Anda di halaman 1dari 60

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Tambayong (2000) yang dikutip oleh (Ismanto et al., 2014),

hipertensi adalah peningkatan tekanan sistol dan diastol, yang tingginya

tergantung umur individu yang terkena. Hipertensi adalah salah satu penyakit

yang mengakibatkan angka kesakitan yang tinggi. Hipertensi sering kali disebut

sebagai pembunuh gelap (silent killer) karena termasuk yang mematikan tanpa

disertai dengan gejala lebih dahulu sebagai peringatan bagi korbannya. ( Joint

National Committee 7,2011).

Hipertensi merupakan salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya

dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Berdasarkan data World Health

Organization (WHO) ada satu miliar orang di dunia menderita hipertensi dan

dua per-tiga diantaranya berada di negara berkembang dan diprediksi pada

tahun 2025 ada sebanyak 29% orang dewasa di seluruh dunia menderita

hipertensi (WHO, 2011) yang dikutip oleh(Astuti, 2016).

Pada tahun 2013, 25,8% penduduk Indonesia menderita hipertensi,

prevalensi kejadian hipertensi pada lansia usia 55-64 tahun sebanyak 45,9%,

usia 65-74 tahun sbanyak 57,6%, dan pada usia > 75 tahun sebanyak 63,8%

(Kemenkes, 2014)
2

Sampai saat ini, hipertensi masih merupakan tantangan besar di

Indonesia. Betapa tidak, hipertensi merupakan kondisi yang sering ditemukan

pada pelayanan kesehatan primer kesehatan. Hal itu merupakan masalah

kesehatan dengan prevalensi yang tinggi, yaitu sebesar 25,8% (Riskesdas 2013).

Terdapat perbedaan tentang batasan hipertensi seperti diajukan oleh Kaplan

(1990:205) yaitu pria, usia kurang dari 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan

darah waktu berbaring diatas atau sama dengan 130/90 mmHg, sedangkan pada

usia lebih dari 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan darah diatas 145/95

mmHg. Sedangkan pada wanita tekanan darah diatas sama dengan 160/90 mmHg

(Sharif La Ode, 2012).

Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017 terdapat

23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi jumlah

penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta), tahun 2030

(40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta). Suatu negara dikatakan berstruktur tua

jika mempunyai populasi lansia di atas tujuh persen (Soeweno). Gambar di

bawah memperlihatkan persentase lansia di Indonesia tahun 2017 telah

mencapai 9,03% dari keseluruhan penduduk. Selain itu, terlihat pula bahwa

persentase penduduk 0-4 tahun lebih rendah dibanding persentase penduduk 5-9

tahun. Sementara persentase penduduk produktif 10-44 tahun terbesar jika

dibandingkan kelompok umur lainnya(pusat data dan informasi,2017).


3

Tingginya resiko lansia terkena penyakit hipertensi di sebabkan oleh

perubahan-perubahan yang terjadi selama penambahan usia atau yang di sebut

proses penuaan. Proses penuaan dapat menyebabkan perubahan dalam struktur

dan fungsi tubuh. Salah satu proses penuaan yang menyebabkan meningkatnya

resiko hipertensi ialah penuaan pada sistem kardiovaskuler (Donlon cit Stanley,

2007). Kondisi ini meyakinkan teori yang mengatakan semakin tua kemampuan

tubuh pun semakin berkurang sehingga di perlukan penanganan lanjut terhadap

penyakit hipertensi pada lansia (Ahmad, 2011).

Laporan dari Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas Kesehatan Kabupaten

Mamasa tahun 2016. menunjukkan bahwa jumlah kesakitan 110.595 penderita.

Adapun penyakit dengan jumlah penderita terbanyak dari urutan sepuluh besar

penyakit adalah penyakit tekanan darah tinggi diurutan ke 4 dengan jumlah

penderita 6.802 sedangkan yang di urutan pertama ada Infeksi Akut Lain pada

Saluran pernafasan sebesar 29.261 penderita (Dinkes Mamasa, 2016).

Berdasarkan data dari Puskesmas Mambi Kab. Mamasa hipertensi selalu

menduduki 5 besar penyakit terbanyak yang ditemukan dan lebih banyak

ditemukan pada lansia. hipertensi merupakan penyakit dengan jumlah penderita

terbanyak ke dua setelah penyakit ispa. Berdasarkan hasil study pendahuluan

yang telah dilakukan oleh peneliti di Puskesmas mambi terdapat jumlah lansia

pada tahun 2016 adalah 486 orang ≥ 60 tahun, dan 337 orang ≥ 70 tahun sampai

tahun 2017(puskesmas mambi 2016).


4

Pada survey awal yang dilakukan oleh peneliti di wilayah penelitian

mengenai pemanfaatan buah mahkota dewa, sebagian masyarakat mengatakan

buah mahkota dewa digunakan sebagai obat herbal untuk menurunkan tekanan

darah tinggi, terdapat banyak tanaman buah mahkota dewa didesa tersebut

namun kurang dimanfaatkan oleh masyarakat. Dari 10 orang yang

diwawancarai, 8 orang mengatakan kurang memanfaatkan buah mahkota dewa

sebagai obat penurun hipertensi dikarenakan mereka tidak mengetahui

mengenai manfaat dari buah mahkota dewa dan lebih memilih pengobatan dari

puskesmas, alasannya karena lebih cepat dan mudah. Tindakan pengobatan

dapat dilakukan dengan 2 cara, seperti pengobatan tekanan darah tinggi yaitu

farmakologis dan nonfarmakologis. Pengobatan nonfarmakologis sendiri

dilakukan dengan mengontrol hipertensi, seperti pengaturan pola makan dan

gaya hidup (Dalimartha, 2008). Sedangkan pengobatan secara farmakologis

dilakukan dengan pemberian obat diuretik atau vasodilator (Brunner &

Suddarth, 2002).

Pengobatan alternative menjadi pilihan untuk mengatasi hipertensi, salah

satunya dengan terapi herbal dengan manfaat yang tidak kalah dengan obat

kimia bahkan dengan keuntungan tidak memiliki efek samping bagi penderita

(Nurrahmani, 2012).

Buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) merupakan salah satu

tanaman asli yang berasal dari Indonesia yang akhir-akhir ini popular sebagai
5

tanaman yang dapat menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tanaman ini

memiliki 1,5-2,5 meter, daunnya tunggal berbentuk lonjong, dan berujung

lancip. Buahnya bulat dan berwarna merah tua jika matang. Tanaman ini berasal

dai wilayah timur Indonesia yaitu Irian dan tumbuh subur pada ketinggian 10-

1200 meter di atas permukaan laut (Azwar Agoes, 2010).

Kandungan Tanaman mahkota dewa mengandung senyawa

saponin,flavonoid, dan saponin. Saponin sebagai fitonutrien, yang sering

disebut juga deterjen alam, bersifat antibakteri dan antivirus. Selain itu, tanaman

mahkota dewa dapat meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengurangi kadar

gula darah, serta mengurangi penggumpalan darah. Kandungan flavonoid pada

Buah mahkota dewa dapat digunakan sebagai antihipertensi sedangkan

polifenol berfungsi sebagai antihistamin (Pranata, 2014),

Menurut Albinur (2011), senyawa yang terkandung di dalam buah

mahkota dewa adalah senyawa flavonoid yaitu senyawa yang terdiri dari 15

atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan, lebih dari 2000

flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah di identifikasi. Hasil penelitian


6

Sudewa (2014) tersebut diketahui bahwa terdapat penurunan tekanan darah

sistolik dan diastolik pada kelompok intervensi setelah diberikan buah mahkota

dewa. Mengkonsumsi buah mahkota dewa, secara rutin satu kali sehari selama

tujuh hari dapat menurunkan tekanan darah tinggi pada penderita hipertensi. Hal

ini membuktikan bahwa buah mahkota dewa (Phaleria macrocarpa) efektif

untuk menurunkan tekanan darah tinggi(ragil 2011).

1.2 Rumusan masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka pertanyaan penelitian yang

di ajukan “apakah terdapat pengaruh rebusan buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia”?

1.3 Tujuan

1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh rebusan buah mahkota dewa (Phaleria

macrocarpa) Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Lansia Di Desa

Sendana Kecamatan Mambi Kabupaten Mamasa.

1.3.2 Tujuan Khusus

1.3.2.1 Untuk mengetahui tekanan darah sebelum di berikan rebusan buah

mahkota dewa pada lansia Di Desa Sendana Kecamatan Mambi

Kabupaten Mamasa.
7

1.3.2.2 Untuk mengetahui tekanan darah sesudah di berikan rebusan buah

mahkota dewa pada lansia Di Desa Sendana Kecamatan Mambi

Kabupaten Mamasa.

1.3.2.3 Untuk menganalisis rebusan buah mahkota dewa terhadap

penurunan tekanan darah pada lansia Di Desa Sendana Kecamatan

Mambi Kabupaten Mamasa.

1.4 Manfaat

1.4.1 Manfaat Teoritis

Sebagai bahan bacaan dan informasi serta acuan untuk penelitian

selanjutnya sekaligus dapat berguna bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya yang berkaitan dengan masalah penelitian ini.

