Anda di halaman 1dari 21

PAPER

Pengaruh Penambahan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Terhadap Pertumbuhan Jamur


Tiram Putih (Pleurotus ostreatus)
Fitriah Nur Aini (1508 100 069)
Jurusan Biologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya
2013

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan eceng gondok (Eichhornia
crassipes) terhadap pertumbuhan jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Penelitian ini menggunakan
beberapa konsentrasi penambahan eceng gondok antara lain ; 0% (kontrol), 10%, 20%, 30%, 40% dan
50%. Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi pertumbuhan miselium, berat basah, jumlah
badan buah dan umur panen pertama jamur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan eceng
gondok berpengaruh nyata terhadap peningkatan pertumbuhan miselium (tahap F1, F2 dan F3) dan berat
basah jamur, tetapi tidak berpengaruh terhadap jumlah badan buah dan umur panen pertama jamur.
Perlakuan yang memberikan hasil paling baik adalah perlakuan E1 (10% eceng gondok) yang
mempunyai pertumbuhan miselium paling cepat dengan berat basah sebesar 79,40 gram.

Kata Kunci: Eichhornia crassipes, Pleurotus ostreatus

Abstract

The purpose of this research is to identify the effect of water hyacinth (Eichhornia crassipes)
addition on white oyster mushroom (Pleurotus ostreatus) growth. This research using a various
concentration of water hyacinth include 0%, 10%, 20%, 30%, 40% and 50%. All those treatments were
repeat in three replication. Several parameters were measured in this research including the mycelium
growth, wet weight, number of fruiting bodies and the age of first harvest. The results of this research
showed that the addition water hyacinth have significant effect on increasing mushroom mycelium growth
(F1, F2 and F3 stage) and wet weight. On the other hand, the treatments have no significant effect on the
number of fruiting bodies and the age of first harvest. The best result of this research was E1 treatments
(10% water hyacinth) that has the fastest growth of mycelium with wet weight 79,40 gram.

