Strategi Diplomasi adalah strategi bernegosiasi oleh seseorang yang biasanya mewakili
sebuah negara atau organisasi. Secara umum ada dua bentuk strategi perjuangan menghadapi
ancaman Belanda. Pertama ialah perjuangan bersenjata. Perjuangan ini terjadi setelah
proklamasi kemerdekaan. Belanda dan sekutunya masih tidak mau menerima bahwa
Indonesia telah merdeka. Kedua ialah perjuangan melalui diplomasi. perjuangan ini
dilakukan dengan perundingan untuk menyelesaikan masalah. Upaya dengan melakukan
perundingan dianggap lebih efektif karena tidak memakan banyak korban jiwa.
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan melalui strategi diplomasi terdiri dari:
1. Perjanjian Linggarjati pada tanggal 10 November 1946
2. Perundingan Renville pada 8 Desember 1947 – 17 Januari 1948
3. Perjanjian Roem-Roijen pada 14 April 1949
4. Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus 1949 – 2 November 1949
.
1. Perjanjian Linggarjati
Perjanjian ini dilaksanakan di Desa Linggarjati, perbatasan antara Cirebon dan Kuningan,
pada tanggal 11 November 1946. Dalam perjanjian tersebut terdapat beberapa tokoh yang
datang sekaligus mewakili masing-masing pihak.
Berikut tokoh yang terdapat dalam perjanjian Linggarjati tersebut:
- Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir sebagai ketua. Ditemani oleh A K Gani,
Susanto Tirtoprojo, dan Mohammad Roem.
- Belanda diwakili oleh Wim Schermerhorn sebagai ketua dan ditemani oleh Max Von
Poll, H J van Mook serta F de Baer.
- Inggris selaku penanggung jawab atau mediator diwakili oleh Lord Killearn.
Misi Pendahuluan
Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk
menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946
bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda
dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan
senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai
tanggal 11 November 1946
Jalannya perundingan
Setelah pemilihan umum Belanda pada tahun 1946, koalisi pemerintahan yang baru terbentuk
memutuskan untuk mendirikan "Komisi Jenderal" untuk memulai negosiasi dengan
Indonesia. Pemimpin dari komisi ini adalah Wim Schermerhorn. Tujuan didirkannya komisi
ini adalah untuk mengatur konstitusi Hindia Belanda pada pasca-Perang Dunia II tanpa
memerdekakan koloninya.Dalam perundingan ini, Wim Schermerhorn beserta komisinya dan
Hubertus van Mook mewakili Belanda, sementara Soetan Sjahrir mewakili Indonesia, dan
Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.
Hasil dari perjanjian ini antara lain:
1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera
dan Madura
2. Belanda harus meninggalkan wilayah Republik Indonesia selambat-lambatnya tanggal
1 Januari 1949
3. Belanda dan Indonesia sepakat membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).
4. RIS harus bergabung dengan negara-begara persemakmuran di bawah Kerajaan
Belanda.
Mengenai RIS sendiri, Soekarno menerima kompromi tersebut untuk menghindari
perlawanan terhadap Belanda yang sulit dan pemahamannya mengenai sistem republik, maka
ia dapat memimpin RIS yang mayoritasnya penduduk Indonesia. Sementara Komisi Jenderal
juga menerima kompromi tersebut karena kemungkinan perang dapat dihindari dan hubungan
Belanda dengan Indonesia dapat berlanjut.
Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia
Perundingan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya
beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat
Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perundingan itu adalah bukti lemahnya
pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia
Dampak
Perjanjian ini memberikan dampak buruk bagi Indonesia. Indonesia harus kehilangan wilayah
kekuasaannya, berdasarkan perjanjian ini wilayah Indonesia hanya Jawa, Sumatera, dan
Madura. Bagi beberapa pihak kehilangan wilayah ini adalah sebuah kesalahan besar.
Langkah ini terpaksa diambil dengan pertimbangan delegasi Indonesia adalah kekuatan
militer Belanda yang hebat dan militer Indonesia yang apa adanya, apabila perundingan ini
tidak membuahkan hasil akan mengakibatkan perang kembali yang akan berdampak buruk
bagi Indonesia. Selain itu Indonesia harus ikut dalam Persemakmuran Indonesia-Belanda.
