Anda di halaman 1dari 6

Bab I

Pendahuluan
A. Latar belakang
Konflik sosial dan anarkis selalu terjadi antarkomunitas (vertikal) dan komunitas dengan
para elite birokrasi (vertikal) seolah menjadi potensi yang terus menerus menghantui dan
mengancam ketertiban sosial, yang pada gilirannya tak menutup kemungkinan akan
mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Konflik berdarah yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, yaitu konflik antarumat beragama
di beberapa daerah seperti halnya di bekasi kemaren, ia menunjukkan pada kita semua,
betapa rentannya masyarakat Indonesia jatuh dalam tindak kekerasan yang berujung pada
perilaku anarkis. hanya karena perbedaan keyakinan, seorang warga masyarakat rela
menganiaya dan bahkan sampai menghilangkan nyawa sesama. Kondisi ini tentu
menimbulkan pertanyaan di hati kita mengapa bangsa yang sejak lama telah dikenal sebagai
bangsa yang ramah dan penuh toleransi mendadak berubah menjadi bangsa yang lebih
mengedepankan kekuatan otot dibandingkan kekuatan otak untuk menyelesaikan persoalan
yang dihadapinya.
Kekerasan sosial dalam bentuk apapun, sebenarnya representasi dari manusia-manusia
tanpa nurani dan akal sehat serta jauh dari peradapan. Egoisme dan arogansi kebenaran
atas kelompok, kebenaran mayoritas, seringkali menjadi satu-satunya cara untuk
melegitimasi tindak kekerasan
Lemahnya penegakan kepastian hukum terhadap kasus-kasus kekerasan sosial yang bersifat
massal dan atau melibatkan para elite tertentu, telah memberi ruang toleransi dan
pembenaran terhadap munculnya aksi-aksi kekerasan sosial.
Perlu dicermati bahwa konflik sosial anarkis yang berlatar belakang perbedaan agama,
budaya, dan atau keyakinan tidak pernah selesai dengan dialog, bahkan dalam dialog
seringkali menyisakan berbagai potensi konflik, dominasi serta pembenaran oleh
sekelompok yang merasa mayoritas, sehingga kebenaran menjadi semu menurut kacamata
mayoritas, dan kondisi inilah yang sering muncul dalam dialog, bukan solusi yang ada, tetapi
melahirkan berbagai persoalan baru dan laten.

Rumusan masalah
1. Apakah yang dimaksud konflik social?
2. Sebutkan macam-macam konflik ?
3. Mengapa konflik itu bisa terjadi ?
4. Jelaskan macam-macam teori konflik ?

Tujuan

1
Bab II
Pembahasan
A. Pengertian konflik
Istilah ‘’konflik’’ secara etimologis berasal dari Bahasa latin ‘’con’’ yang berarti Bersama
dan ‘’fligere’’ yang berarti benturan atau tabrakan. Dengan demikian, ‘’konflik’’ dalam
kehidupan social berarti benturan kepentingan, keinginan, pendapat, dan lain-lain yang paling
tidak melibatkan dua pihak.1
Menurut Chang pengertian konflik dari aspek antropologi, yakni ditimbulkan sebagai akibat
dari persaingan antara paling tidak dua pihak, dimana tiap-tiap pihaknya dapat berupa
perseorangan, keluarga, kelompok kekerabatan, suatu komunitas atau mungkin suatu lapisan
kelas social pendukung idiologi tertentu, satu organisasi politik, satu suku bangsa atau satu
pemeluk agama tertentu.2
Marx, dahrendrorf, simmel, dan Coser mengatakan bahwa secara sederhana, konflik adalah
petentangan antara satu individu dengan individu lain, atau antara satu kelompok dengan
kelompok yang lain. Sebetulnya konflik dapat dilihat dari dua segi. Dari segi positif, konflik
dapat mendinamisasikan kelompok-kelompok dalam masyarakat. Konflik dapat memacu
terjadinya kompetisi yang sehat, orang berupaya menjadi lebih baik dari yang lainnya.
Konflik bisa menjadi tahap awal perubahan social. Dari segi negative, konflik merupakan
salah satu yang perlu diatasi. Konflik yang sengit dapat memicu perselisihan dan permusuhan
yang tajam, yang mengganggu suasana antarkelompok dalam masyarakat (Johnson, 1986).3
B. Macam-macam konflik

