Anda di halaman 1dari 16

ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

“CRITICAL JOURNAL REPORT”

Dosen pengampu
Drs.Mangatas Pasaribu M.sn

DISUSUN OLEH :

IKA NURHALIFAH
NIM : 4191141015

PENDIDIKAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
penulis ucapkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah Critical journal Review ini.
Critical journal Review ini telah disusun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan Critical journal Review ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan CJR ini.
Terlepas dari semua itu, saya menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan
terbuka saya menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah CJR ini
Akhir kata sya berharap semoga makalah CJR tentang limbah dan manfaatnya untuk
masyarakat ini dapat memberikan manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Medan,23 Nov 2020

Ika Nurhalifah
BAB I
PENDAHULUAN

A. LatarBelakang
Masalah budaya adalah segala sistem atau tata nilai atau sikap mental, pola
pikir, pola tingkah laku dalam berbagai aspek kehidupan yang tidak memuaskan bagi
masyarakat secara keseluruhan, atau dapat dikatakan bahwa masalah budaya adalah tata
nilai yang dapat menimbulkan krisis-krisis kemasyarakatan yang akan menyebabkan atau
terjadi pengurungan terhadap seseorang. Masalah tersebut mencakup berbagai aspek
kehidupan yang seluruhnya merupakan ungkapan masalah kemanusiaan dan budaya.

B. Permasalahan
1. Apa kelemahan Jurnal I dan Jurnal II?
2. Apa kelebihan jurnal I dan Jurnal II?

C. Tujuan
1. Mengatahui kelemahan Jurnal I dan Jurnal II
2. Mengetahui kelebihan jurnal I dan Jurnal II


BAB II

RINGKASAN JURNAL

2.1 Jurnal I

Judul : MASYARAKAT KONSUMEN SEBAGAI CIPTAAN KAPITALISME


GLOBAL: FENOMENA BUDAYA DALAM REALITAS SOSIAL

Penulis : Selu Margaretha Kushendrawati

Tahun : 2006

Jenis jurnal : SOSIAL HUMANIORA

Nomor dan volume : VOL. 10, NO. 2,

Pendahuluan

Dunia berkembang secara dinamis, terus berubah tanpa ada yang bisa mengontrol
gerak lajunya. Perkembangan yang dimaksud kini memasuki era di mana dunia terasa
menjadi semakin kecil, dunia menjadi sebuah desa global, di mana segala macam
informasi, modal, dan kebudayaan bergerak secara cepat, tanpa halangan batas-batas
kedaulatan. Kemajuan tersebut dinamakan sebagai globalisasi. Banyak orang melihat
secara optimis kapitalisme global yang bernaung di bawah panji globalisasi,
menganggapnya sebagai sebuah tatanan yang menyatukan segala masyarakat dalam
berperang melawan kemiskinan dan kemelaratan.

Dengan memakai metode deskriptif dan pendekatan dikotomis, penulis ingin


mengungkapkan sebuah cara pandang yang unik untuk menilai sejauh mana globalisasi,
baik itu globalisasi ekonomi, pandanganpandangan politik, dan juga globalisasi
kebudayaan telah menciptakan ketimpangan dalam masyarakat dunia. Globalisasi ekonomi
dikaitkan dengan ketimpangan antara masyarakat pemodal/Utara dengan masyarakat
peminjam modal/Selatan. Dalam bidang kebudayaan, globalisasi dikaitkan dengan
semakin merosotnya pandangan dan tata hidup eksotis-religius bangsa-bangsa Timur
akibat terpaan budaya MTV dan Hollywood Barat. Dalam ranah ekonomi, globalisasi
dituduh membawa ketimpangan kesejahteraan, terutama karena kebijakan pasar terbuka.
Kebijakan pasar bebas yang diagung-agungkan oleh Barat dan menjadi jargon bagi para
politisi di negara berkembang ternyata tidak lebih dari kedok untuk memperluas pasar
kapitalis Barat. Dalam ranah soiologis, globalisasi ekonomi dikaitkan dengan munculnya
generasi masyarakat konsumen yang pola konsumsinya sangat bergantung pada pola-
pola sistem tanda yang diperkenalkan media advertising—sebuah hasrat berbelanja yang
telah lari jauh dari skema nilai guna-nilai tukar tradisional. Pada akhirnya penulis akan
merangkai semua permasalah seputar globalisasi dan efeknya tersebut dalam sebuah
uraian tentang sejauh mana kemajuan yang menempel ketat dalam globalisasi telah
membawa dunia pada titik terjauh di mana daya kontrol manusia tidak dapat lagi
menggapainya.

