Anda di halaman 1dari 60

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi Sistem Pencernaan

1. Pengertian

Menurut Tarwoto (2009, h.261), sistem pencernaan merupakan

saluran panjang (± 9 meter) yang terlibat dalam proses mencerna

makanan, mulai dari mulut sampai anus. Saluran ini akan menerima

makanan dari luar tubuh dan mempersiapkannya untuk diserap serta

bercampur dengan enzim dan zat cair melalui proses pencernaan, baik

dengan cara pengunyahan, menelan dan mencampur menjadi zat gizi dan

energi.

Menurut Syaifuddin (2006), saluran pencernaan makanan

merupakan saluran yang menerima makanan dari luar dan

mempersiapkannya untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses

pencernaan (pengunyahan, penelanan dan pencampuran) dengan enzim

dan zat cair yang terbentang mulai dari mulut (oris) sampai anus.

Sistem pencernaan berurusan dengan penerimaan makanan dan

mempersiapkanya untuk diasimilasi tubuh. Saluran pencernaan terdiri atas

mulut, faring, esofagus, ventrikulus, usus halus, dan usus besar (Evelyn:

2013).
2. Fungsi Sistem Pencernaan

a. Menerima makanan dari mulut.

b. Memecah makanan menjadi zat-zat gizi (dilakukan didalam mulut,

faring, esofagus dan lambung).

c. Menyerap zat-zat gizi kedalam aliran darah (dilakukan oleh usus).

d. Membuang bagian makanan yang tidak dapat dicerna dari tubuh.

(Tarwoto, 2009, h.262).

3. Saluran pencernaan

a. Mulut

Menurut Tarwoto (2009, h.265), mulut merupakan jalan

masuk yang dilalui makanan pertama kali untuk sistem pencernaan.

Rongga mulut dilengkapi dengan alat pencernaan (gigi dan lidah)

serta kelenjar pencernaan untuk membantu pencernaan makanan.

Secara umum, mulut terdiri dari 2 bagian yaitu :

1) Bagian luar (vestibula) yaitu ruang diantara gusi, bibir, dan pipi

dan rongga mulut.

2) Bagian dalam yaitu rongga yang dibatasi sisinya oleh tulang

maksilaris, palatum, dan mandibularis di sebelah belakang

bersambung dengan faring.


Gambar 1. Anatomi mulut
Sumber: www.konsultasikedokeran.com diakses pada tanggal 14 Mei 2016, jam
17.00 WIB

b. Faring

Faring merupakan organ yang menghubungkan rongga mulut

dengan kerongkongan (esofagus) dan merupakan peralihan rongga

mulut dan sistem pernapasan serta sistem pencernaan. Saluran ototnya

dilapisi dengan selaput lendir. Lengkung faring yang mengandung

tonsil yang merupakan kumpulan kelenjar limfe. Kelenjar limfe

tersebut mengandung limfosit dan berfungsi dalam pertahanan

terhadap infeksi. Dalam faring terdapat Sfingter Pharingoesofageal

yang berfungsi mencegah makanan dari esophagus masuk ke Faring.

Pada faring juga terdapat tekak yang terdiri dari:

1) Bagian superior disebut nasofaring bermuara tuba yang

menghubungkan tekak dengan ruang telinga.


2) Bagian media disebut orofaring yang berbatas ke depan sampai

akar lidah.

3) Bagian inferior disebut laringofaring yang menghubungkan

orofaring dan laring (Suratum, 2014,h.7).

c. Esofagus

Menurut Nuari (2015, h.6), esofagus adalah tabung berotot

pada vertebrata yang dilalui sewaktu makanan berjalan melalui

esofagus dengan menggunakan proses peristaltik. Disebelah depan

esofagus terdapat saluran pernapasan yang disebut trakea. Trakea

menghubungkan rongga hidung dengan paru-paru. Pada saat kita

menelan makanan, ada tulang rawan yang menutup lubang ke

tenggorokan. Bagian tersebut dinamakan epiglottis. Epiglottis

mencegah makanan masuk ke paru-paru. Esophagus bertemu dengan

faring pada ruas ke-6 tulang belakang.

d. Lambung

Lambung terletak dibagian superior kiri rongga abdomen,

terletak obliq dari kiri ke kanan di bwah diafragma, berbentuk tabung

seperti huruf J dengan kapasitas normal 2 liter. Secara anatomis,

lambung lambung terdiri dari fundus, korpus, antrum pilorikum

(pylorus), kurvatura mayor, kurvatura minor, sfingter cardia

(mengalirkan makanan masuk ke lambung dan menceah refluks isi

lambung masuk ke esophagus), kardia dan sfingter pylorus (mencegah


aliran balik isi duodedum ke lambung). Struktur lambung memiliki

lapisan-lapisan. Susunan lapisan dari dalam ke luar, terdiri dari:

1) Tunika serosa (luar) merupakan bagian dari peritoneum viseralis.

2) Tunika mukosa, terdiri dari 3 lapisan otot polos yaitu lapisan

longitudinal (bagian luar), lapisan sirkuler (bagian tengah) dan

lapisan obliq (bagian dalam).

3) Sub mukosa, merupakan lapisan yang menghubungkan mukosa

dengan lapisan mukularis. Mengandung jaringan areolar longgar.

4) Mukosa (lapisan dalam) terdiri dari rugae yang berlipat-lipat

sehingga lambung dapat berdistensi (Suratun, 2014, h.10).

e. Usus Halus

Usus halus merupakan kelanjutan dari lambung yang terletak

di antara spingter pilorus lambung dengan valve ileosekal yang

merupakan bagian awal usus besar, terletak disentral bawah

abdomen yang di suport dengan lapisan mesenterika (berbentuk

seperti kipas) memungkinkan usus halus mengalami perubahan

bentuk seperti berkelok-kelok. Mesentrika ini dilapisis pembuluh

darah, persyarafan, dan saluran limfe yang mensuplai kebutuhan

dinding usus.

Usus halus memiliki saluran paling panjang dari saluran

pencernaan dengan panjang sekitar 3 meter dan lebar 2,5 cm, tiap

orang memiliki ukuran yang berbeda-beda. Usus halus sering disebut

dengan usus kecil karena ukuran diameternya lebih kecil jika


dibandingkan dengan usus besar. Usus halus ini terbagi menjadi 3

bgian yaitu duodenum (±25cm), jejenum (± 2,5m), serta ileum (± 3,6

m)

Adapun fungsi dari usus halus adalah menerima sekresi hati

dan pancreas, mengabsorpsi saripati makanan dan menyalurkan sisa

hasil meyabolisme ke usu besar. Pada usus halus hanya terjadi

pencernaan secara kimiawi saja, dengan bantuan senyawa kimia

yang dihasilkan oleh usu halus serta senyawa kimia dari kelenjar

ankreas yang dilepaskan ke usus halus (Tarwoto, 2009, h.276)

f. Usus Besar

Menurut Tarwoto (2009, h.278), kolon merupakan usus yang

memiliki diameter lebih besar dari pada usus halus. Memiliki

panjang 1,5 meter, berbentuk seperti huruf U terbalik. Usus besar

dibagi menjadi 3, yaitu: kolon assendens, kolon transversum, dan

kolon desenden.

Gambar 4. Usus Halus


Sumber : id.wikipedia.org/Ususbesar
Fungsi kolon adalah :

1) Menyerap air selama proses pencernaan.

2) Tempat dihasilkannya vitamin K sebagai hasil simbiosis dengan

bakteri misalnya E.coli.

3) Membentuk massa feses.

4) Mendorong sisa makanan hasil pencernaan (feses) keluar dari

tubuh (Tarwoto, 2009, h.278).

g. Rektum dan anus

Menurut Nuari (2015, h.14), rektum adalah sebuah ruangan

yang berawal dari ujung usus besar (setelah kolon sigmoid) dan

berakhir di anus. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan di

tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon

desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rectum, maka timbul

keinginan untuk buang air besar. Orang dewasa dan anak yang lebih

tua bisa menahan keinginan ini, tetapi pada bayi dan anak yang lebih

muda mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting

untuk menunda buang air besar.

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana

bahan limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari

permukaan tubuh (kulit) dan sebagian lainnya dari usus. Suatu cincin

berotot (sfingter ani) menjaga agar anus tetap tertutup.


B. Konsep Dasar Medis

1. Hirschprung

a. Pengertian

Menurut Mansjoer A. (2010) dalam Royyan (2012, h. 41),

hirschprung / megacolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan

pasase usus, tersering pada neonatus, kebanyakan terjadi pada bayi

aterm dengan berat lahir 3 kilogram, lebih banyak terjadi pada laki-

laki dari pada perempuan.