1. konflik gender

Istilah gender bukan merujuk pada aspek perbedaan jenis kelamin dimana laki-laki ditujukan
dengan identitas diri dan juga laki-laki memiliki alat kelamin yang berbeda dengan
perempuan, akan tetapi gender lebih berorientasi pada aspek sosiokultural. Gender lebih
memerhatikan pada aspek status dan peranan manusia dilihat dari jenis kelamin. Didalam
status masyarakat tradisional status antara laki-laki dan perempuan selalu diposisikan dalam
kelompok inferior diterimanya sebagai adikodrati. Akan tetapi di dalam masyarakat modern,
istilah gender menjadi permasalahan yang cukup penting, terutama isu-isu emansipasi yang
diluncurkan oleh kaum perempuan menjadi pembahasan yang penting dalam kehidupan
sosial.

Dominasi kaum laki-laki yang mengisi jabatan wakil rakyat di parlemen, birokrasi, dan
sebagainya di anggar sebagai mendiskriminasi kaum perempuan. Bahkan di tingkat ekstrem
gerakan emansipasi wanita yang dilakukan di Amerika serikat dari kelompok muslim
menuntut kesetaraan gender, di mana kaum perempuan menuntut agar menjadi imam dan
khotib jumat di masjid. Dalil-dalil agama yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin,
sedangkan dalil yang tidak menyebutkan perempuan sebagai pemimpin juga di anggap
bentuk diskriminasi gender. Demikian juga poligami, di mana kaum laki-laki boleh

1
Elli M. Setiadi, Pengantar Sosiologi, (Bandung: Kencana, 2011), 347.
2
Ibid., 348
3
Sumardi Sumartias, Faktor-faktor yang memengaruhi Konflik sosial,
2
berpoligami sedang perempuan tidak di benarkan berpoligami juga di anggap pemasungan
terhadap kaum perempuan. Gejala itulah yang memicu gerakan emansipasi wanita.4

2. konflik rasial dan antarsuku

Istilah ras sering di identikkan dengan perbedaan warna kulit manusia, diantaranya ada
sebagian kelompok manusia yang berkulit putih, sawo matang, dan hitam. Pada masa lalu
anyak negara-negara yang memposisikan warga kulit hitam sebagai warga kelas dua, yang
secara politis dan secara yuridis hak-hak kaum kulit hitam sering di abaikan. Banyak negara
yang mengabaikan peran kelompok kulit hitam. Akan tetapi, berbagai bentuk perjuangan
perlawanan deskriminasi ras kulit hitam yang di lancarkan di berbagai negara dengan
berbagai cara, baik melalui cara seni hingga cara kontroversial, maka diskriminasi rasial telah
berhasil sedikit demi sedikit, bahkan dewasa ini Barack Obama merupakan presiden pertama
di negara adidaya AS yang berasal dari kulit hitam. Demikian juga, Nelson Mandela yang
berasal dari Afrika Selatan. Ia merupakan figur perlawanan diskriminasi terhadap kelompok
kulit hitam di Afrika Selatan yang menjadi catatan sejarah dunia.5

3. konflik antar-umat Agama

Agama tidak cukup di pahami sebagai metode hubungan penyembahan manusia kepada
Tuhan serta seperangkat tata aturan kemanusiaan atas dasar tuntunan kitab suci. Akan tetapi,
perbedaan keyakinan dan atribut-atribut justru berdampak pada segmentasi kelompok-
kelompok sosial yang berdiri sendiri. Secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai
alat perekat solidaritas sosial, akan tetapi juga bisa menjadi pemicu disentegrasi sosial.
Perbedaan keyakinan penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya, dan menganggap
keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-penganut agama. Bahkan di
dalam agama itu sendiri juga terdapat segmentasi sektarian yang memiliki perbedaan mulai
dari perbedaan dari kulit luar ajaran agama ini hingga perbedaan secara substansial.6