Globalisasi

Kata globalisasi mempunyai hubungan yang erat dengan istilah kapitalisme global
atau ekonomi pasar bebas, globalisasi kebudayaan, pascamodernisme dan pascamodernitas.
Istilah-istilah ini mempunyai arti atau merepresentasikan realitas yang saling berkaitan.
Namun, dalam bagian pertama ini penulis hanya akan menjelaskan secara lebih
mendetail mengenai definisi dari globalisasi. Hal-hal lain yang berkaitan dengannya akan
dibahas di bagian-bagian lain dari tulisan ini. Mendefinisikan istilah ini secara mendasar
bukan hal yang mudah. Hal itu terjadi karena banyaknya bidang kehidupan yang
mengalami proses ini. Bidang-bidang itu antara lain, kebudayaan, ekonomi-kapitalisme
global, politik, komunikasi multimedia, dan lain sebagainya. Definisi yang paling
sederhana dan singkat mengenai globalisasi pernah dikemukakan oleh Etienne Perrot
yang memahaminya sebagai hasil penggabungan atau akumulasi antara internasionalisasi
dan homogenisasi (Perrot dalam Concilium 2001/5: 17). Definisi seperti ini sepertinya
menjadi jalan keluar dari perdebatan seputar distingsi antara internasionalisasi,
transnasionalisasi dan globalisasi

. Globalisasi juga bisa dipahami dari konsep time-space distinction. Pemikiran


Anthony Giddens kiranya berada dalam ranah ini. Kata globalisasi tidak hanya
menyangkut masalah ekonomi tetapi juga menyangkut informasi dan transportasi
(Wibowo dalam Giddens, 1999: xv). Globalisasi adalah suatu kondisi di mana tak
satupun informasi yang dapat ditutup-tutupi, semua transparan. Akibatnya, pola hubungan
manusia menjadi semakin luas, bukan saja pribadi dengan pribadi, melainkan juga semakin
terbukanya komunikasi yang simultan, mengglobal sehingga dunia menjadi— meminjam
istilah Marshall McLuhan—‘desa besar’ atau global village.

Kecurigaan terhadap Globalisasi

Berbagai kemudahan yang ditawarkan oleh mesinmesin berteknologi tinggi dan


perangkat komunikasi dan informasi multimedia dalam era globalisasi ternyata tidak
hanya dilihat dari sisi positif. Berbagai kecurigaan juga muncul beriringan dengan fakta-
fakta di atas. Dengan kemajuan di bidang komunikasi yang kelihatannya bisa menghapus
segala perbedaan dalam masyarakat dunia, ternyata globalisasi gagal membuat
masyarakat bersatu dalam satu solidaritas yang lebih besar dari sebelumnya (Sobrino dan
Wilfred dalam Concilium 2001/5: 11-12). Dalam perspektif ini homogenisasi globalisasi
dilihat sebagai ilusi. Dunia yang disatukan adalah ilusi terbesar globalisasi, karena yang
terjadi khususnya pada manusia adalah kebalikannya. Alih-alih menciptakan dunia yang
satu, globalisasi malah menciptakan manusia-manusia yang terfragmentasi (Sobrino dan
Wilfred dalam Concilium 2001/5: 12). Secara fisik, tampaknya dunia semakin bersatu,
homogen dengan payung globalisasi. Akan tetapi dunia yang homogen itu tidak termasuk
kemanusiaan. Dalam bidang ekonomi, kapitalisme global yang bernaung di bawah
globalisasi telah memisahkan manusia dalam jurang perbedaan yang sangat signifikan,
antara si miskin dan si kaya atau antara orang Utara/Barat sebagai pemodal yang kaya
raya dengan orang Selatan/Timur sebagai para buruh kasar yang miskin.