Penyakit hirschprung (megacolon kongenital) adalah suatu

kelainan bawaan berupa aganglionosis usus, mulai dari sfingter anal

internal kearah proksimal dengan panjang segmen tertentu, selalu

termasuk anus, dan setidak-tidaknya sebagian rektum (Chris Tanto,

2014, h. 211)

Menurut Nurarif (2015, h.119), hirsprung adalah penyakit

tidak adanya sel-sel ganglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid

colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan keabnormalan atau tidak

adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan.

Hirschprung (megakolon / aganglionic congenital) adalah

anomali kongenital yang mengakibatkan obstruksi mekanik karena

ketidakadekuatan motilitas sebagian usus. Hirschprung merupakan

keadaan tidak ada atau kecilnya sel saraf parasimpatik pada pleksus

meinterikus dari kolon distalis (Sodikin, 2011, h.202)


Gambar : perbedaan colon normal dan colon pada hirschprung
Sumber : Nurarif, 2015, h.120

b. Etiologi

Menurut Cris Tanto (2014, h.211), penyebab dari penyakit

hirschprung ini belum diketahui dengan jelas. Diperkirakan terjadi

defek migrasi sel-sel krista neural yang merupakan prekursor sel

ganglion intestinal. Normalnya, sel-sel tersebut bermigrasi

sefalokaudal. Proses tersebut selesai pada minggu ke-12 kehamilan.

Namun, migrasi dari kolon transversal bagian tengah ke anus

memerlukan waktu selama 4 minggu. Pada periode inilah paling

rentan terjadi defek migrasi sel krista neural. Hingga saat ini penyakit

hirschprung diasosiasikan dengan mutasi tiga gen spesifik.

Penyakit hirschprung (megakolon kongenital) adalah suatu

penyumbatan pada usus besar yang terjadi akibat pergerakan usus

yang tidak adekuat karena sebagian dari usus besar tidak memiliki

saraf yang mengendalikan kontraksi ototnya. Penyebabnya karena

dalam keadaan normal bahan makanan yang dicerna berjalan


sepanjang usus karena adanya kontraksi ritmis dari otot-otot yang

melapisi usus atau gerakan peristaltik. Kontraksi otot-otot tersebut

dirangsang oleh sekumpulan saraf yang disebut ganglion yang terletak

di bawah lapisan otot. Pada penyakit hirschprung, ganglion tersebut

tidak ada, biasanya hanya sepanjang beberapa senti. Segmen usus

yang tidak memiliki gerakan peristaltik tidak dapat mendorong bahan-

bahan makanan yang dicerna dan terjadi penyumbatan (Rukiyah,

2010, h.207).

c. Tipe Hirschprung

Menurut Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI (1996) dalam

Sodikin (2011, h.203), hirschprung dibedakan sesuai panjang segmen

yang terkena. Hirschprung dibedakan menjadi dua tipe berikut :

1) Segmen pendek

Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid,

terjadi pada sekitar 70% kasus penyakit hirschprung dan tipe ini

lebih sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan anak

perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidennya 5

kali lebih besar pada laki-laki dibanding wanita dan kesempatan

bagi saudara laki-laki dari penderita anak unuk mengalami

penyakit ini adalah 1 dari 20.

2) Segmen panjang

Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang

dapat mengenai seluruh kolon atau sampai usus halus. Laki-laki


dan perempuan memiliki peluang yang sama, terjadi pada 1 dari

10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin.

d. Manifestasi Klinik

Menurut Rukiyah (2010, h. 206), gejala yang ditemukan pada

bayi baru lahir yaitu dalam rentang waktu 24-48 jam bayi tidak

mengeluarkan mekonium (kotoran pertama bayi yang berbentuk

seperti pasir berwarna hijau kehitaman), malas makan, muntah

berwarna hijau, pembesaran perut (perut menjadi buncit). Pada masa

pertumbuhan (usia 1-3 tahun) tidak dapat meningkatkan berat badan,

konstipasi (sembelit), pembesaran perut, diare yang keluar seperti

menyemprot, demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang

usus halus dan dianggap sebagai keadaan yang serius dan dapat

mengancam jiwa. Pada anak diatas usia 3 tahun gejala bersifat kronis

yaitu konstipasi, kotoran berbentuk pita, berbau busuk, pembesaran

perut, pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti

bergelombang, menunjukan gejala kurang gizi dan anemia.

e. Patofisiologi

Menurut Pratignyo (2014, h.7), gambaran penyakit hirschprung adalah

obstruksi fungsional disebabkan penyempitan segmen usus yang

mengalami aganglionosis sehingga tidak berjalannya peristaltis yang


bersifat mendorong. Tidaka da penjelasan yang jelas mengapa terjadi

hiperspastisitas atau kontraksi tonik segmen aganglionik ini. Untuk itu

perlu diketahuo sistem organisasi usus yang terlibat dalam proses

peristaltis.

Gambaran maksroskopik khas dari usus pada penyakit hirschprung

adalah penyempitan segmen colon distal dengan zona transisi yang

berangsur melebar seperti kipas dan segmen proksimal yang

berdilatasi disertai hipertrofi. Namun gambaran ini bervariasi

tergantung lamanya penyakit ini berlangsung sebelum dilakukan

intervensi. Pada neonatus gambaran ususnya bisa normal, tetapi

dengan bertambahnya usia maka bagian proksimal mulai hipertrofi

dan menebal dan menjadi lebih panjang dari normal. Gambaran tinea

menghilang dan otot longitudinal sepertinya melingkupi seluruh

colon. Telah diketahui sejak lama bahwa gejala obstruksi kolon

disebabkan karena gangguan motilitas dari segmen distalnya, tetapi

sampai saat ini tidak ada penjelasan yang sempurna tentang penyebab

kontraksi yang berlebihan dari dinding segmen distal tersebut.

f. Pemeriksaan penunjang

Menurut Nurarif (2015, h.119), pemeriksaan penunjang pada

penyakit hirschprung adalah :

1) Pemeriksaan laboratorium

a) Kimia darah : kebanyakan temuan elektrolit dan panel renal

biasanya dalam batas normal. Pada anak dengan diare


memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi. Pemeriksaan

ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan

cairan dan elektrolit.

b) Darah rutin : dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan

platelet preoperatif.

c) Profil koagulasi : dilakukan untuk memastikan tidak ada

gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum

operasi dilakukan.

2) Pemeriksaan radiologi

Foto polos abdomen dapat menunjukan adanya loop usus

yang distensi dengan adanya udara rectum

3) Biopsi

Biopsi rectum untuk melihat ganglion pleksus submukosa

meisner, apakah terdapat ganglion atau tidak. Pada penyakit

hirschprung ganglion tidak ditemukan.

g. Penatalaksanaan

Menurut Rukiyah (2010, h.208), untuk mencegah terjadinya

komplikasi akibat penyumbatan usus, segera dilakukan kolostomi

sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada dinding perut

yang di sambungkan dengan usus besar. Pengangkatan bagian usus

yang terkena dan penyambungan kembali usu besar biasanya

dilakukan pada anak berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi

(perlubangan usus) atas enterokolitis diberikan antibiotik.


Sedangkan, menurut Nurarif (2015, h.121), penatalaksanaan pada

hirschprung adalah :

1) Prosedur Swenson’s

Pada dasarnya operasi yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi

dengan preservasi spinkter ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm

rectum distal dari linea denata, sehingga dalam pengamatan pasca

operasi masih dijumpai spasme rectum yang ditinggalkan.

Kemudian metode itu diubah dengan melakukan spinkterektomi

posterior, yaitu dengan hanya menyisakan 2 cm rectum bagian

anterior dan 0,5-1 cm rectum posterior.

2) Prosedur Duhamel

Prinsip dasar prosedur ini adalah menarik kolon proksimal yang

ganglionik ke arah anal melalui bagian posterior rectum yang

aganglionik, menyatukan dinding posterior rectum yang

aganglionik dengan dinding anterior kolon proksimal yang

ganglionik sehingga membentuk rongga baru dengan anastemose

end to side.

3) Prosedur Soave

Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa

rectum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon kolon

proksimal yang ganglionik masik ke dalam lumen rectum yang

telah dikupas tersebut.