4.konflik antargolongan

Menyimak peristiwa pembakaran kantor-kantor pemerintah di kabupaten Kaur Riau beberapa


waktu lalu (tahun 2005) oleh massa yang tak terkendali emosinya akibat ketidakpuasan
rakyat atas hasil pilkada telah menunjukkan betapa rawannya pilkada kita terhadap konflik
baik yang bersifat horizontal, maupun vertikal. Demokratisasi di dalam sistem politik kita
selamanya berdampak positif bagi kelangsungan hidup bangsa, sebab demokratisasi justru
menjadi mala petaka bagi kelangsungan hidup bangsa karena gejala tersebut mengantarkan
berbagai konflik atargolongan. Demokratisasi telah mengantarkan kehidupan masyarakat
terdiferensiasi atas berbagai golongan yang sering kali mengakibatkan pertikaian.7

5. konflik kepentingan

4
Elli M. Setiadi, Pengantar Sosiologi (Bandung: Kencana, 2011), 349-350.
5
Ibid., 350-351.
6
Ibid., 351-352
7
Ibid., 352-353
3
Di dalam dunia politik: “Tiada lawan yang abadi dan tiada pula kawan abadi, kecuali
kepentingan abadi”. Dengan demikian. Konflik kepentingan identik dengan konflik politik.
Realitas politik selalu diwarnai oleh dua kelompok yang memiliki kepentingan yang saling
berbenturan. Benturan kepentingan tersebut dipicu oleh gejala satu pihak ingin merebut
kekuasaan dan kewenangan di dalam masyarakat, di pihak lain terdapat kelompok yang
berusaha mempertahankan dan mengembangkan kekuasaan dan kewenangan yang sudah ada
di tangan mereka.8

6.konfik antar pribadi

Konflik antar-individu adalah konflik sosial yang melibatkan individu di dalam konflik
tersebut. Konflik ini terjadi karena adanya perbedaan atau pertentangan atau juga
ketidakcocokan antara individu satu dan individu lain. Masing-masing individu bersikukuh
mempertahankan tujuannya atau kepentingan masing-masing. Ada sedikit persamaan antara
konflik antarpribadi dan konflik kepentingan, akan tetapi apapun alasannya kedua macam
konflik ini dapat dibedakan, sebab konflik kepentingan bisa jadi konflik antarkepentingan
kelompok.

Sebagai contoh konflik pribadi yaitu dua remaja yang berpacaran lalu kemudian tidak
berpacaran lagi karena masing-masing berkeras kepada pendapatnya sehingga menimbulkan
konflik individu.9

7. konflik antarkelas sosial

Konflik yang terjadi antarkelas sosial biasanya berupa konflik yang bersifat vertikal, yaitu
konflik antara kelas sosial atas dan kelas sosial bawah. Konflik ini terjadi karena kepentingan
yang berbeda antara dua golongan atau kelas sosial yang ada.10

8. konflik antarnegara atau bangsa

Konflik antarnegara adalah konflik yang terjadi antara dua negara atau lebih. Mereka
memiliki perbedaan tujuan negara dan berupaya memaksakan kehendak negaranya kepada
negara lain. Perang dingin dahulu antara blok timur (negara Uni Soviet) dan sekutunya,
negara barat Amerika dan sekutunya merupakan konflik antarnegara sebelum pecahnya Uni
Soviet. Perang dingin antar-Pakistan dan India dengan masalah kasmir antara Korea Utara
dan Korea Selatan merupakan wujud dari konflik antarnegara. Adapun konflik yang baru-
baru ini antara Israel dan Palestina.11

8
Ibid., 353
9
Ibid., 353-355
10
Ibid., 355
11
Ibid., 357-358
4
C Konflik Sebagai Gejala Sosial
Konflik atau pertentangan mempunyai hubungan erat dengan integrasi.
Konflik suatu suatu pertentangan mengenal beberapa fase, yaitu fase diorganisasi
dan fase disentegrasi. Karena suatu kelompok social selalu dipengaruhi oleh
beberapa factor, maka pertentangan akan berkisar akan berkisar pada penyesuaian
diri atau penolakan dari faktor – faktor social tertentu. 12

