Anda di halaman 1dari 35

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Definisi Drainase


Drainase berasal dari bahasa Inggris yaitu drainage yang mempunyai
arti mengalirkan, menguras, membuang, mengalihkan air, atau
mengeringkan suatu wilayah tertentu dari genangan air. Saluran drainase
dibangun dengan tujuan untuk melewatkan laju air atau debit rencana
dengan aman.
Secara umum drainase didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebihan dalam suatu
konteks pemanfaatan tertentu. Dalam bidang teknik sipil, drainase adalah
salah satu upaya teknis dengan membuat saluran air atau jalur pembuangan
air untuk mengurangi kelebihan air yang berasal dari air hujan, rembesan,
dan kelebihan air irigasi dari suatu kawasan atau lahan. Jika penanganan
drainase kurang baik, maka akan mengakibatkan tergenangnya lingkungan
sekitar saluran drainase yang pada akhirnya menyebabkan pencemaran
lingkungan.
Drainase perkotaan adalah sistem drainase dalam wilayah administrasi
kota dan daerah perkotaan (urban) yang berfungsi untuk mengendalikan
atau meringankan kelebihan air permukaan didaerah pemukiman yang
berasal dari hujan lokal, sehingga tidak mengganggu masyarakat dan dapat
memberikan manfat bagi kehidupan manusia.
Semua hal yang menyangkut kelebihan air yang berada di kawasan
kota sudah pasti dapat menimbulkan permasalahan drainase yang cukup
komplek. Dengan semakin kompleknya permasalahan drainase di perkotaan,
maka di dalam perencanaan dan pembangunan bangunan air untuk drainase
perkotaan, keberhasilannya tergantung pada kemampuan masing-masing
perencana. Dengan demikian di dalam proses pekerjaan memerlukan
kerjasama dengan beberapa ahli di bidang lain yang terkait.

1
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
1.2 Sejarah Perkembangan Drainase
Manusia sudah mulai memikirkan tentang sistem pembuangan limpasan
air hujan sejak jaman Romawi kuno. Bangunan drainase perkotaan pertama
kali dibuat di Romawi berupa saluran bawah tanah yang cukup besar, yang
digunakan untuk menampung dan membuang limpasan air hujan. Pada
awalnya, sistem drainase dibangun hanya untuk menerima limpasan air
hujan dan membuangnya ke badan air terdekat. Desain dan
pembangunannya belum dilakukan dengan baik. Saluran bawah tanah yang
terbuat dari batu dan bata mengalami rembesan yang cukup besar, sehingga
kapasitasnya jauh berkurang. Pada beberapa kasus, saluran tidak
mempunyai kemiringan yang cukup, sehingga air tidak lancar (stagnant) dan
terjadi genangan dalam saluran setelah terjadi hujan.
Sampai saat ini kota-kota di Indonesia masih menggunakan sistem
drainase tercampur tanpa dilengkapi dengan fasilitas instalasi pengolah air
limbah (IPAL). Hal ini tentu saja mengkhawatirkan untuk masa mendatang
mengingat air limbah yang dibuang ke sistem drainase semakin meningkat
volumenya dengan kualitas yang semakin menurun.
Dari sekumpulan pengalaman terdahulu dalam lingkungan masyarakat
yang masih sederhana, ilmu drainase perkotaan dipelajari oleh banyak
bangsa. Sebagai contoh orang Babilon mengusahakan lembah sungai Eufrat
dan Tigris sebagai lahan pertanian yang dengan demikian pasti tidak dapat
menghindari permasalahan drainase. Orang Mesir telah memanfaatkan air
sungai Nil dengan menetap sepanjang lembah yang sekaligus rentan
terhadap gangguan banjir.
Penduduk di kawasan tropika basah seperti di Indonesia awalnya
dibilang selalu tumbuh dari daerah yang berdekatan dengan sungai, dengan
demikian secara otomatis mereka pasti akan berinteraksi dengan masalah
gangguan air pada saat musim hujan secara periodik. Pada kenyataannya
mereka tetap dapat menetap disana, dikarenakan mereka telah mampu
mengatur dan menguasai ilmu pengetahuan tentang drainase. Terpengaruh
dengan perkembangan sosial budaya suatu masyarakat atau suku bangsa,
ilmu drainase perkotaan akhirnya harus ikut tumbuh dan berkembang sesuai

2
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
dengan perubahan tata nilai yang berlangsung di lingkungannya.

1.3 Jenis – Jenis Drainase


1.3.1 Land dan Smoothing
Land grading (mengatur tahap kemiringan lahan) dan Land
smoothing (Penghalusan permukaan lahan) diperlukan pada areal
lahan untuk menjamin kemiringan yang berkelanjutan secara
sistematis yang dibutuhkan untuk penerapan saluran drainase
permukaan. Studi menunjukan bahwa pada lahan dengan pengaturan
saluran drainase permukaan yang baik akan meningkatkan jarak
drainase pipa sampai 50%, dibandingkan dengan lahan yang kelebihan
air dibuang dengan drainase pipa tanpa dilakukan upaya pengaturan
saluran drainase permukaan terlebih dahulu.
Pada tanah cekungan, air yang tak berguna dialirkan secara sistematis
melalui:
a. Saluran/parit (terbuka) yang disebut sebagai saluran acak yang
dangkal (shallow random field drains)
b. Dari shallow random field ditch air di alirkan lateral outlet ditch
c. Selanjutnya diteruskan kesaluran pembuangan utama (Main
Outlet ditch)
Outlet ditch adalah saluran pembuangan lateral dibuat 15 – 30 cm
lebih dalam dari saluran pembuangan acak dangkal.
Overfall adalah jatuhnya air dari saluran pembuangan lateral ke
saluran pembuangan utama dibuat pada tingkat yang tidak
menimbulkan erosi, bila tidak memungkinkan harus dibuat pintu air,
drop spillway atau pipa.