Keywords: Eichhornia crassipes, Pleurotus ostreatus

PENDAHULUAN bahan pangan, jamur tiram juga bermanfaat


Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) sebagai obat untuk menurunkan kadar kolesterol
adalah jamur kayu yang tumbuh berderet darah, mencegah tekanan darah tinggi,
menyamping pada batang kayu lapuk dan meningkatkan kadar gula darah, meningkatkan
memiliki tubuh buah yang tumbuh menyerupai daya tahan tubuh dan mencegah tumor atau
kulit kerang (tiram) (Djarijah dan Djarijah, kanker.
2001). Jamur tiram putih (P. ostreatus) Budidaya jamur tiram telah dilakukan di
merupakan salah satu bahan makanan non Indonesia baik secara tradisional maupun
kolesterol yang bergizi tinggi dan saat ini modern (Jusuf, 2010). Budidaya jamur tiram
banyak diminati oleh masyarakat dari berbagai putih tidak membutuhkan modal besar, karena
kelas (Jusuf, 2010). Kandungan gizi pada 100 salah satu media tumbuhnya berupa serbuk kayu
gram berat kering jamur tiram putih terdiri dari gergaji, yang merupakan limbah dari pabrik
karbohidrat 57,6-81,8 gram, protein 7,8-17,72 kayu yang tersedia berlimpah, murah, dan
gram, lemak 1-2,3 gram, serat kasar 5,6-8,7 mudah diperoleh. Jamur tiram ini dianggap
gram, Ca 21 mg, Fe 32 mg, thiamin 0,21 mg, sebagai komoditas pangan yang sehat, karena
riboflavin 7,09 gram, dan jumlah energi sebesar pada budidayanya hampir tanpa menggunakan
328-367 kal (Widyastuti dan Sri, 2004). pupuk buatan atau pestisida (Winarni dan Ucu,
Menurut Hedritomo et al. (2008), selain sebagai 2002). Jamur tiram putih dapat tumbuh pada
media yang mengandung nutrisi yang nitrogen merupakan unsur penting yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan dan produksinya menyusun protein. Selain itu, bekatul dan eceng
yaitu lignin, karbohidrat (selulosa dan glukosa), gondok juga merupakan sumber karbon yang
protein, nitrogen, serat, dan vitamin. Senyawa dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
ini dapat diperoleh dari serbuk kayu gergaji, perkembangan jamur untuk proses metabolisme
bekatul, jerami, sekam, tepung beras sel. Keseimbangan antara karbon dan nitrogen
(Yuniasmara et al., 1999) dan cangkang buah sangat mempengaruhi pertumbuhan dan
coklat (Senyah et al., 1989). perkembangan jamur. Rasio C/N yang rendah
Eceng gondok (Eichhornia crassipes) menjamin tingginya kandungan protein jamur.
merupakan tanaman gulma di wilayah perairan Berdasarkan latar belakang di atas,
yang hidup terapung pada air yang dalam, atau penelitian ini diharapkan dapat memperoleh
mengembangkan perakaran di dalam lumpur suatu media tanam dengan kombinasi
pada air yang dangkal. Eceng gondok penambahan eceng gondok yang efektif untuk
berkembang biak dengan sangat cepat, baik pertumbuhan jamur tiram putih (P. ostreatus).
secara vegetatif maupun generatif. Pengembangan yang dilakukan pada penelitian
Perkembangbiakan dengan cara vegetatif dapat ini adalah penambahan konsentrasi eceng
melipat ganda dua kali dalam waktu 7-10 hari gondok pada media tanam untuk jamur tiram
(Pasaribu dan Sahwalita, 2007). Menurut Brades putih yang digunakan diperbesar, yaitu sebesar
dan Febrina (2008), menyatakan bahwa 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% dari berat
pertumbuhan eceng gondok pada ekosistem air serbuk kayu gergaji.
dapat tumbuh dengan cepat (3% per hari). Eceng Penelitian bertujuan untuk mengetahui
gondok dalam 100% berat keringnya, memiliki pengaruh penambahan eceng gondok
kandungan hemiselulosa mencapai 30-55% (Eichhornia crassipes) terhadap pertumbuhan
(Nigam, 2002) dan selulosa 64,51% jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus).
(Kriswiyanti dan Endah, 2009). Ratri et al.
(2007) menambahkan bahwa hasil analisa kimia METODOLOGI
dari eceng gondok dalam keadaan segar terdiri Waktu dan Tempat Penelitian
dari bahan organik sebesar 36,59%, C organik Penelitian dilaksanakan pada bulan
21,23%, N total 0,28%, P total 0,0011% dan K September 2012 sampai dengan Februari 2013,
total 0,016% .Eceng gondok saat ini masih di Laboratorium Mikrobiologi dan Bioteknologi
dimanfaatkan sebagai briket, pupuk, kompos, Biologi ITS dan kumbung budidaya jamur tiram
pupuk cair, pakan ternak, kerajinan tangan, CV. Puri Kencana Surabaya.
bahan pembuat kertas dan bahan pembuat etanol Alat dan Bahan
(Kriswiyanti dan Endah, 2009). Kandungan Alat yang digunakan dalam melakukan
hemiselulosa dan selulosa yang cukup tinggi penelitian ini yaitu tabung reaksi, botol kaca,
serta kemampuan berkembang biak yang sangat termometer, higrometer, alat sterilisasi
cepat, adaptasinya yang tinggi terhadap autoklaf/drum, gunting, cawan Petri, beaker
lingkungan, sehingga mudah diperoleh glass, pisau, bunsen, pinset, spatula, botol
sepanjang tahun, membuat eceng gondok sprayer, corong, alat saring, enkas, ruang
berpotensi digunakan sebagai bahan tambahan inkubasi, kertas milimeter, Erlenmeyer,
pada media tanam untuk budidaya jamur tiram penggaris, baskom, timbangan analitik, mesin
putih (P. ostreatus). penggiling, sendok, sekop, selang air, sumbat
Penelitian mengenai media tanam untuk kapas, masker dan rak penyimpanan.
budidaya jamur tiram sampai saat ini terus Bahan-bahan yang digunakan dalam
dikembangkan. Ratri et al. (2007) penelitian ini adalah bibit jamur tiram putih (P.
menambahkan bekatul dan eceng gondok pada ostreatus) yang diperoleh dari kumbung jamur
media tanam jamur tiram putih dengan masing- tiram jurusan Biologi ITS, serbuk kayu gergaji
masing konsentrasi penambahan sebesar 0%, sengon, kertas koran, tanaman eceng gondok (E.
10% dan 20% dari berat serbuk kayu gergaji. crassipes), tepung jagung, bekatul, CaCO3, gips,
Hasil penelitiannya menyatakan bahwa aluminium foil, plastik wrap, kertas pH, gula,
kandungan protein dan produksi pada jamur air, alkohol 70%, karet gelang, plastik PP,
tiram yang paling tinggi dihasilkan pada media kentang, dextrose, agar, chloramphenicol dan
tanam dengan penambahan bekatul 20% dan lembar kertas pengamatan.
eceng gondok 10%. Hal ini dikarenakan
penambahan bekatul dan eceng gondok dapat
meningkatkan kandungan nitrogen, dimana
Cara Kerja berhasil, jika di sekitar eksplan tumbuh
A. Pembuatan Tahap F0 (Kultur Murni) miselium jamur berwarna putih secara merata
1. Pembuatan media Potato Dextrose Agar – pada media. Kultur F0 dikategorikan tidak
Chloramphenicol (PDA-C) berhasil, jika miselium tidak tumbuh atau
Kentang sebanyak 250 gram dikupas, tumbuh miselium di sekitar media tetapi
dicuci dan dipotong dadu dengan ukuran 1x1 terkontaminasi dengan mikroorganisme lain
cm. Potongan kentang direbus dengan aquadest (jamur atau bakteri). Kultur F0 atau biakan
sebanyak 1000 ml selama 2 jam dan diusahakan murni yang berhasil, digunakan sebagai bibit
volumenya tetap. Setelah 2 jam, ekstrak kentang induk (Yuniasmara et al., 1999).
disaring dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer
B. Pembuatan Tahap F1
1L. Selanjutnya, ekstrak kentang ditambahkan
1. Persiapan Bahan
20 gram dextrose, 20 gram agar dan 100 mg
Eceng gondok yang diperoleh dari danau
chloramphenicol. Media cair dihomogenkan dan
dibersihkan secara manual untuk menghilangkan
dipanaskan hingga mendidih. Media
bagian akar dan kotoran yang menempel.
dimasukkan ke dalam tabung reaksi sebanyak +
Tangkai daun eceng gondok dipisahkan dari
10 ml dan ditutup rapat menggunakan sumbat
bagian tanaman yang lain dan dikeringkan di
kapas. Kemudian media dalam tabung reaksi
bawah sinar matahari. Eceng gondok dipotong
disterilisasi menggunakan autoklaf pada suhu
dan selanjutnya digiling dengan mesin
121oC dan tekanan 1,5 atm selama 15 menit.
penggiling (Ratri et al., 2007). Serbuk eceng
Setelah sterilisasi selesai, tabung reaksi diambil
gondok, serbuk kayu gergaji dan bahan
dan dimiringkan. Tabung reaksi dibiarkan
tambahan lainnya ditimbang sesuai dengan
sampai media menjadi beku dan dingin.
komposisi yang telah ditentukan dan selanjutnya
2. Pemilihan Induk Jamur
dilakukan pencampuran media tanam (Ningsih,
Pemilihan induk jamur bertujuan untuk
2008).
mendapatkan bibit jamur yang berkualitas.
2. Pencampuran Media
Induk jamur yang digunakan untuk membuat
Media tanam terdiri dari serbuk kayu
kultur F0 harus bersifat unggul, yang memenuhi
gergaji (komposisinya sebesar 1000 gram, 900
syarat yaitu jamur berukuran besar, bulat teratur,
gram, 800 gram, 700 gram, 600 gram dan 500
tebal, batangnya bulat kokoh, jamur tidak
gram), eceng gondok (komposisinya sebesar 100
terserang hama dan penyakit serta tidak
gram, 200 gram, 300 gram, 400 gram, dan 500
mengalami kelainan fisik seperti keriting atau
gram dari berat serbuk kayu gergaji), 200 gram
mekar tidak sempurna (Yuniasmara et al.,
bekatul, 50 gram tepung jagung, 10 gram
1999).
CaCO3, dan 10 gram gips dicampur secara
3. Isolasi bibit F0
merata. Kemudian ditambahkan air gula
Proses inokulasi harus dilakukan secara
(glukosa) sampai diperoleh kadar air sebesar 60-
aseptis dan cepat. Alat dan bahan yang
70%. Tingkat keasaman adonan media tanam
diperlukan disiapkan. Ruang inokulasi (enkas)
diatur hingga mencapai pH antara 6-7. Alat
dibersihkan dan disterilkan dengan alkohol 70%.
untuk mengukur kadar air dan pH media tanam
Bunsen dihidupkan dalam enkas selama 30-60
menggunakan soil tester. Pengukuran kadar air
menit sebelum digunakan untuk inokulasi. Alat-
juga dapat dilakukan dengan cara menggenggam
alat untuk inokulasi disterilkan dengan
adonan media tanam. Jika genggaman tangan
menggunakan alkohol dan dibakar di atas api
mengeluarkan air, berarti kandungan air dalam
spiritus. Inokulasi dilakukan dengan cara
adonan media terlalu tinggi. Adonan media
memotong bakal induk (eksplan) pada bagian
tanam yang baik yaitu jika genggaman tidak
dalam jamur menggunakan pisau steril,
mengeluarkan air dan mudah pecah. Bahan-
selanjutnya diambil dengan pinset steril dengan
bahan yang telah tercampur rata selanjutnya
ukuran + 3 mm2. Eksplan direndam dalam
dilakukan pengomposan.
alkohol 70% selama 1-3 menit dan dicuci
3. Pengomposan
dengan aquadest steril. Kemudian eksplan
Pengomposan dilakukan dengan cara
diinokulasikan ke dalam media PDA-C miring
semua bahan yang telah dicampur ditutup secara
dengan cara aseptis, lalu ditutup rapat
rapat menggunakan plastik, pengomposan
menggunakan sumbat kapas dan dilapisi
dilakukan selama 1-2 hari. Pengomposan
aluminium foil. Media yang telah diinokulasi
bertujuan untuk mengurai senyawa-senyawa
eksplan, diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3
kompleks yang terdapat dalam bahan dengan
hari atau sampai seluruh permukaan media
bantuan mikroba, sehingga diperoleh senyawa-
ditutupi miselium. Kultur F0 dikategorikan
senyawa yang lebih sederhana. Senyawa- kertas milimeter untuk pengamatan panjang
senyawa sederhana akan lebih mudah dicerna miselium (Yanuati, 2007). Suhu dan
oleh jamur, sehingga memungkinkan kelembaban pada ruangan diatur dengan cara
pertumbuhan jamur akan lebih baik (Mufarrihah, memberikan sirkulasi udara atau menyiram
2009). lingkungan dengan air bila suhu terlalu tinggi.
4. Pembungkusan Media Pada saat inkubasi juga dilakukan penyortiran
Pembungkusan dilakukan dengan cara untuk media yang terinfeksi jamur lain maupun
memasukkan media ke dalam botol kaca mikroorganisme pengganggu agar tidak menular
sebanyak 2/3 bagian dari botol tanpa dipadatkan. ke media tanam lain (Mufarrihah, 2009).
Selanjutnya botol atau wadah ditutup dengan
C. Pembuatan Tahap F2
kapas atau kertas koran sampai rapat. Sedangkan
Tahap F2 merupakan tahap perbanyakan
media tanam untuk tahap F3 (tahap produksi)
dari kultur F1. Tahap F2 diperoleh dari kultur F1
dimasukkan ke dalam kantong plastik.
yang diinokulasikan pada media tanam yang
5. Sterilisasi Media
baru. Komposisi media tanam yang digunakan
Sterilisasi media menggunakan ruang
untuk tahap F2 sama dengan komposisi media
sterilisasi (drum) pada suhu 100°-110°C selama
tanam untuk tahap F1. Inokulasi dilakukan
5-6 jam dengan menggunakan uap panas atau