1.4.2 Manfaat Praktis

1.4.2.1 Bagi Institusi Pendidikan

Penelitian ini di harapkan dapat menambah kepustakaan

bagi pendidikan dalam menambah pengetahuan dan imformasi

mengenai penyakit hipertensi khususnya dalam menggunakan

pengobatan herbal dengan cara memberikan rebusan buah

mahkota dewa yang dapat menurunkan tekanan darah pada lansia.


8

1.4.2.2 Bagi Masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat meberikan informasi kepada

masyarakat tentang pentingnya pengetahuan mengenai penyakit

hipertensi, khususnya bagi lansia.

1.4.2.3 Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan

mengenai penyakit hipertensi serta menambah pengetahuan

tentang pengaruh rebusan buah mahkota dewa yang dapat

menurunkan tekanan darah pada lansia.


9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan umum tentang hipertensi

2.1.1 Definisi hipertensi

Hipertensi di kenal secara luas sebagai penyakit kardiovaslkuler. Di

perkirakan telah menyebabkan 4.45% dari beban penyakit secara global,dan

prevalensinya hamper sama besar di Negara berkembang maupun Negara

maju. Hipertensi merupakan salah satu faktor resiko utama gangguan

jantung. Hipertensi dapat berakibat gagal jantung maupun penyakit

serebrovaskuler (Depkes, 2007). Hipertensi adalah suatu keadaan ketika

seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang


10

mengakibatkan peningkatan angka kesakitan (morbiditas) dan angka

kematian (mortilitas) (Sharif La Ode, 2012).

Pravelansia hipertensi meningkat sesuai umur, dan 40% penderits

hipertensi berusia lebih dari 65 tahun. Laki-laki dan obesitas meningkat

resiko hipertensi. Beberapa faktor yang terkait proses menua dapat

meningkat resiko lansia mengalami hipertensi. Seperti contohnya kekakuan

pada aorta, peningkatn afterload (membutuhkan daya yang lebih banyak

untuk memompa darah dari ventrikel), dan peningkatan tahan vaskuler.

Perubahan reflek baroreseptor di indikasikan dengan fluktuasi tekanan darah

selama melakukan aktivitas fisik atau mengalakukan aktivitas fisik atau

mngalami stress emosional (Sofia Rhosma Dewi, 2014).

Hipertensi juga didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik≥ 140

mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥ 90 mmHg yang terjadi pada

seseorang klien pada tiga kejadian terpisah (Wajan Juni, 2010).

Terdapat perbedaan tentang batasan hipertensi seperti diajukan oleh

Kaplan (1990:205) yaitu pria, usia kurang dari 45 tahun, dikatakan hipertensi

bila tekanan darah waktu berbaring diatas atau sama dengan 130/90 mmHg,

sedangkan pada usia lebih dari 45 tahun, dikatakan hipertensi bila tekanan

darah diatas 145/95 mmHg. Sedangkan pada wanita tekanan darah diatas

sama dengan 160/90 mmHg (Sharif La Ode, 2012)


11

Pada kebanyakan kasus, hipertensi terdeteksi saat pemeriksaan fisik

karena alasan penyakit tertentu, sehingga sering di sebut sebagai “silent

killer” (Depkes, 2007). Healthy People 2010 For Hypertension

menganjurkan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif dan intensif

guna mencapai pengontrolan tekana darah secara optimal. Maka untuk

mencapai tujuan tersebut, diperlukan partisipasi aktif para sejawat Apoteker

yang melaksanakan praktek profesinya pada setiap tempat pelayanan

kesehatan. Apoteker dapat bekerja sama dengan dokter dalam memberikan

edukasi ke pasien mengenai hipertensi, Adherance terhadap terapi obat non-

obat, mendeteksi dan mengenali secara dini reaksi efek samping, dan

mencegah atau memecahkan masalalah yang berkaitan dengan pemberian

obat (Depkes, 2007).

2.1.2 Klasifikasi Hipertensi

Dalam sebuah kajian di University of North Carolina yang melibatkan

sekitar Sembilan ribu pria dan wanita selama jangka waktu lebih dari 11,6

tahun, angka penyakit kardiovaskuler meningkat secara signifikan dengan

tekanan darah optimal, risiko berkembangnya penyakit kardiovaskuler,

terutam stroke, pada penderita tekanan darah tinggi lebih besar dua setengah

kali lipat, statistic itu juga mempertimbangkan faktor-faktor lain yang

berkaitan dengan penyakit itu. Risiko terbesar adalah stroke, dan kelompok

yang paling beresiko adalah ras Afrika-Amerika, penderita diabetes, orang


12

gemuk dan obesitas, serta orang dengan kadar LDL tinggi (Robert E.

Kowalski, 2010).

Para peneliti menyimpulkan bahwa “Populasi prehipertensi cukup

besar”, dan bahwa usaha untuk menurunkan tekanan darah hingga tingkat

optimal “memberikan dampak yang signifikan” (Robert E. Kowalski, 2010).

Di negar Barat, juga di Negara-negara yang berkembang denganpesat,

persentase wanita dan pria usia lanjut pun meningkat dengan pesat, sejalan

dengan bertambahnya usia, tekanan darah meningkat. Data hasil penelitian

Framingham yang tersohor di seluruh dunia menunjukan bahwa 27% orang

di bawah usia 60 tahun bertekanan darah lebih tinggi dari 140/90, dan

20%dari mereka menderita hipertensi dengan angka 160/100, sangat buruk.

Di antar manula berusia lebih dari 80 tahun, 75% menderita hipertensi (lebih

tinggi dari 140/90) dan 60%-nya 160/100, atau lebih tinggi. Hanya 7% dari

orang yang berusia lebih dari 80 tahun bertekanan darah normal (Robert E.

Kowalski, 2010).

Sayangnya, persentase penderita hipertensi yang menjalani terapi

penyembuhan lebih rendah dari pada yang di ketahui dokter. Dan pada

sebagian orang berusia lanjut menjalani terapi, hasil yang mereka capai

masih jauh dari yang di harapkan (Robert E. Kowalski, 2010).

Hampir semua pedoman utama baik dari dalam maupun dari luar negri,

menyatakan bahwa seseorang akan dikatakan hipertensi bila memiliki


13

tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan atau tekanan darah diastolik ≥

mmHg, pada pemeriksaan yang berulang. Tekanan darah sistolik merupakan

pengukuran utama yang menjadi dasar penentuan diagnosis hipertensi.

Adapun pembagian derajat penentual tatalaksana hipertensi (Soenarta et al.,

2015).

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Menurut American Society of


International Society of Hypertension 2013.

Klasifikasi Sistolik Diastolik


Optimal ¿ 120 Dan ¿ 80
Normal 120 – 129 Dan/ atau 80 – 84
Normal tinggi 130 – 139 Dan/ atau 84 – 89
Hipertensi derajat 1 140 – 159 Dan/ atau 90 – 99
Hipertensi derajat 2 160 – 179 Dan/ atau 100 – 109
Hipertensi derajat 3 ≥ 180 Dan/ atau ≥ 110
Hipertensi sistolik
≥ 140 Dan ¿ 90
terisolasi
Sumber : (Soenarta et al., 2015).

Pengukuran tekanan darah merupakan hal penting dalam

pemeriksaan fisik. Berikut panduan untuk menentukan tekanan darah

akurat pada lansia (Sofia Rhosma Dewi, 2014) :

a. Minta lansia untuk duduk tenang selama 3-5 menit sebelum di lakukan

pengukuran tekanan darah. Lansia yang mengalami deconditioning

membutuhkan waktu rehat supaya tubuh dapat kembali ke kondisi

normalnya meskipun setelah mengalami stress minor, contohnya

berjalan masuk ke ruang pemeriksaan.


14

b. Pilih ukur cuff yang tepat. Cuff regular untuk dewasa bisa jadi terlalu

besar atau terlalu kecil bagi lansia. Gunakan cuff pediatric untuk

lansia dengan lengan kecil dan cuff dewasa untuk lansia yang

berlangganan besar atau obesitas, hal ini penting untuk menentukan

akurasi. Ukuran cuff harus ebih besar 20% dari diameter lengan klien

lansia.

c. Gap auskultasi sering ditemukan pada pengukuran tekanan darah

lansia. Untuk menghindari pembacaan sistolik yang inakurat, lakukan

palpasi pada Arteri Radialis dan kembangkan cuff pada tekanan 10

mmHg ketika mempalpasi. Ketika nadi tidak teraba, kembangkan lagi

cuff hingga 20 mmHg – 30 mmHg, kemudian dengarkan bunyi

krotkoff ketika cuff di deflasikan. Bunyi selanjutnya terdengar.

d. Jika pengukuran ini di lakukan pertama kalinya pada lansia, maka

pengukuran tekanan darah di lakukan pada kedua lengan. Hasil

pengukuran bisa jadi menunjukan perbedaan tekanan sebesar 10

mmHg. Misalnya saja pada lansia, teradapat plak alerosklerosis pada

Arteri Subkutan dekstra, maka tekanan darah pada lengan kanan akan

lebih rendah di bandingkan lengan kiri. Pembacaan yang tepat

selanjutnya di lakukan pada lengan kiri.

e. Kaji adanya kondisi hipotensi orthostatic, terutama jika lansia

mengkonsumsi obat-obtan antihipertensi.