4) Prosedur Rehben

Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana

dilakukan anastomose end to end anatara usus aganglionik dengan

rectum pada level otot levator ani (2-3 cm di atas anal verge),

menggunakan 1 lapis yang dikerjakan intra abdominal

ekstraperitonial. Pasca operasi, sangat penting melakukan

businasi secara rutin guna mencegah stenosis

2. Laparatomi

a. Pengertian

Menurut Jitowiyono (2010, h.93), laparatomi adalah pembedahan

perut sampai membuka selaput perut. Ada 4 cara, yaitu :

1) Midline incision.

2) Paramedian, yaitu; sedikit ke tepi dari garis tengah (±2,5cm),

panjang (12,5cm).

3) Transverse upper adbomen incision, yaitu : insisi di bagian atas,

misalnya pembedahan colesistotomy dan splenektomy.

4) Transverse lower abdomen incision, yaitu; insisi menlintang di

bagian bawah ±4cm di atas anterior spial iliaka, misalnya; pada

operasi appendictomy.

b. Indikasi

Menurut Jitowiyono (2010, h.93), indikasi dilakukannya laparatomi

adalah :
1) Trauma abdomen (tumpul atau tajam) atau ruptur hepar.

2) Peritonitis.

3) Perdarahan saluran pencernaan (internal blooding).

4) Sumbatan pada usus dan usus besar.

5) Masa pada abdomen.

c. Komplikasi

1) Ventilasi paru tidak adekuat.

2) Gangguan kardiovaskuler: hipertensi, aritmia jantung.

3) Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit.

4) Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan.

d. Latihan-latihan fisik

Latihan napas dalam,latihan batuk, menggerakkan otot-otot kaki,

menggerakkan otot-otot bokong, latihan alih baring dan turun dari

tempat tidur. Semuanta dilakukan di hari ke-2 post operasi

(Jitowiyono, 2010, h.94).

e. Perawatan post laparatomi

Perawatan post laparatomi adalah bentuk pelayanan perawtatan yang

diberikan kepada pasien-pasien yang telah menjalani operasi

pembedahan perut.

Tujuan perawatan post laparatomi;

1) Mengurangi komplikasi akibat pembedahan.

2) Mempercepat penyembuhan.
3) Mengembalikan fungsi pasien semaksimal mungkin seperti

sebelum operasi.

4) Mempertahankan konsep diri pasien.

5) Mempersiapkan pasien pulang.

f. Komplikasi post laparatomi

1) Gangguan perfusi jaringan sehubungan dengan tromboplebitis.

Tromboplebitis postoperasi biasanya timbul 7-14 hari setelah

operasi. Bahaya besar tromoplebitis timbul bila darah tersebut

lepas dari dinding pembuluh darah vena dan ikut aliran darah

sebagai emboli ke paru-paru, hati, dan ota.

Pencegahan tromboplebitis yaitu latihan kaki post operasi,

ambulatif dini dan kaos kaki TED yang dipakai pasien sebelum

mencoba ambulatif.

2) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan luka infeksi.

Infeksi luka seirng muncul oada 36-46 jam setelah operasi.

Organisme yang paling sering menimbulkan infeksi adalah

stapilokokus auerns, organisme; gram positif. Stapilokokus

mengakibatkan pernanahan.

Untuk menghindari infeksi luka yang paling penitng adalah

perawatan luka dengan memperhatikan aseptikd an antiseptik.

3) Buruknya integritas kulit sehubungan dengan dehisensi atau luka

eviserasi.
Dehisensi luka merupakan terbukanya tepi-tepi luka.eviserasi luka

adalah keluarganya organ-organ dalam melalui insisi.

Faktor penyebab dehisensi atau eviserasi adalah infeksi luka,

kesalahan menutup waktu pembedahan, ketegangan yang berat

pada dinding abdomen akibat dari batuk dan muntah.

g. Proses penyembuhan luka

1) Fase pertama

Berlangsung sampai hari ke 3.batang leukosit banyak yang rusak /

rapuh. Sel-sel darah baru berkembang menjadi penyembuh dimana

serabut-serabut bening digunakan sebagai kerangka.

2) Fase kedua

Dari hari ke 3 sampai hari ke 14. Pengisian oleh kolagen, seluruh

pinggiran sel epitel timbul sempurna dalam 1 minggu. Jaringan

baru tumbuh dengan kuat dan kemerahan.

3) Fase ketiga

Sekitar 2 sampai 10 minggu. Kolagen terus-menerus ditimbun,

timbul jaringan-jaringan baru dan otot dapat digunakan kembali.

4) Fase keempat

Fase terakhir. Penyembuhan akan menyusut dan mengkerut.

h. Intervensi untuk meningkatkan penyembuhan

1) Meningkatkan intake makanan tinggi protein dan vitamin C.

2) Menghindari obat-obat anti radang seperi steroid.

3) Pencegahan infeksi.
i. Pengembalian fungsi fisik.

Pengembalian fungsi fisik dilakukan segera setelah operasi dengan

laithan napas dan batuk efekti,latihan mobilisasi dini.

j. Mempertahankan konsep diri.

Gangguan konsep diri : body imagedapat terjadi pada pasien post

laparatomy karena adanya perubahan sehubungan dengan

pembedahan. Intervensi perawatan terutama ditunjuk pada pemberian

support psikologis, ajak pasien dan kerabat dekatnya berdiskusi

tentang perubahan-perubahan yang terjadi dan bagaimana perasaan

pasien setelah operasi.

3. Colostomy

a. Pengertian

Menurut Suratun (2010, h.456), kolostomi adalah pembuatan

lubang sementara atau permanen dari usus besar melalui dinding perut

dengan tindakan bedah bila jalan ke anus tidak dapat berfungsi,

dengan cara pengalihan aliran feses dari kolon karena gangguan

fungsi anus.

b. Tujuan Kolostomi

1) Untuk mengatasi proses patologis pada kolon distal

2) Untuk proses dekompresi kaerna sumbatan usus besar distal dan

selalu dibuat pada dinding depan abdomen (Suratun,2010, h.456).


c. Indikasi kolostomi

1) Pada kasus keganasan meliputi : kanker kolondistal, kanker

extrakolon yang menyebabkan kolon distal tersumbat atau tidak

berfungsi (kanker pada pervis), perforasi kolon distal karena

kanker

2) Pada kasus non keganasan meliputi : sumbatan di lumen rektum,

anus karena infeksi berat lama, fibrosis pasca infeksi, sumbatan

diluar lumen (proses infeksi pada pervis), trauma anus-erktum

(Suratun,2010, h.456).

d. Jenis-jenis kolostomi

Kolostomi dibuat berdasarkan indikasi dan tujuan tertentu,

sehingga jenisnya ada beberapa macam tergantung dari kebutuhan

pasien. Kolostomi dapat dibuat secara permanen maupun sementara.

1) Kolostomi permanen

Pembuatan kolostomi permanen biasanya dilakukan apabila

pasien sudah tidak memungkinkan untuk defekasi secara normal

karena adanya keganasan, perlengketan (adhesi), atau

pengangkatan kolon sigmoid atau rektum sehingga tidak

memungkinkan fesef melalui anus. Kolostomi permanen biasanya

berupa kolostomi single barrel (dengan satu ujung lubang).

2) Kolostomi temporer atau sementara


Pembuatan kolostomi temporer biasanya untuk tujuan dekompresi

kolon atau untuk mengalirkan feses sementara dan kemudian

kolon akan dikembalikan seperti semula dan abdomen ditutup

kembali. Kolostomi temporer ini mempuanya dau ujung, lubang

yang dikeluarkan melalui abdomen yang disebut kolostomi

double barrel (Suratun,2010, h.457).

e. Prinsip dasar perawatan kolostomi

1) Lubang kolostomi yang muncul dipermukaan abdomen berupa

mukosa kemerahan disebut stoma. Pada minggu pertama post

kolostomi biasanya masih terjadi pembengkakkan sehingga stoma

tampak membesar.

2) Pasien dengan pemasangan kolostomi biasanya disertai dengan

tindakan laparatomi (pembukaan dinding abdomen). Luka

laparatomi sangant beresiko infeksi karena letaknya bersebelahan

dengan lubang stoma yang kemungkinan banyak mengeluarkan

feses yang dapat mengkontaminasi luka tersebut, maka perawat

harus selalu memonitor keadaan luka laparatomi dan segera

merawat luka dan mengganti balutan jika terkontaminasi feses.

3) Perawat harus segera mengganti kantong kolostomi jika telah

terisi feses atau jika kantong kolostomi bocor dan feses cair

mengotori abdomen.
4) Perawat juga harus mempertahankan kulit disekitas stoma tetap

kering, untuk menghindari terjadinya iritasi pada kulit dan untuk

kenyamanan pasien.