D. Teori Konflik Sosial


Pada hakikatnya teori konflik muncul sebagai bentuk reaksiatas tumbuh
suburnya fungsi fungsionalisme structural yang dianggap kurang memperhatikan
fenomina konflik sebagai salah satu gejala di masyarakat yang perlu mendapatkan
perhatian. Teori konflik adalah salah satu perspektif di dalam sosiologi yang
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian atau
komponen yang mempunyai kepentungan berbeda – beda di mana komponen yang
satu berusaha menaklukan kepentingan yang lain.
Pada dasarnya teori konflik tentang masyarakat sebenarnya tidak banyak
berbeda dengan pandagan teori fungsional structural, sebab keduanya sama – sama
memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian – bagian.
Perbedaan antara teori konflik dan fungsional structural terletak pada asumsi yang
berbeda – beda tentang elemen – elemen pembentuk masyarakat. Pandanga teori
structural fungsional menempatkan elemen – elemen social dalam keadaan saling
berhubungan secara normal dan saling mendukung kelangsungan hidup sistem
social, sementara teori konflik social memandang antar -elemen social memiliki
kepentingan dan pandangan yang berbeda. Perbedaan kepentingan inilah yang
memicu terjadinya konflik social yang berujung saling mengalahkan, melenyapkan,
memusnahkan diantara elemen tersebut.13

E. Akibat Konflik Sosial


Ada banyak akibat konflik, akan tetapi para sosiolog sepakat menyimpulkan
akibat dari konflik ke dalam lima poin berikut ini:
1. Bertambah kuatnya solidaritas kelompok. Solidaritas kelompok akan muncul
ketika konflik tersebut melibatkan pihak – pihak lain yang memicu timbulnya
antagonism (pertentangan) di antara pihak yang bertikai. Eksistensi antagonisme
ini yang pada gilirannya akan memunculkan gejala in group dan out group di
antara mereka.hal ini dapat dilihat pada reaksi keras negara – negara
berpenduduk mayoritas islam yang di anggap sebagai biang terorisme.
2. Hancurnya kesatuan kelompok. Jika konflik yang tidak berhasil diselesaikan
menimbulkan kekerasan atau perang, maka sudah barang tentu kesatuan
kelompok tersebut mengalami kehancuran. Lenyapnya Lugoslavia dari peta dunia
akibat konflik antar etnis di negeri ini mengakibatkan negeri Yugoslavia terpecah
dalam tiga negara yang dihuni masing – masing oleh etnis Bosnia, Serbia, dan
Croatia.

12
Ogbun dan Nimkoff, A handbook of sociology, London, 1960, h. 107.
13
Lihat Bernard Roha, SDV, Teori Sosiologi Modern, prestasi pustaka, Jakarta, 2007, hlm. 71.
5
3. Adanya perubahan kepribadian individu. Artinya. Didalam suatu kelompokyang
mengalami konflik, maka seseorang atau sekelompok orang yang semula
memiliki kepribadian pendiam, penyabar menjadi beringas, agresif, dan mudah
marah, lebih – lebih jika konflik itu berujung pada kekerasan ataupun perang.
4. Hancurnya nilai – nilai dan norma yang ada. Antara nilai – nilai dan norma yang
social dengan konflik terdapat hubungan yang bersifat korelasional, artinya bisa
saja terjadi konflik, atau bisa juga hancurnya nilai – nilai dan norma social
berakibat konflik. Permasalahannya adalah gejala manakah yang lebih dahulu
terjadi.
5. Hilangnya harta benda dan korban manusia. Jika konflik tidak terselesikan hingga
terjadi tindakan kekerasan atau perang, maka pasti akan berdampak pada
hilangnya material dan korban manusia.
F. Fungsi Konflik Sosial

Sebagaimana dikemukakan dalam paparan di depan bahwa konflik sering


diasumsikan sebagai bentuk keadaan yang negative seperti, perselisihan, disentegrasi
penyimpangan, desduktif, dan sebagainya. Akan tetapi, kenyataanya disisi lain
konflik juga memilikisisi – sisi positif atau berguna didalam kehidupan social. s

Anda mungkin juga menyukai