15

f. Jika anda mengalami kesulitan mendengarkan bunyi korotkoff terakhir

untuk menentukan diastolik, bunyi diastolik di tentukan dari bunyi

muffled terakhir yang di dengar. Berdasarkan catatan pada

dokumentasi anda salah satu tehnik untuk memudahkan mendengar

bunyi diastolic adalah dengan mengelevasikan legan di atas tinggi

jantung.

Adapun klasifikasi hipertensi terbagi menjadi, (Kemenkes.RI, 2014) :

1. Berdasarkan penyebabnya

a. Hipertensi Primer/Hipertensi Esensial

Hipertensi yang penyebabnya tdak diketahui (idiopatik),

walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti

kurang bergerak (inaktivitas) dan pola makan. Terjadi pada sekitar

90% penderita hipertensi.

b. Hipertensi sSekunder/Hipertensi Non Esensial

Hipertensi yang diketahui penyebabnya. Pada sekitar 5-10%

penderita hipertensi penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada

sekitar 1-2%, penyebabnya dalah kelainan hormonal atau

pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB).

2. Berdasarkan bentuk hipertensi


16

Hipertensi diastolik (diastolic hypertension), hipertensi campuran

(sistol dan diastol yang meninggi), hipertensi sistolik (isolated

systolic hypertension).

Terdapat jenis hipertensi yang lain, (Kemenkes.RI, 2014):

1. Hipertensi pulmonal

Suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah

pada pembulu darah arteri paru-paru yang menyebabkan sesak nafas,

pusing dan pingsan pada saat melakukan aktivitas. Berdasarkan

penyebabnya hipertensi pulmonal primer sering didapatkan pada usia

muda dan usia pertengahan, lebih sering didapatkan pada perempuan

dengan perbandingan 2:1 angka kejadian pertahun sekitar 2-3 kasus

per 1 juta penduduk, dengan mean survival sampai timbulnya gejala

penyakit sekitar 2-3 tahun.

Kriteria diagnosis untuk hipertensi pulmonal merujuk pada

National institute of Health, bila tekanan sistolik arteri pulmonalis

lebih dari 35 mmHg atau “mean’ tekanan arteri pulmonalis lebih dari

25 mmHg pada saat istirahat atau lebih 30 mmHg pada aktifitas dan

tidak di dapatkan adanya kelainan katup pada jantung kiri, penyakit

myocardium, penyakit jantung kongenitl dan tidak adanya kelainan

paru.

2.1.3 Etiologi Hipertensi


17

Hipertensi merupakan suatu penyakit kondisi medis yang beragam.

Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak di ketahui

(essensial atau hipertensi primer). Hipertensi primer ini tidak dapat di

sembuhkan tetapi dapat di kontrol. Kelompok lain dari populasi dengan

persentase rendah mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai

hipertensi sekunder. Banayak penyebab hipertensi sekunder, endogen

maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat di identifikasi,

hipertensi pada pasien-pasien ini data di sembuhkan secara potensial

(Depkes, 2007). (Kusuma Hardi dan Nurarif Huda Armin, 2015)

mengemukakan terdapat etiologi dari hipertensi :

1. Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan :

a. Hipertensi Primer (esensial)

Di sebut juga hipertensi idiopotik karena tidak diketahui

penyebabnya. Faktor yang mempengruihi yaitu: genetik,

lingkungan, hiperaktifitas, saraf simpatis sistem rennin.

Angiotensin dan peningkatan Na + Ca intraseluler. Faktor-faktor

yang meningkatkan resiko : obesitas, merokok, alkhol dan

polisitemia.

b. Hipertensi Sekuder

Penyebabnya pengguna estrogen, penyakit ginjal, sindrom

cushing dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.


18

2. Penyebab hipertensi pada orang dengan lanjut usia adalah terjadinya

perubahan-perubahan pada :

a. Elastisitas dinding aorta menurun.

b. Katub jantung menebal dan menjadi kaku.

c. Kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun kemampuan jantung memompa darah

menurun menyebabkan menurunny kontraksi dan volumennya.

d. Kehilangan elastisitas pembuluh darah hal ini terjai karena

kurangnnya efektifitas pembuluh darah perifer untuk oksigenasi.

3. Hiperetnsi pada usia lanjut di bedakan atas :

a. Hipertensi di mana sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg

dan tekanan diastolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.

b. Hipertensi sistolik terisolasi di mana tekanan sistolik lebih besar

dari 160 mmHg dan tekanan diastolik lebih rendah dari 90 mmHg.

4. Ada beberapa faktor dapat menimbulkan hipertensi, di antaranya

faktor yang tidak dapat di ubah dan yang dapat di ubah

(Kemenkes.RI, 2014) :

1. Faktor yang tidak dapat di ubah :

a. Usia

Insidens hipertensi semakin meningkat dengan

meningkatnya usia. Hipertensi pada yang berusi kurang


19

dari 35 tahun dengan jelas menaikan insidens penyakit

arteri koroner dan kematian premature.

b. Kelamin

Pada umumnya insidens pada pria lebih tinggi dari

pada wanita, namun pada usia per-tengahan dan lebih tua,

insidens pada wanita mulai meningkat, sehingga pada usia

di atas 65 tahun, insidenspada wanita lebih tinggi.

c. Ras

Hipertensi pada yang berkulit hitam paing sedikit dua

kalinya pada yang berkulit putih. Akibat penyakit ini

umumnya lebih berat pada ras kulit hitam. Misalnya

mortalitas pasien pria hitam dengan diastole 115 atau lebih,

3,3 kali lebih tinggi dari pada pria berkulit putih, dan 5,6

kali bagi wanita putih.

d. Pola hidup

Faktor seperti pendidikan, penghasilan, dan faktor pola

hidup lain telah di teliti, tanpa hasil yang jelas. Penghasilan

rendh, tingkat pendidikan, dan kehidupan atau pekerjaan

yang penuh stress agaknya berhubungan dengan insidens

hipertensi yang lebih tinggi. Obesitas di pandang sebagai

faktor resiko utama. Bila berat badannya turun, tekanan

darahnya sering turun menjadi normal. Merokok di


20

pandang sebagai faktor risiko tinggi bagi hipertensi dan

penyakit arteri koroner. Hiperkolesterolemia dan

hiperglikemia adalah faktor-faktor utama untuk

perkembangan aterosklerosis, yang berhubungan erat

dengan hipertensi.

2. Faktor dapat di ubah :

a. Obesitas

Kelebihan berat badan meningkat resiko seseorang terserang

hipertensi. Semakin besar massa tubuh, semakin banyak darah

yang di butuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke

jaringan tubuh. Berarti volume darah yang eredar melalui

pembuluh darah meningkat sehingga akan memberi tekanan lebih

besar ke dinding arteri. Selain itu, obesitas dapat meningkat

frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.

b. Sindrom resistensi insulin (Sindrom Metabolik)

c. Kurang gerak

Kurang melakukan aktivitas fisik dapat meningkatkan risiko

seseorang terserang hipertensi.

d. Merokok

Zat kimia dalam tembakau dapat merusak lapisan dalam

dinding arteri sehingga arteri lebih rentan terhadap penumpukan

plak. Nikotin dalam tembakau dapat membuat jantung bekerja


21

lebih keras karena terjadi penyempitan pembuluh darah sementara.

Selain itu, juga dapat meningkatkan frekuensi denyut jantung dan

tekana darah. Keadaan ini terjadi Karen adanya peningkatan

produksi hormone selama kita menggunakan tembakau, termasuk

hormone epinerfin (adrenalin). Karbon monoksida dalam asap

rokok akan menggantikan oksigen dalam darah. Akibatnya, tekana

darah akan meningkat karena jantung di paksa bekerja lebih keras

untuk memasok oksigen ke seluruh organ dan jaringn tubuh.

e. Sensitivitas natrium

Tubuh membutuhkan sejumlah mineral natrium umuntuk

mempertahankan kima sel secara baik. Sumber utama natrium

adalah garam meja yang terdiri dari 40% natrium dan 60% klorida.

Orang yang lebih sensitiv terhadap natrium akan lebih muda

menahan natrium dalam tubuhnya sehinga terjadi retensi air dan

peningkatan tekanan darah. Jika kita termasuk dalam golongan ini,

kelebihan natrium dalam makanan akan meningkatakan resiko

terkena hipertensi. Semakin tua umur seseorang, sensitivitas

terhadap natrium semakin tinggi.

f. Kadar kalium rendah

Kalium berfungsi sebagai penyeimbang jumlah natrium

dalam ciran sel. Kelebihan natrium dalam sel dapat dibebaskan

filtrasi lewat ginjaldan di keluarkan bersama urine. Jika makanan


22

yang di konsumsi kurang mengandung kalium atau tubuh tidak

memepertahankannya dalam jumlah cukup, jumlah natrium akan

menumpuk dan keadaan ini meningkat risiko terjadinya hipertensi.

g. Minum minuman beralkohol secara berlebihan

h. Stress

Stress berat dapat menyebabkan kenaikan tekanan darah

semakin sangat tinggi untuk sementara waktu. Jika sering

mengalami stres, akan terjadi kerusakan pembuluh darah, jantung

dan ginjal seperti hipertensi permanen.