1.3.2 Drainase Acak (Random Field Drains)


Drainase ini merupakan gambaran yang menunjukan pengelolaan
untuk mengatasi masalah cekungan dan lubang – lubang tempat
berkumpulnya air. Lokasi dan arah dari saluran drainase disesuaikan
dengan kondisi topografi lahan. Kemiringan lahan biasanya

3
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
diusahakan sedatar mungkin, hal ini untuk memudahkan peralatan
traktor pengolah tanah dapat beroperasi tanpa merusak saluran yang
telah dibuat. Erosi yang terjadi pada kondisi lahan seperti diatas,
biasanya tidak menjadi masalah karena kemiringan yang relatif datar.
Tanah bekas penggalian saluran, disebarkan pada bagian cekungan
atau lubang – lubang tanah, untuk mengurangi kedalaman saluran
drainase.

1.3.3 Drainase Pararel (Pararelle Field Drains)


Drainase ini digunakan pada tanah yang relative datar dengan
kemiringan kurang dari 1% – 2 %, sistem saluran drainase paralel
bisa digunakan. Sistem drainase ini dikenal sebagai sistem bedengan.
Saluran drainase dibuat secara paralel, kadang kala jarak antara
saluran tidak sama. Hal ini tergantung dari panjang dari barisan
saluran drainase untuk jenis tanah pada lahan tersebut, jarak dan
jumlah dari tanah yang harus dipindahkan dalam pembuatan barisan
saluran drainase, dan panjang maksimum kemiringan lahan terhadap
saluran (200 meter).
Keuntungan dari sistem saluran drainase paralel, pada lahan
terdapat cukup banyak saluran drainase. Tanaman dilahan dalam alur,
tegak lurus terhadap saluran drainase paralel. Jumlah populasi
tanaman pada lahan akan berkurang dikarenakan adanya saluran
paralel. Sehingga bila dibandingkan dengan land grading dan
smoothing, hasil produksi akan lebih sedikit. Penambahan jarak antara
saluran paralel, akan menimbulkan kerugian pada sistem bedding,
karena jarak yang lebar menimbulkan kerugian pada sistem bedding,
karena jarak yang lebar membutuhkan saluran drainase yang lebih
besar dan dalam. Bila lebar bedding 400 m, maka aliran akan dibagi
dua agar lebar bedding tidak lebih dari 200 m. Pada bedding yang
lebar, harus dibarengi dengan land grading dan smoothing. Pada tanah
gambut, saluran drainase paralel dengan side slope yang curam
digunakan adalah 1 meter. Pada daerah ini biasa dilengkapi dengan

4
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
bangunan pengambilan dan pompa, bangunan pintu air berfungsi
untuk mengalirkan air drainase pada musim hujan.

1.3.4 Drainase Mole


Drainase mole biasa disebut dengan lubang tikus berupa saluran
bulat yang konstruksinya tanpa dilindungi sama sekali, pembuatannya
tanpa harus menggali tanah, cukup dengan menarik (dengan traktor)
bentukan baja bulat yang disebut mol yang dipasang pada alat seperti
bajak dilapisan tanah subsoil pada kedalaman dangkal.
Pada bagian belakang alat mole biasanya disertakan alat expander
yang gunanya untuk memperbesar dan memperkuat bentuk lubang
Tidak semua daerah terdapat usaha-usaha pertanian atau perkebunan
memerlukan irigasi. Irigasi biasanya diperlukan pada daerah-daerah
pertanian dimana terdapat satu atau kombinasi dari keadaan-keadaan
berikut :
a. Curah hujan total tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
tanaman akan air;
b. Meskipun hujan cukup, tetapi tidak terdistribusi secara baik
sepanjang tahun;
c. Terdapat keperluan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas
hasil pertanian yang dapat dicapai melalui irigasi secara layak
dilaksanakan baik ditinjau dari segi teknis, ekonomis maupun
sosial.

1.4 Pola Jaringan Drainase


a. Pola Jaringan Siku
Dibuat pada daerah yang mempunyai topografi sedikit lebih tinggi
dari pada sungai. Sungai sebagai saluran pembuang akhir berada di
tengah kota.

5
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Saluran Utama
Saluran Cabang

Gambar 1.1 Pola Jaringan Siku

b. Pararel
Saluran utama terletak sejajar dengan saluran cabang. Dengan
saluran cabang (sekunder) yang cukup banyak dan pendek-pendek.
Apabila terjadi perkembangan kota saluran-saluran tersebut dapat
disesuaikan.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 1.2 Pola Jaringan Pararel

c. Grid Iron
Untuk daerah dimana sungainya terletak di pinggir kota, sehingga
saluran-saluran cabang dikumpulkan dulu pada saluran pengumpulan.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 1.3 Pola Jaringan Grid Iron

6
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
d. Alamiah
Sama seperti pola siku, hanya beban sungai pada pola alamiah lebih
besar.

Saluran Utama
Saluran Cabang

Gambar 1.4 Pola Jaringan Alamiah

e. Radial
Pada daerah berbukit, sehingga pola saluran memencar ke segala arah.

Saluran Cabang

Gambar 1.5 Pola Jaringan Radial

f. Jaring – jaring
Mempunyai saluran – saluran pembuangan yang mengikuti arah jalan
raya, dan cocok untuk daerah dengan topografi datar.

Saluran Utama

Saluran Cabang

Gambar 1.5 Pola Jaringan Radial

7
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
1.5 Langkah – Langkah Perencanaan Drainase
Secara garis besar langkah-langkah perencanaan drainase dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1.5.1 Mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam perencanaan
drainase.
Untuk data soal perancangan tugas besar Drainase Perkotaan
ditentukan oleh dosen pengampu. Dengan data :
1. Site plan wilayah yaitu BTN Graha Asri
2. Data hujan harian (terlampir)
3. Perhitungan hujan efektif menggunakan Metode Tahun Dasar
4. Analisa frekuensi menggunakan Metode Pearson Type III
5. Periode ulang harian rencana 15 tahun
6. Metode perhitungan intensitas hujan menggunakan rumus
Monobobe
7. Bentuk penampang saluran berbentuk Trapesium
8. Material saluran pasangan Batu Belah
9. Jenis bangunan gorong – gorong Box Culvert (Beton Bertulang)

1.5.2 Analisa Topografi


Analisa topografi digunakan untuk mengetahui besar dari
kelerengan atau ketinggian dari suatu kawasan sehingga dapat
digunakan sebagai dasar untuk menentukan fungsi kawasan dengan
perletakan daerah yang akan dibangun.