Globalisasi dan Pascamodernisme

Pascamodernisme tumbuh subur dalam kerangka globalisasi. Pascamodernisme


sendiri adalah suatu kecenderungan pemikiran yang menekankan lokalitas dan keragaman
penafsiran dan dengan demikian menolak segala klaim universalitas pengetahuan dan
kebenaran, menolak segala dogmatisme metode. Intinya pascamodernisme menolak baik
dogmatisme religius abad pertengahan dan ‘narasi agung’ abad pencerahan yang
berpuncak pada utopia positivisme logis. Pascamodernisme merupakan kritik akan
pemikiran Pencerahan (Enlightenment) yang sangat menekankan adanya subyek yang
sadar diri dan otonom. Seperti yang kita ketahui pemikiran Pencerahan sangat yakin
bahwa ilmu pengetahuan dan otak manusia akan mampu menangkap realitas seperti apa
adanya atau yang sebenarnya.

Globalisasi Kebudayaan Globalisasi kebudayaan berkembang seiring dengan


perkembangan kapitalisme global dan transparansi informasi. Sebagai proses
homogenisasi dan internasionalisasi, globalisasi bisa dilihat secara negatif. Dalam bidang
kebudayaan globalisasi dituduh gagal dalam menciptakan keanekaragaman dan
mempertahankan budaya. Cita-citanya untuk menghargai perbedaan dan tercapainya
keadilan bagi semua umat manusia ternyata tidak sesuai dengan realitas yang sedang
terjadi, karena justru kecenderungan globalisasi adalah homogenisasi dan penyeragaman.
Karena itu, keanekaragaman budaya dan masyarakat hanya tinggal konsep tanpa realitas
(Sobrino dan Wilfred dalam Concilium 2001/5: 12). Globalisasi tidak hanya mempengaruhi
sisi luar kebudayaan, yakni keanekaragaman budaya, akan tetapi juga menyangkut
hakikatnya, yakni cara pandang kita tentang kenyataan dan kebenaran. Menurut Jean
Baudrillard, dalam globalisasi kebudayaan kebenaran dan kenyataan menjadi tidak relevan
dan bahkan lenyap. Contohnya bisa dilihat dalam dunia hiburan di mana kebudayaan
direduksi menjadi sebatas iklan dan tontonan media massa. Bagi Anthony Giddens,
globalisasi terjadi manakala berbagai tradisi keagamaan dan relasi kekeluargaan yang
tradisional berubah mengikuti kecenderungan umum globalisasi, yakni bercampuraduk
dengan berbagai tradisi lain. (Giddens, 2000: 4).

Kapitalisme Global

Globalisasi, dalam taraf tertentu, dapat diidentikkan dengan globalisasi ekonomi.


Globalisasi ekonomi ini pada pada kenyataannya merupakan istilah lain dari ekonomi
pasar bebas ataupun kapitalisme global. Kapitalisme global mulai berkembang pesat,
segera setelah ‘Perang Dingin’ yang berakhir tahun 1980-an. Hal-hal tersebut merupakan
pemicu utama berkembangnya kapitalisme global atau globalisasi ekonomi yang diawali
dengan pertemuan General Agreement on Trade and Tarrif (GATT) di Maraquesh,
Maroko, 1993. Robert Heilbroner dalam bukunya 21st Century Capitalisme (1993)
menyatakan bahwa dalam diri kapitalisme itu sendiri ada daya gerak atau pembangkit
yang selalu bekerja menghasilkan perubahan yang konstan dengan tujuan yang jelas
(Heilbroner, 1993: 41). Kapitalisme global sebenarnya merupakan kelanjutan dan
penyempurnaan dari kapitalisme klasik yang telah dikritik oleh Karl Marx. Kalau dalam
kapitalisme klasik ruang lingkup atau jangkauan kekuasaannya hanya dalam satu negara,
maka dalam kapitalisme global dunia seakan tidak mempunyai sekat-sekat kedaulatan
lagi. Munculnya berbagai perusahaan multinasional merupakan bentuk nyata kehadiran
kapitalisme global di dunia. Ekonomi tidak lagi menyangkut urusan dalam negeri, tetapi
sudah berkembang menjadi ekonomi sejagad. Pasar berkembang menjadi pasar bebas
yang tidak hanya memperdagangkan barang dan jasa, tetapi juga menyangkut pasar mata
uang (valuta) dan pasar modal.