2.1.4 Patofisiologi hipertensi

Tekana darah di pengaruhi volume sekuncup dan total peripheral

resistance. Apabila tersebut yang tidak terkompensasi maka dapat

menyebabkan timbulnya hipertensi. Tubuh memiliki sistem yang

berfungsi mencegah perubahan tekanan darah secarah akut yang di

sebabkan oleh gangguan sirkulai dan memperhatankan stabilitas tekanan

darah dalam jangka panjang. Sistem pengendalian tekana darah sangat

kompleks (Nuraini, 2015).

Pengendalian di mulai dari sistem reaksi cepat seperti reflex

kardiovaskuler melalui sistem saraf, reflex kemoreseptor, respon iskemia,

susunan saraf pusat yang berasal dari atrium, dan arteri pulmonalis otot

polos, sedangkan sistem pengendalian reaksi lambat melalui perpindahan


23

cairan antara sirkulasi kapiler dan rongga intertisial yang dikontrol oleh

hormone angiotensin dan vasopresi Kemudian di lanjutkan sistem dan

berlangsung dalam jangka panjang yang di pertahankan oleh sistem

pengaturan jumlah cairan tubuh yang melibatkan berbagai organ (Nuraini,

2015)

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui Terbentuknya

angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme

(ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan

darah. Darah mengandung angiotensinogen oleh hormone, rennin (di

produksi oleh ginjal) akan di ubah menjadi angiotensin I. oleh ACE yang

terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi agiotensin II.

Angiotensin II inilah yang memiliki peran kunci dalam menaikan tekanan

darah melalui dua aksi utama (Nuraini, 2015).

Aksi pertma dadalah meningkatkan sekresi hormone antidiuretik

(ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar piuitari)

dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin.

Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urine yang di sekresikan ke

luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi

osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler

akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler.


24

Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan

meningkatkan tekanan darah (Nuraini, 2015).

Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks

adrenal. Aldosteron merupakan hormone steroid yang memiliki peranan

penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler,

aldosteron akan mengurangi eksresi NaCl (garam) dengan cara

mereobsorpsinya dari tubul ginjal. Naiknya konsentrasi NaCL akan di

encerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler

yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah

(Nuraini, 2015).

2.1.5 Manifestasi klinis

Pada sebagian kasus, hipertensi tidak menunjukan gejala apapun

sehingga kita tidak punya cukup petunjuk bahwa di dalam tubuh sedang

terjadi penyimpangan. Pengecualian : seseorang yang mengalami skit

kepala ringan, terutama di bagian belakang kepala dan muncul di pagi

hari. Namun, kita perlu ingat bahwa sakit kepala jenis in sama sekali

bukan kondisi yang umum terjadi (Robert E. Kowalski, 2010).

Sakit kepala biasa, pening, dan mimisan bukan gejala, setidaknya di

beberapa tahap awal peningkatan tekanan darah. Namun, kondisis tersebut

akan muncul menyertai hipertensi yang sudah parah. Meski demikian,


25

orang dengan tekanan darah sangat tinggi biasanya tidak merasakan gejala

apa pun (Robert E. Kowalski, 2010).

Manifestasi klinis yang dapat muncul akibat dari hipertensi menurut

Elizabeth j. Corwn ialah bahwa sebagian besar gejala klinis timbul setelah

mengalami hipertensi bertahun-tahun. Manifestasi klinisyang timbul dpat

berupa nyeri kepala saat terjaga yang kadang-kadang di sertai mual dan

muntah akibat peningkatan tekanan drah intrakranium, penglihatan kabur

akibat kerusakan retina ayunan langkah tdak mantap karena kerusakan

susunan saraf, nokturia (peningkatan urinasi pada malam hari) karena

peningkatan aliran darah ginjal dan filtrasi glomerolus, edema dependen

akibat peningkatan tekanan kapiler (Nuraini, 2015).

Gejala lain yang sering di temukan adalah epistaksis, mudah marah,

telinga berdengung, rasa berat di tengkuk, suka tidur, dan mata berkunang-

kunang (Nuraini, 2015).

Tanda dan gejala pada hipertensi di bedakan menjadi (Kusuma Hardi

& Nurarif Huda Armin, 2015) :

a. Tidak ada gejala

Tidak ada gejala yang spesifik yang dapat di hubungkan dengan

peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh

dokter yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akan

pernah terdiagnosa jika tekanan arteri tidak terukur.


26

b. Gejala yang lazim

Sering di katakana bahwa gejala terlazim yang mnyertai hipertensi

meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataan ini merupakan

gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien yang mencari

pertolongan medis.

2.1.6 Komplikasi hipertensi

Tekanan darah yang menetap pada kisaran angka tinggi membawa

resiko berbahaya. Biasanya, muncul berbagai komplikasi. Aterosklerosis

merupakan salah satu komplikasi yang kerap menyertai hipertensi. Saat

darah di alirkan dengan tekana tinggi dapat merusak dinding pembulu

darah dan menyebabkan penumpukan platelet yang kemudian membentuk

mikrotrombi (Julianti, Nurjanah, dan Seotrisno, 2007).

Terbentuk mikrotrombi ini menyebabkan lemak dan kolestrol

tertahan dan menumpuk sehingga terbentuk plak. Terbentuknya plak pada

dinding pembuluh darah otomatis menurunkan fleksibilitas pembulu

menghambat laju aliran darah dan tekanan darah semakin meningkat.

Konsekuensinya timbul kerusakan dan gangguan pada organ-organ tubuh

(Julianti et al., 2007).

Berikut ini beberapa komplikasi hipertensi yang dapat terjadi (Julianti

et al., 2007) :

a. Kerusakan dan gangguan pada otak


27

Tekanan yang tinggi pada pembuluh darah otak mengakibatkan

pembuluh sulit meregang sehingga darah yang ke otak kekurangan

oksigen. Pembuluh darah di otak juga sangat sensitif sehingga ketika

semakin melemah maka menimbulkan pendarahan akibat pecahnya

pembuluh darah.

b. Gangguan dan kerusakan mata

Tekanan darah tinggi melemahkan bahkan merusak pembuluh

darah di belakang mata. Gejalanya, yaitu pandangan kabur dan

berbayang.

c. Gangguan dan kerusakan jantung

Akibat tekanan darah yang tinggi, jantung harus memompa darah

dengan tenaga ekstra keras. Otot jantung semakin menebal dan lemah

sehingga kehabisan energy untuk memompa lagi. Parahnya lagi jika

terjadi penyumbatan pembuluh akibat aterosklorosis.

d. Gangguan dan kerusakan ginjal

Ginjal berfungsi untuk menyerangdarah serta mengeluarkan air

dan zat sisa yang tidak diperlukan tubuh. Ketika tekanan darah terlalu

tinggi, pembulu dara kecil akan rusak. Ginjal juga tidak mampu lagi

menyaring dan mengeluarkan sisa. Umumnya, gejala kerusakan ginjal

tidak segera tampak. Namun jika di biarkan, komplikasinya

menimbulkan masalah serius.

2.1.7 Diagnosa hipertensi


28

Seperti lazimnya pada penyakit lain, diagnosis hipertensi ditegakkan

berdasarkan data anamnese, pemeriksaan jasmani, pemeriksaan

laboratorium maupun pemeriksaan penunjang. Pada 70-80 % kasus

hipertensi esensial, didapat riwayat hipertensi didalam keluarga, walaupun

hal ini belum dapat memastikan diagnosis hipertensi esensial Apabila

riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tua, maka dugaan

hipertensi esensial lebih besar (Kemenkes.RI, 2014).

Pemeriksaan yang teliti perlu di lakukan pada organ target untuk

menilai komplikasi hipertensi. Identifikasi pembesaran jantung, tanda

payah jantung, pemeriksaan fundus kopi, tanda gangguan neurologi, dapat

membantu menegakkan diagnosis komplikasi akibat hipertensi.

Pemeriksaan fisik lain secara rutinperlu di lakukan untuk mendapatkan

tanda kelainan lain yang mungkin ada hubungan dengan hipertensi

(Kemenkes.RI, 2014).

Pengukuran di tempat praktik biasanya mendapatkan hasil yang

lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengukuran di rumah. Hasil

pengukuran yang lebih tinggi di tempat praktik disebut office

hypertension. Mengingat hal di atas, untuk keperluan follow up

pengobatan sebaiknya digunakan pegangan (pedoman) hasil pengukuran

di rumah. Pengukuran yang pertama kali belum dapat mengtasikan adanya

hipertensi, tetapi dapat merupakan petunjuk demi observasi selanjutnya .


29

2.1.8 Penatalaksanaan hipertensi

Terdapat 2 cara penanggulanagan hipertensi menurut FKUI

(1990:214-219) yaitu dengan nonfarmakologis dan dengan farmakologis.

Cara nonfarmakologis dengan menurunkan berat badan pada penderita

yang gemuk, diet rendah garam dan rendah lemak, mengubah kebiasaan

hidup, olah raga secara teratur dan kontrol tekanan darah secara terartur.

Sedangkan dengan cara farmakologis yaitu dengan cara memberikan obat-

obatan anti hipertensi seperti diuretic seperti HCT, Higroten, Lasix. Beta

bloker seperti propanol. Alfa bloker seperti phentolamin, prozazine,

nitroprusside captapril. Simphatolitic seperti hidralazine, diazoxine.

