi yakin
dirinya akan berkhiyanat.
2.      Makruh: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum makruh jika orang yang dititipi
khawatir akan berkhianat (was-was).
3.      Mubah: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum mubah (boleh) jika seorang
mengatakan kepada si penitip bahwa dirinya khawatir akan berkhianat namun si pentitip yakin
dan tetap mempercayai bahwa orang tersebut dapat diberikan amanah.
4.      Wajib: Hukum menerima benda titipan dapat berhukum wajib jika tidak ada orang jujur dan
layak selain dirinya.

H.    Jaminan Wadiah

1.      Menurut ulama malikiyah, sebab adanya jaminan adalah:


a.       Menitipkan barang selain penerimaan titipan (wadi’) tanpa uzur sehingga ketika minta
dikembalikan, wadiah sudah hilang
b.      Pemindahan wadi’ah dari negara kenegara lain berbeda dengan pemindahan dari rumah
kerumah
c.       Mencampur adukkan eadiah dengan sesuatu yang tidak bisa dibedakan
d.      Pemanfaatan wadiah
e.       Meletakkan titipan pada tempat yang memungkinkan untuk hilang atau rusak.
f.       Menyalahi cara pemeliharaan.
2.      Menurut ulama syafi’iyah sebab adanya jaminna adalah:

a.       Meletakkan wadiah pada orang lain tanpa izin


b.      Meletakkan pada tempat yang tidak aman
c.       Pemindahan ketempat yang tidak aman
d.      Melalaikan kewajiban menjaganya
e.       Berpaling dari menjaga sehingga barang rusak
f.       Memanfaatkan wadiah
3.  Menurut ulama hanabilah, sebab adanya jaminan adalah:

a.       Menitipkan pada orang lain tanpa ada uzur


b.      Melalaikan pemeliharaan barang
c.       Menyalahi pemeliharaan yang telah disepakati
d.      Mencampurkan dengan barang yang lain sehingga sulit untuk dihilangkan
e.      Pemanfaatan barang

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah diketahui definisi wadi’ah dari beberapa ulama’, maka dapat dipahami bahwa yang
dimaksud wadi’ah adalah penitipan, yaiti akad seseorang kepada yang lain dengan menitipkan
benda untuk dijaganya secara layak. Apabila ada kerusakan pada benda titipan tidak wajib
menggantinya, tapi bila kerusakan itu disebabkan oleh kelalaiannya maka diwajibkan
menggantinya.[10]
Orang yang merasa mampu dan sanggup menerima barang titipan adalah sangat baik dan
mengandung nilai ibadah yang mendapat pahala disamping mempunyai nilai sosial yang tinggi.
Hukum wadi’ah atau barang titipan itu ada 4 (empat), yaitu : Sunnah, wajib, haram, dan makruh.
Penerima titipan harus menjaganya di tempat terjaga yang standar atau sesuai barang tersebut
secara 'uruf sebagaimana hartanya dijaga.
Dengan berlakunya wadi’ah dalam masyarakat bisa mewujudkan keadaan berikut:
Mewujudkan masyarakat yang amanah karena wadi’ah mengajarkan seseorang agar dapat
menjalankan amanah.
Tercipta tali silaturrahmi, karena yang memberi amanah merasa terbantu dan yang diberi
amanah akan mendapat pahala dari perbuatannya tersebut yang bernilai ibadah. Tolong
menolong dalam hal ini sangat disenangi Allah.
DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’I. Bank Syari’ah. Jakarta: Gema Insani. 2001.


Ascarya, Akad Dan Produk Bank Syari’ah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. 2008.
Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 2011.
Suhendi, Hendi. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo. 2002.
Ali M. Hasan. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers. 2003.
Ghazaly Rahman Abdul, dkk. Fiqh Muamalat. Jakarta: Kencana. 2010.
Muslich Wardi Ahmad. Fiqh Muamalat. Jakarta : Amzah. 2010.
Nas’adi dan Ghufron. Fiqih Muamalat Kontekstual. Jakarta: Rajawali Pers. 2002.
Nuhayati Sri, Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. 2008.

[1] Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: RajaGrafindo, 2002), hal. 179


[2] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah, ( Jakarta: Gema Insani, 2001), hal.85
[3] Madani, Hadis Ekonomi Syari’ah, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, Jakarta: 2011), hal.85
[4] M. Ali Hasan. Berbagai macam transaksi dalam islam (fiqh muamalat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2003).hlm.
245-246
[5] Suhendi, Fiqih…, hal. 182
[6] Madani, Hadis …, hal. 85
[7] Suhendi, Fiqih…, hal. 183
[8] Ibid, hal. 182
[9] Hasan, Berbagai …, hlm. 249-250
[10] Suhendi, Fiqh…, hal. 182

Anda mungkin juga menyukai