Kapitalisme Global dan Masyarakat

Konsumen Masyarakat yang hidup di zaman kapitalisme global adalah masyarakat


konsumen. Masyarakat seperti demikian sebenarnya adalah masyarakat yang telah
menjadi hamba dari ciptaannya sendiri, yaitu kapitalisme global. Kemajuan yang diusung
dalam globalisasi telah membawa masyarakat dalam situasi terkungkung dalam jerat-jerat
dan “rayuan” kapitalisme global, tatanan yang menawarkan berbagai kemudahan,
keindahan, dan pemenuhan kebutuhan yang serba instan. Dengan budaya konsumsi yang
dipegangnya, masyarakat konsumen sebenarnya merupakan hasil kreasi kapitalisme global.
Perkembangan kapitalisme global membutuhkan adanya masyarakat konsumen (consumer
society) yang akan melahap semua produk kapitalisme tersebut. Masyarakat konsumen
adalah masyarakat yang eksistensinya dilihat hanya dengan pembedaan komoditi yang
dikonsumsi. Masyarakat konsumen dengan budaya konsumsi yang dipegangnya melihat
tujuan dan totalitas hidupnya dalam kerangka atau logika konsumsi. Eksistensinya
dijalankan dan dipertahankan hanya dengan semakin dan terus menerusnya
mengkonsumsi berbagai tanda dan status sosial di balik komoditi. Bukan hanya dirinya
saja yang mengaktualisasikan diri lewat tindakan konsumsi, orang lain juga akan
dinilai menurut standar yang dipakainya itu. Artinya eksistensi orang lain pun akan
dinilai dan diakui sesuai dengan standar status sosial yang dipegangnya. Di sini peran
media massa dengan program advertising-nya sangat menonjol. Gaya konsumsi yang
dipandu oleh advertising atau iklan dalam kapitalisme global, ternyata telah menciptakan
suatu masyarakat konsumen yang mengkonsumsi, yang seakan-akan menjadi “sapi
perahan” kaum kapitalis.

Individualisme Baru dalam Masyarakat Konsumen

Masyarakat konsumen—yang hidup dari tanda-tanda yang ditawarkan oleh


globalisasi—pada gilirannya akan menjadi masyarakat yang menganut individualisme
baru. Individualisme baru ini muncul sejalan dengan berkembangnya neoliberalisme
dalam kapitalisme global. Dalam liberalisme awal muncul individualisme klasik yang
masih identik dengan kaum kapitalis. Liberalisme awal menawarkan konsep tentang
kebebasan individu termasuk di dalamnya kebebasan hak milik yang masih terbatas
dalam sekat-sekat kedaulatan suatu negara. Maksudnya, kebebasan yang dimaksud masih
berkaitan dengan posisi individu ketika berhadapan dengan negara. John Locke, seorang
pemikir liberalisme, melihat kebebasan sebagai suatu keadaan alamiah manusia. Dalam
hal ini suatu benda dikatakan sebagai milik satu orang ketika benda itu didayagunakan
atau diberi nilai tambah oleh orang tersebut (Franz Magnis-Suseno, 1987: 123-124).

Dunia yang Berlari menuju Kekacauan

Fenomena masyarakat konsumen, yang hidupnya diatur oleh logika kapitalisme


global di mana makna hidup dan identitas diri mereka ditemukan dalam perbedaan
kegiatan konsumsi dengan orang lain, sebenarnya merupakan fenomena yang
menunjukkan bahwa dunia sedang mengarah pada situasi yang tidak menentu. Masyarakat
konsumen yang tidak mampu mengelak dari belenggu kapitalisme global sebenarnya
merupakan masyarakat yang tidak mempunyai daya kritis. Dengan hilangnya daya kritis
dari kesadaran masyarakat konsumen, maka kehidupan yang akan dijalani pun menjadi
semakin kacau, tidak terkontrol, persis seperti kemajuan tak terkontrol yang diusung oleh
globalisasi. Modernitas, globalisasi, dan kapitalisme global identik dengan paham tentang
progresitas atau kemajuan. Kemajuan yang melekat dalam ketiga hal tersebut ternyata
tidak bisa dipahami secara langsung sebagai sesuatu yang positif. Di atas telah kita lihat
bagaimana ketiga hal tersebut telah menyebabkan berkembangannya ketimpangan sosial
dalam masyarakat global serta munculnya masyarakat konsumen dengan budaya
konsumtif yang membuat mereka menjadi hamba dari kemajuan, hamba dari budaya
hedonis. Kemajuan dunia ternyata telah meningkatkan resiko terganggunya kehidupan
harmonis dan kesejahteraan yang berimbang dalam masyarakat. Anthony Giddens
menyatakan bahwa masyarakat di era kapitalisme global dewasa ini berada dalam situasi
risiko yang sangat berbahaya (high-consequence risk) karena hidup dalam ketidakpastian
menghadapi hasil ciptaannya sendiri, yaitu teknologi yang canggih.