Antagonis kalsium seperti nefedipine (adalat) (Sharif La Ode, 2012).

Pengobatan hipertensi harus di landasi oleh beberapa prinsip

menurut FKUI (1990) yaitu pengobatan hipertensi sekunder harus lebih

mendahulukan pengobatan kasual, pengobatan hipertensi esensial

ditujukan untuk menurunkan tekanan darah dengan harapan

memperpanjang umur dan mengurangi timbulnya komplikasi, upaya

menurunkan tekanan darah di capai dengan menggunakan obat anti

hipertensi, pengobatan hipertensi adalah pengobatan jangak panjang

bahkan mungkin seumur hidup, pengobatan dengan menggunakan

standard triple therapy (STT) menjadi dasar pengobatan hipertensi (Sharif

La Ode, 2012).
30

Tujuan pengobatan dari hipertensi adalah menurnkan angka

morbiditas sehingga upaya dalam menemuakn obat anti hipertensi yang

memenuhi harapan terus dikembnagkan (Sharif La Ode, 2012).

2.2 Tinjauan umum tentang lansia

2.2.1 Definisi lansia

Undang-undang No.13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia

menyatakan bahwa lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60

tahun ke atas. Dalam mendefinisikan batasan penduduk lanjut usia, ada

tiga aspek yang perlu dipertimbangkan yaitu aspek biologi, aspek

ekonomi dan aspek sosial (BKKBN, 2014).

Berdasarkan data proyeksi penduduk, diperkirakan tahun 2017

terdapat 23,66 juta jiwa penduduk lansia di Indonesia (9,03%). Diprediksi

jumlah penduduk lansia tahun 2020 (27,08 juta), tahun 2025 (33,69 juta),

tahun 2030 (40,95 juta) dan tahun 2035 (48,19 juta). Suatu negara

dikatakan berstruktur tua jika mempunyai populasi lansia di atas tujuh

persen (Soeweno). Gambar di bawah memperlihatkan persentase lansia di

Indonesia tahun 2017 telah mencapai 9,03% dari keseluruhan penduduk.

Selain itu, terlihat pula bahwa persentase penduduk 0-4 tahun lebih

rendah dibanding persentase penduduk 5-9 tahun. Sementara persentase

penduduk produktif 10-44 tahun terbesar jika dibandingkan kelompok

umur lainnya(pusat data dan informasi,2017).


31

Secara biologis penduduk lanjut usia adalah penduduk yang

mengalami proses penuaan secara terus menerus, yang ditandai dengan

menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya terhadap serangan

penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan

terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem

organ (Muhith Abdul, 2016).

Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai

beban dari pada sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa

kehidupan masa tua tidak lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada

yang sampai beranggapan bahwa kehidupan masa tua, seringkali

dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga dan masyarakat

(Sofia Rhosma Dewi, 2014).

Dari aspek sosial, penduduk lanjut usia merupakan satu kelompok

sosial sendiri. Di negara Barat, penduduk lanjut usia menduduki strata

sosial di bawah kaum muda. Hal ini dilihat dari keterlibatan mereka

terhadap sumber daya ekonomi, pengaruh terhadap pengambilan

keputuan serta luasnya hubungan sosial yang semakin menurun. Akan

tetapi di Indonesia penduduk lanjut usia menduduki kelas sosial yang

tinggi yang harus dihormati oleh warga muda (Sofia Rhosma Dewi,

2014).

2.2.2 Proses menua


32

Menua adalah proses yang mengubah seorang dewasa sehat

menjadi seorang yang frail dengan berkurangnya sebagian besar

cadangan sistem fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap

berbagai penyakit dan kematian (Setiati, Harimurti & Roosheroe, 2010).

Terdapat dua jenis penuaan, antara lain penuaan primer, merupakan

proses kemunduran tubuh gradual tak terhindarkan yang dimulai pada

masa awal kehidupan dan terus berlangsung selama bertahun-tahun,

terlepas dari apa yang orang-orang lakukan untuk menundanya.

Sedangkan penuaan sekunder merupakan hasil penyakit, kesalahan dan

penyalahgunaan faktor-faktor yang sebenarnya dapat dihindari dan

berada dalam kontrol seseorang. Banyak perubahan yang dikaitkan

dengan proses menua merupakan akibat dari kehilangan yang

bersifat bertahap (gradual loss). Lansia mengalami perubahan-

perubahan fisik diantaranya perubahan sel, sistem persarafan, sistem

pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler, sistem

pengaturan suhu tubuh, sistem respirasi, sistem gastrointestinal, sistem

genitourinari, sistem endokrin, sistem muskuloskeletal, disertai juga

dengan perubahan-perubahan mental menyangkut perubahan ingatan

(memori). Berdasarkan perbandingan yang diamati secara potong

lintang antar kelompok usia yang berbeda, sebagian besar organ

tampaknya mengalami kehilangan fungsi sekitar 1 persen per tahun,


33

dimulai pada usia sekitar 30 tahun (Setiati, Harimurti & Roosheroe,

2010).

2.2.3 Perubahan pada lansia

Perubahan yang terjadi pada lansia terdiri dari perubahan fisik,

perubahan mental dan perubahan psikososial. Hal ini dapat dijelaskan

sebagai berikut :

a. Perubahan fisik

Menurut (Sofia Rhosma Dewi, 2014)perubahan kondisi fisik

pada lansia umumnya mulai dihinggapi adanya kondisi fisik yang

bersifat patologis berganda (multiple pathology), misalnya tenaga

berkurang, energi menurun, kulit makin keriput, gigi makin rontok,

tulang makin rapuh, dan sebagainya. Secara umum kondisi fisik

seseorang yang sudah memasuki masa lansia mengalami penurunan

secara berlipat ganda. Hal ini semua dapat menimbulkan gangguan

atau kelainan fungsi fisik, psikologis maupun sosial, yang selanjutnya

dapat menyebabkan suatu keadaan ketergantungan kepada orang lain.

Menurut (Sofia Rhosma Dewi, 2014), perubahan fisik yang di alami

lansia adalah :

1) Perubahan pada sistem kekebalan atau imunologi yaitu tubuh

menjadi rentan terhadap alergi dan penyakit.


34

2) Konsumsi energi turun secara nyata diikuti dengan menurunnya

jumlah energi yang dikeluarkan tubuh.

3) Air dalam tubuh turun secara signifikan karena bertambahnya sel-

sel yang mati yang diganti oleh lemak maupun jaringan konektif.

4) Sistem pencernaan mulai terganggu, gigi mulai tanggal,

kemampuan mencerna makanan serta penyerapan mulai lamban

dan kurang efisien, gerakan peristaltik usus menurun sehingga

sering konstipasi.

5) Perubahan pada sistem metabolik yang mengakibatkan gangguan

metabolisme glukosa karena sekresi insulin yang menurun. Sekresi

menurun juga karena timbunan lemak.

6) Sistem saraf menurun yang menyebabkan munculnya rabun dekat,

kepekaan bau dan rasa berkurang, pendengaran berkurang, reaksi

lambat, fungsi mental menurun, dan ingatan visual berkurang.

7) Perubahan pada sistem pernafasan ditandai dengan menurunnya

elastisitas paru-paru yang mempersulit pernafasan sehingga dapat

mengakibatkan munculnya rasa sesak dan tekanan darah

meningkat.

b. Perubahan mental

Perubahan mental lansia dapat berupa perubahan sikap yang

semakin egosentrik, mudah curiga, dan bertambah pelit atau tamak

bila memiliki sesuatu. Lansia mengharapkan tetap diberi peranan


35

dalam masyarakat. Sikap umum yang ditemukan pada hampir setiap

lansia yaitu keinginan untuk berumur panjang. Jika meninggal pun,

mereka ingin meninggal secara terhormat dan masuk surga. Faktor

yang mempengaruhi perubahan mental yaitu perubahan fisik,

kesehatan umum, tingkat pendidikan, keturunan dan lingkungan

(Muhith Abdul, 2016).

c. Perubahan psikososial

Nilai seseorang sering diukur melalui produktivitasnya dikaitkan

dengan peranan dalam pekerjaan. Bila mengalami pensiun, seseorang

akan mengalami kehilangan, yaitu kehilangan finansial, kehilangan

status, kehilangan teman dan kehilangan pekerjaan (Sofia Rhosma

Dewi, 2014).

d. Perubahan kardiovaskuler

Perubahan kardiovaskuler yang terjadi pada lansia yaitu : (Sofia

Rhosma Dewi, 2014).

a. Hipertensi

Hipertensi merupakan kondisi dimana tekanan darah

sistolik sama atau lebih tinggi dari 140 mmHg dan tekanan

diastolik lebih tinggi dari 90 mmHg, yang terjadi karena

menurunnya elastisitas arteri pada proses menua. Bila tidak


36

ditangani, hipertensi dapat memicu terjadinya stroke, kerusakan

pembuluh darah, serangan/gagal jantung dan gagal ginjal.

b. Penyakit jantung koroner

Penyempitan pembuluh darah jantung sehingga aliran darah

menuju jantung terganggu. Gejala umum yang terjadi adalah nyeri

dada, sesak napas, pingsan, hingga kebingungan.

c. Disritmia

Insidensi distrimia atrial dan ventrikuler meningkat pada

lansia karena perubahan struktural dan fungsional pada penuaan.