5) Kulit sekitar stoma yang mengalami iritasi harus segera diberi

zinc salep atau konsultasi pada dokter ahli jika pasien alergi

terhadap perekat kantong klostomi. Pada pasien yang alergi

mungkin perlu dipikirkan untuk modifikasi kantong kolostomi

agar kulit tidak teriritasi.

6) Pendidikan kesehatan pada pasien yang terpasang kolostomi.

Pasien yang terpasang kolostomi perlu penjelasan baik sebelum

maupun sesudah pembedahan terutama tentang perawatan

kolostomi pada pasien yang harus menggunakan kolostomi

permanen. Beberapa hal yang harus diajarkan pada pasien

meliputi :

a) Teknik penggantian dan pemasangan kantong kolostomi yang

baik dan benar.

b) Teknik perawatan stoma dan kulit sekitar stoma.

c) Waktu penggantian kantong kolostomi

d) Teknik irigasi dan manfaatnya bagi pasien.

e) Pengeluaran feses agar tidak menganggu aktivitas pasien.

f) Jadwal makan atau pola makan yang harus dilakukan.

g) Jenis makanan yang harus dikonsumsi, misalnya makanan

tinggi serat.
h) Masukan cairan yang adekuat, 2-2,5liter setiap hari.

i) Berbagai aktivitas yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh

dilakukan oleh pasien.

j) Berbagai keluhan yang harus dilaporkan segera pada dokter,

jika pasien sudah dirawat dirumah.

k) Berobat atau kontrol ke dokter yang teratur (Suratun,2010,

h.457).

f. Komplikasi kolostomi

1) Obstruksi atau penyumbatan

Penyumbatan dapat disebabkan oleh adanya perlengketan

usus atau adanya pengerasan feses yang sulit dikeluarkan. Untuk

menghindari terjadinya sumbatan, pasien perlu dilakukan irigasi

kolostomi secara teratur. Pada pasien dengan kolostomi

permanen, tindakan irigasi ini perlu diajarkan agar pasien dapat

melakukannya sendiri di kamar mandi.

2) Infeksi

Kontaminasi feses merupakan faktor yang paling sering

menjadi penyebab infeksi pada luka sekitar stoma. Oleh karena

itu, pemantauan stoma secara terus menerus sangat diperlukan

dan tindakan segera mengganti balutan luka dan kantong stoma

sangat bermakna untuk mencegah infeksi.

3) Retraksi stoma atau mengkerut.


Stoma mengalami pengikatan karena kantong yang

terlalu sempit dan juga karena adanya jaringan scar yang

terbentuk di sekitar stoma yang mengalami pengerutan.

4) Prolaps pada stoma

Prolaps terjadi karena oto abdomen atau karena fiksasi

struktur penyokong stoma yang kurang adekuat.

5) Perdarahan stoma

Perdarahan kemungkinan terjadi karena jahitan luka

yang kurang baik atau terjadi proses infeksi.

6) Stenosis stoma

Terjadi penyempitan pada stoma, hal ini dapat pula

sebagai akibat retraksi stoma (Suratun,2010, h.458).

g. Perawatan kolostomi

Perawatan kolostomi adalah membersihkan stoma kolostomi,

kulit sekitar stoma dan mengganti kantong kolostomi secara berkala

sesuai kebutuhan.

h. Tujuan perawatan kolostomi

1) Menjaga kebersihan pasien.

2) Mencegah terjadinya infeksi.

3) Mencegah iritasi kulit disekitar stoma.

4) Mempertahankan kenyamanan pasien dan lingkungannya.

i. Persiapan pasien untuk perawatan kolostomi


1) Memberi penjelasan pada pasien tujuan tindakan yang akan

dilakukan.

2) Mengatur posisi tidur pasien (supinasi).

3) Mengatur tempat tidur pasien dan lingkungan (menutup gorden

jendela, pintu, memasang penyekat tempat tidur, mempersilahkan

keluarga untuk menunggu diluar, kecuali jika diperlukan untuk

belajar merawat kolostomi.

j. Pesiapan alat-alat perawatan kolostomi

1) Kolostomi bag, kain berlubang dan kain segi empat.

2) Kapas sublimat / kapas basah, NaCl.

3) Kapas kering / tissue

4) Satu pasang sarung tangan bersih.

5) Kantong untuk balutan kotor.

6) Baju ruangan atau celemek.

7) Betadine (kalau perlu) jika pasien mengalami iritasi.

8) Zinc salep.

9) Perlak dan alasnya.

10) Plester dan gunting.

11) Bila perlu obat desinfektan.

12) Bengkok.

13) Set ganti balut (Suratun,2010, h.459).

k. Prosedur kerja perawatan kolostomi

1) Cuci tangan, keringkan dan gunakan sarung tangan.


2) Letakkan perlak dan alasnya dibagian kanan atau kiri pasien

sesuai letak stoma.

3) Meletakkan bengkok diatas perlak dan dekatkan ke tubuh pasien.

4) Observasi produk stoma (warna, konsistensi, dan lain-lain).

5) Membuka kantong kolostomi secara hati-hati dengan

menggunakan pinset dan tangan kiri menekan kulit pasien.

6) Meletakkan kolostomi bag kotor dalam bengkok.

7) Melakukan observasi terhadap kulit dan stoma.

8) Membersihkan kolostomi dan kulit sekitar kolostomi dengan

kapas sublimat / kapas hangat (air hangat) atau NaCl.

9) Mengeringkan kulit sekitar kolostomi dengan hati-hati

menggunakan kasa steril

10) Memberikan salap zinc (tipis-tipis) jika terdapat iritasi pada kulit

sekitar stoma.

11) Menyesuaikan lubang bag kolostomi dengan stoma kolostomi.

12) Menempelkan kantong kolostomi dengan posisi vertikal /

horisontal/ miring sesuai kebutuhan pasien.

13) Masukan stoma melalui lubang kantong kolostomi.

14) Merekatkan / memasang kolostomi bag dengan tepat tanpa udara

didalamnya.

15) Merapikan pasien dan lingkungannya.

16) Membereskan alat-alat dan membuang kotoran.

17) Melepas sarung tangan dan cuci tangan.


18) Dokumentasikan tindakan yang telah dilakukan (Suratun,2010,

h.464).

l. Pemasangan kantong ostomi (kolsotomi / illeostomi)

1) Persiapan alat

a) Barier kulit ( wafers seperti stomahesive, holihesive, pasta

atau bedan )

b) Kantong kolosotmi

c) Peralatan penutup atau klem.

d) Plester hipoalergik dan ikat pinggang.

e) Lap basah dan handuk, baskom berisi air hangat.

f) Pembersih kulit atau sabun lembut.

g) Sarung tangan sekali pakai (Suratun,2010, h.460).

j. Prosedur kerja pemasangan kantong ostomi

1) Kaji kondisi kantong atau barier kulit yang terpasang untuk

melihat adanya kebocoran dan perhatikan penampakan stoma

dibawahnya dan insisi bedah. Tanyakan pasien tentang rasa tidak

nyaman pada sekitar stoma.

2) Perhatikan jumlah drainase dari stoma, kantong harus di

kosongkan sebelum setengah kantong terisi penuh untuk

menghindari terjadinya kebocoran yang premature. Pengeluaran

cairan yang umum terjadi pada pasca operasi, menyebabkan

barier kulit mencair dan leibh cepat menjadi usam. Pengeluaran

yang banyak juga menyebabkan kerusakan barier kulit.


Pengeluaran illeostomi bersifat lebih korosif terhadap bahan-

bahan barier kulit dan kulit sehingga membutuhkan perawatan

yang dapat bertahan lebih lama.

3) Kaji kulit di sekitar stoma, perhatikan adanya jaringan parut,

lipatan atau tonjolan pada kulit. Menentukan tempat pemasangan

kantong dan ukuran barier kulit dibawahnya. Biarkan 1,25cm

barier kulit pada sekeliling sisi stoma untuk memastikan amannya

penyekat.

4) Kaji sejauh mana pengetahuan dan pemahaman pasien tentang

ostomi. Memperlihatkan tingkat penerimaan pasien terhadap

ostomi dan membantu menetapkan sejauh mana pasien

membutuhkan pengajaran tambahan sehingga pasien dapat

berpastisipasi dalam perawatan.

5) Siapkan alat-alat untuk pemasangan kantong ostomi / stoma.