1.5.3 Analisa Hidrologi


a. Curah Hujan Maksimum
Hujan harian maksimum yang akan terjadi selama periode
ulang tertentu dapat diberikan dengan berbagai macam Metode
Gumbel, Metode Log Pearson Type III, dan Metode Iwal Kadoyo.
Dasar pemakaian ketiga metode ini adalah dalam
menganalisis besarnya curah hujan harian maksimum yang terjadi
dalam periode ulang hujan tertentu, menghitung data curah hujan

8
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
harian maksimum atau mencari curah hujan efektif (He).
b. Intensitas curah hujan
Intensitas hujan adalah rata – rata dari banyaknya air hujan
pada waktu konsentrasi untuk periode ulang tertentu. Intensitas
hujan dinotasikan dengan huruf I dalam satuan (mm/jam) yang
artinya tinggi hujan yang terjadi (mm) dalam kurun waktu perjam.
c. Waktu konsentrasi
Adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air hujan
mulai dari tempat jatuhnya sampai ke tempat penampang. Ada 2
faktor yang menentukan waktu konsentrasi, yaitu waktu yang
diperlukan air untuk mengalir melalui permukaan tanah ke
saluran terdekat (to) dan waktu untuk mengalirkan di dalam
saluran (td).
d. Debit limpasan
Debit air limpasan adalah volume air hujan persatuan waktu
yang tidak mengalami infiltrasi sehingga harus dialirkan melalui
saluran drainase. Dalam aliran hasil observasi yang dikaitkan
dengan kapasitas sungai pada outlet yang telah ditentukan.
Kapasitas saluran sungai merupakan kemampuan saluran sungai
untuk melewatkan debit. Apabila debit melewati kapasitas, maka
terjadi luapan sungai yang mengakibatkan banjir.
1.5.4 Analisa Hidrolika
a. Kecepatan aliran di dalam saluran drainase
b. Perencanaan debit saluran
Karakteristik hujan pada suatu daerah akan berbeda dengan
daerah lainnya, dengan diketahuinya besar curah hujan pada suatu
daerah maka akan dapat diperkirakan intensitas hujan pada daerah
tersebut dan nantinya akan digunakan untuk menghitung besarnya
debit rencana.
c. Desain Saluran
Bentuk – bentuk saluran untuk drainase tidak jauh berbeda
dengan saluran irigasi pada umumnya. Dalam perancangan

9
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
dimensi saluran harus diusahakan dapat membentuk saluran
ekonomis, sebaliknya dimensi yang terlalu kecil akan
menimbulkan permasalahan karena daya tampung yang tidak
memadai.
1.5.5 Perencanaan bangunan pelengkap sistem drainase
a. Bangunan terjunan.
Bangunan terjunan adalah suatu bangunan pelengkap sistem
drainase yang dibangun untuk mengurangi kemiringan saluran
yang terlalu curam dan untuk menurunkan kecepatan aliran air
agar tidak merusak saluran atau bangunan lainnya.
b. Gorong-gorong
Gorong-gorong adalah bangunan yang dipakai untuk
membawa aliran air (saluran irigasi atau pembuang) yang
melewati bawah jalan. Gorong – gorong mempunyai potongan
melintang yang lebih kecil dari pada luas basah saluran hulu
maupun hilir. Sebagian dari potongan melintang mungkin berada
di atas muka air. Dalam hal ini gorong – gorong berfungsi sebagai
saluran terbuka dengan aliran bebas.
c. Sumur resapan dan lain-lain
Sumur resapan adalah suatu teknik konservasi tanah dan air
yang memiliki prinsip utama untuk memperluas bidang
penyerapan sehingga aliran permukaan berkurang dengan
optimal.

10
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
BAB II
ANALISIS HIDROLOGI

2.1 Karakteristik dan Kondisi Data Hujan


2.1.1 Karakteristik
2.1.1.1 Durasi
Durasi hujan adalah lama kejadian ( menit, jam, harian )
diperoleh terutama dari pencatatan alat pengukur hujan
otomatis.
2.1.1.2 Intensitas
Intensitas hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan
dalam tinggi hujan untuk volume hujan tiap satuan waktu.
Besarnya intensitas hujan berbeda – beda tergantung dari
lamanya waktu hujan dan frekuensi kejadiannya. Intensitas
hujan diperoleh dengan cara melakukan analisa data hujan
baik secara melakukan analisis data hujan baik secara
statistik maupun secara empiris.
2.1.1.3 Lengkung Intensitas
Lengkung intensitas adalah grafik yang mennyatakan
hubungan intensitas hujan dengan durasi hujan. Hubungan
tersebut dinnyatakan dalam bentuk lengkungan intensitas
hujan dengan kala uang ulang tersebut.
2.1.1.4 Waktu Konsentrasi
Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperoleh untuk
mengalirkan air dai titik yang paling jauh pada daerah aliran
ke titik kontrol yang ditentukan di bagian hilir suatu saluran.
Pada prinsipnya waktu konsentrasi dibagi menjadi :
a. Inlet time (to), waktu yang diperlukan air untuk mengalir
di atas permukaan tanah.
b. Condut time (td), waktu yang diperlukan air untuk
mengalir sepanjang saluran sampai dititik kontrol
ditentukan di bagian hilir.

