Anda di halaman 1dari 9

Tugas Rutin IV

KESELAMATAN KERJA DAN TATA LETAK BENGKEL

NAMA MAHASISWA : Yabest Giftrail Purba


NIM : 5203121017

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN TEKNIK MESIN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
2020
Hygiene Perusahaan
A.  Pengertian Hygiene Perusahaan
Higiene perusahaan didefinisikan sebagai ilmu dan seni dalam melakukan antisipasi,
rekognisi, evaluasi, dan pengendalian terhadap faktor-faktor lingkungan atau stresses, yang
timbul di atau dari tempat kerja, yang bisa menyebabkan sakit, gangguan kesehatan dan
kesejahteraan atau ketidaknyamanan yang berarti bagi pekerja maupun warga masyarakat juga
merupakan Ilmu dan seni yang mencurahkan perhatian pada pengenalan, evaluasi dan kontrol
faktor lingkungan dan stress yang muncul di tempat kerja yang mungkin menyebabkan
kesakitan, gangguan kesehatan dan kesejahteraan atau menimbulkan ketidaknyamanan pada
tenaga kerja maupun lingkungan.
Hiperkes pada dasarnya merupakan penggabungan dua disiplin ilmu yang berbeda yaitu
medis dan teknis yang menjadi satu kesatuan sehingga mempunyai tujuan yang sama yaitu
menciptakan tenaga kerja yang sehat dan produktif. Istilah Hiperkes menurut Undang – Undang
tentang ketentuan pokok mengenai Tenaga Kerja yaitu lapangan kesehatan yang ditujukan
kepada pemeliharaan-pemeliharaan dan mempertinggi derajat kesehatan tenaga kerja,
dilakukan dengan mengatur pemberian pengobatan, perawatan tenaga kerja yang sakit,
mengatur persediaan tempat, cara-cara dan syarat yang memenuhi norma-norma hiperkes
untuk mencegah penyakit baik sebagai akibat pekerjaan, maupun penyakit umum serta
menetapkan syarat-syarat kesehatan bagi tenaga kerja.
Hiperkes berkembang setelah abad ke-16. Pada tahun 1556 oleh Agricola dan 1559 oleh
Paracelcus di aderah pertambangan. Benardi Rammazini (1633-1714), dikenal sebagai bapak
Hiperkes, yang membahas hiperkes di industry textile terutama mengenai penyakit akibat kerja
(PAK).

B.  Ruang lingkup dan Tujuan hygiene perusahaan


Ruang lingkup hygiene industry merupakan sekuen atau urutan langkah atau metode
dalam implementasi HI,dimana urutan tidak bisa dibolak balik dan merupakan suatu siklus yang
tidak berakhir (selama aktivitas industry berjalan).
Ruang lingkup hygiene industry terdiri dari :
1) Antisipasi
Antisipasi merupakan kegiatan untuk memprediksi potensi bahaya dan risiko di tempat
kerja. Tahap awal dalam melakukan atau penerapan higiene industri di tempat kerja. Adapun
tujuan dari anntisipasi adalah :
·         Mengetahui potensi bahaya dan risiko lebih dini sebelum muncul menjadi bahaya dan risiko
yang nyata
·         Mempersiapkan tindakan yang perlu sebelum suatu proses dijalankan atau suatu area dimasuki
·         Meminimalisasi kemungkinan risiko yang terjadi pada saat suatu proses dijalankan atau suatu
area dimasuki
Langkah-langkah dalam antisipasi yaitu :
·         Pengumpulan Informasi
·         Melalui studi literature
·         Mempelajari hasil penelitian
·         Dokumen-dokumen perusahaan
·         Survey lapangan
·         Analisis dan diskusi
·         Diskusi dengan pihak terkait yang kompeten
·         Pembuatan Hasil
Yang dihasilkan dari melakukan antisipasi adalah daftar potensi bahaya dan risiko yangndapat
dikelompokkan:
– Berdasarkan lokasi atau unit
– Berdasarkan kelompok pekerja
– Berdasarkan jenis potensi bahaya
– Berdasarkan tahapan proses produksi dll
2) Rekognisi
Rekognisis merupakan serangkaian kegiatan untuk mengenali suatu bahaya lebih detil dan
lebih komprehensif dengan menggunakan suatu metode yang sistematis sehingga dihasilkan
suatu hasil yang objektif dan bias dipertanggung jawabkan. Di mana dalam rekognisi ini kita
melakukan pengenalan dan pengukuran untuk mendapatkan informasi tentang konsentrasi,
dosis, ukuran (partikel), jenis, kandungan atau struktur, sifat, dll .
Adapun tujuan dari rekognisi adalah :
·         Mengetahui karakteristik suatu bahaya secara detil (sifat, kandungan, efek, severity, pola
pajanan, besaran)
·         Mengetahui sumber bahaya dan area yang  berisiko
·         Mengetahui pekerja yang berisiko