Pelanggaran Perjanjian
Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Van
Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada
tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari
perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda
Galeri
Sultan sjahrir dan Wim Schermerhor sedang menyusun Perundingan Linggarjati
Poster di Gedung Perundingan Linggarjati yang berisi imbauan pencegahan konflik akibat
pro kontra masyarakat Indonesia terhadap hasil perundingan.
2. Perundingan Renville.
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang terjadi pada
tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948 di atas geladak kapal perang Amerika
Serikat sebagai tempat netral USS Renville, yang berlabuh di Jakarta
Berikut tokoh. yang terdapat dalam perundingan bersejarah tersebut:
- Delegasi Indonesia terdiri dari Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim,
Dr. J. Leimena, Dr. Coatik Len, dan Nasrun.
- Delegasi Belanda beranggotakan H.A.I van Vredenburg, Dr. P.J. Koets, Dr. Chr.
Soumokil, serta orang Indonesia yang menjadi utusan Belanda yakni Abdul Kadir
Wijoyoatmojo.
- Sedangkan yang bertindak sebagai mediator dari KTN adalah Richard C Kirby dari
Australia (wakil Indonesia), Frank B. Graham dari Amerika Serikat (pihak netral),
dan Paul van Zeeland Belgia (wakil Belanda).
Dampak
Hasil Perundingan Renville yang ditandatangani pada 17 Januari 1948 itu ternyata cukup
merugikan bagi Indonesia. Wilayah kedaulatan RI menjadi semakin sempit dengan
diterapkannya aturan Garis van Mook atau Garis Status Quo.
Garis van Mook mengambil nama dari Hubertus van Mook, Gubernur Jenderal Hindia
Belanda terakhir. Garis van Mook adalah perbatasan buatan yang memisahkan wilayah milik
Belanda dan Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian Renville.
Anthony Reid dalam Indonesian National Revolution 1945-1950 (1974) menyebutkan,
menganggap keberadaan Garis van Mook juga sebagai bentuk hinaan terhadap Indonesia
karena wilayah RI menjadi semakin ciut.
Namun demikian, ada dampak positifnya pula. Perjanjian Renville ternyata semakin
membuka banyak negara di dunia internasional untuk memperhatikan Indonesia dan
mencermati sepak-terjang Belanda.
"Dalam jangka panjang, keputusan-keputusan di Renville menarik perhatian dunia
internasional yang semakin menyadari adanya pengorbanan besar untuk merdeka,” tulis
Anthony Reid.
3.Perjanjian Roem-Roijen
Perjanjian Roem-Royen merupakan perundingan yang dilakukan Indonesia dengan Belanda
yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei
1949 di Hotel Des Indes, Jakarta.
Berikut tokoh. yang terdapat dalam perjanjian Roem-Roijen
- Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad Roem, dengan anggota Ali
Sastroamijoyo, Dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Supomo, dan Laturharhary. ...
- Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J. H. van Royen, dengan anggota Blom, Jacob,
dr. Van, dr. Gede, Dr. P. J. Koets, Van Hoogstratendan, Dr. Gieben.
Dampak
Untuk menindaklanjuti perjanjian Roem-Royen, pada 22 Juni 1949, diadakan perundingan
formal antara Indonesia, Belanda, dan Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst
voor Federaal Overleg (BFO) di bawah pengawasan Critchley (Australia).
Perundingan itu menghasilkan keputusan:
1. Pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada 24 Juni 1949.
2. Pasukan Belanda akan ditarik mundur dari Yogyakarta pada 1 Juli 1949.
3. Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI menguasai keadaan sepenuhnya di
daerah itu.
4. Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI
ke Yogyakarta Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag,
5. Belanda Yogyakarta baru sepenuhnya ditinggalkan tentara Belanda pada 29 Juni
1949.
Soekarno dan Hatta dibebaskan dan kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli 1949
Dampak
Dampak dari KMB yakni Indonesia akhirnya mendapat kedaulatannya. Acara penyerahan
kedaulatan berlangsung pada 27 Desember 1949. Penandatanganan naskah penyerahan
kedaulatan berlangsung di dua kota yakni Amsterdam dan Jakarta.