secara aseptis pada ruang inokulasi (enkas) yang
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama
disterilkan dengan menggunakan alkohol 70%.
45 menit. Sterilisasi bertujuan untuk
Kultur F1 dalam botol terlebih dahulu
menonaktifkan jamur infektan ataupun
dihancurkan dengan menggunakan spatula steril.
mikroorganisme pengganggu (Mufarrihah,
Kultur F1 diinokulasikan pada media tanam baru.
2009).
Bibit yang dimasukkan sebanyak ± 15 gram.
6. Pendinginan
Setelah bibit dimasukkan, botol ditutup dengan
Media yang telah disterilkan dibiarkan
menggunakan kertas koran (yang telah
dingin pada ruang sterilisasi selama ± 24 jam
dilewatkan di atas api bunsen) dan diikat dengan
sampai suhu dalam ruangan tersebut 35°-40°C
karet gelang (Yanuati, 2007). Selanjutnya,
(Yuniasmara et al., 1999). Media tanam
media tanam yang telah diinokulasikan kultur F 1
kemudian dikeluarkan dan dibiarkan hingga
diinkubasi dalam ruang inkubasi dengan suhu
tidak panas lagi dalam ruang inokulasi.
berkisar antara 22o-28oC dan kelembaban 60-
Pendinginan dilakukan dengan tujuan agar bibit
70%. Inkubasi dilakukan kira-kira 2-4 minggu
jamur yang ditanam tidak mati (Mufarrihah,
yang ditandai dengan adanya miselium yang
2009).
tampak putih merata menyelimuti seluruh
7. Inokulasi
permukaan media tanam (Yuniasmara et al.,
Alat dan bahan yang diperlukan disiapkan
1999).
dan disterilkan dengan menggunakan alkohol
dan dilakukan pembakaran dengan api bunsen. D. Pembuatan Tahap F3 (Tahap Produksi)
Inokulasi dilakukan pada ruang inokulasi Tahap F3 merupakan tahap produksi dari
(enkas) yang disterilkan dengan menggunakan jamur tiram putih. Tahap F3 diperoleh dari kultur
alkohol 70%. Sebagian kultur F0 diambil dalam F2 yang diinokulasikan pada media tanam di
tabung reaksi menggunakan spatula secara dalam baglog. Komposisi media tanam yang
aseptis di atas api bunsen dan diinokulasikan ke digunakan untuk tahap F3 sama dengan
dalam media tanam F 1. Kemudian botol ditutup komposisi media tanam untuk tahap F 1 dan F2.
dengan kertas koran (yang telah dilewatkan di Inokulasi dilakukan secara aseptis dan cepat
atas api bunsen) dan diikat karet gelang. pada ruang inokulasi (enkas) yang steril. Kultur
Selanjutnya kultur F1 diinkubasi dalam ruang F2 dalam botol terlebih dahulu dihancurkan
inkubasi. dengan menggunakan spatula steril. Kultur F 2
8. Inkubasi diinokulasikan ke dalam media tanam F3 melalui
Inkubasi dilakukan pada suhu berkisar cincin paralon dengan membuka kertas koran
antara 22o-28oC dengan kelembaban 60-70%. dan plastik penutup terlebih dahulu pada baglog.
Inkubasi dilakukan kira-kira 2-4 minggu yang Kultur F2 yang dimasukkan sebanyak ± 15 gram.
ditandai dengan adanya miselium yang tampak Setelah kultur F2 diinokulasikan, baglog ditutup
putih merata menyelimuti seluruh permukaan dengan menggunakan kertas koran (yang telah
media tanam (Yuniasmara et al., 1999). dilewatkan di atas api bunsen) dan diikat dengan
Keberhasilan pertumbuhan miselium jamur karet gelang (Yanuati, 2007). Baglog diinkubasi
dapat diketahui ± 1 minggu setelah inokulasi. dalam ruang inkubasi dengan suhu berkisar
Pada setiap media tanam akan ditempel dengan antara 22o-28oC dan kelembaban 60-70%.
Inkubasi dilakukan kira-kira 2-4 minggu yang setiap perlakuan. Berat basah jamur dinyatakan
ditandai dengan adanya miselium yang tampak dengan satuan gram. Pengamatan ini hanya
putih merata menyelimuti seluruh permukaan dilakukan 1 x periode panen.
media tanam (Yuniasmara et al., 1999). c. Jumlah badan buah (buah)
Kelembaban yang digunakan untuk tahap Jumlah badan buah dihitung dengan cara
pembentukan badan buah berkisar antara 80- menghitung jumlah badan buah jamur setelah
90% dan suhu sebesar 16o-22oC. Untuk menjaga panen pada setiap perlakuan. Baik badan buah
kelembaban tersebut dilakukan penyiraman besar, sedang dan kecil (Mufarrihah, 2009).
yaitu dengan menyiram lantai kumbung dengan d. Umur panen pertama (hsi)
menggunakan air bersih. Media tanam yang Umur panen pertama dihitung sejak saat
sudah dipenuhi dengan miselium dibuka dengan dilakukan inokulasi sampai panen pertama.
cara membuka kertas penutup pada cincin Umur panen pertama dinyatakan dengan hari
paralon. Badan buah pada jamur yang telah setelah inokulasi (hsi).
muncul akan dilakukan pemanenan setelah
Rancangan Penelitian
pertumbuhan jamur mencapai optimal yaitu
Rancangan penelitian yang digunakan
cukup besar tetapi belum mekar sepenuhnya.
adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang
Pemanenan dilakukan hanya satu kali panen
terdiri dari enam perlakuan. Setiap perlakuan
pada umur 30-90 hari setelah inokulasi.
terdiri dari tiga kali ulangan, yang mana setiap
Pemanenan dilakukan dengan cara mencabut
ulangan terdiri dari satu botol/baglog bibit jamur
seluruh rumpun jamur yang ada hingga akar-
tiram. Formulasi media tanam yang digunakan
akarnya. Adanya bagian jamur yang tertinggal
pada setiap perlakuan dapat dilihat pada tabel
dapat membusuk sehingga dapat mengakibatkan
berikut ini:
kerusakan media bahkan dapat merusak Tabel 1. Formulasi media tanam yang digunakan
pertumbuhan jamur selanjutnya. Hasil panen dalam setiap perlakuan.
selanjutnya dibersihkan dan bagian akar Formulasi media tanam per 1000 gram
dipotong, selanjutnya dilakukan penimbangan Perlakuan Serbuk kayu
Eceng gondok (gram)
untuk mengetahui berat basah tubuh buah jamur gergaji (gram)
E0 1000 -
tiram. E1 900 100
Parameter pengamatan yang digunakan E2 800 200
dalam penelitian ini meliputi : E3 700 300
a. Pertumbuhan miselium jamur (cm) E4 600 400
E5 500 500
Pengamatan terhadap pertumbuhan
Keterangan :
miselium dilakukan 4-7 hari setelah inokulasi
(hsi) dengan interval 3 hari. Pertumbuhan - E1 : Penambahan eceng gondok 10% dari berat
serbuk kayu gergaji.
miselium diukur mulai dari bagian cincin paling
- E2 : Penambahan eceng gondok 20% dari berat
bawah atau bagian paling atas dari media tanam serbuk kayu gergaji.
hingga batas tumbuh miselium pada bagian - E3 : Penambahan eceng gondok 30% dari berat
bawah media. Pertumbuhan miselium jamur serbuk kayu gergaji.
diukur dengan menggunakan kertas milimeter - E4 : Penambahan eceng gondok 40% dari berat
yang dipotong dengan lebar ± 1 cm dan serbuk kayu gergaji.
ditempelkan secara vertikal pada setiap media - E5 : Penambahan eceng gondok 50% dari berat
tanam. Setiap media tanam ditempel 3 buah serbuk kayu gergaji.
kertas milimeter pada 3 titik yang berbeda agar - Eo : Penambahan eceng gondok 0% atau 100%
data yang diperoleh benar-benar mewakili serbuk kayu gergaji yang digunakan sebagai
kontrol.
pertumbuhan miselium pada media tanam
tersebut. Data yang digunakan merupakan hasil Analisa Data
rata-rata dari pengukuran pada ketiga kertas Data yang diperoleh akan dianalisa dengan
milimeter yang terdapat pada setiap media analisa ragam (ANOVA) one way dengan
tanam. Pengamatan pertumbuhan miselium tingkat kepercayaan 95%. Apabila terdapat
dilakukan sampai media penuh ditumbuhi pengaruh pada perlakuan, maka dilanjutkan
miselium berwarna putih yang merata hingga dengan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT)
bagian dasar dari media tanam tersebut dengan taraf kesalahan 5%.
(Yanuati, 2007).
b. Berat basah jamur tiram (gram)
Berat basah jamur diukur dengan cara
menimbang hasil dari panen pertama jamur pada
PEMBAHASAN media untuk memacu pertumbuhan dan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan jamur untuk membentuk tubuh
pengaruh penambahan eceng gondok buah (Yanuati, 2007). Selanjutnya jamur akan
(Eichhornia crassipes) terhadap pertumbuhan memasuki fase perkembangbiakan generatif
jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus). Media yaitu terjadinya fusi atau penggabungan dua
tanam yang digunakan dalam penelitian ini miselium primer dan membentuk miselium
adalah untuk tahap F0 menggunakan media sekunder yang bersifat diploid (2n) (Muliani,
PDA-C sedangkan untuk tahap F1, F2 dan F3 2000).
menggunakan media tanam dengan komposisi Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
yang terdiri dari serbuk kayu gergaji sengon, miselium jamur tiram putih (P. ostreatus) mulai
bekatul, tepung jagung, gipsum, kapur, larutan tumbuh pada titik awal inokulasi pada media
gula dan eceng gondok dengan variasi PDA-C setelah 3 hari inokulasi, kemudian
konsentrasi yang telah ditentukan. Konsentrasi media akan dipenuhi oleh miselium berwarna
penambahan eceng gondok yang digunakan putih kira-kira setelah 2 minggu. Miselium
adalah 0%, 10%, 20%, 30%, 40% dan 50% dari tampak berwarna putih kapas, padat, tumbuh
berat serbuk kayu gergaji sengon. Penambahan melekat dan sukar dilepaskan dari media tanam.
eceng gondok (E. crassipes) bertujuan sebagai Khalil (2010) menyatakan bahwa jamur tiram
bahan substitusi dari serbuk kayu gergaji sengon putih (P. ostreatus) dapat tumbuh optimum pada
yang merupakan sumber bahan organik media PDA dalam suhu ruang.
(selulosa, hemiselulosa dan lignin) untuk Pertumbuhan miselium jamur tiram putih
meningkatkan kandungan nitrogen dan karbon (P. ostreatus) pada media agar, bersifat rhizofik
yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan sampai linier, berserabut seperti akar yang
perkembangan jamur untuk proses metabolisme menyebar mulai dari titik awal inokulasi menuju
sel. pinggiran media, lama-kelamaan miselium akan
A. Pertumbuhan Miselium Tahap F0 (Kultur membentuk kapas tebal. Miselium yang masih
Murni) muda berwarna kekuningan sampai orange yang
Tahap F0 merupakan kultur murni yang menurut Muliani (2000) merupakan hasil
akan diinokulasikan pada media tanam baru. metabolit yang bersifat toksik bagi nematoda.
Kultur murni (F0) didapatkan dengan cara Miselium jamur tiram putih (P. ostreatus)
menginokulasikan bagian dalam induk jamur tumbuh dengan baik pada media PDA-C,
pada media PDA-C dalam tabung reaksi dan dikarenakan media mengandung nutrisi yang
dilakukan proses inkubasi sampai media dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur. Media
dipenuhi dengan miselium berwarna putih. PDA memiliki kandungan nutrisi yang berupa
Inkubasi dilakukan sampai miselium memenuhi karbohidrat, air, dan protein yang berasal dari
media tanam (selama 14 hari). Bagian jamur substrat kentang dan glukosa (Wartaka, 2006).
yang diinokulasikan berupa lamella (gills).
Lamella terletak tepat di bagian bawah tudung
jamur (pileus), bentuknya berlapis-lapis seperti
insang, rapat, lunak dan berwarna putih (Dewi,
2009). Lamella diselubungi oleh lapisan Gambar 1. Pertumbuhan miselium jamur tiram putih
hymenium, pada lapisan ini terdapat kumpulan (P. ostreatus) pada media PDA-C, umur 14 hari.
dari basidiospora. Basidiospora terletak secara Jamur tiram putih (P. ostreatus) merupakan
eksternal pada sel yang berbentuk gada (basidia) organisme yang bersifat saprofit, yaitu
(Yanuati, 2007). Ketika basidiospora ini jatuh menggunakan sumber karbon yang berasal dari
pada tempat yang sesuai, spora akan keluar dan bahan organik untuk diuraikan menjadi senyawa
berkecambah membentuk hifa yang berupa karbon sederhana kemudian diserap masuk ke
benang-benang halus, yang dinamakan dalam miselium jamur. Kemampuan
miselium. Miselium ini disebut miselium primer menguraikan senyawa organik ini menyebabkan
yang bersifat haploid (n). Miselium akan jamur tiram putih (P. ostreatus) dapat tumbuh
tumbuh menyebar seperti benang-benang halus pada berbagai bahan yang mengandung
menembus media yang ditumbuhinya (Muliani, karbohidrat atau senyawa karbon organik
2000). Miselium merupakan fase pertumbuhan lainnya (Muliani, 2000). Sumber karbon yang
vegetatif dari jamur, yang terdiri dari hifa yang dapat diserap masuk ke dalam sel adalah
saling membelit membentuk massa benang yang senyawa-senyawa yang bersifat larut seperti
cukup besar. Miselium berfungsi untuk monosakarida atau senyawa sejenis gula, asam
menyerap air, nutrisi dan bahan organik dari organik, asam amino dan senyawa sederhana