3) Evaluasi
Pada tahap penilaian/evaluasi lingkungan, dilakukan pengukuran, pengambilan sampel dan
analisis di laboratorium. Melalui penilaian lingkungan dapat ditentukan kondisi lingkungan kerja
secara kuantitatif dan terinci, serta membandingkan hasil pengukuran dan standar yang
berlaku, sehingga dapat ditentukan perlu atau tidaknya teknologi pengendalian, ada atau
tidaknya korelasi kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja dengan lingkungannya , serta
sekaligus merupakan dokumen data di tempat kerja.
Tujuan pengukuran dalam evaluasi yaitu :
·         Untuk mengetahui tingkat risiko
·         Untuk mengetahui pajanan pada pekerja
·         Untuk memenuhi peraturan (legal aspek)
·         Untuk mengevaluasi program pengendalian yang sudah dilaksanakan
·         Untuk memastikan apakah suatu area aman untuk dimasuki pekerja
·         Mengetahui jenis dan besaran hazard secara lebih spesifik
4) Pengontrolan
Ada 6 tingkatan Pengontrolan di Tempat Kerja yang dapat dilakukan:
·         Eliminasi : merupakan upaya menghilangkan bahaya dari sumbernya serta menghentikan
semua kegiatan pekerja di daerah yang berpotensi bahaya.
·         Substitusi : Modifikasi proses untuk mengurangi penyebaran debu atau asap, dan mengurangi
bahaya, Pengendalian bahaya kesehatan kerja dengan mengubah beberapa
peralatan proses untuk mengurangi bahaya, mengubah kondisi fisik bahan baku yang diterima
untuk diproses lebih lanjut agar dapat menghilangkan potensi bahayanya.
·         Isolasi : Menghapus sumber paparan bahaya dari lingkungan pekerja dengan menempatkannya
di tempat lain atau menjauhkan lokasi kerja yang berbahaya dari pekerja lainnya, dan
sentralisasi kontrol kamar,
·         Engineering control : Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada faktor
lingkungan kerja selain pekerja
·         Menghilangkan semua bahaya-bahaya yang ditimbulkan.,
·         Mengurangi sumber bahaya dengan mengganti dengan bahan yang kurang berbahaya,
·         Proses kerja ditempatkan terpisah,
·         Menempatan ventilasi local/umum.
·         Administrasi control: Pengendalian bahaya dengan melakukan modifikasi pada interaksi pekerja
dengan lingkungan kerja
·         Pengaturan schedule kerja atau meminimalkan kontak pekerja dengan sumber bahaya
·         Alat Pelindung Diri (APD), Ini merupakan langkah terakhir dari hirarki pengendalian. Jenis-jenis
alat pelindung diri Alat pelindung diri diklasifikasikan berdasarkan target organ tubuh yang
berpotensi terkena resiko dari bahaya.

C.  Tujuan dari hygiene perusahaan :


·         Meningkatkan derajat kesehatan karyawan setinggi-tingginya melalui pencegahan dan
penanggulangan penyakit dan kecelakaan akibat kerja serta pemeliharaan dan peningkatan
kesehatan dan gizi karyawan.
·         Meningkatkan produktivitas karyawan dengan memberantas kelelahan kerja,meningkatkan
kegairahan kerja dan memberikan perlindungan kepada karyawan dan masyarakat sekitarnya
thd.bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh perusahaan.

