Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN
A.        Pengertian Zakat
Secara etimologi zakat berarti tumbuh (numuww) dan bertambah (ziyadah).
Zakat juga  memiliki nama lain thaharah (suci) sebagaimana dalam firman Allah
surah

“ Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”, [1]
Adapun zakat menurut terminologi adalah hak yang wajib (dikeluarkan dari)
harta. Mahab Maliki mendefinisikannya dengan, mengeluarkan sebagian harta yang
khusus dari harta yang khusus pula yang telah mencapai nishab (batas kuantitas yang
mewajibkan zakat) kepada orang yang berhak menerimanya (mutahiqq)-nya. Dengan
catatan kepemilikan itu penuh dan mencapai haul (setahun), bukan barang tambang
dan bukan pertanian.”
Menurut istilah zakat berarti kewajiban seorang muslim untuk mengeluarkan
nilai bersih dari kekayaannya yang tidak melebihi satu nisab, diberikan
kepada mustahik dengan beberapa syarat yang telah ditentukan.[2]
Zakat menurut UU No. 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat adalah harta
yang wajib disihkan oleh seorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang
muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.[3]
Menurut mazhab Hanafi bahwa zakat merupakan “menjadikan sebagian harta
khhusus dari harta yang khusus sebagai milik orang yang khusus yang ditentukan
oleh syariat karena Allah swt. “kata sebagian harta sebagai harta milik” (tamlik)
dalam definisi di atas dimaksudkan sebagai penghindaran dari kata ibahah
(pembolehan).[4]
Menurut mazhab syafi’i, zakat adalah sebuah ungkapan untuk keluarnya harta
atau tubuh sesuai ddengan cara khusus . sedangkan menurut mazhab Hanbali, zakat
ialah hak yang wajib dikeluarkan dari harta yang khusus untuk kelompok yang
khusus pula.
Zakat menurut terminologi para fuqaha, dimaksudkan sebagai “penuaian”,
yaknni penuaian hak yang wajib yang terdapat dalam harta. Zakat.
B.        Landasan Normatif Zakat
Zakat merupakan salah satu rukun islam yang ke tiga dan wajib dilaksanakan.
Dalam al-qur’an zakat digandengkan dengan kata sholat dalam delapan puluh dua
tempat. Hal ini menunjukkan keduanya memiliki keterkaitan yang sangat erat. Zakat
diwajibkan dalam al-Qur’an, sunnah, dan Ijma’ ulama. Dalil-dalil yang terdapat
dalam al-qur’an adalah sebagai berikut:
1.      Surah At-Taubah ayat 103:





“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu
(menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
mengetahui.” (Q.S: 9: 103)
2.      Surah Al-An’am ayat 141:
.....
....
“...dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada
fakir miskin);...” (Q.S: 6: 141).[5]
َ ‫ُوا َم َع ٱل ٰ َّر ِك ِع‬
٤٣ ‫ين‬ ْ ‫وا ٱل َّز َك ٰوةَ َو ۡٱر َكع‬
ْ ُ‫صلَ ٰوةَ َو َءات‬ ْ ‫َوأَقِي ُم‬
َّ ‫واٱل‬
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku´lah beserta orang-orang yang
ruku”
Adapun dalil-dalil dari sunnah ialah sebagai berikut.
‫ ِمهْن َا يْ َتا ُء َّالزاَك ِة‬  ...  ‫بُ ِينَ ِا ْساَل ُم َعلَى َخ ْم ٍس‬
‫ِإ‬
“Islam dibangun atas lima erkara,... zakat...”.[6]
Nabi saw mengutus Mu’az bin Jabal ke daerah Yaman. Kemudian beliau bersabda
kepadanya:
ْ ‫فَرُت َ ُّدعَلَى ُف َق َرا ِءمِه‬٠ ْ ‫َا ْع ِل ْمهُ ْم َااَّن للَّهَ ِافْرَت َ ضَ َعلَهْي ِ ْم َصدَ قَ ًةتُو ْءخ َُذ ِمنْ َا ْغ ِن َيا ِءمِه‬
“...Jika mereka menuruti perintahmu untuk itu- ketepatan atas mereka untuk
mengeluarkan zakat – beritahukanlah kepada mereka bahwasanya Allah swt.
mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang diambil dari orang-
orang kaya dan diberikan lagi kepada orang-orang fakir diantara mereka ...”[7]
Adapun dalil berupa ijma’ ialah adanya kesepakatan semua (ulama) umat Islam
di semua negara kesepakatan bahwa zakat adalah wajib. Bahkan orang-orang
enggan  mengeluarkan zakat. Dengan demikian barang siapa yang mengingkari
kefarduannya, berarti ia kafir atau jika sebelumnya dia merupakan seorang muslim
yang dibesarkan di kalangan muslim, menurut kalangan para ulama- murtad.
Kepadanya diterapkan hukum-hukum orang murtad. Dia tidak dihukumi sebagai
orang kafir dia memilki uzur.[8]
C.        Kedudukan Zakat
Pada awal diwajibkannya zakat pada masa Rasulullah Saw., pelaksanaan zakat
ditangani sendiri oleh Rasul Saw. Beliau mengirim para petugasnya untuk menarik
zakat dari orang orang yang ditetapkan sebagai pembayar zakat, lalu dicatat,
dikumpulkan, di jaga, dan akhirnya dibagikan kepada para penerima zakat.
Rasulullah Saw., pernah mempekerjakan seorang pemuda dari suku Asad, yang
bernama Ibnu Lutaibah, untuk mengurus urusan zakat Bani Sulaim. Pernah pula
mengutus Ali Bin Abi Tholib ke Yaman urntuk menjadi amil zakat. Muaz Bin Jabal
pernah diutus Rasulullah Saw., pergi ke Yaman, di samping tugas sebagai da’i, juga
mempunyai tugas khusus menjadi amil zakat. Demikian pula yang dilakukan oleh
para khulafa ar-rasyidin sesudahnya, mereka selalu mempunya petugas khusu yang
mengatur masalah zakat, baik pengambilan maupun pendistribusiannya. Diambilnya
zakat dari muzakki melalui amil zakat untuk kemudian disalurkan kepada mustahik,
menunjukkan keawajiban zakat itu bukanlah semata-mata bersifat amal karitatif,
tetapi juga suatu kewajiban yang bersifat otoritatif.[9]
Dalam kontes kenegaraan, zakat seharusnya menjadi bagian utama dalam
penerimaan negara. Zakat harus masuk dalam kerangka kebijakan fiskal negara dan
bukan hanya dijadikan pengeluaran penguarangan penghasilan kena pajak, kaerena
justru akan mengurangi pendapatan negara. Zakat harus dikelola oelh negara dan
ditegakkan hukumnya dalam peraturan perundangan-undangan yang mengatur
berabgai aspek tentang zakat.
Di Indonesia, pengelolaan zakat diatur berdasarkan undang-undang No.38 tahun
1999 tentang Pengelolaan Zakat dengan keputusan Menteri Agama (KMA) No. 581
Tahun 1999 tentang pelaksnaaan undang-undang No.38 Tahun 1999 dan Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun
2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat. Meskipun harus diakui bahwa
dalam peraturan-peraturan tersebut masih banyak kekurangan yang sangat mendasar,
misalnya tudak dijatuhkan sanksi bagi muzakki yang melalaikan kewajibannya akan
tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya pembentukan lembaga pengelola
akat yang amanh, kuat dan dipercaya masyarakat. [10]
D.        Tujuan Zakat
Tujuan pengelolaan zakat menurut amanah Undang-undang No.38 Tahun 1999
adalah :
1.      Meningkatkan pelayanan bagi masyarakat dalam menunaikan zakat sesuai dengan
tuntunan agama.
2.      Meningkatnya fungsi dan peranan pranata keagamaan dalam upaya mewujudkan
kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial.