6) Pilih waktu yang optimal untuk mengganti kantong / barier kulit,

misalnya pasien sedang merasa nyaman, diantara waktu makan,

sebelum pemberian obat-obatan yang dapat mempengaruhi fungsi

usus. Bau ostomi dapat menurunkan nafsu makan. Penggantian

kantong akan berjalan dengan lebih lancar apabila ostomi sedang

berfungsi minimal.

7) Jelaskan prosedur, jika pasien tidak mengetahui prosedur atau

memberikan kesempatan untuk mengatur langkah-langkah


penggantian kantong. Pastikan bahwa pasien mengobservasi

prosedur.

8) Atur posisi pasien terlentang atau duduk saat pemasangan

kantong, jika pasien mampu berdiri, bantu pasien mengambil

posisi berdiri.

9) Cuci tangan, keringkan dan gunakan sarung tangan.

10) Tutup gorden kamar atau pintu kamar.

11) Apabila kantong penuh, geser klem dan kosongkan isinya dari

bagian bawah kantong ke dalam depan.

12) Angkat peralatan yang lama dalam satu kesatuan.

13) Cuci kulit dengan lembut dengan menggunakan pembersih kulit

atau menggunakan sabun dan air yang biasa digunakan. Buang

sekresi dari kulit.

14) Bilas sabun secara seksama, biarkan sampai kering.

15) Apabila darah muncul setelah mencuci, yakinkan bahwa sejumlah

kecil darah adalah normal.

16) Observasi kondisi kulit dan stoma. Dorong pasien untuk

melakukan observasi ini setiap hari. Ukur kembali ukuran stoma.

17) Apabila terdapat lipatan abdomen atau jika kontur abdomen tidak

beraturan isi dengan barier tipe pasta.

18) Biarkan pasta mengering selama 1-2 menit.

19) Apabila kontur abdomen datar atau setelah pasta mengering,

siapkan barier kulit dengan menggunakan penyegel kulit atau


pasta karaya. Lubangi barier kulit sedikit lebih besar dari stoma

sampai 30mm. Buat irisan radial dari bagian tengah lubang.

Gunting secara melingkar pada sisi barier kulit.

20) Persiapkan kantong ostomi, untuk kantong yang belum digunting

lubangi bagian tengah lempeng 30mm lebih besar daripada

lubang pada barier.

21) Lepaskan pelapis kertas dari lempengan kantong dan tempelkan

pada sisi barier yang mengkilat dan tidak tertutup.

22) Lepaskan pelapis dari barrier dan tempelkan barier dengan

kantong sebagai satu unit ke kulit. Rapihkan dari bagian tengah,

tahan selama 1-3menit. Pasang pada posisi yang memfasilitasi

pengosongan kantong, dan tempelkan pada sisi barier yang

mengkilat dan tidak tertutup.

23) Pasang plester hipoalergi dan atau ikat pinggang sesuai kebutuhan

pada sisi lempengan diatas barier kulit.

24) Lipat ujung bagian bawah kantong kearah atas untuk

menyesuaikan dengan klem atau peralatan penutup. Amankan

klem.

25) Buang peralatan lama kedalam kantong plastik dan buang ke

tempat sampah.

26) Lepaskan sarung tangan yang kotor da buang ke tempat sampah

yang sesuai.

27) Peawat cuci tangan.


28) Bantu pasien untuk mengambil posisi yang nyaman jika

dibutuhkan.

29) Dokumentasikan prosedur yang telah dilakukan pada catatan

perawatan (Suratun,2010, h.461).

m. Hal-hal yang harus di perhatikan dan dicatat

1) Tipe kantong dan barier kulit

2) Jumlah dan karakteristik feses

3) Kondisi stoma dan kulit disekitarnya

4) Kemampuan pasien untuk melakukan perawatan ostomi secara

mandiri.

n. Pendidikan kesehatan pada pasien cara perawatan stoma

1) Anjurkan pasien untuk menghindari penggunaan alkohol dalam

membersihkan daerah sekitar stoma. Alkohol mendilatasi kapiler

dan dapat menyebabkan perdarahan pada batas-batas stoma

2) Mendemonstrasikan cara membersihkan daerah sekeliling stoma

dengan air dan sabun yang lembut atau dengan set peralatan

komersial, seperti peri wash. Keringkan kulit dengan menekan-

nekan kulit dengan kasa dan bukan dengan menggosok kulit.

3) Anjurkan pasien untuk tidak menggunakan krim dingin pada kulit

karena hal itu akan mencegah kantong atau barier kulit menempel

pada kulit.

4) Jelaskan kepada pasien bahwa perioksida merupakan suatu bahan

yang bersifat mengiritasi dan sebaiknya tidak digunakan.


5) Anjurkan pasien bahwa jika terjadi infeksi jamur, biasanya dapat

ditangani dengan membersihkan kulit, kemudian menepuk-nepuk

daerah tersebut sampai kering lalu semprotkan kanalog atau

mykostatin ke daerah tersebut.

6) Tunjukan pasien cara menginpeksi stoma setiap hari dan cara

mengobservasi stoma yang lembab, mengkilat dan berwarna merah

muda, gelap sampai merah.

7) Anjurkan pasien mengobservasi adanya perdarahan, edema, atau

rebas, warna yang abnormal dan kemudian melaporkannya kepada

perawat atau dokter.

8) Ajarkan pasien cara menyeleksi dan memasang kantong ostomi

serta barier kulit yang berukuran tepat.

9) Ajarkan pasien cara megosongkan kantong stoma.

10) Jelaskan pada pasien cara mengurangi bau feses, seperti

meningkatkan makanan dari yogurt, mentega susu, dan membatasi

makan ikan, kacang-kacangan dan lain lain (Suratun,2010, h.466).

C. Konsep Dasar Keluarga

1. Konsep keluarga

a. Pengertian keluarga

Menurut Bussard dan Ball (1996) dalam Setiadi (2008, h.2),

keluarga merupakan lingkungan sosial yang sangat dekat

hubungannya dengan seseorang. Di keluarga itu seseorang


dibesarkan, betempat tinggal, erinteraksi satu dengan yang lain,

dibentuknya nilai-nilai, pola pemikiran, dan kebiasaannya dan

berfungsi sebagai saksi segenap budaya luar, dan mediasi

hubungan anak dengan lingkungannya.

Menurut Bailon dan Maglaya (1989) dalam Setiadi (2008, h.2),

keluarga adalah dua atau lebih individu yang tergabung karena

hubungan adrah, perkawinan danadopsi, dalam satu rumah tangga

berinteraksi satu dengan lainnya dalam peran dan menciptakan

serta mempertahankan suatu budaya.

Menurut Sayekti (1994) dalam Setiadi (2008, h.2),keluarga adalah

suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara

orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau

seorang laik-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian

dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi, dan

tinggal dalam sebuah rumah tangga.

Dari beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan secara

umum bahwa keluarga itu terjadi jikalau ada :

1) Ikatan atau persekutuan (perkawinan / kesepakatan)

2) Hubungan (darah / adopsi / kesepakatan)

3) Tinggal bersama-sama dalam satu atap (serumah)

4) Ada peran masing-masing anggota keluarga

5) Ikatan emosional.

b. Ciri-ciri keluarga
Menurut Robert Mac Iver dan Charles Horton dalam Setiadi (2008,

h.2), ciri-ciri keluarga adalah :

1) Keluarga merupakan hubungan perkawinan

2) Keluarga berbentuk suatu kelembagaan yang berkaitan dengan

hubungan perkawinan yang sengaja dibentuk atau dipelihara.

3) Keluarga mempunyai suatu sistem tata nama teermasuk

perhitungan garis keturunan.

4) Keluarga mempunyai fungsi ekonomi yang dibentuk oleh

anggota-anggotanya berkaitan dengan kemampuan untuk

mempunyai keturunan dan membearkan anak.

5) Keluarga merupakan tempat tinggal bersama, rumah atau

rumah tangga.

c. Tipe keluarga

1) Secara tradisional

Secara tradisional keluarga dikelompokkan menjadi 2, yaitu :

a) Keluarga inti (Nuclear family) adalah keluarga yang hanya

terdiri dari ayah, ibu adn anak yang diperoleh dari

keturunannya atau adopsi atau keduanya.

b) Keluarga besar (Extended family) adalah keluarga inti

ditambah anggota keluarga lain yang masih mempunyai

hubungan darah (kakek-nenek, paman-bibi).