D.  Potensi Bahaya Pada Factor Fisika dan Kimia yang Terjadi dalam Hygiene Perusahaan
Faktor lingkungan kerja yang dapat menimbulkan bahaya di tempat kerja(occupational
health hazards) adalah bahaya faktor fisika, bahaya faktor kimia.
1. Bahaya Fisik :
Bahaya faktor fisika meliputi : kebisingan, pencahayaan, iklim kerja/tekanan panas, getaran,
radiasi dsb
·         Kebisingan
Kebisingan mempengaruhi kesehatan antara lain dapat menyebabkan kerusakan pada
indera pendengaran sampai kepada ketulian. Dari hasil penelitian diperoleh bukti bahwa in
tensitas bunyi yang dikategorikan bising dan yang mempengaruhi kesehatan (pendengaran)
adalah diatas 60 dB. Oleh sebab itu para karyawan yang bekerja di pabrik dengan intensitas
bunyi mesin diatas 60 dB maka harus dilengkapi dengan alat pelindung (penyumbat) telinga
guna mencegah gangguan pendengaran. Disamping itu kebisingan juga dapat mengganggu
komunikasi.Sumber Suara Skala intensitas(dB) :
  Halilintar 120 Kantor gaduh 70,
  Meriam 110 Radio 60
  Mesin uap 100 Kantor pd umumnya 40
  Jalan yg ramai 90 Rumah tenang 30
  Pluit 80 Tetesan air 10
·         Penerangan atau pencahayaan

Penerangan yang kurang di lingkungan kerja bukan saja akan menambah beban kerja
karena mengganggu pelaksanaan pekerjaan tetapi juga menimbulkan kesan kotor. Oleh karena
itu penerangan dalam lingkungan kerja harus cukup untuk menimbulkan kesan yang  higienis.
Disamping itu cahaya yang cukup akan memungkinkan pekerja dapat melihat objek yang
dikerjakan dengan jelas dan menghindarkan dari kesalahan kerja. Akibat dari kurangnya
penerangan di lingkungan kerja akan menyebabkan kelelahan fisik dan mental bagi para
karyawan atau pekerjanya. Gejala kelelahan fisik dan mental ini antara lain sakit kepala (pusing-
pusing), menurunnya kemampuan intelektual, menurunnya konsentrasi dan kecepatan berpikir.
Disamping itu kurangnya penerangan memaksa pekerja untuk mendekatkan matanya ke objek
guna memperbesar ukuran benda.
Untuk mengurangi kelelahan akibat dari penerangan yang tidak cukup dikaitkan dengan
objek dan umur pekerja ini dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut :
·      Perbaikan kontras dimana warna objek yang dikerjakan kontras dengan latar belakang objek
tersebut. Misalnya cat tembok di sekeliling tempat kerja harus berwarna kontras dengan warna
objek yang dikerjakan.
·      Meningkatkan penerangan, sebaiknya 2 kali dari penerangan diluar tempat kerja.
Disamping itu di bagian-bagian tempat kerja perlu ditambah dengan dengan lampu-lampu
tersendiri.
·      Pengaturan tenaga kerja dalam shift sesuai dengan umur masing-masing tenagakerja. Misalnya
tenaga kerja yang sudah berumur diatas 50 tahun tidak diberikan tugas di malam hari.
·         Getaran
Getaran mempunyai parameter yang hampir sama dengan bising seperti: frekuensi,
amplitudo, lama pajanan dan apakah sifat getaran terus menerus atau intermitten.Metode
kerja dan ketrampilan memegang peranan penting dalam memberikan efek yang berbahaya.
Pekerjaan manual menggunakan “powered tool” berasosiasi dengan gejala gangguan
peredaran darah yang dikenal sebagai ” Raynaud’s phenomenon ” atau ” vibration-induced
white fingers”(VWF).
Peralatan yang menimbulkan getaran juga dapat memberi efek negatif pada sistem saraf
dan sistem musculo-skeletal dengan mengurangi kekuatan cengkram dan sakit tulang belakang.
2.      Bahaya Kimia
Bahaya faktor kimia meliputi korosi,debu Pb, NOx, NH3, CO, dsb.
·         Korosi
Bahan kimia yang bersifat korosif menyebabkan kerusakan pada permukaan tempat
dimana terjadi kontak. Kulit, mata dan sistem pencernaan adalah bagain tubuh yang paling
umum terkena. Contoh : konsentrat asam dan basa , fosfor.
·           Iritasi
Iritasi menyebabkan peradangan pada permukaan di tempat kontak. Iritasi kulit bisa
menyebabkan reaksi seperti eksim atau dermatitis. Iritasi pada alat-alat pernapasan yang hebat
dapat menyebabkan sesak napas, peradangan dan oedema (bengkak)
Contoh:
Kulit ( asam, basa,pelarut, minyak), Pernapasan : aldehydes, alkaline dusts, amonia, nitrogen
dioxide, phosgene, chlorine ,bromine, ozone.
·           Racun Sistemik
Racun sistemik adalah agen-agen yang menyebabkan luka pada organ atau sistem tubuh.
Contoh :
Otak : pelarut, lead,mercury, manganese
Sistem syaraf peripheral : n-hexane,lead,arsenic,carbon disulphide
Sistem pembentukan darah : benzene,ethylene glycol ethers
Ginjal : cadmium,lead,mercury,chlorinated hydrocarbons
Paru-paru : silica,asbestos, debu batubara ( pneumoconiosis )