lain. Karbohidrat pada media PDA yang berasal tiram putih (P. ostreatus), yang berfungsi
dari kentang, digunakan sebagai sumber karbon sebagai sumber bahan organik, berupa
yang digunakan oleh jamur sebagai penyusun karbohidrat, lignin, dan serat. Bekatul berfungsi
struktural sel dan sumber energi. Protein pada sebagai sumber vitamin terutama vitamin B
media PDA digunakan sebagai sumber asam kompleks yang sangat berguna untuk
amino yang mengandung unsur nitrogen yang pertumbuhan dan perkembangan miselium serta
berfungsi untuk membantu proses metabolisme berfungsi sebagai pemicu pertumbuhan tubuh
pada jamur. Sedangkan air yang terdapat di buah jamur. Gips digunakan sebagai sumber
dalam media dibutuhkan untuk membantu kalsium dan sebagai bahan untuk memperkokoh
kelancaran transportasi atau aliran partikel kimia media (Hidayat, 2011). Kapur digunakan
antar sel yang menjamin pertumbuhan dan sebagai pengatur pH (keasaman) media tanam
perkembangan miselium jamur (Suharnowo et dan sebagai sumber kalsium (Ca) yang
al., 2012). dibutuhkan oleh jamur dalam pertumbuhannya
Faktor penting untuk pertumbuhan (Mufarrihah, 2009). Larutan gula berfungsi
miselium jamur pada tahap F0 yaitu viabilitas sebagai bahan pelarut sekaligus untuk
kultur jamur dan kontaminan (organisme yang meningkatkan sumber karbon dalam media
tidak dikehendaki). Viabilitas kultur jamur tanam (Susiana, 2010).
berkaitan dengan kemampuan jamur untuk tetap Kultur F0 diinokulasikan ke dalam media
hidup (daya hidup), hal ini dilakukan dengan tanam F1 yang selanjutnya dilakukan proses
cara mengkulturkan kultur F0 secara kontinu inkubasi (selama 14 hari). Pengamatan
pada media PDA yang baru. Kontaminan yang dilakukan dengan interval 3 hari. Pengamatan
biasanya menyerang media agar dapat berupa terhadap pertumbuhan miselium jamur tahap F 1
kapang, bakteri atau khamir (Muliani, 2000). dilakukan dengan mengukur pertumbuhan
Jamur tiram putih (P. ostreatus) memiliki miselium mulai dari media tanam paling atas
kemampuan menghasilkan beberapa enzim (titik awal inokulasi) sampai pada bagian bawah
ekstraseluler yaitu amilase, pektinase, selulase, media tanam hingga memenuhi keseluruhan
xilanase, lakase (polifenol oksidase), mangan media tanam yang mempunyai ketinggian 1,8
peroksidase (Mn-P) dan lignin peroksidase (Li- cm. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
P) dan protease (Sugianto, 2007; Sigit, 2008; media tanam mulai ditumbuhi miselium pada
Anindyawati, 2009; Rashad et al., 2009). Enzim hari ke-4 setelah inokulasi. Pertumbuhan
ekstraseluler tersebut berperan dalam miselium dimulai pada titik awal inokulasi
mendegradasi nutrisi yang terdapat di kemudian menyebar ke arah samping, bergerak
sekitarnya, sehingga memungkinkan nutrisi ke bawah media tanam dan selanjutnya
tersebut untuk memasuki sel. Enzim tersebut menyelimuti seluruh media tanam dalam botol.
akan membantu proses metabolisme jamur, yang Pertumbuhan miselium ke arah samping
akan dihasilkan sesuai dengan substrat yang merupakan fase adaptasi miselium dari media
tersedia. Selama proses pertumbuhan dan agar ke media tanam. Selanjutnya, miselium
perkembangan miselium dalam media PDA, jamur tiram mengalami fase logaritmik, yaitu
jamur mengalami aktivitas biokimia dengan fase dimana miselium telah menyebar ke arah
mengeluarkan enzim yang sesuai dengan bawah media tanam. Fase logaritmik merupakan
substratnya, yaitu amilase dan protease, yang fase pertumbuhan yang sangat cepat (Muliani,
akan mendegradasikan nutrisi karbohidrat dan 2000). Kultur F1 yang baik, merupakan kultur
protein yang terkandung di dalam media yang akan diinokulasikan dalam media tanam
(Rashad et al., 2009). baru (F2). Fase adaptasi tidak didapatkan dalam
pengamatan, hal ini dimungkinkan karena
B. Pertumbuhan Miselium Tahap F1
interval pengamatan yang cukup lama yaitu 3
Tahap F1 merupakan tahap perbanyakan
hari.
miselium jamur dari kultur murni (F 0). Tahap F1
Selama pertumbuhan miselium, peralihan
hampir sama dengan tahap F0 (kultur murni),
media dari media PDA ke media tanam tahap F1,
tetapi media tanam yang digunakan berbeda.
terjadi proses aktivasi enzim yang dilakukan
Media tanam yang digunakan untuk tahap F 1
oleh jamur. Hal ini dikarenakan kandungan
terdiri dari serbuk kayu gergaji sengon, bekatul,
nutrisi pada media PDA berbeda dengan media
tepung jagung, gipsum, kapur, larutan gula dan
tanam F1. Dimana terjadi perubahan biokimia
eceng gondok dengan variasi konsentrasi yang
pada enzim ekstraseluler yang diproduksi jamur
telah ditentukan. Serbuk kayu gergaji sengon
untuk membantu proses degradasi nutrisi dalam
merupakan komposisi utama media tanam jamur
media, yang mengakibatkan adanya perubahan
karakter warna, bentuk maupun senyawa kimia Tabel 2. Rata-rata pertumbuhan miselium jamur
yang terkandung dalam media tanam. Media tiram putih (P. ostreatus) pada kultur F1 dengan uji
tanam yang semula berwarna coklat tua, setelah DMRT 5%
ditumbuhi miselium lama kelamaan akan Waktu inkubasi
berubah warna menjadi coklat muda. Hal Perlakuan
1 HSI 4 HIS 7 HSI 10 HSI
tersebut menunjukkan terjadinya degradasi E0 0a 0,44 bc 0,92 ab 1,80 a
komponen serat, karena jamur mampu E1 0a 0,50 c 1,00 b 1,80 a
memproduksi enzim ekstraseluler yang dapat E2 0a 0,37 ab 0,90 ab 1,80 a
menguraikan bahan organik lignoselulosa E3 0a 0,32 ab 0,84 ab 1,80 a
E4 0a 0,34 ab 0,84 ab 1,80 a
(selulosa, hemiselulosa dan lignin) di sekitar E5 0a 0,31 a 0,79 a 1,80 a
substrat untuk memperoleh sumber energi bagi Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang
sel. sama pada kolom yang sama, menunjukkan tidak
berbeda nyata pada uji DMRT 5 %.
a b c
Hasil uji lanjut dengan DMRT 5% (Tabel
2) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
antar perlakuan terhadap pertumbuhan miselium
d e f jamur tiram putih pada kultur F1 dalam semua
waktu inkubasi. Perlakuan dengan pertumbuhan
miselium paling tinggi pada 4 dan 7 HSI adalah
perlakuan E1 (media tanam dengan penambahan
eceng gondok 10%) yaitu 0,50 cm dan 1,00 cm.
Gambar 2. Media tanam pada kultur F1 yang telah
Sedangkan perlakuan dengan pertumbuhan
dipenuhi miselium jamur tiram putih (P. ostreatus).
(a) E0 = Kontrol; (b) E1 = Eceng gondok 10%; (c)
miselium yang lambat pada 4 dan 7 HSI adalah
E2 = Eceng gondok 20%; (d) E3 = Eceng gondok perlakuan E5 (media tanam dengan penambahan
30%; (e) E4 = Eceng gondok 40% dan (f) E5 = eceng gondok 50%) yaitu 0,31 cm dan 0,79 cm.
Eceng gondok 50% pada umur 10 HSI. Perlakuan E1 (media tanam dengan
penambahan eceng gondok 10%) mempunyai
pertumbuhan miselium paling cepat
dibandingkan perlakuan lainnya pada waktu
inkubasi 4 HSI dan 7 HSI. Pertumbuhan
miselium pada perlakuan E1 tidak berbeda nyata
dengan perlakuan E0 (kontrol). Hal ini
menunjukkan bahwa kebutuhan nutrisi yang
dibutuhkan oleh jamur tiram putih (P. ostreatus)
untuk pertumbuhan miselium cukup terpenuhi
pada media tanam dengan penambahan eceng
Gambar 3. Rata-rata pertumbuhan miselium jamur gondok 10%. Pertumbuhan miselium jamur
tiram putih (P. ostreatus) pada kultur F1 lebih baik dikarenakan kandungan nutrisi dapat
diserap secara baik oleh miselium. Selain itu
Rata-rata pertumbuhan miselium jamur
media tanam telah terdekomposisi secara
tiram putih pada kultur F1 (Gambar 3)
merata, sehingga mempengaruhi pertumbuhan
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan pada
miselium menjadi lebih cepat.
setiap perlakuan. Pertumbuhan miselium pada
Perlakuan E2 dan E3 (media tanam dengan
semua perlakuan membutuhkan waktu inkubasi
penambahan eceng gondok 20% dan 30%)
selama 10 HSI hingga miselium menyelimuti
mempunyai pertumbuhan miselium lebih lambat
keseluruhan media tanam. Hasil analisis statistik
dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan E0
menunjukkan bahwa perlakuan penambahan
(kontrol).
eceng gondok pada media tanam kultur F1
Sedangkan perlakuan E4 (media tanam
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
dengan penambahan eceng gondok 40%)
miselium pada 4 HSI dan 7 HSI, sedangkan
mempunyai pertumbuhan miselium lebih lambat
pada 1 HSI dan 10 HSI tidak berpengaruh. Hasil
dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan E0
uji lanjut dengan DMRT 5% dapat dilihat pada
(kontrol). Hal ini menunjukkan bahwa
Tabel 2.
kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan oleh jamur
tiram putih (P. ostreatus) untuk pertumbuhan
miselium cukup terpenuhi pada media tanam
tanpa penambahan eceng gondok. Media tanam Pengamatan dilakukan dengan interval 3 hari.
tanpa penambahan eceng gondok dapat Pengamatan terhadap pertumbuhan miselium
memenuhi kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan jamur dilakukan dengan mengukur pertumbuhan
jamur tiram putih (P. ostreatus) yang hampir miselium mulai dari media tanam paling atas
sama dengan media tanam dengan penambahan (titik awal inokulasi) sampai pada bagian bawah
eceng gondok lebih dari 20%. media tanam hingga memenuhi keseluruhan
Perlakuan E5 (media tanam dengan media tanam yang mempunyai ketinggian 3 cm.
penambahan eceng gondok 50%) mempunyai Hasil pengamatan menunjukkan bahwa
pertumbuhan miselium yang paling lambat pertumbuhan miselium dimulai pada titik awal
dibandingkan perlakuan lainnya dan berbeda inokulasi kemudian menyebar ke arah samping,
nyata dengan perlakuan E0 (kontrol) pada 4 bergerak ke bawah media tanam dan selanjutnya
HSI. menyelimuti seluruh media tanam dalam botol.
Laju pertumbuhan miselium pada jamur Pertumbuhan miselium ini berawal dari fase
tiram putih (P. ostreatus) dipengaruhi oleh adaptasi yang dilanjutkan dengan fase
kandungan nutrisi yang tersedia pada media logaritmik (Muliani, 2000). Lamanya fase
tanam yang digunakan. Nutrisi merupakan adaptasi dan fase logaritmik pada masing-
faktor penentu dalam pertumbuhan jamur yang masing perlakuan tidak sama. Miselium jamur
diperlukan untuk berbagai proses metabolisme tiram putih tampak berwarna putih, tersusun
sel dalam rangka menghasilkan enerti tinggi rapat dan kompak. Kultur F2 yang baik,
ATP untu pertumbuhannya. Jamur tiram putih merupakan kultur yang akan diinokulasikan
(P. ostreatus) memerlukan nutrisi yang pada media tanam baru (F3). Selama
mengandung sumber karbon, nitrogen, mineral pengamatan, tidak didapatkan fase adaptasi, hal
dan vitamin. Pertumbuhan miselium yang baik ini dimungkinkan karena interval pengamatan
(cepat tumbuh) disebabkan oleh adanya media yang cukup lama yaitu 3 hari. Pada awalnya
tumbuh jamur yang terdekomposisi secara cepat media tanam berwarna coklat tua, setelah
dan merata, sehingga unsur-unsur hara yang ditumbuhi oleh miselium berubah warna
terdapat pada media, seperti C, N, P, dan K menjadi coklat muda. Hal ini menunjukkan
dapat diserap oleh jamur dengan baik. Unsur- terjadinya proses degradasi substrat oleh enzim
unsur hara yang cepat diserap oleh jamur akan ekstraseluler yang dieksresikan oleh miselium
menyebabkan miselium cepat tumbuh dan jamur.
berkembang (Yuniasmara et al., 1999;
Mufarrihah, 2009) a b c
Pertumbuhan miselium jamur pada tahap F1
dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik, kimia
dan biologi. Faktor tersebut meliputi suhu,
d e f
kelembaban, kandungan air, ukuran partikel, pH,
kadar O2 dan CO2. Suhu dan kelembaban yang
dibutuhkan pada ruang inkubasi selama
pertumbuhan miselium jamur yaitu 22o-28oC
dan 60-70%. Faktor kandungan air, ukuran Gambar 4. Media tanam pada kultur F2 yang telah
dipenuhi miselium jamur tiram putih (P. ostreatus).
partikel dan pH pada media tanam yang
(a) E0 = Kontrol; (b) E1 = Eceng gondok 10%; (c)
digunakan diatur selama proses pembuatan E2 = Eeceng gondok 20%; (d) E3 = Eceng gondok
media. Jamur tiram putih cukup toleran terhadap 30%; (e) E4 = Eceng gondok 40% dan (f) E5 =
lingkungan CO2 yang tinggi yang mendukung Eceng gondok 50% pada umur 16 HSI
selama pertumbuhan miselium. Selama
penelitian pengaturan kadar CO2 selama
penelitian hanya dilakukan dengan menutup
rapat ventilasi dalam runag inkubasi.