11
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Waktu konsentrasi dapat dihitung dengan rumus :

TC = to + td

Rumus 2.1 Waktu Konsentrasi

Waktu konsentrasi biasanya sangat bervariasi dan


dipengaruhi oleh faktor – faktor berikut :
• Luas daerah pengaliran
• Panjang saluran drainase
• Kemiringan dasar drainase
• Debit dan kecepatan aliran

2.1.2 Data Hujan


2.1.2.1 Pengukuran
Pengukuran hujan dilakukan selama 24 jam dengan cara
ini berarti hujan yang diketahui adalah hujan total yang
terjadi selama 1 hari dan dilanjutkan untuk menggunakan
data hujan hasil pengukuran dengan alat ukur otomatis.
2.1.2.2 Alat Ukur
Dalam praktek pengukuran hujan terdapat 2 jenis alat
ukur hujan, yaitu :
a. Alat ukur hujan biasa (Manual Raingarge), yaitu alat
yang berupa suatu corong – corong dan sebuah gelas
ukur yang masing – masing berfungsi untuk menampung
jumlah air hujan dalam satu hari.
b. Alat ukur hujan otomatis (Automatic Raingarge), data
yang diperoleh dari data pengukuran dengan
menggunakan data. Pencatatan secara menerus pada
kertas pencatat yang dipasang pada alat ukur
memperoleh besaran intensitas hujan. Tipe alat ukur
hujan otomatis ada 3 yaitu :

12
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
• Weighting bucket raingarge
• Float raingarge
• Tipping buckst raingarge

2.1.2.3 Kondisi dan Sifat Data


Data hujan yang baru diperlukan untuk melakukan
analisis hidrologi, sedangkan untuk mendapatkan data yang
berkualitas biasanya tidak mudah. Data hujan hasil
pencatatan yang tersedia biasanya dalam kondisi tidak
menerus. Apabila terputusnya rangkaian data hanya beberapa
saat, kemungkinan tidak menimbulkan masalah, tetapi untuk
kurun waktu yang lama tentu akan menimbulkan masalah
dalam analisis.
Menghadapi kondisi data seperti ini langkah yang dapat
ditempuh dengan melibatkan kepentingan dan sasaran yang
dituju, apakah data kosong tersebut perlu diisi kembali.
Kualitas data yang tersedia akan ditentukan oleh alat ukur
dan manajemen pengelolaan.

2.2 Pengelolaan Data


2.2.1 Hujan Harian Maksimum
Hujan harian maksimum yang akan terjadi selama periode ulang
tertentu dapat diberikan dengan berbagai macam metode Gumbel,
Metode Log Person Type III, dan Metode Iwal Kadoyo.
Dasar pemakaian ketiga metode ini adalah dalam menganalisis
besarnya curah hujan harian maksimum yang terjadi dalam periode
ulang hujan tertentu, menghitung data curah hujan harian maksimum
atau mencari curah hujan efektif (He).
Curah hujan efektif adalah curah hujan yang secara efektif dapat
dimanfaatkan oleh tanaman untuk irigasi padi, curah hujan efektif
yang digunakan adalah curah hujan efektif metode tahun dasar,

13
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
dengan rumus :

Re = 30 + 6N

Rumus 2.2 Curah hujan efektif metode tahun dasar

Pengelolaan data menggunaka n Metode Tahun Dasar

1. Bulan Januari
∑pe = 11,5 + 12,0 + 13,0 + 9,5 + 10,0 + 8,5 + 8,5 + 9,2
+ 11,0 + 13,5 + 12,0 + 10,5 + 11,5 + 13,0 + 8,5 +
7,5 + 6,0 + 12,0 + 11,0
= 198,2 mm
N = 19 hari
∑ ,
Pe = = = 10,43 mm

2. Bulan Februari
∑pe = 11,0 + 10,0 + 9,0 + 8,5 + 13,5 + 12,0 + 11,0 +
10,5 + 11,0 + 10,5 + 12,0 + 14,0 + 16,0 + 15,0 +
18,0 + 16,0
= 198 mm
N = 16

Pe = = = 12,38 mm

3. Bulan Maret
∑pe = 9,5 + 10,0 + 8,5 + 9,0 + 11,0 + 12,3 + 14,0 + 8,5
+ 9,0 + 8,0 + 12,0 + 13,0 + 15,5 + 11,0 + 13,5 +
10,2 + 10,2 + 11,5 + 10,5 + 8,0
= 215,2 mm
N = 20
∑ ,
Pe = = = 10,76 mm

14
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
4. Bulan April
∑pe = 13,0 + 12,0 + 12,5 + 8,5 + 9,6 + 8,5 + 10,2 +
11,0 + 13,5 + 13,5 + 12, 0 + 14,0 + 10,5 + 11,5 +
13,0 + 7,5 + 10,5 + 6,0 + 12,0 + 11,2
= 220,5 mm
N = 20
∑ ,
Pe = = = 11,03 mm

5. Bulan Mei
∑pe = 11,0 + 10,0 + 9,0 + 8,5 + 13,5 + 12,0 + 11,0 +
10,5 + 11,0 + 10,5 + 12,0 + 14,0 + 16,0 + 15,0 +
18,0 + 12,0 + 9,5
= 203,5 mm
N = 17
∑ ,
Pe = = = 11,97 mm

6. Bulan Juni
∑pe = 11,5 + 14,5 + 9,5 + 8,5 + 10,5 + 11,0 + 8,5 + 11,0
+ 13,5 + 12,5 + 11,5 + 10,5 + 11,5 + 13,0 + 8,0 +
7,5 + 10,0 + 12,0 +11,0
= 206 mm
N = 19

Pe = = = 10,84 mm

7. Bulan Juli
∑pe = 12, 0 + 11,5 + 12,5 + 9,0 + 8,5 + 8,5 + 9,5 + 10,2
+ 11,0 + 13,5 + 13,5 + 12,0 + 14,0 + 10,5 + 11,5
+ 13,0 + 12,5 + 10,5 + 10,2 + 12,0 + 11,2 + 13,0
= 250,1 mm

15
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
N = 22
∑ ,
Pe = = = 11,37 mm

8. Bulan Agustus
∑pe = 10,0 + 10,5 + 9,0 + 9,6 + 10,0 + 12,3 + 13,5 + 8,5
+ 9,0 + 12,0 + 8,0 + 12,0 + 13,0 + 15,5 + 11,0 +
13,5 + 10,2 + 13,5 + 10,2 + 11,5 + 10,5 + 8,0 +
8,5
= 249,8 mm
N = 23
∑ ,
Pe = = = 10,86 mm