3.      Menimgkatkan hasil guna dan daya guna zakat.
Sedangkan hikmah zakat antara lain.
1.      Menghindari kesenjangan sosial antara aghniya dan du’afa.
2.      Pilar amal jam’i antara aghniya dengan para mujahid dan da’i yang berjuang dan
berdakwah dalam rangka meninggikan kalimat Allah SWT.
3.      Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk.
4.      Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat.
5.      Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT berikan.
6.      Untuk pengembangan potensi Umat.
7.      Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam.
8.      Menambhan pendapatan Negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi umat.[11]
E.        Implikasi Sosial Zakat
Selain itu juga zakat juga merupakan ibadah yang memiliki nilai dimensi ganda,
trasendental dan horizontal. Oleh sebab itu zakat sangat memiliki arti dalam
kehidupan umat manusia, terutama Islam. Zakat juga memiliki Dampak penting yang
berkaitan dengan Allah SWT maupun hubungan sosial kemasyarakatan di antara
manusia, anatara lain:
1.      Menolong, membantu, membina, dan membangun kaun dhuafa yang lemah papah
dengan materi sekadar untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya. Dengan kondisi
tersebut mereka akan mampu melaksanakan kewajibannya terhadap Allah SWT.
2.      Membersihkan/menyucikan harta, jiwa manusia dari sifat kikir serta cinta dunia,
berakhlak dengan sifat Allah, mengembangkan kekayaan batin, menarik simpati dna
rasa cinta fakir Miskin, menyuburkan harta, membantu orang yang lemah sebagai
tanda syukur terhadap kepemilikan harta dan mendorong untuk berusaha, bekerja
keras, kreatif dan produktif dalam usaha serta efesiensi waktu.
3.      Menjadi unsur penting dalam mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta, dan
keseimbangan tanggung jawab individu dalam masyarakat.
4.      Dapat menunjang terwujudnya sistem kemasyarakatan Islam yang berdiri atas
prinsip-prinsip: Umatan Wahidatan (umat yang satu), Musawah (persmaan derajat,
dan kewajiban), Ukhuwah Islamiyah (persaudaraan Islam), Takaful ijt’ma (tanggung
jawab bersama).
5.      Dapat menyucikan diri dari kotoran dosa, memurnikan jiwa dan mengikis sifat bakhil
serta serakah. Dengan begitu akhirnya suasana ketenangan batin karena terbebas dari
tuntunan Allah SWT. Dan kewajiban kemasyarakatan akan selalu melingkupi hati.
6.      Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera di mana hubungan seseorang dengan
yang lainnya menjadi rukun, damai, dan harmonis yang akhirnya dapat menciptakan
situasi tentram, aman lahir batin. Dalam masyarakat seperti itu takkan ada lagi
kekhawatiran akan hidupnya kembali bahaya komunisme dan paham atau ajaran yang
sesat dan menyesatkan. Sebab dengan dimensi dan fungsi ganda zakat, persoalan
yang di hadapi kapitalisme dan sosialisme dengan sendirinya sudah terjawab.
Akhirnya sesuai dengan janji Allah Swa., akan terciptalah sebuah masyarakat
yang baldatun thoyibun wa Rabbun Ghafur.[12]
Dampak sosial yang lainnya dalam zakat atau dalam pendistribusiannya, yang
dilakukan harus mampu mengangkat dan meningkatkan taraf hidup umat Islam,
terutama penyandang masalah Sosial. BAZ ataupun LAZ yang ada harus memiliki
misi mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan keadilan sosial. Karena hal ini dapat
membantu pemerintah menagatasi kemiskinan jika dikelola dengan baik. Dan
pendayagunaan zakat bisa dilakukan dalam dua pola, dengan pola konsumtif dan
produktif. Program penyaluran hasil pengumpulan zakat secara konsumtif bisa
dilakukan untuk memenuhi kebuthuan dasar ekonomi para musatahik melalu
pemberian langsung, maupun melalui lembaga-lembaga yang mengelola fakir miskin,
panti asuhan, maupun tempat-tempat ibadah yang mendistribusikan zakat kepada
masyarakat. Sedangkan program penyaluran hasil pengumpulan akat secara produktif
dapat dilakukan melalui program bantuan pengusaha lemah, pendidikan gratis dalam
bentuk beasiswa, pelayanan kesehatan gratis.[13]
BAB III
PENUTUP
A.            Kesimpulan
1.      Zakat merupakan harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim apabila telah
mencapai nishab, dengan ukuran tertentu, dan diberikan kepada yang berhak
menerimanya, dengan tujuan untuk membersihkan harta dan diri kita.