2) Secara modern (berkembangnya peran individu dan

meningkatnya ras individualisme maka pengelompokkan tipe

keluarga selain di atas adalah :

a) Tradisional nuclear

Keluarga inti (ayah, ibu dan anak) tinggal dalam satu rumah

ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan

perkawinan, satu atau keduanya dapat bekerja di luar

rumah.

b) Reconstituted nuclear

Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan

kembali suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah

dengan anak-anaknya, baik itu bawaan dari perkawinan

lama maupun hasil dari perkawinan baru, satu/keduanya

dapat bekeja di luar rumah.

c) Niddle age / aging couple

Suami sebagai pencari uang, istri dirumah/ kedua-duanta

bekerja dirumah, anak-anak sudah meninggalkan rumah

karena seklah / perkawinan / meniti karier.

d) Dyadic nuclear

Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak

yang keduanya atau salah satu bekerja di luar rumah.

e) Single parent
Satu orang tua sebagai akibat perceraian atau kematian

pasangannya dan anak-anaknya daoat tinggal di rumah atau

di luar rumah.

f) Dual carrier

Yaitu suami istri atau keduanya orang karier dan tanpa

anak.

g) Commuter married

Suami istri atau keduanya orang karier dan tinggal terpisah

pada jarak tertentu. Keduanya asling mencari pada waktu-

waktu tertentu.

h) Single adult

Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak

adanya keinginan untuk kawin.

i) Three generation

Yaitu tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah.

j) Institusional

Yaitu anak-anak atau orang-oran dewasa tinggal dalam

suatu panti-panti

k) Comunal

Yaitu satu rumah terdiri dari dua atau lebih pasangan yang

monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama adlam

penyediaan fasilitas.

l) Group marriage
Yaitu satu perumahan terdiri dari orang tua dan

keturunannya di dalam satu kesatuan keluarga dan tiap

individu adalah kawin dengan yang lain dan semua adalah

orang tua dari anak-anak

m) Unmaried parent dan child

Aadlah ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki,

anaknya diadopsi.

n) Cohibing soiple

Yaitu dua orang atau satu pasangan yang tinggal bersama

tanpa kawin

o) Gay and lesbian family

Yaitu keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis

kelamin sama (Setiadi, 2008, h.4).

d. Struktur keluarga

Struktur keluarga menggambarkan bagaimana keluarga

melaksanakan fungsi keluarga di masyarakat. Struktur keluarga

terdiri dari bermacam-macam, diantaranya adalah :

1) Patrilineal

Adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah

dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui

garis ayah.

2) Matrilineal
Adalah keluarga sedarah yang terdiri dari sanak saudara sedarah

dalam beberapa generasi dimana hubungan itu disusun melalui

jalur garis ibu.

3) Matrilokal

Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah istri.

4) Patrilokal

Adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga

sedarah suami.

5) Keluarga kawin

Adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan

keluarga, dan beberapa sanak saudara yang menjadi bagian

keluarga kaerna adanya hubungan dengan suami atau istri

(Setiadi, 2008, h.6).

e. Fungsi pokok keluarga

Menurut effendy (1998) dalam Setiadi (2008, h.11), ada tiga fungsi

pokok keluarga terhadap anggota keluarganya, adalah :

1) Asih

Adalah memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman,

kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan

mereka tumbuh dan berkembang sesuai usiadan kebutuhannya.

2) Asuh
Adalah menuju kebutuhan pemeliharaan dan keperawatan anak

agar kesehatannya selalu terpelihara, sehingga diharapkan

menjadikan mereka anak-anak yang sehat baik fisik, mental,

sosial dan spiritual.

3) Asah

Aalah menenuhi kebutuhan endidikan anak, sehingga siap

menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan

masa depannya.

Namun dengan berubahnya pola hidup agraris menjadi

industriliasi, fungsi keluarga dikembangkan menjadi :

1) Fungsi biologis

a) Untuk meneruskan keturunan

b) Memelihara dan membesarkan anak

c) Memenuhi kebutuhan gizi keluarga

d) Memelihara dan merawat anggota keluarga

2) Fungsi psikologis

a) Memberikan kasih sayang dan rasa aman

b) Memberikan perhatian diantara anggota keluarga

c) Memberikan pendewasaan kepribadian anggota

keluarga

d) Memberikan identitas keluarga

3) Fungsi sosialisasi

a) Membina sosialisasi pada anak


b) Membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan

tingkat perkembangan anak

c) Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga

4) Fungsi ekonomi

a) Mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi

kebutuhan keluarga

b) Pengaturan penggunaan penghasilan keluarga untuk

memenuhi kebutuhan keluarga

c) Menabung untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan

keluarga dimasa yang akan datang misalnya pendidikan

anak-anak, jaminan hari tua dan sebagainya.

5) Fungsi pendidikan

a) Menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan,

keterampilan, dan membentuk perilaku anak sesuai

dengan bakat dan minat yang dimilikinya

b) Mempersiapkan anak untuk kehidupan dewasa yang

akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai

orang dewasa

c) Mendidik anak sesuai dengan tingkat-tingkat

perkembangannya (Setiadi, 2008, h.11).

f. Tugas keluarga dalam bidang kesehatan

Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunya

tugas dibidang kesehatan yang perlu dipahami dan dilakukan.


Freeman (1981) membagi 5 tugas keluarga dalam bidang kesehatan

yang harus dilakukan, yaitu :

1) Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya

Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga

secara tidak langsung menjadi perhatian dan tanggung jawab

keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu

segera dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan

seberapa besar perubahannya.

2) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat

bagi keluarga

Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk

mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan

keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang

mempunyai kemampuan memutuskan untuk memutuskan

tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan yang tepat

agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi.

Jikakeluarga mempunyai keterbatasan seyogyanya meminta

bantuan orang lain dilingkungan sekitar keluarga.

3) Memberikan keperawatan anggotanya yang askit atau yang

tidak dapat membantu dirinya sendiri akrena cacat atau usianya

yang terlalu muda.

Perawatan ini dapat dilakukan dirumah apabila keluarga

memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan


pertama atau kepelayanan kesehatan untuk memperoleh

tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.

4) Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan

kesehatan dan perkembangan kepribadian anggota keluarga.

5) Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan

lembaga kesehatan (pemanfaatan fasilotas kesehatan yang ada)

(Setiadi, 2008, h.12).

Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing-masing antara

lain adalah :

1) Ayah

Ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai

pencari nafkah, pendidik, pelindung / pengayom, pemberi rasa

aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota

masyarakat kelompok sosial tertentu.

2) Ibu

Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik

anak-anak, pelindung keluarga dan juga sebagai pencari nafkah

tambahan keluarga dan juga sebagai anggota msayarakat

kelompok sosial tertentu.

3) Anak

Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai

perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual (Setiadi, 2008,

h.14).
g. Tahap perkembangan keluarga dengan anak pra sekolah

Tugas perkembangannya adalah menyesuaikan pada kebutuhan

pada anak pra sekolah (sesuai dengan tumbuh kembang, proses

belajar dan kontak sosial)dan merencanakan kelahiran berikutnya.

Tugas perkembangan keluarga saat ini adalah :

1) Pemenuhan kebutuhan anggota keluarga

2) Membantu anak bersosialisasi

3) Beradaptasi dengan anak baru lahirm anak yang lain juga

terpenuhi

4) Mempertahankan hubungan di dalam maupun di luar keluarga

5) Pembagian waktu, individu, pasangan dan anak

6) Pembagian tanggung jawab

7) Merencanakan kegiatan dan waktu stimulasi tumbuh dan

kembang anak (Setiadi, 2008, h.16).

D. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan

1. Asuhan keperawatan pada pasien dengan hirschprung

Menurut Sari, Kartika (2013, h.66), asuhan keperawatan pada pasien

dengan hirschprung adalah sebagai berikut :

a. Pengkajian

1) Identitas

Penyakit ini sebagian besar ditemukan pada bayi cukup bulan

da merupakan kelainan tunggal. Jarang pada bayi prematur atau


bersamaan dengan kelainan bawaan lain. Pada segmen

aganglionosis dari anus sampai sigmoid lebih sering ditemukan

pada anak laki-laki dibandingkan anak perempuan. Sedangkan

kelainan yang melebihi sigmoid bahkan seluruh kolon atau

usus halus ditemukan sama banyak pada anak laki-laki dan

perempuan.

2) Riwayat keperawatan

a) Keluhan utama

Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir.