9. Bulan September
∑pe = 10,0 + 8,5 + 9,0 + 11,0 + 12,3 + 14,0 + 8,5 + 9,0
+ 10,5 + 8,0 + 12,0 + 13,0 + 12,2 + 11,5 + 11,0 +
13,5 + 10,2 + 10,2 + 11,5 + 10,5 + 8,0
= 224,4 mm
N = 21
∑ ,
Pe = = = 10,69 mm

10. Bulan Oktober


∑pe = 13,5 + 9,5 + 10,0 + 12,5 + 11,8 + 11,2 + 8,5 + 9,2
+ 13,5 + 12,0 + 10,5 + 10,5 + 11,5 + 12,0 + 7,5 +
6,0 + 12,0 + 10,0 +7,0
= 199,4 mm
N = 19
∑ ,
Pe = = = 10,49 mm

16
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
11. Bulan November
∑pe = 9,5 + 10,0 + 8,5 + 9,0 + 11,0 + 12,3 + 14,0 + 8,5
+ 9,0 + 8,0 + 12,0 + 13,0 + 15,5 + 11,0 + 13,5 +
10,2 + 10,2 + 11,5 + 10,5 + 8,0
= 215,2 mm
N = 20
∑ ,
Pe = = = 10,76 mm

12. Bulan Desember


∑pe = 11,5 + 12,0 + 13,0 +9,5 + 10,0 + 10,5 + 8,5 + 9,2
+ 11,0 + 12,5 + 13,5 + 10,5 +11,5 + 13,0 + 8,0 +
7,5 + 10,6 + 12,0 + 11,0 + 10,3
= 215,6 mm
N = 20
∑ ,
Pe = = = 10,78 mm

17
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Curah Hujan Harian Maksimal
Bulan
atau Hujan Efektif (mm)
Januari 10,43
Februari 12,38
Maret 10,76
April 11,03
Mei 11,97
Juni 10,84
Juli 11,37
Agustus 10,86
September 10,69
Oktober 10,49
November 10,76
Desember 10,78
Rata – rata 11,03 mm
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 2.1 Curah Hujan Harian Maksimum

2.2.2 Uji Homogenitas Data Hujan


Uji Homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah data hujan
yang dipakai untuk analisis selanjutnya adalah berasal dari populasi
yang sama atau tidak.
Metode yang digunakan untuk homogenitas adalah uji – t
(soewarno, 1995 : 18 – 19), dengan rumus :

( )
t =
( )

. .
=[ ] /

∑( ) /
=[ ] /

Rumus 2.2 Uji Homogenitas Data Hujan

18
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Keterangan : t = Variabel – variabel terhitung

X = Rata – rata hitung sampai setengah ke- 1

X = Rata – rata hitung sampai setengah ke- 2

N = Jumlah sampai setengah ke - 1

N = Jumlah sampai setengah ke - 2

S ,S = Variabel sampai setengah ke – 1 dan ke- 2

Derajat kebebasan :

Du = N1 + N2 – 2

Tc = Nilai kritis ( dari tabel kritis tc untuk distribusi – t


uji dua sisi berdasarkan Du dan derajat kepercayaan (d)
tertentu).
Uji homogenitas dalam perhitungan hujan rencana tidak dapat
dilakukan karena data curah hujan yang dipeoleh hanya berasal dari
(1) pos pencatat hujuan, sehingga tidak ada pos perbandingan untuk
melakukan perhitungan (uji homogenitas).

2.2.3 Uji Konsistensi Data Hujan


Data hidrologi tidak konsisten apabila terdapat perbedaan nilai
pengukuran dengan nilai sebenarnya. Umumnya penepatan uji
konsistensi menggunakan cara “Comulative Deviton” yang
ditunjukkan dengan nilai “Komulatif penyimpanan terhadap nilai
rata – rata”.

Rumus yang digunakan :

SK* = (y1 – ӯ)

Rumus 2.3 Uji Konsistensi Data Hujan

19
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Standar Deviasi

(#1 – ӯ)
Dy² = '

= Dy = ()*²

Rumus 2.4 Standar Deviasi

Keterangan : y = Data hujan ke – 1


ӯ = Data hujan rata – rata
n = Jumlah data
Dengan membagi SK* dengan standar daviasi diperoleh apa yang
disebut “Rescaled Adjusted Postial Sums (RAPS)”

Rumus :
+∗
Sk** = -.

Rumus 2.5 Rescaled Adjusted Postial Sums (RAPS)

Parameter statistik yang dapat digunakan sebagai alat pengjian :


Q = | Sk** | maks
Atau niai Range
R = Sk** maks – SK**min

Data adalah konsisten/pengarah jika :


Q < Q kritis
R < R kritis

20
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Uji Konsistensi Data Curah Hujan Maksimum

(23∗) 23∗
Dy = 1
Curah Hujan Harian
No Bulan Sk* = (/0 - ȳ ) Sk** = 5/
Maksimum (mm) 4

1 Januari 10,43 -0,600 0,173 -3,464


2 Februari 12,38 1,350 0,390 3,464
3 Maret 10,76 -0,270 0,078 -3,464
4 April 11,03 0 0 0
5 Mei 11,97 0,940 0,271 3,464
6 Juni 10,84 -0,190 0,055 -3,464
7 Juli 11,37 0,340 0,098 3,464
8 Agustus 10,86 -0,170 0,049 -3,464
9 September 10,69 -0,340 0,098 -3,464
10 Oktober 10,49 -0,540 0,156 -3,464
11 November 10,76 -0,270 0,078 -3,464
12 Desember 10,78 -0,250 0,072 -3,464
∑ 132,36
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 2.2 Uji Konsistensi Data Curah Hujan Maksimum

,
ȳ = = 11,03

Q = | Sk** | maks = 3,464


R = Sk**maks – Sk**min
= 3,464 – (-3,464)
= 6,928

Q dan R kritis (90%) tidak ada pada table, sehingga digunakan


interpolasi :

N Q / √7 90% Q / √7 90%
10 1,05 1,21
12 X X
20 1,10 1,34

21
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Nilai Q kritis

=
, , ; ,

200 = 2/(x – 1,05)


x = 1,06

Rumus :