2.      Kedudukan zakat adalah sebagai objek yang digunakan untuk membantu kaum
ashnaf selaku penerima dan juga kaum muzakki selaku pemberi zakat untuk
mensucikan harta dan dirinya. Kedudukan zakat juga sebagai pemopong ekonomi
bagi kesejahteraan rakyat apabila dikelola dengan baik.
3.      Implementasi sosial dari zakat dapat mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera
di mana hubungan seseorang dengan yang lainnya menjadi rukun, damai, dan
harmonis yang akhirnya dapat menciptakan situasi tentram, aman lahir batin.
B.            Saran
Banyak sekali karya-karya ilmiah yang membahas tentang zakat dengan tujuan
untuk mengajak umat muslim ssadar akan pentingnya berzakat, akan tetapi perlu
peran aksi secara nyata dari kaum pemuda untuk membangunkan masyarakat muslim
yang seharusnya telah wajib berzakat namun enggan untuk mengeluarkannya.
Keberadaan lembaga zakat seperti (LAZ) sudah sangat bagus. Walaupun demikian
kita selaku mahasiswa wajib untuk ku serta juga dalam menyadarkan mereka. Dengan
adanya makalah ini diharapkan sedikitnya mampu memberikan penyemangat
pengetahuan untuk ikut dan mengaplikasikannya. Serta diharapkan adanya penelitian
selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA
Hasbi Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad. 1998.Pedoman Zakat, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra
al-Jaziri, Abdurahman. 1990. Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-
Fikri,  Jilid 1.
Mufraini , M. Arief. 2006. ManajemenZakat. Jakarta: Kencana, 2006
Muhammad Azzam , Abdul Aziz. 2009.Fiqih Ibadah. Jakarta: Amzah
Soemitra, Andri. 2009. Bank dan Lembaga Keuangan Syariah. Jakarta:Kencana
Prenada Media Group.
Uhayly,Wahbah. 2005.Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

[1]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Semarang: PT. Pustaka


Rizki Putra), hlm: 83.
[2] Abdurahman al-Jaziri, Kitab ‘ala Mazahib al-Arba’ah, Beirut: Dar al-Fikri,1990, Jilid 1.
Hal. 590.
[3] M. Arief Mufraini, ManajemenZakat, (Jakarta: Kencana, 206), hlm: 45.
[4] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm: 84.
[5]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm: 89
[6] Hadits ini diriwayatkan oleh bukhari Muslim dan Abu Hurairah yang mengatakan bahwa
pada suatu hari Rasulullah saw pernah duduk dan didatangi oleh seseorang yang kemudian
berkata, “wahai Rasulullah, apakahIslam itu?” Rasulullah saw menjawab “Islam itu ialah
engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun,
engkau  mendirikan sholat fardu, menunaikan zakat, dan melaksanakan puasa di bulan
Ramadhan”. Dan ternyata seseorang itu adalah Jibril a.s.
[7] Diriwayatkan oleh al-jama’ah dari Ibn Abbas (lihat Nayl al-Wathar, IV)
[8]Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, hlm: 91.
[9] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqih Ibadah, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm: 93.
[10] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta:Kencana Prenada
Media Group, 2009),   Hal: 409.
[11] Wahbah Zuhayly, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005), hlm: 68.
[12] Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Hal: 412.
[13]Andri Soemitra, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Hal: 431.

Anda mungkin juga menyukai