P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan


Kesehatan Kerja)

Dasar hukum pembentukan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) ialah
Permenaker RI Nomor PER.04/MEN/1987 tentang Panitia Pembina Keselamatan dan
Kesehatan Kerja serta Tata Cara Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja. Disebutkan pada pasal 2
(dua) bahwa tempat kerja dimana pengusaha/pengurus memperkerjakan 100 (seratus) orang
atau lebih, atau tempat kerja dimana pengusaha/pengurus memperkerjakan kurang dari 100
(seratus) tenaga kerja namun menggunakan bahan, proses dan instalasi yang memiliki resiko
besar akan terjadinya peledakan, kebakaran, keracunan dan penyinaran radioaktif
pengusaha/pengurus wajib membentuk P2K3.

Pada pasal 3 (tiga) disebutkan bahwa unsur keanggotaan P2K3 terdiri dari pengusaha dan
pekerja yang susunannya terdiri dari ketua, sekretaris dan anggota serta sekretaris P2K3 ialah
ahli keselamatan kerja dari perusahaan yang bersangkutan.
Pengertian P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja) menurut Permenaker RI
Nomor PER.04/MEN/1987 ialah badan pembantu di tempat kerja yang merupakan wadah
kerjasama antara pengusaha dan pekerja untuk mengembangkan kerjasama saling pengertian
dan partisipasi efektif dalam penerapan K3.

Tugas P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja) ialah memberikan saran dan
pertimbangan baik diminta maupun tidak kepada pengusaha mengenai masalah K3
(berdasarkan pasal 4 (empat) Permenaker RI Nomor PER 04/MEN/1987).