R kritis 90% = Q kritis / √7

Rumus 2.6 R kritis 90%

Q kritis 90% = Q kritis / √7


1,06 = Q kritis / √12
Q kritis = 3,672
Q = 3,464
R = 6,928

Nilai R kritis

=
, , . ,

y = 2/(76,923)
y = 1,236

Rumus :
R kritis 90% = Q kritis / √7
1,236 = Q kritis / √7
R kritis = 4,282

Sehingga,
Q kritis = 3,672
R kritis = 4,282

22
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
2.2.4 Perhitungan Hujan Wilayah
Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan
pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah hujan rata
– rata di seluruh daerah yang bersangkutan bukan curah hujan pada
suatu titik tertentu (stasiun).
Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah atau daerah dan
dinyatakan dalam (mm). curah hujan wilayah dapat dilakukan
dengan metode sebagai berikut:
a. Metode Rata – rata Aljabar
Metode ini termasuk yang paling sederhana karena mengabaikan
daerah pengaruh pos pencatatan hujan.
Rumus dari metode ini adalah:
0
R= (R1 + R2 + R3 + …. Rn)
4

Rumus 2.7 Metode Rata – rata Aljabar

Dimana :
R = Curah hujan wilayah (mm)
n = Jumlah pos pencatat hujan
Hasil optimal akan didapat dengan cara ini bila wilayah adalah
daerah datar, pos pencatat banyak wilayah dan tersebar merata di
seluruh wilayah itu.
b. Poligon Theisin
Jika pos pencatat hujan di suatu wilayah tidak tersebar merata,
maka cara perhitungan curah hujan rata – rata dapat dilakukan
dengan mempertimbangkan atau memperhatikan dengan
memperhitungkan daerah pengaruh tiap pos pencatatan hujan.
Rumus :
=0.>0 =?.>? ⋯ =4.>4
R=
=0 =? ⋯ =4

Rumus 2.8 Poligon Theisin

23
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Dimana :
R = Curah hujan wilayah
R1, R2, …. , Rn = Curah hujan tiap pos pencatat hujan
n = Jumlah pos pencatat hujan
A1, A2, …. , An = Luas bagian wilayah dengan mewakili tiap
pos
c. Metode Ishoyet
Ishoyet adalah garis yang menggambarkan curah hujan yang
lama pada suatu wilayah. Metode ini dimulai dengan
menggambarkan ishoyet pada peta topografi.
Untuk menggambarkan ishoyet dapat dilakukan dengan
interpolasi terhadap nilai – nilai curah hujan yang tercatat pada
pos pencatat hujan di sekitarnya dengan tergambarnya peta
ishoyet, maka didapat luas bagian wilayah diantara 2 ishoyet.
Rumus :
=0.>0 =?.>? ⋯ =4.>4
R=
=0 =? ⋯ =4

Rumus 2.9 Metode Ishoyet

Dimana :
R = Curah hujan wilayah
R1, R2, …. , Rn = Curah hujan tiap pos pencatat hujan
n = Jumlah pos pencatat hujan
A1, A2, …. , An = Luas bagian wilayah dengan mewakili tiap
Pos

24
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Dalam perhitungan ini digunakan cara rata – rata aljabar
mengingat hanya 1 buah pencatat hujan, hasil perhitungan dapat
dilihat pada tabel :

Curah Hujan
No Bulan Sta P.Bun (mm)
Wilayah
1 Januari 10,43 10,43
2 Februari 12,38 12,38
3 Maret 10,76 10,76
4 April 11,03 11,03
5 Mei 11,97 11,97
6 Juni 10,84 10,84
7 Juli 11,37 11,37
8 Agustus 10,86 10,86
9 September 10,69 10,69
10 Oktober 10,49 10,49
11 November 10,76 10,76
12 Desember 10,78 10,78
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 2.3 Curah Hujan Wilayah

2.2.5 Analisa Frekuensi


Data hujan yang telah dikoreksi berdasarkan uji konsistensi,
selanjutnya digunakan sebagai data menghitung hujan rencana.
Pada perhitungan hujan rencana ini digunakan metode Distribusi
Probabilitas Pearson Type III.

XTr = Ẍ + (k.s)

Rumus 2.10 Analisa Frekuensi

Dimana :
XTr = Nilai variate dengan periode ulang Tr
Ẍ = Nilai rata – rata variate
K = Faktor sifat dari distribusi probabilitas Pearson Type III.
Nilainya tergantung pada Tr dan Cs.

25
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
S = Standar deviasi

Persamaan Cs
' . AB C
Cs = B
(' )(' ).

∑(;E ;)B
M C =
'

∑(;E ;)
S =1
'

Dalam perhitungan hujan rencana metode yang digunakan


adalah Distribusi Probabilitas Pearson Type III yang
dihitung dengan cara analisis :

Curah Hujan (xi)


No Bulan (Xi - Ẍ)² (Xi - Ẍ)³
(mm)
1 Januari 10,43 0,36 -0,216
2 Februari 12,38 1,82 2,460
3 Maret 10,76 0,07 -0,020
4 April 11,03 0 0
5 Mei 11,97 0,88 0,831
6 Juni 10,84 0,04 -0,007
7 Juli 11,37 0,12 0,039
8 Agustus 10,86 0,03 -0,005
9 September 10,69 0,12 -0,039
10 Oktober 10,49 0,29 -0,157
11 November 10,76 0,07 -0,020
12 Desember 10,78 0,06 -0,016
∑ 132,36 3,86 2,851
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 2.4 Analisa Frekuensi

26
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
∑(;E)
X =
'
,
=

= 11,03

∑(;E ;)B
M C =
'
,
=

= 0,238
∑(;E ;)
S =1
'

,
=1

= 0,592
' . AB C
Cs = B
(' )(' ).