Trias yang sering ditemukan adalah mekonium yang lambat

keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir), perut kebung dan

muntah berwarna hijau. Gelaja lain adalah muntah dan

diare.

b) Riwayat penyakit sekarang

Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus

fungsional. Obstruksi total saat lahir dengan muntah,

distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi

sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala

ringan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau

bulan yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Namun ada

juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare,

distensi abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat

terjadi.
c) Riwayat penyakit dahulu

Tidak ada penyakit terdahulu yang mempengaruhi

terjadinya penyakit hirschprung.

d) Riwayat kesehatan keluarga

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit ini di turunkan

kepada anaknya.

e) Riwayat kesehatan lingkungan

Tidak ada hubungan dengan kesehatan lingkungan

f) Imuninasi

Tidak ada imuninasi untuk bayi atau anak dengan penyakit

hirschprung.

g) Riwayat pertumbuhan dan perkembangan

h) Nutrisi

3) Pemeriksaan fisik

a) Sistem kardiovaskuler

Tidak ada kelainan

b) Sistem pernapasan

Sesa napas, distress pernapasan.

c) Sistem pencernaan

Umumnya obsipasi. Perut kembung atau perut tegang,

muntah berwarna hijau. Pada anak yang lebih besar

terdapat diare kronik. Pada colok anus jari akan merasakan

jepitan dan pada waktu ditarik akan diikuti dengan


keluarnya udara dan mekonium atau tinja yang

menyemprot.

d) Sistem genitourinarius

e) Sistem saraf

Tidak ada kelainan

f) Sistem lokomotor / muskuloskeletal

Gangguan rasa nyaman

g) Sistem endokrin

Tidak ada kelainan

h) Sistem integumen

Akral hangat

i) Sistem pendengaran

Tidak ada kelainan

j) Pemeriksaan diagnostik dan hasil

(1) Foto polos abdomen tegak akan terlihat usus-usus

melebar atau terdapat gambaran obstruksi usus rendah.

(2) Pemeriksaan dengan barium enema ditemukan daerah

transisi, gambaran kontraksi usus yang tidak teratur

dibagian menyempit, enterokolitis pada segmen yang

melebar dan terdapat retensi barium setelah 24 – 48

jam.

(3) Biopsi isap, mencari sel ganglion pada daerah sub

mukosa.
(4) Bipsi otot rektum yaitu pengambilan lapisan otot

rektum.

(5) Pemeriksaan aktifitas enzim asetilkolin esterase dimana

terdapat peningkatan enzim asetilkolin esterase.

b. Diagnosa keperawatan

Menurut Royyan (2012, h.43), diagnosa keperawatan yang dapat

muncul pasca bedah adalah :

1) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif

2) Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik akibat

pembedahan

3) Defisit volume cairan.


c. Rencana asuhan keperawatan pasien dengan hirschprung
No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil intervensi Rasional
.
1. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan a. Minimalkan resiko infeksi a. Mencuci tangan adalah cara
Definisi : peningkatan keperawatan, diharapkan dengan mencuci tangan terbaik untuk mencegah
resiko masuknya masalah keperawatan sebelum dan sesudah penularan pathogen.
organisme patogen. pasien dapat teratasi memberikan perawatan.
dengan kriteria hasil : b. Menggunakan sarung tangan b. Sarung tangan dapat
Faktor resiko untuk mempertahankan melindungi tangan pada saat
a. Pasien bebas dari tanda asepsis pada saat memegang lukayang dibalut
a. Prosedur invasif dan gejala infeksi.
b. Ketidak cukupan memberikan perawatan atau melakukan berbagai
b. Mendeskripsikan langsung. tindakan.
pengetahuan untuk proses penularan
menghindari c. Suhu yang terus meningkat
penyakit, faktor yang c. Observasi suhu minimal setelah pembedahan dapat
paparan pathogen. mempengaruhi
c. Trauma. setiap 4 jam. merupakan tanda awitan
penularan, serta komplikasi pulmonal, atau
d. Kerusakan jaringan penatalaksanaannya.
dan peningkatan infeksi luka.
c. Menujukan d. Melakukan perawatan luka
paparan lingkungan. kemampuan untuk d. Lakukan perawatan luka
e. Ruptur membran dapat mencegah
menjaga timbulya secara aseptik. berkembanganya bakteri
amnion. infeksi.
f. Agen farmasi pathogen pada luka.
d. Jumlah leukosit dalam e. Pemberian antibiotk dapat
(imunosupresan). batas normal.
g. Malnutrisi. e. Kolaborasi dalam pemberian menekan munculnya
e. Menunjukan perilaku antibiotik. peningkatan bakteri.
h. Peningkatan paparan hidup sehat.
lingkungan
pathogen.
i. Imunosupresi.
j. Tidak adekuat
pertahanan tubuh
primer (kulit tidak
utuh, trauma
jaringan, penurunan
kerja silia, cairan
tubuh statis,
perubahan sekresi
pH, perubahan
peristaltik).
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Gunakan komunikasi a. Meningkatkan kerja sama
dengan cedera fisik keperawatan selama 3x24 terapeutik dalam yang baik antara perawat dan
akibat pembedahan. jam, diharapkan masalah berkomunikasi dengan pasien pasien.
Definisi : sensori yang keperawatan dapat teratasi dan keluarga. Jelaskan pada
tidak menyenangkan dan dengan kriteria hasil : pasien dan keluarga tindakan
pengalaman emosional a. pasien mengungkapkan yang akan dilakukan.
yang muncul secara secara verbal anaknya b. Observasi tanda tanda vital. b. Peningkatan frekuensi nadi
aktual atau potensial tidak mengeluh nyeri dapat mengindikasi rasa sakit
kerusakan jaringan atau b. Nyeri berkurang akut dan ketidaknyamanan.
menggambarkan adanya dengan skala 0-2
kerusakan (asosiasi studi c. pasien tampak tenang c. Lakukan pengkajian nyeri c. Membantu mengevaluasi
nyeri international) : d. pasien tidak meringis secara komprehensif derajat ketidaknyamanan.
serangan mendadak atau kesakitan saat dipegang termasuk lokasi,
pelan intensitasnya dari daerah abdomen karakteristik, durasi,
ringan sampai berat yang frekuensi, kualitas dan faktor
dapat diantisipasi dengan presipitasi. d. Dapat membantu relaksasi
akhir yang dapat d. Ajarkan teknik pereda nyeri otot sehingga suplai O2 ke
diprediksi dand engan non farmakologi. jaringan lancar dapat
durasi kurang dari 6 mengurangi nyeri.
bulan. e. Lepaskan tegangan
emosional dan otot.
Batasan karakteristik e. Lakukan pengalihan nyeri
a. Laporkan secara dengan cara : masase dan f. Posisi yang nyaman bagi
verbal atau non teknik distraksi pasien dapat mengurangi rasa
verbal. f. Atur posisi pasien senyaman sakit
b. Fakta dari observasi. mungkin seperti : posisi Sim
c. Posisi menghindari kiri atau kanan.
nyeri.
d. Gerakan melindungi.
e. Tingkah laku berhati-
hati.
f. Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses pikir,
penurunan interaksi
dengan orang lain dan
lingkungan).
g. Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan, menemui
orang lain dan
aktifitas, aktifitas
berulang-ulang.
h. Respon autonom
(seperti diaporesis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
napas, nadi dan
dilatasi pupil)
i. Perubahan autonomik
dalam tonus otot
mungkin dalam
rentang lemah ke
kaku.
j. Tingkah laku
ekspresif, contoh :
gelisah, merintih,
menangis, waspada,
iritabel, napas
panjang, ata berkeluh
kesah.
k. Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum.
3. Defisit volume cairan Setelah dilakukan tindakan a. Mengobservasi tanda–tanda a. Menunjukkan keadekuatan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 vital. volume sirkulasi .
kehilangan cairan secara jam, diharapkan masalah b. Pantau masukkan dan b. Menunjukkan
aktif. keprawatan dapat teratasi haluaran cairan. keseimbangan cairan dan
Definisi : penurunan dengan kriteria hasil : menun jukkan terjadinya
cairan intravaskuler, a. Mempertahankan urine dehidrasi dan perlunya
interstisial, kehilangan output sesuai dengan peningkatan penggantian
cairan dengan cairan .
pengeluaran sodium. usia. c. Kaji turgor kulit dan c. Indikator tidak langsung
Batasan karakteristik: b. Tekanan darah, kelembaban membran dari status dehidrasi/ derajat
a. Kelamahan nadi,suhu tubuh dalam mukosa. kekurangan .
b. Haus batas normal. d. Dorong peningkatan d. Membantu dalam
c. Penurunan turgor c. Tidak ada tanda-tanda masukan cairan 1,5 atau 2 memelihara kebutuhan
kulit dehidrasi. liter/24 jam. cairan .
d. Membran mukosa e. Observasi terhadap e. Identifikasi dini terhadap
kering kecenderungan perdarahan. masalah, memungkinkan
e. Peningkatan denyut untuk intervensi segera.
nadi/penurunan
tekanan darah
f. Konsentrasi urine
meningkat.temperatur
tubuh meningkat.
2. Asuhan keperawatan pada pasien post laparatomi

a. Pengkajian

Menurut jitowiyono (2010, h.97), pengkajian yang dilakukan pada

pasien post laparatomy adalah:

1) Respiratory

Bagaimana saluran pernapasan, jenis pernapasan, bunyi

pernapasan.