Catatan Kritis

Suatu hasil perenungan bukan berasal dari sesuatu yang kosong, tetapi dari
‘ada’ sebagai sesuatu yang direnungkan. Berdasarkan teori di atas yang tentunya diawali
oleh data empiris sebelumnya, ditambah refleksi kritis, maka tentunya suatu teori harus
dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam hal ini ada suatu fenomena budaya yang
tampak dalam realitas sosial di mana masyarakat di saat ini menjadi sangat konsumtif
sehingga mereka dinamai masyarakat konsumen. Lalu pertanyaannya mengapa mereka
menjadi konsumtif? Hal tersebut berikut jawabannya telah penulis kemukakan di atas.
Bahwa masyarakat konsumen adalah masyarakat yang hidup dan diciptakan oleh
kapitalibme global di era globalisasi. Era globalisasi seperti kita ketahui merupakan era
yang canggih teknologi komunikasi sehingga dunia seakan- akan menjadi satu tanpa ada
hal-hal yang dapat ditutuptutupi. Untuk itu dunia menjadi terbuka bagi siapa saja dan
bebas diinterpretasikan. Masyarakat menjadi semakin liberal dan demokratis, padahal
globalisasi berkecenderungan penghomogenisasian. Maka akibatnya masyarakat kehilangan
kekritisannya Masyarakat yang telah sangat menikmati ketergantungan pada teknologi
dalam hal ini iklan yang ditayangkan disetiap momentum kehidupan melalui kebebasan
media massa semakin lama semakin membentuk kepribadian- kepribadian baru, masyarakat
menjadi individualisme baru. Masyarakat hanya menjadi mayoritas yang diam tanpa
mampu merefleksi diri oleh kekuatan sihir iklan demi iklan yang dijejalkan pada dirinya
sebagai tanda dan simbol. Tugas masyarakat hanya menikmati diri dengan melahap
barang-barang komoditi. Itu berarti proses alienasi sedang berlangsung dalam masyarakat
konsumen. Di sana mode of production bergeser menjadi mode of consumption.

2.1 Jurnal II

Judul : KEMAJUAN TEKNOLOGI DAN POLA HIDUP MANUSIA DALAM


PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA

Penulis : Muhamad Ngafifi

Tahun : 2014

Jenis jurnal : Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi

Nomor dan volume : Volume 2, Nomor 1

PENDAHULUAN

Manusia menggunakan teknologi kare-na memiliki akal. Dengan akalnya manusia


ingin keluar dari masalah, ingin hidup lebih baik, lebih aman, dan sebagainya. Perkem-
bangan teknologi terjadi karena seseorang menggunakan akalnya untuk menyelesaikan setiap
masalah yang dihadapinya. Kemajuan teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari
dalam kehidupan ini, karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Setiap inovasi diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan
manusia. Teknologi juga memberikan banyak kemu-dahan, serta sebagai cara baru dalam
melaku-kan aktivitas manusia. Manusia juga sudah menikmati banyak manfaat yang dibawa
oleh inovasi-inovasi teknologi yang telah dihasilk-an dalam dekade terakhir ini.

PEMBAHASAN

Kemajuan Teknologi

Konsep Teknologi

Manusia pada awalnya tidak mengenal konsep teknologi. Kehadiran manusia


purba pada masa pra sejarah, hanya mengenal teknologi sebagai alat bantunya dalam
mencari makan, alat bantu dalam berburu, serta mengolah makanan. Alat bantu yang
mereka gunakan sangatlah sederhana, terbuat dari bambu, kayu, batu, dan bahan
sederhana lain yang mudah mereka jumpai di alam bebas. Misalnya untuk membuat
perapian, ia memanfaatkan bebatuan yang dapat memunculkan percikan api.