. ,
= B
( )( ). ,

= 1,502

Nilai cs yang sudah didapat dipakai untuk mencari nilai K pada


lampiran tabel frekuensi III – 3 untuk distribusi Probabilitas
Pearson Type III. Dengan periode ulang hujan rencana 15 tahun
dan nilai Cs = 1,502 tidak ada di tabel maka di lakukan
interpolasi:
Periode Ulang Hujan Rencana 15 tahun :

PERIODE ULANG 10 15 25
1,4 1,337 2,128
Cs 1,502 1,333 1,604 2,146
1,6 1,329 2,163

27
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Interpolasi nilai Cs 1,502 Dengan periode ulang hujan rencana 10
tahun:
, ,
= 1,337 + ( ) . (1,329 – 1,337 )
, ,

= 1,333

Untuk nilai K, Cs = 1,502 dan periode ulang rencana 15 tahun di


lakukan interpolasi dengan cara yang sama sehingga dididapat
nilai K = 1,604.
Curah Hujan Rencana
XTr = Ẍ + (k . s)
= 11,03 + (1,604 x 0,592)
= 11,980 mm
Jadi, curah hujan rencana adalah 11,980 mm.

28
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
BAB III

PERHITUNGAN BEBAN DRAINASE

3.1 Analisis Layout dan Luas Daerah Tangkapan Hujan


3.1.1 Tata Guna Lahan
Penggunaan secara efektif tanah di kawasan pemukiman
perumahan Graha Asri yang merupakan kawasan tinjau pada tugas
Drainase Perkotaan yang merupakan pemukiman dan memiliki
daerah resapan air hujan. Sehingga air yang jatuh berasal dari hujan
maupun pemukiman yang lainnya akan di alirkan langsung ke
saluran drainase yang ada di kawasan tersebut.

3.1.2 Jaringan Drainase


Jaringan drainase yang terdapat pada kawasan perumahan Graha
Asri Jalan Utama Pasir Panjang menggunakan pasangan batu belah,
akan tetapi terdapat kesulitan dalam memilih kelancaran dan arah
aliran pada saluran rencana. Pada umumnya terdapat hambatan –
hambatan yang mengganggu kelancaran aliran tersebut.

3.1.3 Jarak Pengaliran di Atas Permukaan Tanah (F )


Jarak pengaliran pada jaringan drainase di atas tanah adalah
jarak terjauh antara as saluran terhadap titik tangkap daerah
tangkapan hujan pada masing – masing bagian dasar penggalian
berdasarkan pada rencana jaringan drainase pada kawasan
pemukiman tersebut.

3.1.4 Panjang Saluran (FG )


Panjang saluran (FG ) pada perencanaan ini yaitu panjang saluran
sepanjang daerah tangkapan hujan yaitu ditinjau dari titik
persimpangan dan perpotongan pada masing – masing bagian daerah

29
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
pengaliran sub drainase wilayah pemukiman tersebut.
Pada perencanaan drainase ini titik daerah tangkapan hujan berada
pada persimpangan antara Jalan Utama Pasir Panjang dan Jalan
Graha Asri.

Nilai F dan FG untuk masing – masing daerah pengaliran.

No Nama Saluran FG (m) F (m)


1 Jl. Utama Pasir Panjang 1 316,5 81
2 Jl. Utama Pasir Panjang 2 316,5 80
3 Jl. Utama Pasir Panjang 3 316,5 155
4 Jl. Utama (kiri) 316,5 316,5
5 Jl. Utama (kanan) 316,5 316,5
6 Jl. Graha Asri (kiri) 80 198,5
7 Jl. Graha Asri (kanan) 90 198,5
8 Jl. Graha 1 118 125
9 Jl. Graha 2 226,5 41
10 Jl. Graha 3 125 99,5
11 Jl. Graha 4 10 81
12 Jl. Graha 5 52 120
13 Jl. Graha 6 41 42
Sumber : Hasil Pengukuran
Tabel 3.1 Nilai F dan FG

3.1.5 Luas Daerah Tangkapan Hujan


Pada daerah yang direncanakan pengambilan daerah tangkapan
hujan berbentuk dimana secara geometris diasumsikan panjang
saluran (FG ) sebagai panjang alas dan jarak pengaliran di atas
permukaan tanah (F ) sebagai tinggi dalam perencanaan perhitungan
debit rencana menggunakan persamaan dasar atau Metode Rasional
dengan persamaan rumus berikut :

Q = F.C.I.A

Rumus 3.1 Metode Rasional

30
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Dimana :
Q = Debit (m³/detik)
F = Faktor konversi sebesar 0,28
I = Intensitas hujan pada periode ulang tertentu (mm/jam)
A = Luas daerah pengaliran

Contoh perhitungan :
Jl. Utama Pasir Panjang
FG = 316,5 m
F = 81 m
Luas tangkapan hujan
A = FG x F
= 316,5 x 81
= 25636,5 m²

Perhitungan selanjutnya dapat dilihat pada tabel berikut :

HI HJ
Bentuk
A (m²)
(HI x HJ )
No Nama Saluran Penampang
(m) (m)
Saluran
1 Jl. Utama Pasir Panjang 1 316,5 81 Trapesium 25636,5
2 Jl. Utama Pasir Panjang 2 316,5 80 Trapesium 25320
3 Jl. Utama Pasir Panjang 3 316,5 155 Trapesium 49057,5
4 Jl. Utama (kiri) 316,5 316,5 Trapesium 100172,25
5 Jl. Utama (kanan) 316,5 316,5 Trapesium 100172,25
6 Jl. Graha Asri (kiri) 80 198,5 Trapesium 15880
7 Jl. Graha Asri (kanan) 90 198,5 Trapesium 17865
8 Jl. Graha 1 118 125 Trapesium 14750
9 Jl. Graha 2 226,5 41 Trapesium 9286,5
10 Jl. Graha 3 125 99,5 Trapesium 12437,5
11 Jl. Graha 4 10 81 Trapesium 810
12 Jl. Graha 5 52 120 Trapesium 6240
13 Jl. Graha 6 41 42 Trapesium 1722
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 3.2 Luas Daerah Tangkapan Hujan