2) Sirkulasi

Tensi, nadi, respirasi, dan suhu, warna kulit, dan refill kapiler.

3) Perserafan : tingkat kesadaran.

4) Balutan

a) Apakah ada tube, drainage?

b) Apakah ada tanda-tanda infeksi?

c) Bagaimana penyembuhan luka?

5) Peralatan

a) Monitor yang terpasang

b) Cairan infus atau transfusi

6) Rasa nyaman

Rasa sakit, mual, muntah, posisi pasien, dan fasilitas ventilasi.

7) Psikologis

Kecemasan, suasana hati setelah operasi.


b. Diagnosa keperawatan post laparatomi

1) Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan invasif

2) Nyeri akut berhubungan dengan cedera fisik akibat

pembedahan

3) Defisit volume cairan.


c. Rencana asuhan keperawatan post laparatomi

No Diagnosa keperawatan Tujuan dan kriteria hasil intervensi Rasional


.
1. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan a. Minimalkan resiko infeksi a. Mencuci tangan adalah cara
Definisi : peningkatan keperawatan, diharapkan dengan mencuci tangan terbaik untuk mencegah
resiko masuknya masalah keperawatan sebelum dan sesudah penularan pathogen.
organisme patogen. pasien dapat teratasi memberikan perawatan.
dengan kriteria hasil : b. Menggunakan sarung tangan b. Sarung tangan dapat
Faktor resiko untuk mempertahankan melindungi tangan pada saat
a. Pasien bebas dari tanda asepsis pada saat memegang lukayang dibalut
a. Prosedur invasif dan gejala infeksi.
b. Ketidak cukupan memberikan perawatan atau melakukan berbagai
b. Mendeskripsikan langsung. tindakan.
pengetahuan untuk proses penularan
menghindari c. Suhu yang terus meningkat
penyakit, faktor yang c. Observasi suhu minimal setelah pembedahan dapat
paparan pathogen. mempengaruhi
c. Trauma. setiap 4 jam. merupakan tanda awitan
penularan, serta komplikasi pulmonal, atau
d. Kerusakan jaringan penatalaksanaannya.
dan peningkatan infeksi luka.
c. Menujukan d. Melakukan perawatan luka
paparan lingkungan. kemampuan untuk d. Lakukan perawatan luka
e. Ruptur membran dapat mencegah
menjaga timbulya secara aseptik. berkembanganya bakteri
amnion. infeksi.
f. Agen farmasi pathogen pada luka.
d. Jumlah leukosit dalam e. Pemberian antibiotk dapat
(imunosupresan). batas normal.
g. Malnutrisi. e. Kolaborasi dalam pemberian menekan munculnya
e. Menunjukan perilaku antibiotik. peningkatan bakteri.
h. Peningkatan paparan hidup sehat.
lingkungan
pathogen.
i. Imunosupresi.
j. Tidak adekuat
pertahanan tubuh
primer (kulit tidak
utuh, trauma
jaringan, penurunan
kerja silia, cairan
tubuh statis,
perubahan sekresi
pH, perubahan
peristaltik).
2. Nyeri akut berhubungan Setelah dilakukan tindakan a. Gunakan komunikasi a. Meningkatkan kerja sama
dengan cedera fisik keperawatan selama 3x24 terapeutik dalam yang baik antara perawat dan
akibat pembedahan. jam, diharapkan masalah berkomunikasi dengan pasien pasien.
Definisi : sensori yang keperawatan dapat teratasi dan keluarga. Jelaskan pada
tidak menyenangkan dan dengan kriteria hasil : pasien dan keluarga tindakan
pengalaman emosional a. pasien mengungkapkan yang akan dilakukan.
yang muncul secara secara verbal anaknya b. Observasi tanda tanda vital. b. Peningkatan frekuensi nadi
aktual atau potensial tidak mengeluh nyeri dapat mengindikasi rasa sakit
kerusakan jaringan atau b. Nyeri berkurang akut dan ketidaknyamanan.
menggambarkan adanya dengan skala 0-2
kerusakan (asosiasi studi c. pasien tampak tenang c. Lakukan pengkajian nyeri c. Membantu mengevaluasi
nyeri international) : d. pasien tidak meringis secara komprehensif derajat ketidaknyamanan.
serangan mendadak atau kesakitan saat dipegang termasuk lokasi,
pelan intensitasnya dari daerah abdomen karakteristik, durasi,
ringan sampai berat yang frekuensi, kualitas dan faktor
dapat diantisipasi dengan presipitasi. d. Dapat membantu relaksasi
akhir yang dapat d. Ajarkan teknik pereda nyeri otot sehingga suplai O2 ke
diprediksi dand engan non farmakologi. jaringan lancar dapat
durasi kurang dari 6 mengurangi nyeri.
bulan. e. Lepaskan tegangan
e. Lakukan pengalihan nyeri emosional dan otot.
Batasan karakteristik dengan cara : masase dan
a. Laporkan secara teknik distraksi f. Posisi yang nyaman bagi
verbal atau non f. Atur posisi pasien senyaman pasien dapat mengurangi rasa
verbal. mungkin seperti : posisi Sim sakit
b. Fakta dari observasi. kiri atau kanan.
c. Posisi menghindari
nyeri.
d. Gerakan melindungi.
e. Tingkah laku berhati-
hati.
f. Fokus menyempit
(penurunan persepsi
waktu, kerusakan
proses pikir,
penurunan interaksi
dengan orang lain dan
lingkungan).
g. Tingkah laku
distraksi, contoh :
jalan-jalan, menemui
orang lain dan
aktifitas, aktifitas
berulang-ulang.
h. Respon autonom
(seperti diaporesis,
perubahan tekanan
darah, perubahan
napas, nadi dan
dilatasi pupil)
i. Perubahan autonomik
dalam tonus otot
mungkin dalam
rentang lemah ke
kaku.
j. Tingkah laku
ekspresif, contoh :
gelisah, merintih,
menangis, waspada,
iritabel, napas
panjang, ata berkeluh
kesah.
k. Perubahan dalam
nafsu makan dan
minum.
3. Defisit volume cairan Setelah dilakukan tindakan a. Mengobservasi tanda–tanda a. Menunjukkan keadekuatan
berhubungan dengan keperawatan selama 3x24 vital. volume sirkulasi .
kehilangan cairan secara jam, diharapkan masalah b. Pantau masukkan dan b. Menunjukkan
aktif. keprawatan dapat teratasi haluaran cairan. keseimbangan cairan dan
Definisi : penurunan dengan kriteria hasil : menun jukkan terjadinya
cairan intravaskuler, a. Mempertahankan urine dehidrasi dan perlunya
interstisial, kehilangan output sesuai dengan peningkatan penggantian
cairan dengan cairan .
pengeluaran sodium. usia. c. Kaji turgor kulit dan c. Indikator tidak langsung
Batasan karakteristik: b. Tekanan darah, kelembaban membran dari status dehidrasi/ derajat
a. Kelamahan nadi,suhu tubuh dalam mukosa. kekurangan .
b. Haus batas normal. d. Dorong peningkatan d. Membantu dalam
c. Penurunan turgor c. Tidak ada tanda-tanda masukan cairan 1,5 atau 2 memelihara kebutuhan
kulit dehidrasi. liter/24 jam. cairan .
d. Membran mukosa e. Observasi terhadap e. Identifikasi dini terhadap
kering kecenderungan perdarahan. masalah, memungkinkan
e. Peningkatan denyut untuk intervensi segera.
nadi/penurunan
tekanan darah
f. Konsentrasi urine
meningkat.temperatur
tubuh meningkat.

Anda mungkin juga menyukai