Perkembangan teknologi akan mengalami beberapa siklus. Jacob menjelaskan


beberapa siklus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi lima tahapan.
Lima tahapan tersebut dinyatakan sebagai lima siklus kondratif, yaitu suatu siklus yang
akan berulang setiap 50 tahun. Kelima siklus tersebut adalah: pertama, dimulai dengan
revolusi teknologi (tahun 1760); kedua, ditandai dengan terbentangnya jaringan kereta
api (tahun 1848); ketiga, dimulai dengan ditemukannya ban berjalan (tahun 1895);
keempat, ditandai dengan ditemukannya tenaga atom dan motorisasi massal (tahun
1945); dan kelima, ditandai dengan perkembangan mikro elektronik serta bioteknologi.
Teknologi memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan
memiliki otonomi mengubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi lingkup teknis.
Sastrapratedja (Dwiningrum, 2012, p.154) menjelaskan bahwa fenomena teknik pada
masyarakat kini.

Janji Teknologi

Suatu hal yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bahwa setiap
perkembangan teknologi selalu menjanjikan kemudahan, efisiensi, serta peningkatan
produktivitas. Memang pada awalnya teknologi diciptakan untuk mempermudah
manusia untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya. Berikut ini ada beberapa hal
yang dijanjikan teknologi (Martono, 2012, pp.289-291).

Masyarakat Digital
Era modern diidentikkan dengan era masyarakat digital. Setiap aktivitas manusia
akan digerakkan melalui serangkaian teknologi digital. Teknologi ini dioperasikan
dengan menekan beberapa digit (angka) yang di susun dengan berbagai urutan. Relasi
yang terbangun di antara individu adalah relasi pertukaran digital, setiap manusia hanya
melakukan serangkaian transaksi atau interaksi melalui simbol-simbol digital. Transaksi
perdagangan, komunikasi, semuanya digerakkan secara digital. Setiap individu akan
memiliki identitas digital yang mampu mengenali siapa dirinya, setiap manusia sudah
diberi nomor urut: melalui nomor identitas (e-KTP), nomor handphone, nomor telepon,
nomor rekening bank, nomor ATM, nomor rekening listrik, rekening telepon, rekening
air, PIN (Personal Identification Number) ATM, semuanya menggunakan sistem digital.

Teori Perubahan Sosial Budaya Para sosiolog dan antropolog mempunyai


pendapat yang berbeda mengenai perubahan sosial diantaranya (Soekanto, 1990, pp.332-
337): 1) Gillin dan Gillin, mengartikan perubahan sosial adalah suatu variasi dari cara
hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, dan ideologi maupun karena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat 2) Larson dan Rogers,
mengemukakan pengertian tentang perubahan sosial yang dikaitan dengan adopsi
teknologi yaitu perubahan sosial merupakan suatu proses yang berkesinambungan dalam
suatu bentangan waktu tertentu. Pemakaian teknologi tertentu oleh suatu warga
masyarakat akan membawa suatu perubahan sosial yang dapat diobservasi lewat
perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan. 3) Soerjono Soekanto, mendefinisikan
perubahan sosial adalah segala perubahan yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan
dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya.

Teori Perubahan Sosial Budaya

Para sosiolog dan antropolog mempunyai pendapat yang berbeda mengenai


perubahan sosial diantaranya (Soekanto, 1990, pp.332-337):

1) Gillin dan Gillin, mengartikan perubahan sosial adalah suatu variasi dari
cara hidup yang telah diterima, baik karena perubahan-perubahan kondisi geografis,
kebudayaan material, komposisi penduduk, dan ideologi maupun karena adanya difusi
ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat

2) Larson dan Rogers, mengemukakan pengertian tentang perubahan sosial yang


dikaitan dengan adopsi teknologi yaitu perubahan sosial merupakan suatu proses yang
berkesinambungan dalam suatu bentangan waktu tertentu. Pemakaian teknologi tertentu
oleh suatu warga masyarakat akan membawa suatu perubahan sosial yang dapat
diobservasi lewat perilaku anggota masyarakat yang bersangkutan.