C. Pertumbuhan Miselium Tahap F2


Tahap F2 merupakan tahap pengembangan
atau perbanyakan miselium jamur dari kultur F 1.
Komposisi media tanamnya sama dengan yang
digunakan untuk tahap F1. Waktu inkubasi yang
dibutuhkan oleh miselium jamur tiram putih Gambar 5. Rata-rata pertumbuhan miselium jamur
untuk menyelimuti media tanam selama 16 hari. tiram putih (P. ostreatus) pada kultur F2
Rata-rata pertumbuhan miselium jamur sebelumnya, sehingga pertumbuhan
tiram putih (P. ostreatus) (Gambar 5) miseliumnya lebih cepat ketika pada tahap F 2.
menunjukkan bahwa tidak terdapat adanya Perlakuan dengan pertumbuhan miselium
perbedaan pada setiap perlakuan. Perlakuan E0, yang paling cepat pada 4, 7 dan 10 HSI adalah
E1 dan E2 memiliki pertumbuhan miselium perlakuan E1 (media tanam dengan penambahan
yang lebih cepat dan membutuhkan waktu eceng gondok 10 %), tetapi hal ini tidak berbeda
inkubasi yang lebih singkat yaitu 13 HSI hingga nyata dengan perlakuan E0 (kontrol). Namun,
miselium menyelimuti seluruh media tanam, pada waktu inkubasi 13 HSI perlakuan E0, E1
sedangkan perlakuan E3, E4 dan E5 memiliki dan E2 memiliki pertumbuhan miselium yang
pertumbuhan miselium yang lebih lambat dan sama dan miselium telah memenuhi keseluruhan
membutuhkan waktu inkubasi yang lebih lama media tanam. Sedangkan perlakuan dengan
yaitu 16 HSI hingga miselium menyelimuti pertumbuhan miselium yang paling lambat
seluruh media tanam. Hasil analisis statistik adalah perlakuan E3 (media tanam dengan
menunjukkan bahwa perlakuan penambahan penambahan eceng gondok 30%).
eceng gondok pada media tanam kultur F 2 Perlakuan E1 (media tanam dengan
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan penambahan eceng gondok 10%) mempunyai
miselium pada waktu inkubasi 4, 7, 10 dan 13 pertumbuhan miselium yang paling cepat dan
HSI. Hasil uji lanjut dengan DMRT 5% dapat tidak berbeda nyata dengan perlakuan E0
dilihat pada Tabel 3. (kontrol) pada semua waktu inkubasi.
Tabel 3. Rata-rata pertumbuhan miselium jamur Perlakuan E2 (media tanam dengan
tiram putih (P. ostreatus) pada kultur F2 dengan uji penambahan eceng gondok 20%) mempunyai
DMRT 5% pertumbuhan miselium yang lebih cepat, tetapi
tidak berbeda nyata dengan perlakuan E0
Waktu inkubasi
Perlakuan
1 HSI 4 HSI 7 HSI 10 HSI 13 HSI 16 HSI
(kontrol) pada semua waktu inkubasi.
E0 0a 0,61 b 1,40 c 2,13 c 3b 3a Perlakuan E3 dan E4 (media tanam dengan
E1 0a 0,64 b 1,44 c 2,17 c 3b 3a penambahan eceng gondok 30% dan 40%)
E2 0a 0,63 b 1,41 c 2,16 c 3b 3a mempunyai pertumbuhan miselium yang lebih
E3 0a 0,51 a 1,02 a 1,92 b 2,78 a 3a
E4 0a 0,51 a 1,03 a 1,90 b 2,80 a 3a
lambat dan berbeda nyata dengan perlakuan E0
E5 0a 0,56 a 1,17 b 1,71 a 2,91 a 3a (kontrol) pada semua waktu inkubasi.
Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf Perlakuan E5 (media tanam dengan
yang sama pada kolom yang sama, menunjukkan penambahan eceng gondok 50%) mempunyai
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. pertumbuhan miselium yang lebih lambat dan
Hasil uji DMRT 5% (Tabel 3) berbeda nyata jika dibandingkan dengan
menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium perlakuan E0 (kontrol) pada semua waktu
jamur tiram putih (P. ostreatus) pada perlakuan inkubasi.
E0, E1 dan E2 berbeda secara nyata dengan Eceng gondok memiliki kandungan kimia
perlakuan E4, E5 dan E6 pada 4, 7, 10 dan 13 yang berupa selulosa 64,51%; pentosa 15,61%,
HSI. Pertumbuhan miselium dari kultur F 1 ke F2 lignin 7,69%, silika 5,56% dan abu 12%
mengalami proses aktivasi enzim. Hal ini (Kriswiyanti dan Endah, 2009). Sedangkan
terlihat pada pertumbuhan miselium pada menurut Yanuati (2007), serbuk gergaji kayu
pengamatan 4 HSI dan 7 HSI (Tabel 2 dan 3). sengon memiliki kandungan kimia yang berupa
Pertumbuhan miselium tahap F2 lebih cepat selulosa 48,3%; pentosa 16,3%; lignin 27,3%
dibandingkan dengan tahap F1 pada umur dan abu 3,4%. Eceng gondok memiliki
pengamatan yang sama. Hal tersebut kandungan selulosa yang lebih tinggi
dikarenakan pada kultur F1, jamur pertama kali dibandingkan serbuk gergaji kayu sengon, tetapi
ditumbuhkan pada media yang mengandung kandungan ligninnya lebih rendah. Selulosa dan
lignoselulosa (serbuk kayu gergaji sengon dan hemiselulosa akan diuraikan menjadi bahan
eceng gondok) setelah dari media PDA, yang lebih sederhana hingga bisa dijadikan
sehingga jamur memerlukan adaptasi terlebih nutrisi untuk diserap ke dalam sel. Kedua unsur
dahulu dengan cara mengaktikan enzim yang ini akan berubah menjadi glukosa dan air serta
mampu mendegradasikan senyawa-senyawa produk lain. Sedangkan lignin tahan terhadap
yang terdapat pada media. Sedangkan pada penguraian mikroba sehingga proses pelapukan
tahap F2, kultur F1 yang ditumbuhkan pada kayu atau degradasinya menjadi lambat dan
media tanam F2 telah mengalami aktivasi enzim membutuhkan waktu yang lebih lama. Oleh
pada komposisi media tanam F1 yang sama karena itu, semakin banyak kandungan selulosa
dari suatu jenis kayu dapat meningkatkan
kecepatan pertumbuhan miselium jamur, tetapi intraseluler yang berperan dalam degradasi
kadar lignin yang terlalu tinggi dari suatu jenis senyawa organik yang terdapat dalam media
kayu akan dapat menghambat pertumbuhan tanam, sehingga menjadi senyawa yang mudah
miselium jamur. diserap dan digunakan untuk pertumbuhan dan
Penambahan eceng gondok lebih dari 20% perkembangan jamur (Suriawiria, 2002;
pada media tanam seharusnya memiliki Sugianto, 2007). Semakin banyak eceng gondok
pertumbuhan lebih cepat karena kadar lignin yang ditambahkan lebih dari 20%, maka enzim
lebih sedikit dan selulosa lebih banyak bila ekstraseluler akan membutuhkan waktu yang
dibandingkan dengan media tanam yang semakin lama untuk mendegradasi semua
ditambahkan eceng gondok kurang dari 20%, senyawa yang kompleks terdapat dalam media
hal tersebut dimungkinkan berhubungan dengan tanam menjadi senyawa yang lebih sederhana
kandungan silika, kadar air media dan karakter agar dapat diserap masuk ke dalam sel. Selain
khusus pada eceng gondok. Penambahan eceng itu, penambahan eceng gondok yang lebih dari
gondok dapat meningkatkan kandungan silika 20% dapat meningkatkan kandungan nitrogen
pada media, sehingga akan mengakibatkan pada media, yang dapat menyebabkan
pertumbuhan miselium menjadi lebih lambat, terakumulasinya ammonia yang berakibat
karena enzim sukar untuk menembus dan meningkatnya pH media tanam sehingga
mendegradasikan silika. Eceng gondok menghambat pertumbuhan miselium (Wartaka,
merupakan tanaman air yang mempunyai 2006).
kemampuan menyerap dan menyimpan air lebih Pertumbuhan miselium dimulai dengan
tinggi dibandingkan kayu sengon (Zaman, 2006; cara jamur melakukan penetrasi dengan
Kriswiyanti dan Endah, 2009). Oleh karena itu melubangi dinding sel kayu. Proses penetrasi
pada media yang ditambahkan eceng gondok (pemboran) dinding sel kayu dibantu oleh enzim
lebih dari 20% akan mempunyai kadar air lebih ekstraseluler pemecah selulosa, hemiselulosa
tinggi, yang dapat menyebabkan pertumbuhan dan lignin yang disekresi oleh jamur melalui
miselium yang lebih lambat. ujung lateral benang-benang miselium. Enzim
Mufarrihah (2009) juga menambahkan tersebut akan mencerna senyawa kayu yang
bahwa kandungan nutrisi yang semakin dilubangi sekaligus memanfaatkannya sebagai
meningkat akan mempengaruhi kinerja enzim sumber (zat) makanan jamur. Akibatnya
untuk lebih aktif dalam mendegradasi senyawa- miselium jamur akan terpenetrasi ke dalam
senyawa tersebut, sehingga akan menghambat dinding sel melalui lubang-lubang kecil yang
pertumbuhan miselium. Semakin banyak eceng terbentuk. Lignin dapat didegradasi tanpa
gondok yang ditambahkan lebih dari 20%, maka terjadinya kehilangan selulosa, tetapi secara
enzim ekstraseluler akan membutuhkan waktu simultan hemiselulosa juga akan didegradasi
yang semakin lama untuk mendegradasi semua (Mufarrihah, 2009; Astuti, 2010).
senyawa kompleks terdapat dalam media tanam Degradasi selulosa secara enzimatis terjadi
menjadi senyawa yang lebih sederhana agar karena adanya enzim selulase sebagai agen
dapat diserap masuk ke dalam sel. Selain itu, perombak yang bersifat spesifik untuk
penambahan eceng gondok yang lebih dari 20% menghidrolisis ikatan β-1,4-glikosidik dari
dapat meningkatan kandungan nitrogen, yang rantai selulosa dan derivatnya. Enzim selulase
dapat menyebabkan terakumulasinya ammonia kompleks umumnya terdiri dari tiga unit, yaitu
yang berakibat meningkatnya pH media tanam enzim endo-β-1,4 glukanase (Cx), ekso-β-1,4
sehingga menghambat pertumbuhan miselium glukanase (C1) atau selobio-hidrolase dan β-1,4
(Wartaka, 2006). glukosidase. Sedangkan hemiselulosa
Nutrisi diperlukan pada proses didegradasi oleh enzim hemiselulase, yang
pertumbuhan dan perkembangan yang dapat terdiri dari tiga enzim yaitu xilanase, β-
diperoleh dari substrat yang ada di sekitar silosidase, α-glukonase, mannase dan esterase.
miselium secara tidak langsung dalam bentuk Degradasi lignin oleh jamur terdiri dari tiga
unsur ion dan molekul sederhana. Molekul proses utama yaitu : 1) oksidasi rant ai samping
kompleks atau polimer harus diuraikan terlebih dengan membebaskan cincin aromatik, terutama
dahulu menjadi molekul sederhana atau asam vanilat; 2) oksidasi karbon-α pada rantai
monomer. Unsur yang diperlukan misalnya samping fenilpropana; dan 3) pemutusan cincin
karbon, nitrogen, mineral serta vitamin. aromatik yang terikat pada polimer. Ketiga
Kandungan nutrisi dalam media akan proses tersebut dilakukan oleh enzim lakase
berpengaruh terhadap kemampuan jamur untuk (polifenol oksidase), mangan peroksidase (Mn-
mengeksresikan enzim ekstraseluler dan P) dan lignin peroksidase (Li-P) (Sugianto,
2007; Sigit, 2008; Anindyawati, 2009; Rashad et tanam. Pertumbuhan miselium ke arah samping
al., 2009; Sangadji, 2009). merupakan fase adaptasi miselium terhadap
media tanam. Selanjutnya, miselium jamur tiram
D. Tahap F3 (Tahap Produksi) putih akan mengalami fase logaritmik, yaitu fase
1. Pertumbuhan miselium dimana miselium telah menyebar ke arah bawah
Tahap F3 merupakan tahap produksi dari media tanam. Fase logaritmik merupakan fase
jamur tiram putih. Tahap F3 diperoleh dari kultur pertumbuhan yang sangat cepat. Setelah
F2 yang diinokulasikan pada media tanam di mengalami fase logaritmik, pertumbuhan
dalam baglog. Pengamatan pertumbuhan miselium jamur tiram akan menjadi lebih lambat
miselium dilakukan 7 hari setelah inokulasi yaitu jika telah mendekati kondisi fully colorized
dengan interval pengamatan selama 3 hari atau miselium telah memenuhi media tanam.
sekali. Proses inkubasi media dilakukan sampai Pada kondisi fully colorized terjadinya
media tanam dipenuhi oleh miselium (selama + penurunan kecepatan tumbuh dari fase
40 hari setelah inokulasi) dan selanjutnya logaritmik mendekati fase stasioner. Menurut
dilakukan proses penumbuhan badan buah. Muliani (2000), hal tersebut dikarenakan
Inkubasi dilakukan di dalam ruang inkubasi. semakin sedikitnya jumlah substrat yang akan
Setelah media tanam telah dipenuhi miselium digunakan oleh jamur tiram untuk
secara keseluruhan, maka baglog akan pertumbuhannya. Pada fase ini miselium jamur
dipindahkan ke dalam kumbung untuk proses terlihat semakin putih, rapat, kompak dan tebal.
penumbuhan badan buah (pin head). Hasil Setelah mengalami fase vegetatif (tahap
pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan pembentukan miselium), selanjutnya akan
miselium jamur mulai terjadi pada 10 HSI. memasuki fase generatif yaitu tahap
Media tanam F3 dalam baglog semula berwarna pembentukan badan buah (pin head). Selama
coklat tua berubah warna menjadi coklat muda. proses pengamatan tidak didapatkan fase
Perubahan warna tersebut menunjukkan adanya adaptasi yang dilakukan oleh jamur, hal ini
aktivitas enzim yang dilakukan oleh jamur. diduga karena interval pengamatan yang cukup
lama yaitu 3 hari.
a b c Lama fase vegetatif dan generatif akan
bervariasi tergantung dengan bentuk dan sifat
media atau substrat tempat tumbuh, lingkungan
d e f yang mendukung, lingkungan fisik (cahaya,
temperatur), lingkungan kimia (pH dan kadar
air), dan lingkungan biologi (kehadiran jasad
lain, misalnya bakteri atau jamur liar) serta jenis
Gambar 6. Media tanam pada tahap F3 yang telah
atau strain jamur. Dalam keadaan normal, waktu
dipenuhi miselium jamur tiram putih (P. ostreatus). yang diperlukan dari perkecambahan spora
(a) E0 = Kontrol; (b) E1 = Eceng gondok 10%; (c) sampai terbentuk tubuh buah rata-rata antara 1-2
E2 = Eceng gondok 20%; (d) E3 = Eceng gondok bulan (Suriawiria, 2002; Mufarrihah, 2009).
30%; (e) E4 = Eceng gondok 40% dan (f) E5 = Rata-rata pertumbuhan miselium jamur
Eceng gondok 50% pada umur 37 HSI. tiram putih pada tahap F3 (Gambar 9)
menunjukkan bahwa terdapat adanya perbedaan
pada masing-masing perlakuan. Perlakuan E0,
E1 dan E2 mempunyai pertumbuhan miselium
yang lebih cepat bila dibandingkan dengan
perlakuan E3, E4 dan E5, yaitu hanya
membutuhkan waktu 25 HSI, untuk memenuhi
media tanam dengan miselium. Sedangkan pada
perlakuan E3 dan E4 membutuhkan waktu
inkubasi masing-masing selama 28 dan 31 HSI.
Perlakuan E5 mempunyai pertumbuhan
miselium yang paling lambat di antara perlakuan
Gambar 7. Rata-rata pertumbuhan miselium jamur lainnya, karena membutuhkan waktu inkubasi
tiram putih (P. ostreatus) pada tahap F3 yang lebih lama yaitu 37 HSI hingga media
Pertumbuhan miselium jamur tiram putih tanam telah dipenuhi miselium secara
berawal pada titik inokulasi, kemudian miselium keseluruhan. Hasil uji lanjut dengan DMRT 5%
tumbuh menyebar ke arah samping pada media dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 4. Rata-rata pertumbuhan miselium jamur pertumbuhan miselium hampir sama dengan
tiram putih (P. ostreatus) pada tahap F3 dengan uji perlakuan E0 (kontrol) tetapi tidak berbeda
DMRT 5% nyata dengan perlakuan E0 (kontrol) pada semua
Waktu inkubasi waktu inkubasi. Media tanam dengan
Perlakuan