Masalah dipicu oleh disritmia dan tidak terkordinasinya jantung

sering di manifestasikan sebagai perubahan perilaku, palpitasi,

sesak nafas, keletihan dan jatuh.

d. Penyakit Vaskular Perifer

Gejala yang paling sering adalah rasa terbakar, kram, atau

nyeri sangat yang terjadi pada saat aktivitas fisik dan menghilang

pada saat istirahat. Ketika penyakit semakin berkembang, nyeri

tidak lagi dapat hilang dengan istirahat

e. Penyakit Katup Jantung

Manifestasi klinis dari penyakit katup jantung bervariasi dari

fase kompensasi sampai pada fase pascakompensasi. Selama fase

kompensasi tubuh menyesuaikan perubahan pada struktur dan

fungsi katup.
37

2.3 Tinjauan umum tentang buah mahkota dewa

2.3.1 Defenisi

Mahkota dewa merupakan salah satu tanaman asli warisan nusantara

(indonesia). Tanaman ini berasal dari indonesia bagian timur, tepatnya

bumi papua. Mahkota dewa kian banyak di perbincangkan banyak orang

karnah kasiatnya sebagai obat tradisional tidak diragukan lagi. Para

herbalis dan pencinta jamu tradisional banyak memanfaatkan tanaman

berbuah ini sebagai bahan meracik obatnya(Pranata, 2014)

Mahkota dewa memiliki nama latin phaleria macrocarpa. Tanaman

asli papua ini mempunyai berbagai sebutan , antara lain raja obat (banten);

simalakama (melayu); dan mahkuto dewo, pusaka dwa, derajat, makuto

rojo, makuto ratu, makuto mewo (jawa tengah)(Pranata, 2014)

2.3.2. Karakteristik mahkota dewa

Mahkota dewa adalah jenis tanaman berbuah yang memiliki ciri-ciri

fisik, sebagai berikut:

1. Termasuk tumbuhan perdu menahun,

2. Pohonnya tumbuh tegak dengan tinggi rata-rata 3 m,


38

3. Batangnya berbentuk bulat dengan permukaan agak kasar, berwarna

cokelat, berkayu, serta bergetah,

4. Batangnya memiliki percabangan ampodial,

5. Daunnya berbentuk lanset, saling berhadapan, tankainya pendek,

bagian ujung dan pangkalnya runcing, panjang daun berkisar antara 7-

10 cm dan lebarnya 2-5 cm, warna daun hijau tua, tepi daunnya rata,

6. Bunganya muncul sepanjang tahun, keluar merata di batang atau

ketiak daun dengan ukuran yang relatif kecil,

7. Bunga mahkota dewa berbentuk tabung , berwarna putih, serta baunya

harum,

8. Buahnya berbentuk bulat dengan diameter 3-5 cm, beratur, dan

permukaan licin,

9. Buah yang masih muda berwarna hijau dan buah yang sudah masak

berwarna merah,

10. Daging buahnya berwarna hijau (buah yang sudah dewasa), berserat,

dan berair, dan

11. Biji mahkota dewa berbentuk bulat, keras, dan berwarna cokelat.

2.3.3 Kandungan senyawa aktif dalam mahkota dewa

Kandungan Tanaman mahkota dewa mengandung senyawa

saponin,flavonoid, dan folifenol. Saponin sebagai fitonutrien, yang sering

disebut juga deterjen alam, berperan sebagai anti bakteri dan desinfektan.

Selain itu, tanaman mahkota dewa dapat meningkatkan sistem kekebalan


39

tubuh, mengurangi kadar gula darah, serta mengurangi penggumpalan

darah. Flavonoid berfungsi sebagai antiperadangan, antikanker, dan

berperan dalam melancarkan peredaran darah dalam keseluruh tubuh,

sedangkan polifenol berfungsi sebagai antialergi dan antihistamin.

Penelitian yang sedang dilakukan tentang efek mahkota dewa terhadap

kesehatan, seperti antipiretik, antihipertensi dan antiobesitas(Pranata,

2014)

2.3.4 Khasiat dan manfaat buah mahkota dewa

1. Mahkota dewa mempunyai banyak khasiat bagi tubuh, di antaranya:

2. Antioksidan menangkal radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh,

3. Mampu menetralkan racun di dalam tubuh,

gagal ginjal, penyakit darah, hipertensi, stroke, berbagai penyakit

kulit, gatal-gatal, nyeri dan flu.

Kandungan kimia dalam mah kota dewa yang berpengaruh terhadap

tekanan darah adalah flavonoid. Flavonoid dapat menurunkan Systemic

Vascular Resistance (SVR) karena menyebabkan vasodilatasi(Yulisa,

2016).

Langkah-langkah pembuatan rebusan daging buah mahkota dewa :

1. Ambil beberapa butir buah mahkota dewa yang telah masak di pohon

(biasanya berwarna merah)

2. Kemudian ambil daging buah mahkota dewa dan dikeringkan


40

3. Setelah kering ambil 15 gr daging buah mahkota dewa rebus dengan

air 300ml sampai tersisa 150ml.

Cara penggunaan rebusan buah mahkota dewa :

1. Minumlah setiap pagi hari setelah bangun tidur

2. Setelah minum tidak boleh minum minuman yang mengandung kafein

dan melakukan aktivitas berat

3. Lakukan setiap pagi selama 1 minggu, lalu hentikan dulu, sebab kalau

dilakukan terus menerus, khawatir tekanan darah penderita turun

terlalu rendah dan akan berbahaya kalau berubah jadi tekanan darah

rendah (Yulisa, 2016).

2.4 Kerangka teori

Teori merupakan seperangkat konsep yang saling berhubungan dan

mencerminkan suatu pandangan sistematik mengenai fenomena dengan

menerangkan hubungan antara variabel dengan tujuan untuk menjelaskan

fenomena tesebut. Dalam penelitian kuantitatif kerangka teori memiliki peranan

penting karena dengan dikemukakannya suatu terori dalam kerangka terori

tersebut akan sangat membantu seorang peneliti dan orang lain untuk lebih

memperjelas sasaran dan tujuan penelitian yang dilakukan (Adi, Rian

Pamungkas, 2017).
41

Kerangka teori merupakan rangkaian teori yang mendasari topik

penelitian. Rumusan kerangka teori paling mudah mengikuti kaedah input,

proses dan output. Apabila dalam sebuah penelitian, sudah terdapat kerangka

teori yang baku, maka kita bias mengadopsi kerangka teori tersebut dengan

mencantumkan sumbernya. Kerangka teori juga dapat dibuat dari pohon

masalah (pathway) penyakit tertentu sesuai dengan area penelitian. Hubungan

variabel dalam kerangka teori harus jelas tergambar, dengan berbagai variabel

yang mempengaruhinya (Setiawan, Ari, 2011).

Kerangka teori dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

Lansia

Fisik Kardiovaskular Mental Psikososial

Anti kanker
Folifenol
hipertensi
Rebusan buah
mahkota dewa

Anti radang Flavonoid


Saponin
42

Melancarkan
Menurunkan Systemic Vascular
peredaran darah Resistance (SVR)

Vasodilatasi

Penurunan tekanan darah

2.2.2 Definisi operasional

Definisi operasional variable adalah definisi agar variable tersebut

berdasarkan konsep teori namun bersifat operasional, agar variable

tersebut dapat di ukur atau bahkan dapat di uji baik oleh peneliti

maupun penelti lainnya (Swarjana, 2015).

Adapun definisi operasional dalam penelitian pemberian rebusan

daging buah mahkota dewa terhadap penurunan tekanan darah pada

lansia penderita hipertensi di Desa sendana Kec. mambi Kab. mamasa.


43

Table 2.2 Definisi operasional


N Definisi Alat
Variabel Cara Ukur skala Hasil ukur
o Operasional Ukur
1 Pemberia Kandungan Gelas  Ambil daging buah mahkota dewa - -
n air Tanaman  Setelah kering ambil 15 gr daging
rebusan mahkota dewa
buah mahkota dewa rebus dengan air
mengandung
buah 150 ml
senyawa
mahkota saponin,flavo  Dan menhasilkan ½ gelas air rebusan
dewa(ind noid, dan mahkota dewa
ependen) folifenol.  Setelah dingin baru diminum
Kandungan
kimia dalam
mah kota dewa
yang
berpengaruh
terhadap
tekanan darah
adalah
flavonoid.
Flavonoid dapat
44

menurunkan
Systemic
Vascular
Resistance
(SVR) karena
menyebabkan
vasodilatasi.
Sigmomanometer tersusun atas manset yang
dapat dikembangkan dan alat pengukuran
tekanan yang berhubungan dengan rongga
dalam manset . manset dibalutkan dengan Optimal
Penurunan
kencang dan lembut pada lengan atas dan <120Dan>80
tekanan
dikembangkan dengan di pompa tekanan
yang
dalam manset dinaikan sampai denyutan Normal
dihasilkan
Penuruna radikal atau brakial menghilang. Hilangnya 120 – 129
oleh pompa Tensimet
n tekanan denyutan menunjukkan bahwa tekanan nomina Dan/atau
2 jantung er dan
darah(de sistolik darah telah dilampaui danarteri l 80–84
untuk stetoskop
penden) brakialis telah tertutup. manset
menggerakk
dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 Normal tinggi
an darah
mmHg diatas titik hilannya denyutan 130 – 139
keseluruh
radikal. Manset kemudian di kempiskan Dan/ atau
tubuh.
perlahan, dan dilakukan pembacaan secara 84 – 89
auskultasi maupun palpasi. Auskultasi kita
dapat mengukur tekanan sistolik dan
diastolik dengan lebih akurat