31
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Perhitungan waktu konsentrasi dan intensitas hujan
1. Perhitungan dan daerah tangkapan hujan (Io) pada suatu daerah
pengaliran yang terdapat lebih dari satu macam pengguna tanah
yang sangat mempengaruhi dalam waktu yang ditentukan air
untuk mengalir melalui permukaan bawah ke saluran terdekat
(to). Mana dalam hal ini untuk menentukan besar to
berhubungan dengan koefisien pengaliran (c) dan nilai
kemiringan tanah (so) untuk koefisien pengaliran dalam tata
guna lahan sebagai pemukiman (c) = 0,5. Untuk kemiringan
permukaan tanah (so) direncanakan 0,5%.
2. Perhitungan waktu pengaliran dalam saluran (td), waktu
pengaliran dalam saluran (td) dapat direncanakan dengan
persamaan sebagai berikut :

HI
td =
K.LJ

Rumus 3.2 Perhitungan waktu pengaliran dalam saluran


(td)

Dimana :
td = Waktu pengaliran dalam saluran (menit)
FG = Panjang saluran (m)
V = Kecepatan aliran dalam saluran
3. Waktu Konsentrasi (tc)
Adalah waktu yang diperlukan untuk mengalirkan air hujan
mulai dari tempat jatuhnya sampai ke tempat penampang. Ada 2
faktor yang menentukan waktu konsentrasi, yaitu waktu yang
diperlukan air untuk mengalir melalui permukaan tanah ke
saluran terdekat (to) dan waktu untuk mengalirkan di dalam
saluran (td). Rumus :

tc = to + td

Rumus 3.3 Waktu Konsentrasi (tc)

32
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
Dimana :
tc = Waktu konsentrasi (menit)
to = Waktu pengaliran di atas permukaan tanah (hargany
ditentukan berdasarkan kemiringan permukaan, koefisien
pengaliran rata – rata dengan jarak)
td = Waktu pengaliran dalam saluran yang diukur
4. Intensitas Hujan
Intensitas hujan adalah rata – rata dari banyaknya air hujan pada
waktu konsentrasi untuk periode ulang tertentu. Intensitas hujan
dinotasikan dengan huruf I dalam satuan (mm/jam) yang artinya
tinggi hujan yang terjadi (mm) dalam kurun waktu perjam.
Perhitungan intensitas curah hujan dilakukan dengan
menggunakan Rumus Monobobe, sebagai berikut:

MNO ?P
I= | |?/S
?P NQ

Rumus 3.3 Rumus Monobobe

Dimana :
I = Intensitas hujan (mm/jam)
Xtr = Curah hujan harian maksimum (mm)
t = Durasi hujan (menit atau jam)

Dengan diketahuinya curah hujan rencana pada stasiun


Pangkalan Bun untuk periode 10 tahun, maka intensitas hujan
didapat dari perhitungan menggunakan rumus sebagai berikut :

MNO ?P
T0J = | |?/S
?P NQ

33
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
To Td tc Tc Intensitas
No Nama Saluran
(menit) (menit) (menit) (jam) Hujan
1 Jl. Utama Pasir Panjang 1 4,420 13,188 17,608 0,248 89,643
2 Jl. Utama Pasir Panjang 2 4,378 13,188 17,566 0,248 89,712
3 Jl. Utama Pasir Panjang 3 7,286 13,188 20,473 0,268 85,190
4 Jl. Utama (kiri) 12,625 13,188 25,812 0,304 78,198
5 Jl. Utama (kanan) 12,625 13,188 25,812 0,304 78,198
6 Jl. Graha Asri (kiri) 8,815 3,333 12,148 0,116 149,180
7 Jl. Graha Asri (kanan) 8,815 3,750 12,565 0,122 143,538
8 Jl. Graha 1 6,174 4,917 11,090 0,124 142,676
9 Jl. Graha 2 2,617 9,438 12,054 0,174 113,665
10 Jl. Graha 3 5,179 5,208 10,387 0,122 144,253
11 Jl. Graha 4 4,420 0,417 4,837 0,037 317,486
12 Jl. Graha 5 5,983 2,167 8,149 0,077 195,824
13 Jl. Graha 6 2,666 1,708 4,374 0,046 273,769
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 3.3 Intensitas Hujan

5. Perhitungan Beban Drainase


Perhitungan beban drainase yaitu perhitungan debit rencana
pada tugas ini digunakan Metode Rasional, metode tidak
memperhatikan bentuk hidrogafinya.
Rumus :

Q = 0,278 . C . I . A

Rumus 3.4 Metode Rasional

Dimana :
Q = Debit (m³)
C = Koefisien run off
I = Intensitas maksimal selama waktu konsentrasi (mm/jam)
A = Luas daerah aliran (mm²)

34
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan
I A Q Q Komulatif
No Nama Saluran C
(mm/jam) (mm²) (m³/dtk) (m³/dtk)
1 Jl. Utama Pasir Panjang 1 0,5 89,643 25636,5 0,089 0,089
2 Jl. Utama Pasir Panjang 2 0,5 89,712 25320 0,088 0,088
3 Jl. Utama Pasir Panjang 3 0,5 85,190 49057,5 0,161 0,161
4 Jl. Utama (kiri) 0,5 78,198 100172,25 0,302 1,768
5 Jl. Utama (kanan) 0,5 78,198 100172,25 0,302 0,464
6 Jl. Graha Asri (kiri) 0,5 149,180 15880 0,762 0,891
7 Jl. Graha Asri (kanan) 0,5 143,538 17865 0,099 0,099
8 Jl. Graha 1 0,5 142,676 14750 0,081 1,141
9 Jl. Graha 2 0,5 113,665 9286,5 0,041 0,041
10 Jl. Graha 3 0,5 144,253 12437,5 0,069 0,069
11 Jl. Graha 4 0,5 317,486 810 0,010 0,028
12 Jl. Graha 5 0,5 195,824 6240 0,047 0,047
13 Jl. Graha 6 0,5 273,769 1722 0,018 0,018
Sumber : Hasil Perhitungan
Tabel 3.4 Perhitungan Beban Drainase

35
Agita Pebriani | Drainase Perkotaan

Anda mungkin juga menyukai