7 HSI 10 HSI 13 HSI 16 HSI 19 HSI 22 HSI 25 HSI


28
31 HSI 34 HSI
37
H
penambahan eceng gondok kurang dari 20%
HSI
E0 0a 2,97b 5,31bc 7,91c 10,96c 13,70c 15 d 15 c 15 b
SI
15 b 15 a
memiliki kandungan nutrisi yang cukup baik,
E1
E2
0a
0a
3,60c
2,89b
6,48c
5,43bc
8,79c
7,80c
11,79c
10,82c
13,78c 15 d 15 c
13,71c 15 d 15 c
15 b
15 b
15 b 15 a
15 b 15 a
sehingga dapat membantu untuk meningkatkan
E3 0a 2,23a 4,28ab 6,19b 8,49b 10,19b 12,66c 15 c 15 b 15 b 15 a pertumbuhan miselium dari jamur tiram putih
E4 0a 2,22a 4,36ab 6,14b 8,11b 9,73b 11,63b 13,57b 15 b 15 b 15 a
E5 0a 2,06a 3,33a 4,91a 6,67a 8,09a 9,62a 11,09a 12,56a 13,58a 15 a (P. ostreatus).
Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf Perlakuan E3 (media tanam dengan
yang sama pada kolom yang sama, menunjukkan penambahan eceng gondok 30%) mempunyai
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%. pertumbuhan miselium yang lebih lambat dan
Pertumbuhan miselium tahap F3 lebih cepat berbeda nyata dengan perlakuan E0 (kontrol)
dibandingkan dengan tahap F2 pada umur pada waktu inkubasi 10, 16, 19, 22 dan 25 HSI,
pengamatan yang sama, yaitu 10 HSI. Perlakuan tetapi tidak berbeda nyata pada 13, 28, 31 dan
yang mempunyai pertumbuhan miselium paling 34 HSI.
tinggi pada tahap F2 adalah perlakuan E1 yaitu Perlakuan E4 (media tanam dengan
sebesar 2,17 cm, sedangkan pada tahap F 3 penambahan eceng gondok 40%) mempunyai
adalah perlakuan E1, yaitu sebesar 3,60 cm. Hal pertumbuhan miselium yang lebih lambat dan
tersebut menunjukkan bahwa jamur telah berbeda nyata dengan perlakuan E0 (kontrol)
beradaptasi dengan media tanam F2 sebelumnya pada waktu inkubasi 10, 16, 19, 22, 25 dan 28
dan enzim ekstraseluler yang akan HSI, tetapi tidak berbeda nyata pada 13, 28, 31
mendegradasikan senyawa-senyawa yang dan 34 HSI.
terdapat pada media juga telah teraktivasi, Perlakuan E5 (media tanam dengan
sehingga ketika jamur ditumbuhkan pada media penambahan eceng gondok 50%) mempunyai
tanam F3 dengan komposisi yang sama dan pertumbuhan miselium yang paling lambat
ukuran media yang lebih besar maka dibandingkan perlakuan lainnya dan berbeda
pertumbuhan miseliumnya akan lebih cepat. nyata dengan perlakuan E0 (kontrol) pada semua
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa waktu inkubasi. Perlakuan E5 membutuhkan
perlakuan penambahan eceng gondok pada waktu inkubasi yang paling lama yaitu 37 HSI.
media tanam tahap F3 berpengaruh terhadap Pertumbuhan miselium dipengaruhi oleh adanya
pertumbuhan miselium jamur tiram putih (P. kandungan nutrisi yang terdapat pada media
ostreatus). Dari hasil uji DMRT 5% (Tabel 6) tanam yang digunakan. Hal ini dikarenakan
menunjukkan bahwa pertumbuhan miselium penambahan eceng gondok yang lebih dari 40%
jamur tiram putih (P. ostreatus) pada perlakuan dapat meningkatkan kandungan nitrogen yang
E3, E4 dan E5 berbeda nyata dengan perlakuan berlebih, yang akan menyebabkan
E0, E1 dan E2 pada waktu inkubasi 10, 16, 19, terakumulasinya ammonia yang dapat
22 dan 25 HSI. meningkatkan pH sehingga menghambat
Perlakuan E1 (media tanam dengan pertumbuhan miselium (Wartaka, 2006).
penambahan eceng gondok 10%) mempunyai Kebutuhan jamur tiram putih (P. ostreatus)
pertumbuhan miselium yang lebih cepat yang diperlukan selama pertumbuhan miselium
dibandingkan dengan perlakuan E0 (kontrol) terdiri dari C 23,6%; H 4,06%; N 5,99%; Mg
pada waktu inkubasi 10, 13, 16 dan 19 HSI, 7,72%, Ca 30,13%; Na 1,32%; K 4,47%, Mn
tetapi tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5% 2,22% dan Zn 2,34% (Chiu et al., 1998).
dan hanya berbeda nyata pada waktu inkubasi Kebutuhan tersebut akan diambil oleh jamur dari
10 HSI. Tetapi pada 25 HSI, pertumbuhan substrat yang tersedia untuk menunjang
miselium pada perlakuan E1 sama dengan pertumbuhannya. Eceng gondok memiliki
perlakuan E0 dan E2, karena media tanam telah kandungan kimia yang berupa C 21,23%; K 1-
dipenuhi miselium secara keseluruhan. Hal ini 2%; CaO 8,5%; P2O5 0,5-1,5% dan N 1,5-4%
menunjukkan bahwa kebutuhan nutrisi yang (Ratri et al.; Ningsih, 2008). Penambahan eceng
dibutuhkan oleh jamur tiram putih (P. ostreatus) gondok dimungkinkan cukup dapat membantu
untuk pertumbuhan miselium cukup terpenuhi untuk memenuhi kebutuhan jamur selama
pada media tanam dengan penambahan eceng pertumbuhan miselium selain yang telah
gondok 10%. disediakan oleh serbuk kayu gergaji sengon.
Perlakuan E2 (media tanam dengan Kandungan fosfor berperan penting dalam
penambahan eceng gondok 20%) mempunyai berperan dalam nukleotida (RNA dan DNA),
bagian dari fosfolipid pada membran dan ketersediaan nutrisi (Carlile et al., 2001).
metabolisme energi, karena keberadaannya Sedangkan sirkulasi udara berkaitan dengan
dalam ATP, ADP, AMP dan pirofosfat (Ppi). kadar CO2 dan O2 di lingkungan. Pertumbuhan
Energi yang dihasilkan akan digunakan untuk miselium memerlukan lingkungan yang
pertumbuhan miselium. Selain unsur fosfor, mengandung CO2 sebesar 15-20% (Mufarrihah,
unsur kalium juga berperan sebagai kofaktor 2009). Intensitas cahaya, pH dan sirkulasi udara
untuk mengaktifkan enzim untuk akan mempengaruhi kebutuhan vitamin yang
mendegradasikan karbohidrat dan protein. terdapat pada media, yang berfungsi sebagai
Degradasi karbohidrat dan protein akan dapat koenzim atau konstituen dari koenzim yang
menghasilkan energi yang dibutuhkan untuk mengkatalisis reaksi spesifik dan tidak
pertumbuhan miselium jamur (Campos et al., digunakan sebagai sumber energi maupun
2009; Mufarrihhah, 2009). Penambahan eceng materi struktural protoplasma. Intensitas cahaya,
gondok tersebut dapat meningkatkan kandungan pH dan sirkulasi udara yang tinggi akan dapat
unsur fosfor pada media, sehingga merusak vitamin (Muliani, 2000).
meningkatkan sumber energi dan pertumbuhan Intensitas cahaya yang rendah dan suhu
miselium menjadi lebih cepat. yang tinggi pada ruang inkubasi, akan
Ningsih (2008) menyatakan bahwa lignin mempengaruhi aktivitasi enzim yang dilakukan
merupakan komponen bahan organik yang oleh sel jamur. Aktivitasi enzim tersebut
paling sukar dirombak, sehingga kadar lignin berkaitan dengan proses metabolisme sel. Enzim
dalam bahan organik akan menentukan laju merupakan biokatalisator yang efektif untuk
dekomposisi (pemecahan) dari media tanam. mempercepat perubahan kimia dan bersifat
Kandungan C/N dan lignin yang tinggi pada spesifik yang berkaitan dengan tipe reaksi dan
media tanam, akan memerlukan waktu yang jenis reaktan. Jamur tiram putih (P. ostreatus)
lebih lama untuk jamur dalam mengeksresikan dapat menghasilkan enzim intaseluler dan
enzim ekstraseluler untuk mendegradasi ekstraseluler. Enzim intraseluler berfungsi
senyawa-senyawa yang terkandung di dalam dalam mensintesis bahan-bahan seluler dan
media tanam (Alwiah, 2008). Ratri et. al (2007) menjalankan proses metabolisme untuk
menambahkan bahwa pemberian bahan menyediakan energi bagi sel. Sedangkan enzim
tambahan pada media tanam dapat ekstraseluler berfungsi merubah nutrien yang
mengakibatkan semakin banyak substrat yang terdapat di sekitarnya (Sigit, 2008). Enzim
harus dipecah oleh enzim. Kandungan C/N ekstraseluler berfungsi untuk mendegradasi
berkaitan dengan aktivitas biologi senyawa kompleks dari substrat menjadi
mikroorganisme dan kemampuan genetik jamur senyawa yang lebih sederhana, sehingga lebih
dalam hal mengeksresikan enzim ekstraseluler mudah masuk ke dalam sel (Syafrizal, 2007).
untuk mendegradasi struktur karbon dan Selama pertumbuhan miselium pada tahap F1, F2
nitrogen. Laju pemecahan bahan-bahan organik dan F3, jamur tiram putih (P. ostreatus)
menjadi molekul-molekul sederhana sangat cenderung akan memproduksi enzim untuk
dipengaruhi oleh jumlah awal enzim yang merombak senyawa yang lebih mudah dirombak
dihasilkan oleh jamur. Keterbatasan enzim yang terlebih dahulu. Jamur akan mengeluarkan
dihasilkan hifa jamur akan membatasi degradasi enzim amilase untuk merombak pati terlebih
molekul kompleks menjadi molekul sederhana. dahulu, kemudian akan dilanjutkan dengan
Pertumbuhan miselium pada jamur tiram perombakan senyawa lain yang lebih kompleks
putih (P. ostreatus) dipengaruhi oleh beberapa misalnya lignoselulosa. Perombakan
faktor, meliputi faktor fisik, kimia dan biologi. lignoselulosa dilakukan sebagai upaya untuk
Faktor fisik terdiri dari suhu, pH, kelembaban, memperoleh akses terhadap polimer-polimer
intensitas cahaya dan sirkulasi (aerasi) udara. karbohidrat yang terdapat pada dinding sel
Suhu dan kelembaban yang dibutuhkan selama tanaman dan menggunakannya sekaligus sebagai
proses pertumbuhan miselium untuk tahap F 1, F2 sumber karbon dan sumber energi bagi sel.
dan F3 sama yaitu antara 22o-28oC dan 60-70%. Enzim ekstraseluler yang berperan dalam
Intensitas cahaya yang dibutuhkan selama degradasi lignoselulosa yaitu enzim selulase,
pertumbuhan miselium yaitu sebesar 10%. xilanase, lakase (polifenol oksidase), mangan
Kisaran pH yang dibutuhkan selama peroksidase (Mn-P) dan lignin peroksidase (Li-
pertumbuhan miselium jamur antara 4-7. pH P) (Sugianto, 2007; Sigit, 2008; Rashad et al.,
(tingkat keasaman) akan mempengaruhi 2009; Anindyawati, 2009; Hamdiyati, 2010).
pertumbuhan secara langsung terhadap
kemampuan permukaan sel jamur pada
2. Berat Basah, Jumlah Badan Buah dan Pengamatan dilakukan saat muncul badan
Umur Panen I buah (pin head) pertama sampai badan buah siap
Jamur tiram putih (P. ostreatus) yang telah dipanen. Badan buah jamur yang siap dipanen
mengalami fase vegetatif (pembentukan memiliki ciri-ciri ukuran badan buah yang
miselium), selanjutnya akan mengalami fase optimal dengan tepi lebih tipis. Pemanenan
generatif atau fase reproduktif yaitu dilakukan 2-3 hari setelah muncul calon badan
pembentukan badan buah (pin head). Pada fase buah (pin head). Jamur yang siap dipanen dan
generatif terjadi fusi atau penggabungan dua tidak segera dipanen dapat menurunkan kualitas
miselium primer yang membentuk miselium dari jamur, badan buah akan mengering, tepi
sekunder yang bersifat diploid (2n). Miselium badan buah mengeriting dan berwarna
sekunder (2n) tersebut mengalami diferensiasi kecoklatan, sehingga mengurangi berat basah
(fase perkembangan), selanjutnya akan dari jamur. Pemanenan dilakukan dengan
terhimpun pada titik pertemuan dan membentuk mencabut keseluruhan bagian jamur hingga
bulatan atau bintil kecil yang berkembang tidak ada yang tersisa pada media tanam, karena
menjadi calon badan buah jamur (pin head). dapat menyebabkan kebusukan pada media
Calon badan buah (pin head) akan mengalami tanam yang menganggu produktivitas jamur
stadia dewasa (fruiting bodies) dan akhirnya selanjutnya. Hasil pengamatan menunjukkan
membentuk jamur tiram sempurna yang terdiri bahwa badan buah jamur (pin head) mulai
dari batang (stem) tanpa cincin (ring) dan muncul selama + 60 HSI. Lama fase vegetatif
tudung (cap). Struktur jamur tiram dewasa lebih singkat yaitu 25-37 hari dibandingkan
asimetris menyerupai payung (Muliani, 2000; lama fase generatif yaitu 38-90 hari sampai
Alwiah, 2008; Achmad, 2009; Muraffihah, panen I.
2009).
Baglog yang telah dipenuhi oleh miselium a b c
jamur tiram putih (P. ostreatus) selanjutnya
dipindahkan dari ruang inkubasi ke dalam ruang
penumbuhan (kumbung) untuk proses
penumbuhan badan buah jamur (pin head) yang d e f
dilakukan pada 37 HSI. Selama proses
penumbuhan badan buah (pin head), suhu dan
kelembaban dijaga. Media tanam yang telah
dipindahkan selanjutnya dibuka kertas Gambar 8. Hasil panen jamur tiram putih
penutupnya untuk memberikan udara yang (P. ostreatus) pada umur panen I. (a) E0 = Kontrol;
cukup pada media tanam (Yanuati, 2007). (b) E1 = Eceng gondok 10%; (c) E2 = Eceng gondok
Pembentukan badan buah (pin head) pada 20%; (d) E3 = Eceng gondok 30%; (e) E4 = Eceng
jamur tiram putih (P. ostreatus) juga gondok 40% dan (f) E5 = Eceng gondok 50%.
dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi
faktor fisik, kimia dan biologi. Faktor fisik
terdiri dari suhu, pH, kelembaban, intensitas
cahaya dan sirkulasi (aerasi) udara. Suhu dan
kelembaban yang dibutuhkan selama
pembentukan badan buah (pin head) yaitu antara
16o-22oC dan 80-90%. Selama pembentukan
badan buah dibutuhkan intensitas cahaya yang
cukup tinggi, karena dapat meningkatkan inisiasi
pembentukan dan perkembangan primordial
badan buah. Kisaran pH yang dibutuhkan
selama pertumbuhan miselium antara 4,2-4,6.
Sedangkan sirkulasi udara berkaitan dengan
kadar CO2 dan O2 di lingkungan. Pembentukan
badan buah (pin head) memerlukan lingkungan
yang mengandung O2 lebih tinggi (Mufarrihah,
2009). Kadar O2 yang tinggi akan membantu
proses oksidasi dalam pembentukan energi yang
lebih besar.
terhadap berat basah jamur pada panen I, tetapi
tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah badan
buah dan umur panen I. Hasil uji lanjut dengan
DMRT 5% untuk rata-rata berat basah jamur
pada panen I disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Rata-rata berat basah, jumlah badan buah
dan umur panen I pada jamur tiram putih
(P. ostreatus) dengan uji DMRT 5%
Berat basah Jumlah badan Umur panen I
Perlakuan
jamur (gram) buah (buah) (HSI)
E0 59,87 b 6,67 a 74 a
E1 79,40 b 9,33 a 69,97 a
E2 74,60 b 13,67 a 75 a
E3 68,96 b 17,67 a 73 a
E4 13,13 a 10 a 56 a
E5 10,41 a 5a 26,33 a
Keterangan : Angka-angka yang didampingi huruf
yang sama pada kolom yang sama, menunjukkan
tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.
Perlakuan E1 (media tanam dengan
penambahan eceng gondok 10%) mempunyai
rata-rata berat basah jamur lebih besar
dibandingkan dengan perlakuan E0 (kontrol)
tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan E0
(kontrol). Perlakuan E1 mempunyai jumlah
badan buah lebih banyak).
Perlakuan E2 (media tanam dengan
penambahan eceng gondok 20%) mempunyai
berat basah jamur lebih besar dibandingkan
dengan perlakuan E0 (kontrol), tetapi tidak
berbeda nyata dengan perlakuan E0. Perlakuan
Gambar 9. Rata-rata berat basah, jumlah badan buah E2 mempunyai jumlah badan buah lebih banyak
dan umur panen I pada jamur tiram putih dan umur panen I lebih lama dibandingkan
dengan perlakuan E0 (kontrol).
Rata-rata berat basah, jumlah badan buah Perlakuan E3 (media tanam dengan