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Kerangka Konsep

Kerangkap konsep adalah kelanjutan dari kerangka teori atau landasan

teori yang disesuaikan dengan tujuan khusus penelitian yang akan dicapai, yakni

sesuai dengan apa yang telah ditulis dalam rumusan masalah. Artinya lebih

difokuskan untuk memudahkan dalam menyusun hipotesis yang harus dijawab,


45

bukan hipotesis yang mungkin akan dijawab. Apakah jawaban hipotesis nantinya

terbukti atau tidak, keduanya adalah hasil penelitian yang menjadi tujuan

penelitian tersebut. Jadi, kerangka konsep menggambarkan hubungan –

hubungan yang lebih terbatas dan spesifik antara variabel – variabel yang akan

diteliti saja. Kerangka teori seluruh variabel yang ada digambarkan semuanya,

berdasarkan simpulan dari kajian teori. (Machfoedz, 2017)

Rebusan buah Tekanan darah


mahkota dewa
d Tidak ada pengaruh

Dengan lansia
hipertensi

3.2 Hipotesis

Hipotesis berasal dari kata hupo dan thesis, hupo artinya sementara

kebenarannya dan thesis pernyataan atau teori. Jadi hipotesis merupakan

pernyataan sementara yang perlu diuji kebenarannya. Untuk menguji kebenaran

hipotesis digunakan pengujian hipotesis. Hipotesis didalam penelitian berarti

jawaban sementara penelitian yang kebebnarannya akan dibuktikan dalam

penelitian tersebut, dikatakan sementara karena jawaban yang diberikan baru


46

berdasarkan pada teori dan belum menggunakan fakta atau data. Setelah melalui

pembuktian dari hasil penelitian makan hipotesis dapat disimpulkan benar atau

salah, diterima atau ditolak. (Saryono, 2011)

Hipotesis dalam penelitian keperawatan terdiri atas hipotesis nol dan

hipotesis alternatif. Hipotesis dalam penelitian pengaruh pemberian buah

mahkota dewa terhadap penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi

di Puskesmas mambi Kecamatan mambi Kabupaten mamasa adalah sebagai

berikut :

Ho = Tidak ada pengaruh pemberian buah mahkota dewa terhadap penurunan

tekanan darah pada lansia penderita hipertensi di Puskesmas mambi Kecamatan

mambi Kabupaten mamasa

Ha = Ada pengaruh pemberian buah mahkota dewa terhadap penurunan tekanan

darah pada lansia penderita hipertensi di Puskesmas mambi Kecamatan mambi

Kabupaten mamasa

3.3 Desain penelitian

Desain penelitian adalah macam atau jenis penelitian tertentu yang

terpilih untuk di laksanakan dalam rangka mencapai tujuan penelitian yang telah

ditetapkan. Desain penelitian merupakan bentuk rancangan yang digunakan

dalam melakukan prosedur penelitian (Hidayati, 2007).

Jenis penelitian ini adalah quasi eksperimen, dengan rancangan penelitian


47

equivalent group, Pre test and Post tes design. Dengan maksud untuk menguji

bagaimana pengaruh rebusan buah mahkota dewa terhadap penurunan tekanan

darah pada lansia.

Desain penelitian yaitu:

O1 X O2

Pre-test
Rebusan buah mahkota dewa Post-test

Keterangan :

O1 = pre-test

=X = intervensi / perlakuan

O2 = post-test

3.4 Populasi dan sampel

3.4.1 Populasi

Populasi merupakan wilayah generalisasi yang terdiri atas

objek/subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya.

Populasi merupakan keseluruhan sumber data yang diperlukan dalam suatu

penelitian.(Saryono, 2011)
48

Populasi sering juga disebut universe merupakan sebagai

keseluruhan atau totalitas objek yang diteliti yang ciri-cirinya akan diduga

atau ditaksir (eximated). Karena itu, populasi sering pula diartikan sebagai

kumpulan objek penelitian dari mana data akan dijaring atau dikumpulkan.

(Saryono, 2011)

Pada penelitian ini populasinya adalah lansia penderita hipertensi

yang terdata sebagai pasien di Puskesmas mambi kecamatan mambi

kabupaten mamasa sebanyak 280 orang dan terdapat 113 orang lansia

yang terkena penyakit hipertensi di desa sendana kecamatan mambi

kabupaten mamasa.

Populasi dalam penelitian ini ialah lansia yang berjumlah 20 orang.

3.4.2 Sampel

Sampling adalah sebuah strategi yang di gunakan untuk memilih

elemen atau bagian dari populasi atau proses untuk memilih elemen populasi

untuk di teliti. Sedangkan, sampel adalah bagian dari elemen populasi yang

di hasilkan dari strategi sampling. (Swarjana, 2015).

Sebagian dari populasi yang mewakili populasi disebut sebagai sampel

agar hasil penelitian sesuai dengan tujuan, maka penentuan sampel yang

dikehendaki harus sesuai dengan criteria tertentu yang ditetapkan. Criteria

ini berupa kriteria inklusi (batasan ciri/karakter umum pada subyek

penelitian, dikurangi karakter yang termasuk kriteria ekslusi) dan kriteria


49

ekslusi (sebagian subyek yang memenuhi kriteria inklusi harus dikeluarkan

dari penelitian karena berbagai sebab yang dapat mempengaruhi hasil

penelitian sehingga terjadi bias. Adapun sampel dalam penelitian ini

sebanyak 10 dengan kriteria :

3.4.2.1 Kriteria sampel

1. kriteria inklus

Kriteria inklus merupakan kriteria dimana subjek penelitian

dapat mewakili sampel penelitian yang memenuhi syarat sebagai

sampel.

Kriteria inklus pada penelitian ini :

a) penderita yang bersedia menjadi responden dan mengikuti

prosedur penelitian sampai tahap akhir.

b) penderita adalah lansia yang terkena hipertensi (kelompok

eksperimen) dan (kelompok kontrol).

c) lansia berusia ≥ 60 tahun ke atas.

d) memiliki tekanan darah sistolik 140-159 mmHg dan diastolik

90-99 mmHg (hipertensi derajat 1).

e) lansia penderita hipertensi yang terdata di Puskesmas mambi

kecamatan mambi kabupaten mamasa.

2. Kriteria ekslusi
50

Kriteria eksklusi merupakan kriteria dimana subjek

penelitian tidak dapat mewakili sampel karena tidak memenuhi

syarat sebagai sampel penelitian (Swarjana, 2015).

Kriteria ekslusi pada penelitian ini :

a) Responden yang mengundurkan diri atau menolak sebelum di

berikan pengobatan herbal.

b)Sedang menggunakan terapi komplementer lainnya.

c) Tidak terdata di Puskesmas mambi Kecamatan mambi Kabupaten

mamasa.

3.4.2.2 Menentukan tekhnik sampling

Sampling adalah suatu proses dalam menyeleksi porsi dari

populasi untuk dapat mewakili populasi (Arikunto, 2006). Teknik

sampling adalah teknik pengambilan sampel populasi dalam

penelitian, ada dua jenis teknik sampling yaitu teknik random

sampling (sampel acak) yang merupakan pengambilan sampel secara

acak sederhana dan tidak non random sampling (sampel tidak acak)

yaitu teknik pengambilan sampel dari populasi dimana setiap anggota

populasi tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk diambil

sebagai sampel (Agus Riyanto, 2011).

Teknik pengambilan sampel dalam penenlitian ini

menggunakan consecutive sampling, yaitu sampel diambil dari semua


51

subyek yang datang dan memenuhi kriteria pemilihan sampai jumlah

subyek terpenuhi. Teknik ini merupakan jenis non probability yang

paling baik dan mudah dilakukan. (Saryono, 2011) .

3.5 Variabel penelitian

3.5.1 Variabel bebas (Independen)

Variabel independen merupakan variabel yang mempengaruhi

variabel lain, artinya apabila variabel independen berubah maka akan

mengakibatkan perubahan variabel lain. Nama lain variabel independen

adalah variabel bebas, resiko, prediktor, kausa (Agus Riyanto, 2011).

Variabel independen dalam penelitian ini adalah pemberian rebusan buah

mahkota dewa.

3.5.2 Variabel terikat (dependen)

Variabel dependen merupakan variabel yang dipengaruhi oleh

variabel lain, artinya variabel dependen berubah akibat perubahan pada

variabel bebas. Nama lain variabel dependen adalah variabel terikat, efek,

hasil, outcame, respon, atau event (Agus Riyanto, 2011). Variabel terikat

dalam penelitian ini adalah penurunan tekanan darah pada lansia.

3.6 Tempat dan waktu penelitian

Penelitian ini akan di lakukan di Desa Sendana Kecamatan Mambi

Kabupaten Mamasa pada bulan februari tahun 2018.