3) Soerjono Soekanto, mendefinisikan perubahan sosial adalah segala perubahan


yang terjadi dalam lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang
mempengaruhi sistem sosialnya.

SIMPULAN

Secara sosiologis, teknologi merupakan salah satu aspek yang turut


mempengaruhi setiap aktivitas, tindakan, serta perilaku manusia. Teknologi mampu
mengubah pola hubungan dan pola interaksi antar manusia. Kehadiran teknologi
merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Aktivitas
manusia sedikit banyak akan dipengaruhi oleh kehadiran teknologi. Kemajuan teknologi
dewasa ini ditandai dengan semakin canggihnya alat-alat di bidang informasi dan
komunikasi, satelit, bioteknologi, pertanian, peralatan di bidang kesehatan, dan rekayasa
genetika. Muculnya masyarakat digital dalam berbagai bidang kehidupan merupakan
bukti dari kemajuan teknologi. Masyarakat dan negara-negara di dunia berlombalomba
untuk dapat menguasai teknologi tinggi (high tech) sebagai simbol kemajuan,
kekuasaan, kekayaan dan prestise.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Kelebihan Dan Kekurangan Jurnal I

Jurnal ini berisi tentang fenomena budaya dalam realitas sosial. Dari abstrak telah
menggambarkan secara keseluruhan isi jurnal ini. Pada pendahuluan juga telah
menggambarkan latar belakang dari di tuliskannya jurnal ini. Isi dari jurnal ini telah
memaparkan materi yang sangat luas tentang MASYARAKAT KONSUMEN SEBAGAI
CIPTAAN KAPITALISME GLOBAL: FENOMENA BUDAYA DALAM REALITAS
SOSIAL. Jurnal ini sangat baik di jadikan salah satu referensi untuk bahan acuan untuk
mempardalam ilmu sosial budaya. Karena topoik yang di angkat di ambil dari realita
kehidupannyata. Tetapi dalam jurnal ini juga terdapat kekurangan yaitu terdapat bebrapa kata
yang kurang difahami oleh beberapa orang awam. Jurnal ini juga tidak di lengkapi
kesimpulan.

3.2 Kelebihan Dan Kekurangan Jurnal II

Jurnal ini berisi tentang pengaruh teknologi terhadap kehidupan sosial manusia. Pada
abstrak telah menggambarkan secara keseluruhan isi dari jurnal tersebut. Pada pendahuluan
terdapat latar belakang yang menjadi alasan penulis menulis jurnal ini dan pada pendahuluan
di lengkapi juga dengan daftar dari negara – negara maju dalam bidang teknologi. Isi jurnal
telah memaparkan materi yang saling berkesinambungan antara judul dan isi jurnal dan
pemaparan isi yang sangat luas sehinggah dapat dijadikan salah satu referensi untuk di
jafikan bahan bacaan. Tetapi dalam jurnal ini hanya terdapat beberapa oata yang kurang di
pahami oleh beberapa orang.

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Jurnal I dan Jurnal II sudah dapat di jadikan sebagai bahan bacaan guna
menambahmenambah wawasan ilmu walau pun dalam jurnal I dan jurnal II memiliki
kelemahan dan kelebihan di dalam isi maupun yang lainya. Secara keseluruhan jurnal I dan
jurnal II sudah baik secara keseluruhan. Materi yang diangkat dalam jurnal I dan jurnal II
snagat menarik untuk dibaca karena pada topik yang di angkat berdasarkan kehidupan sehari
– hari manusia.
4.2 Saran

Pemakalah menyarankan agar pembaca menggunakan jurnal ini sebagai bahan bacaan
untuk menambah wawasan dalam pembelajaran Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar. Tetapi
pemekalah juga memnyarankan mencari referensi lain untuk menambah ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA

Ngafifi, Muhamad.2014.KEMAJUAN TEKNOLOGI DAN POLA HIDUP


MANUSIA DALAM PERSPEKTIF SOSIAL BUDAYA. Jurnal
Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi. Volume 2, Nomor 1

Kushendrawati, Selu Margaretha. 2006. MASYARAKAT KONSUMEN SEBAGAI


CIPTAAN KAPITALISME GLOBAL: FENOMENA BUDAYA DALAM
REALITAS SOSIAL. SOSIAL HUMANIORA. VOL. 10, NO. 2

Anda mungkin juga menyukai