dan umur panen I pada jamur tiram putih penambahan eceng gondok 30%) mempunyai
(Gambar 11) menunjukkan bahwa perlakuan E1 berat basah jamur, jumlah badan buah lebih
mempunyai rata-rata berat basah paling besar banyak dan umur panen I lebih cepat
yaitu sebesar 79,40 gram dan rata-rata berat dibandingkan dengan perlakuan E0 (kontrol),
basah paling kecil dibandingkan perlakuan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan E0.
lainnya yatu perlakuan E5 sebesar 7,93 gram. Jumlah badan buah yang terbentuk tergantung
Perlakuan dengan rata-rata jumlah badan buah dengan jumlah primordial yang tumbuh. Jika
terbanyak adalah perlakuan E3 yaitu 13,67 buah primordialnya banyak maka jumlah badan buah
dan rata-rata jumlah badan buah paling sedikit yang terbentuk juga banyak. Kandungan nutrisi
adalah perlakuan E5 yaitu 5 buah. Sedangkan yang terdapat dalam media tanam tersebar
perlakuan dengan rata-rata umur panen I paling merata pada setiap primordial yang akan
cepat adalah perlakuan E5 dan paling lambat membentuk badan buah (Mufarrihah, 2009).
adalah perlakuan E2. Perlakuan E0, E1, E2 dan Perlakuan E4 (media tanam dengan
E3 mempunyai berat basah lebih besar tetapi penambahan eceng gondok 40%) mempunyai
umur panen lebih lama dibandingkan dengan rata-rata berat basah jamur lebih kecil dan
perlakuan E4 dan E5. Hal ini dikarenakan pada jumlah badan buah lebih banyak serta berbeda
perlakuan E4 dan E5 terdapat adanya media nyata dengan perlakuan E0. Perlakuan E4
tanam yang tidak mengalami panen karena mempunyai jumlah badan buah lebih banyak
terjadi pembusukan. dan umur panen I lebih cepat dibandingkan
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan E0 (kontrol).
perlakuan penambahan eceng gondok pada Perlakuan E5 (media tanam dengan
media tanam tahap F3 berpengaruh nyata penambahan eceng gondok 50%) mempunyai
rata-rata berat basar jamur paling kecil dan Perlakuan E4 dan E5 mempunyai berat
jumlah badan buah paling sedikit dibandingkan basah jamur yang lebih kecil dibandingkan
dengan perlakuan lainnya dan berbeda nyata perlakuan lainnya, hal ini dikarenakan terdapat
dengan perlakuan E0 (kontrol). Perlakuan E5 adanya media tanam yang mengalami
mempunyai jumlah badan buah lebih sedikit dan pembusukan, sehingga tidak dapat menghasilkan
umur panen I lebih cepat dibandingkan badan buah jamur. Selain pembusukan,
perlakuan E0 (kontrol). pertumbuhan miselium pada kedua perlakuan
Pembentukan badan buah (pin head) juga lebih lambat dibandingkan dengan
berawal dari fase vegetatif yang berakhir dengan perlakuan yang lain. Hal tersebut dimungkinkan
adanya plasmogami dua miselium primer unsur yang terdapat di dalam media tanam
menjadi miselium sekunder. Pada tahap ini belum seluruhnya terdekomposisi secara merata,
miselium sekunder memasuki fase generatif . sehingga jamur harus berperan lebih aktif untuk
Miselium sekunder tersebut akan bercabang- menguraikan senyawa kompleks yang ada
cabang dan pada titik pertemuannya akan menjadi senyawa yang lebih sederhana yang
membentuk primordial. Primordial adalah fase dapat dimanfaatkan oleh jamur untuk
di antara miselium dan badan buah dewasa (pin mendukung pertumbuhan dan
head). Primordial berupa bintik-bintik kecil perkembangannya. Oleh karena itu, pada saat
yang kemudian akan berkembang menjadi badan tahap produksi jamur masih harus mendegradasi
buah (pin head). nutrisi yang terdapat pada media, sehingga
Perlakuan E1, E2, dan E3 mempunyai berat energi yang dibutuhkan belum cukup, yang
basah lebih besar dan jumlah badan buah lebih mengakibatkan pertumbuhan jamur menjadi
banyak dibandingkan perlakuan E0 (kontrol). lebih lambat dan menghasilkan jamur tiram
Pembentukan badan buah (pin head) secara dengan berat basah yang lebih rendah.
tidak langsung dipengaruhi oleh pertumbuhan Eceng gondok merupakan tanaman air yang
miselium, karena merupakan tahap awal mempunyai kemampuan menyerap dan
pembentukan badan buah (Suharnowo et al., menyimpan air lebih tinggi dibandingkan kayu
2012). Pada awalnya miselium menyerap nutrisi sengon (Zaman, 2006; Kriswiyanti dan Endah,
yang ada kemudian merombak nutrisi lain untuk 2009). Oleh karena itu, pada saat proses
tahap produksi. Yanuati (2007) menyatakan pembuatan media tanam, pada perlakuan E4 dan
bahwa fungsi miselium yaitu untuk menyerap E5 ditambahkan air yang lebih banyak agar
air, nutrisi dan bahan organik dari media untuk didapatkan kondisi yang optimum untuk
memacu pertumbuhan dan perkembangan jamur. pertumbuhan dan perkembangan jamur.
Jamur yang mempunyai cadangan energi yang Pertumbuhan miselium kedua perlakuan cukup
cukup akan menghasilkan berat segar yang baik tetapi lebih lambat dibandingkan perlakuan
optimal karena unsur yang terdapat dalam media lainnya. Namun, pada baglog yang telah
dapat terdekomposisi secara merata pada waktu dipenuhi miselium berwarna putih dan padat,
pembentukan badan buah, sehingga dapat lama kelamaan miselium tersebut menjadi
dimanfaatkan oleh jamur (Mufarrihah, 2009). berkurang, lebih lunak, timbul uap air pada
Suriawiria (2002) menambahkan bahwa media dinding atas baglog dan akhirnya mengalami
tanam yang mampu menyediakan nutrisi cukup pembusukan, sehingga tidak dapat dipanen. Hal
akan dapat meningkatkan pembentukan ini dimungkinkan pada media tanam dengan
miselium sekunder, sehingga mampu penambahan eceng gondok lebih dari 30%
meningkatkan jumlah badan buah jamur. memiliki kadar air yang lebih tinggi
Penambahan eceng gondok pada media tanam dibandingkan dengan lainnya, sehingga
dapat meningkatkan nutrisi yang dibutuhkan menyebabkan pertumbuhan miselium lebih
oleh jamur, selain itu pada perlakuan E1, E2 dan lambat. Kandungan air yang terlalu tinggi akan
E3 mempunyai pertumbuhan miselium yang menyebabkan sebagian besar miselium akan
lebih cepat, sehingga mempunyai cadangan membusuk dan mati (Ningsih, 2008;
energi yang cukup untuk menghasilkan berat Mufarrihah, 2009). Sumiati et al. (2006)
segar yang optimal. Oleh karena itu, miselium menambahkan bahwa pada substrat yang
yang telah memenuhi media tanam lebih cepat mempunyai kandungan air yang tinggi dan
akan mensuplai nutrisi lebih awal dibandingkan ditambahkan bahan yang mempunyai kapasitas
dengan media tanam yang miseliumnya belum menyimpan atau menyerap air yang tinggi, maka
penuh. Media tanam dengan miselium yang dimungkinkan akan menyebabkan terjadinya
penuh akan mengumpulkan energi untuk kondisi anaerob pada substrat. Kondisi anaerob
pembentukan badan buah (pin head). akan menyebabkan aerasi pada substrat menjadi
tidak optimum. Hal ini mengakibatkan eceng gondok tersebut dapat meningkatkan
terjadinya proses fermentasi anaerob yang dapat kandungan unsur kalsium pada media, sehingga
menghasilkan panas berlebihan, peningkatan pertumbuhan miselium menjadi lebih cepat dan
temperatur substrat dan produksi toksin tertentu perkembangan generatifnya menjadi lebih baik.
yang dapat mematikan miselium jamur. Hal ini ditunjukkan pada perlakuan E1, E2 dan
Budidaya jamur tiram putih (P. ostreatus) E3 yang mempunyai berat basah lebih besar dan
biasanya dilakukan dengan menggunakan bahan jumlah badan buah lebih banyak dibandingkan
baku yang mengandung selulosa dengan nilai perlakuan E0 (kontrol). Tetapi pada perlakuan
kandungan karbon dan nitrogen (C/N) berkisar E4 dan E5 mempunyai berat basah lebih rendah,
antara 50-500, artinya kandungan C lebih tinggi karena pertumbuhan miseliumnya juga kurang
dibandingkan dengan kandungan N (Astuti et baik, selain itu terdapat beberapa media tanam
al., 2010). Jika nilai C lebih rendah yang mengalami pembusukan, sehingga tidak
dibandingkan N maka menyebabkan mengalami pembentukan badan buah.
pertumbuhan jamur akan terganggu. Sedangkan Mufarrihah (2009) menyatakan bahwa
jika pertumbuhan jamur terganggu maka pada kemampuan jamur menghasilkan badan buah
waktu panen akan memperoleh berat segar (pin head) disebabkan oleh dua faktor yaitu
jamur yang sangat sedikit. Hal ini sesuai dengan faktor endogen dan eksogen. Faktor endogen
kandungan eceng gondok menurut Ratri et al. (dalam) yang meliputi sifat genetik, hormon, dan
(2010) mempunyai kandungan N lebih rendah molekul kimia lain. Sedangkan faktor eksogen
dari pada kandungan C. Kandungan N total pada (luar) meliputi suplai oksigen yang cukup,
eceng gondok sebesar 0,28% dan kandungan C kelembapan, suhu, cahaya matahari, serta
organik sebesar 21,23%. kesediaan makanan yang cukup bagi jamur. Jika
Dewi (2009) menyatakan bahwa tubuh salah satu dari faktor-faktor tersebut tidak
buah jamur tiram putih (P. ostreatus) dapat dipenuhi, maka waktu munculnya primordial
membentuk rumpun yang memiliki banyak akan lama. Selain itu terjadinya fluktuasi suhu
percabangan dan menyatu dalam media. siang dan malam serta aliran angin keluar dan
Percabangan ini berkaitan dengan jumlah masuk kumbung diduga mempengaruhi
primordial yang tumbuh pada media. Mufarrihah munculnya primordia jamur.
(2009) menambahkan bahwa jumlah primordial Suhu merupakan salah satu faktor yang
ini akan mempengaruhi jumlah badan buah berperan dalam pembentukan tubuh buah. Suhu
jamur. Semakin banyak jumlah primordial yang untuk pembetukan tubuh buah umumnya lebih
tumbuh pada media tanam, maka jumlah badan rendah daripada suhu untuk pertumbuhan
buah juga semakin banyak. Jumlah badan buah misekium. Suhu dan kelembaban udara di dalam
juga akan mempengaruhi terhadap diameter kumbung selama penelitian berlangsung
tudung (pileus). Jika dalam suatu rumpun diperoleh berkisar antara 25o-26oC dan 70-80%.
memiliki jumlah badan buah dan jumlah tudung Suhu dan kelembaban udara tersebut masih
yang banyak, maka akan berpengaruh pada sesuai untuk pertumbuhan miselium jamur tiram
diameter tudung, yaitu tudung buah jamur putih yaitu berkisar antara 22o-28oC dan 60-70%
menjadi semakin kecil. (Yuniasmara et al., 1999). Sedangkan untuk
Kalsium berperan untuk pembelahan sel, pembentukan tubuh buah jamur tiram, suhu dan
membantu pengambilan nitrat dan mengaktifkan kelembaban optimum yang diperlukan berkisar
berbagai enzim serta dapat menetralkan asam antara 16o-22oC dan 80-90% tidak pernah
oksalat yang dikeluarkan oleh miselium didapatkan selama proses penelitian
(Campos et al., 2009). Pengambilan nitrat ini berlangsung. Hal ini dimungkinkan akan
akan digunakan untuk sintesis protein yang akan mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan
menghasilkan asam amino yang akan digunakan jamur tiram putih. Assadad (2008) menyebutkan
oleh jamur untuk pertumbuhan generatif. Eceng bahwa tubuh buah jamur akan tetap terbentuk
gondok mempunyai kandungan unsur hara meskipun suhu lingkungan tidak sesuai yang
kalsium (CaO) sebesar 8,5% dari berat diharapkan, namun demikian hasil yang
keringnya (Ningsih, 2008). Kandungan kalsium diperoleh tidak sebaik ketika suhu pembentukan
tersebut cukup memenuhi kebutuhan jamur tubuh buah ideal.
untuk perkembangan generatifnya, karena
semua energi yang dihasilkan digunakan untuk
pertumbuhan miselium. Perkembangan generatif
yang baik dapat meningkatkan berat segar dan
jumlah badan buah pada jamur. Penambahan
KESIMPULAN Mycological Research 102 (12): 1553-
Kesimpulan yang dapat diambil dalam 1562.
penelitian ini adalah penambahan eceng gondok
(Eichhornia crassipes) berpengaruh nyata Dewi, I. K. 2009. Efektivitas Pemberian Blotong
terhadap pertumbuhan miselium jamur pada Kering Terhadap Pertumbuhan Jamur
tahap F1, F2 dan F3 serta berat basah tiram putih Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Pada
(Pleurotus ostreatus). Perlakuan yang Media Serbuk Kayu. Skripsi. Universitas
memberikan hasil paling baik adalah perlakuan Muhammadiyah Surakarta.
E1 (media tanam dengan penambahan eceng
gondok 10%) yang dapat meningkatkan Djarijah dan Djarijah. 2001. Budidaya Jamur
pertumbuhan miselium dengan berat basah Tiram. Kanisius, Yogyakarta.
sebesar 79,40 gram. Hamdiyati, Y., Kusnadi dan Y. Slamet. 2010.
Penggunaan Berbagai Macam Media
DAFTAR PUSTAKA Tumbuh Dalam Pembuatan Bibit Induk
Achmad, E. N. Herliyana, O. A. F. Yurti dan A. Jamur Tiram Putih (Pleurotus
P. Hidayat. 2009. Karakteristik Fisiologi ostreatus). Universitas Pendidikan
Isolat Pleurotus Spp.. Jurnal Littri (15): Indonesia, Bandung.
46 – 51.
Hedritomo, H. I., D. Tjokrokusumo, dan I.
Alwiah. 2008. Pertumbuhan Dan Djajanegara. 2008. Pengaruh Mutasi
Perkembangan Pleurotus spp. Pada Radiasi Sinar Gamma (Co60) Terhadap
Media Serbuk Gergajian Kayu Sengon Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus
(Paraserianthes falcataria). Institut ostreatus Jack.). Jurnal Biotika (6): 8-
Teknologi Bogor, Bogor. 14.
Anindyawati, T. 2009. Prospek Enzim Dan Hidayat, I. W. 2011. Prospek Budidaya Jamur
Limbah Lignoselulosa Untuk Produksi Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) Studi
Bioetanol. BS (44): 49-56. Kasus : Kecamatan Ciampea Dan
Assadad, L. 2008. Pemanfaatan Limbah Ciawi, Kabupaten Bogor. Institut
Karagenan Sebagai Media Kultivasi Pertanian Bogor, Bogor.
Jamur Tiram (Pleurotus ostreatus). Jusuf, M. 2010. Amplified Fragment Length
Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Polymorphism Diversity of Cultivated
Brades A. C dan F. S. Tobing. 2008. Pembuatan White Oyster Mushroom Pleurotus
Briket Arang Dari Enceng Gondok ostreatus. Journal of Biosciences (17):
(Eichornia Crasipess Solm.) Dengan 21-26.
Sagu Sebagai Pengikat. Kriswiyanti, E. dan Endah. 2009. Kinetika
http://brades.multiply.com/journal [15 Hidrolisa Selulosa Dari Eceng Gondok
Maret 2012]. Dengan Metode Arkenol Untuk Variabel
Campos, C. S., A. F. Eira, M. T. A. Minhoni and Perbandingan Berat Eceng Gondok Dan
M. C. N. Andrade. 2009. Mineral Volume Pemasakan. Jurnal Ekuilibrium
Composition Of Raw Material, (7): 77-80.
Substrate And Fruiting Bodies Of Mufarrihah, L. 2009. Pengaruh Penambahan
Pleurotus ostreatus In Culture. Journal Bekatul Dan Ampas Tahu Pada Media
of Interciencia (34): 432-436. Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi
Carlile, M. J., S. C. Watkinson and G. W. Jamur Tiram Putih (Pleurotus
Gooday. 2001. The Fungi. Academic ostreatus). Skripsi. Universitas Islam
Press, London. Negeri (UIN) Malang, Malang.