Tabel 3.6 Rencana Waktu Penelitian


52

Bulan
No
Uraian Kegiatan 1
.
2 1 2 3 4 5 6 7
1. Persiapan (pengajuan proposal
penelitian)                
2. Pengumpulan data                
3. Pengolahan data                
4. Penyusunan laporan                
5. Presentasi seminar hasil                

3.7 Instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan,

memeriksa, menyelidiki suatu masalah, atau mengumpulkan, mengolah,

menganalisis dan menyajikan data-data secara sistematis serta objektif dengan

tujuan untuk menguji suatu hipotesis, (Pamungkas dan Usman, 2017).

Langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data yaitu

pembuatan lembar observasi sebagai alat pengumpul dan menggunakan

tensimeter sebagai alat ukur. Observasi merupakan cara pengumpulan data

dengan mengadakan pengamatan secara langsung kepada responden penelitian

untuk mencari perubahan atau hal-hal yang akan diteliti (Aziz, 2007).

3.8 Metode Pengumpulan Data

3.8.1 Jenis Data

3.8.1.1 Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari subyek penelitian

dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data,


53

langsung pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.

Kelebihan data primer adalah akurasi yang akurat, sedangkan

kelemahannya adalah ketidakefisienan , untuk memperolehnya

memerlukan sumber daya yang lebih besar. (Saryono, 2011). Data

primer dalam penelitian ini diperoleh langsung dari lansia

penderita hipertensi yang bersedia menjadi responden.

3.9.1.2 Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak

lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek

penelitiannya. Biasanya berupa data dokumentasi atau data

laporan yang telah tersedia. Keuntungan data sekunder adalah

efisiensi tinggi dengan kelemahan kurang akurat. (Saryono, 2011).

3.8.2 Teknik Pengumpulan Data

Setelah mendapatkan surat izin penelitian dari pihak yang terkait,

kemudian meminta izin ke kepala Puskesmas Mambi Kabupaten Mamasa.

Setelah izin diberikan, maka data diperoleh langsung ke lokasi penelitian.

3.9 Metode Pengolahan dan Analisa Data

3.9.1 Metode pengolahan data


54

Data yang telah terkumpul diolah dengan langkah-langkah sebagai

berikut (Budiarto, 2009) :

3.10.1.1 Editing data

Tahap editing adalah tahap pertama dalam pengolahan

data penelitian atau data statistic. Editing merupakan proses

memeriksa data yang dikumpulkan melalui alat pengumpulan

data (instrument penelitian). Tujuan pada tahap editing ini yaitu

melengkapi data yang kurang dan memperbaiki atau

mengoreksi data yang sebelumnya belum jelas.

3.10.1.2 Coding

Coding merupakan kegiatan pemberian kode numerik

(angka) terhadap data yang terdiri atas beberapa kategori.

Data yang sudah didapat diklasifikasikan dan diberikan kode

berupa angka untuk mempermudah proses pengolahan

selanjutnya.

Rebusan buah mahkota dewa :

Sebelum diberikan pengobatan : 1

Sesudah diberikan pengobatan : 2

Penurunan tekanan darah pada lansia penderita hipertensi :

Mengalami penurunan tekanan darah :1

Tidak mengalami penurunan tekanan darah : 2

3.10.1.3 Entery Data


55

Data entri adalah kegiatan memasukkan data yang telah

dikumpulkan ke dalam master tabel atau database komputer,

kemudian membuat distribusi frekuensi sederhana atau bisa

juga dengan membuat tabel kontigensi.

3.10.1.4 Cleaning Data

Pengecekan terakhir terhadap data yang sudah dientery untuk

memastikan adanya kesalahan data (Cholid Narbuko, 2009).

3.10.1.5 Tabulasi

Pengelompokkan data ke dalam suatu tabel menurut sifat-

sifat yang dimiliki, kemudian data dianalisa secara statistik.

3.9.2 Analisis Data

3.9.2.1 Analisis Univariat

Pada analisa merupakan analisa data yang dilakukan

terhadap tiap variabel dari hasil penelitian. (Notoadmojo,

2007).

3.9.2.2 Analisa Bivariat

Analisa bivariat adalah analisis yang dilakukan untuk

menguji hubungan antara dua variabel yang diduga mempunyai

pengaruh atau korelasi.

Untuk melihat hubungan variabel yang mempengaruhi

(independen) dengan variabel terpengaruh (dependen), maka


56

digunakan dengan uji T. berpasangan. Uji T. berpasangan

berfungsi untuk menguji perbedaan antar data berpasangan,

menguji komparasi antar dua pengamatan sebelum dan sesudah

(before after design) dan mengetahui efektifitas suatu

perlakuan. Analisis dilakukan menggunakan program komputer

SPSS 21.0 (Aziz, 2008).

3.11 Etika Penelitian

Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, mengingat penelitian keperawatan berhubungan

langsung dengan manusia, maka segi etika penelitian harus diperhatikan.

Masalah etika yang harus diperhatikan antara lain adalah sebagai berikut

(Pamungkas, 2017):

3.11.1 Informed Consent

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti

dengan responden penelitian dengan memberikan lembar persetujuan.

Informed consent terseebut diberikan sebelum penelitian dilakukan

dengan memberikan lembar persutujuan untuk menjadi responden.

Tujuan Informed consent adalah agar subjek mengerti maksud dan

tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek bersedia, maka

mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika responden tidak

bersedia, maka peneliti harus menghormati hak pasien. Beberapa


57

informasi yang harus ada dalam Informed consent tersebut antara lain:

partisipasi pasien, tujuan dilakukannya tindakan, jenis data yang

dibutuhkan, komitmen, prosedur pelaksanaan, potensial masalah yang

akan terjadi, manfaat, kerahasiaan, informasi yang mudah dihubungi dan

lain-lain.

3.11.2 Anonimity (Tanpa Nama)

Masalah etika keperawatan merupakan masalah yang memberikan

jaminan dalam penggunaan subjek penelitian dengan cara tidak

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur

dan hanya menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil

penelitian yang akan disajikan.

3.11.3 Kerahasiaan (Confidentiality)

Masalah ini merupakan masalah etika dengan memberikan

jaminan kerahasiaan hasil penelitian, baik informasi maupun masalah-

masalah lainnya. Semua informasi yang telah dikumpulkan dijamin

kerahasiaannya oleh peneliti, hanya kelompok data tertentu yang akan

dilaporkan pada hasil riset.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, A. (2016). TIGA FAKTOR PENGGUNAAN OBAT HERBAL HIPERTENSI

DI, 1(June), 81–87.


58

Depkes. (2007). Pharmaceutical care. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit

Hipertensi, 1–50.

Ismanto, A. Y., Rompas, S., Studi, P., Keperawatan, I., Kedokteran, F., Sam, U., &

Manado, R. (2014). TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA.

Julianti, E. D., Nurjanah, N., & Seotrisno, U. S. S. (2007). Bebas Hipertensi dengan

Terapi Jus. Jakarta.

Kemenkes.RI. (2014). Pusdatin Hipertensi. Infodatin, (Hipertensi), 1–7.

https://doi.org/10.1177/109019817400200403

Kusuma Hardi, & Nurarif Huda Armin. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan

Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. (Yudha, Ed.) (Ed, 2).

Jogjakarta: Penerbit Mediaction.

Machfoedz, I. (2017). Metodologi Penelitian. Yogyakarta: Fitramaya.

Muhith Abdul. (2016). Pendidikan Keperawatan Gerontik. (Andi, Ed.) (Ed. 1).

Yogyakarta.

Nuraini, B. (2015). Risk factors of hypertension, 4, 10–19.

Pamungkas, rian adi. (2017). metodologi riset keperawatan. (T.ismail, Ed.)

(pertama). jakarta: trans info media (TM).

Pranata, T. (2014). No Title (aksara suk). sleman.


59

Robert E. Kowalski. (2010). Terapi hipertensi. (Astuti Rahmani, Ed.) (Ed.1).

Bandung: Qanita.

Saryono. (2011). Metodologi Penelitian Kesehatan. (A. Setiawan, Ed.). Yogyakarta:

Mitra Cendekia.

Sharif La Ode. (2012). Asuhan Keperawatan Gerontik. (N. ArTeam, Ed.) (Ed. 1).

Yogyakarta.

Soenarta, A. A., Erwinanto, Mumpuni, A. S. S., Barack, R., Lukito, A. A.,

Hersunarti, N., … Pratikto, R. S. (2015). Pedoman tatalaksana hipertensi pada

penyakit kardiovaskular. Pedoman Tatalaksana Hipertensi Pada Penyakit

Kardiovaskuler, 1, 1–2.

Sofia Rhosma Dewi. (2014). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. (H. Rahmadhani,

Ed.) (Ed.1). Yogyakarta: Deepublish.

Swarjana, I. K. (2015). METODOLOGI PENELITIAN KESEHATAN. (Andi, Ed.)

(Ed, II). Yogyakarta.

Wajan Juni, U. (2010). Keperawatan Kardiovaskular. (Carolina Sally, Ed.) (Ed. 3).

Jakarta.

Yulisa, R. (2016). APLIKASI PEMBERIAN REBUSAN DAGING BUAH

MAHKOTA DEWA TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAHPADA

Ny X DENGAN HIPERTENSI DIPUSKESMAS GAJAHAN SURAKARTA.


60

Anda mungkin juga menyukai