Fungsi P2K3 (Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan


Kerja) antara lain :
1. Menghimpun dan mengolah data mengenai Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di
tempat kerja.
2. Membantu menunjukkan dan menjelaskan kepada setiap tenaga kerja mengenai :
o Berbagai faktor bahaya di tempat kerja yang dapat menimbulkan gangguan K3
termasuk bahaya kebakaran dan peledakan serta cara menanggulanginya.
o Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja.
o Alat Pelindung Diri (APD) bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
o Cara dan sikap yang benar dan aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
3. Membantu Pengusaha/Pengurus dalam :
o Menentukan tindakan koreksi dengan alternatif terbaik.
o Mengembangkan sistem pengendalian bahaya terhadap Keselamatan dan
Kesehatan Kerja.
o Mengevaluasi penyebab timbulnya kecelakaan, penyakit akibat kerja (PAK) serta
mengambil langkah-langkah yang diperlukan.
o Mengembangkan penyuluhan dan penelitian di bidang keselamatan kerja,
higiene perusahaan, kesehatan kerja dan ergonomi.
o Melaksanakan pemantauan terhadap gizi kerja dan menyelenggarakan makanan
di perusahaan.
o Memeriksa kelengkapan peralatan keselamatan kerja.
o Mengembangkan pelayanan kesehatan tenaga kerja.
o Mengembangkan laboratorium Keselamatan dan Kesehatan Kerja, melakukan
pemeriksaan laboratorium dan melaksanakan interpretasi hasil pemeriksaan.
o Menyelenggarakan administrasi keselamatan kerja, higiene perusahaan dan
kesehatan kerja.
o Membantu pimpinan perusahaan menyusun kebijaksanaan manajemen dan
pedoman kerja dalam rangka upaya meningkatkan keselamatan kerja, higiene
perusahaan, kesehatan kerja, ergonomi dan gizi kerja. (berdasarkan pasal 4
(empat) Permenaker RI Nomor PER.04/MEN/1987).
Peran, Tanggungjawab dan Wewenang P2K3 (Panitia Pembina
Keselamatan dan Kesehatan Kerja) :
Peran Wewenang
1. Memimpin semua rapat pleno P2K3 ataupun menunjuk anggota untuk
memimpin rapat pleno.
2. Menentukan langkah dan kebijakan demi tercapainya pelaksanaan program-
program P2K3.
3. Mempertanggung-jawabkan pelaksanaan K3 di Perusahaan ke Disnakertrans
Ketua Kabupaten/Kota setempat melalui Pimpinan Perusahaan.
4. Mempertanggung-jawabkan program-program P2K3 dan pelaksanaannya
kepada Direksi.
5. Mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaannya program-program K3 di
Perusahaan

1. Membuat undangan rapat dan notulen.


2. Mengelola administrasi surat-surat P2K3.
3. Mencatat data-data yang berhubungan dengan K3.
4. Memberikan bantuan/saran-saran yang diperlukan oleh seksi-seksi demi
Sekretaris
suksesnya program-program K3.
5. Membuat laporan ke Disnakertrans setempat maupun instansi lain yang
bersangkutan dengan kondisi dan tindakan bahaya di tempat kerja.

1. Melaksanakan program-program yang telah ditetapkan sesuai dengan seksi


masing-masing.
Anggota
2. Melaporkan kepada Ketua atas kegiatan yang telah dilaksanakan.

Jumlah dan susunan P2K3 antara lain sebagai berikut :


1. Perusahaan yang memiliki tenaga kerja 100 (seratus) orang atau lebih, maka jumlah
anggota sekurang-kurangnya ialah 12 (dua belas) orang yang terdiri dari 6 (enam) orang
mewakili pengusaha/pimpinan Perusahaan dan 6 (enam) orang mewakili tenaga kerja.
2. Perusahaan yang memiliki tenaga kerja 50 (lima puluh) orang sampai dengan 100
(seratus) orang, maka jumlah anggota sekurang-kurangnya ialah 6 (enam) orang yang
terdiri dari 3 (tiga) orang mewakili pengusaha/pimpinan Perusahaan dan 3 (tiga) orang
mewakili tenaga kerja.
3. Perusahaan yang memiliki tenaga kerja kurang dari 50 (lima puluh) orang dengan tingkat
resiko bahaya sangat besar, maka jumlah anggota sesuai dengan ketentuan nomor 2
(dua) di atas.
4. Kelompok Perusahaan yang memiliki tenaga kerja kurang dari 50 (lima puluh) orang
untuk anggota kelompok, maka jumlah anggota sesuai dengan ketentuan nomor 2 (dua)
di atas dimana masing-masing anggota mewakili Perusahaannya.

Langkah-langkah pembentukan P2K3 di Perusahaan ialah pertama-tama Perusahaan wajib


menyatakan Kebijakan K3 dan dituangkan secara tertulis. Kemudian Pimpinan Perusahaan
menginventarisasi daftar anggota P2K3 serta memberikan pengarahan singkat terhadap daftar
anggota mengenai Kebijakan K3 Perusahaan.

Setelah itu Perusahaan mengonsultasikan mengenai pembentukan P2K3 kepada Disnakertrans


setempat untuk dikaji dan disahkan melalui surat keputusan pengesahan P2K3. Kepala
Disnakertrans setempat melaksanakan pelantikan anggota P2K3 secara resmi. Selanjutnya
Perusahaan melaporkan mengenai pelaksanaan program-program P2K3 ke Disnakertrans
setempat secara rutin.

Anda mungkin juga menyukai