Chiu, S. W., M. L. Ching, K.L. Fong and D. Muliani, L. 2000. Produksi Biomassa Miselia
Moore. 1998. Spent Oyster Mushroom Jamur Tiram Putih (Pleurotus ostreatus
Substrate Performs Better Than Many (Jacq. Ex Fr) (Kummer) Pada Media
Mushroom Mycelia In Removing The Padat Dengan Memanfaatkan Hasil
Biocide Pentachlorophenol. Samping Penggilingan Gandum
(Pollard dan Bran). Institut Teknologi Sugianto, A. 2007. Pengujian Miselium Hasil
Bogor, Bogor. Kultur Jaringan Dari Dua Jenis Jamur
Kayu Shitake (Lentinus edodes) dan
Nigam, J. N. 2002. Bioconversion of water- Tiram Putih (Pleurotus ostreatus) pada
hyacinth (Eichhornia crassipes) Berbagai Macam Campuran Nutrisi.
hemicellulose acid hydrolysate to motor Jurnal Primordia (3): 173-188.
fuel ethanol by xylose–fermenting yeast.
Journal of Biotechnology (97): 107–116. Suharnowo, L. S. Budipramana dan Isnawati.
2012. Pertumbuhan Miselium Dan
Ningsih, L. 2008. Pengaruh Jenis Media Tanam Produksi Tubuh Buah Jamur Tiram
Dan Konsentrasi Terhadap Putih (Pleurotus ostreatus) Dengan
Pertumbuhan Dan Produksi Jamur Memanfaatkan Kulit Ari Biji Kedelai
Tiram Merah (Pleurotus flabellatus). Sebagai Campuran pada Media Tanam.
Skripsi. Universitas Islam Negeri LenteraBio (1) : 125–130.
Malang, Malang.
Sumiati, E., E. Suryaningsih dan Puspitasari.
Pasaribu, G. dan Sahwalita. 2008. Pengolahan 2006. Perbaikan Produksi Jamur Tiram
Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku dengan Modifikasi Bahan Baku Utama
Kertas Seni. Prosiding Ekspose Hasil- Media Bibit. J. Hort. (2): 119-128
Hasil Penelitian: 111-118.
Suriawiria, H. U. 2002. Sukses Beragrobisnis
Rashad, M. M., H. M. Abdou, A. E. Mahmoud Jamur Kayu : Shiitake – Kuping -
and M. U. Nooman. 2009. Nutritional Tiram. Penebar Swadaya, Jakarta.
Analysis and Enzyme Activities of
Pleurotus ostreatus Cultivated on Citrus Susiana. 2010. Pengaruh Penambahan Gula
limonium and Carica papaya Wastes. (Sukrosa) Terhadap Pertumbuhan
Australian Journal of Basic and Applied Miselium Jamur Tiram Merah
Sciences (4): 3352-3360. (Pleurotus flabellatus). Skripsi.
Universitas Islam Negeri (UIN)
Ratri, C. W., S. Trisnowati dan A. Wibowo. Maulana Malik Ibrahim Malang,
2007. Pengaruh Penambahan Bekatul Malang.
Dan Eceng Gondok Pada Media Tanam
Terhadap Hasil Dan Kandungan Syafrizal, R. I. 2007. AKtivitas Enzim Lignolitik
Protein Jamur Tiram Putih (Pleurotus Fungi Pelapuk Putih Omphalina sp.
ostreatus (Jacq. exFr.) Kummer). Jurnal Dan Pleurotus ostreatus Pada Limbah
Ilmu Pertanian (14): 13-24. Lignoselulosa. Institut Teknologi Bogor,
Bogor.
Sangadji, I. 2009. Mengoptimalkan
Pemanfaatan Ampas Sagu Sebagai Wartaka. 2006. Studi Pertumbuhan Beberapa
Pakan Ruminansia Melalui Isolat Jamur Tiram (Pleurotus spp.)
Biofermentasi Dengan Jamur tiram Pada Berbagai Media Berlignin. Institut
Putih (Pleurotus ostreatus) Dan Teknologi Bogor, Bogor.
Amoniasi. Disertasi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor. Widyastuti. N dan S. Istini. 2004. Optimasi
Proses Pengeringan Tepung Jamur
Senyah, J., R. Robinson, and J. Smith. 1989. The Tiram Putih (Pleurotus ostreatus).
Cultivation of Oyster Mushroom Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia (2):
(Pleurotus ostreatus) on Cocoa Shell 1-4.
Waste. Journal Mushroom Science (2):
207-218. Winarni, I. dan U. Rahayu. 2002. Pengaruh
Formulasi Media Tanam dengan Bahan
Sigit, A. M. 2008. Pola Aktivitas Enzim Dasar Serbuk Gergaji terhadap
Lignolitik Jamur Tiram (Pleurotus Produksi Jamur Tiram Putih (Pleurotus
ostreatus) Pada Media Sludge Industri ostreatus). Jurnal Matematika, Sains,
Kertas. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, dan Teknologi (3): 21-27.
Bogor.
Yanuati, I. N. T. 2007. Kajian Perbedaan Media
Tanam Terhadap Pertumbuhan Dan
Hasil Jamur Tiram Putih (Pleurotus
florida). Skripsi. Universitas Brawijaya,
Malang.

Yuniasmara, C., Muchrodji dan M. Bakrun.


1999. Jamur Tiram. Penebar Swadaya,
Jakarta.

Zaman, B. dan E. Sutrisno. 2006. Kemampuan


Penyerapan Eceng Gondok Terhadap
Amoniak Dalam Limbah Rumah Sakit
Berdasarkan Umur Dan Lama Kontak
(Studi Kasus: RS Panti Wilasa,
Semarang). Jurnal Presipitasi (1): 49-54.

Anda mungkin juga menyukai