Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT, atas rahmat dan karunianya

sehingga saya mampu meneyelesaikan makalah ini yang tentunya tidak lepas dari

bantuan berbagi pihak. Pada penyusunan makalah ini, saya mengambil judul “

Keperawatan Pliatif Managemen Nyeri”.

Saya berharap berharap meskipun penyusanan makalah ini masih jauh dari

kata sempurna, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa

agar kita semua dapat mengambil pelajaran dan nilai-nilai positif. Adapun kurang

dan lebihnya saya mohon saran dan kritik yang bersifat membangun demi

kesempurnaan makalah ini.

14, Januari 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata pengantar……………………………………………………………………..i

Daftar Isi…………………………………………………………………………..ii

BAB 1 Pendahuluan
A. Latar Belakang…………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………2
C. Tujuan……………………………………………………………………..2

BAB 2 Pembahasan
A. Konsep management nyeri………………………………………………...3
1. Defenisi nyeri…………………………………………………………3
2. Klasifikasi nyeri………………………………………………………3
3. Jenis jenis skala nyeri…………………………………………………6
4. Etiologi…...…………………………………………………………...7
5. Patofisiologi nyeri…………………………………………………….8
6. Penanganan nyeri (pain management)……………………………..…8
7. Tujuan penanganan nyeri……………………………………………10
8. Factor yang mempengaruhi respon nyeri……………………………11
B. Pengkajian fisik dan psikologi…………………………………………...13
1. Fase respon terhadap penyakit………………………………………13
2. Indicator yang perlu dikaji…………………………………………..14
3. Diagnose keperawatan………………………………………………17

BAB 3 PENUTUP.
A. KESIMPULAN…………………………………………………………19
B. SARAN…………………………………………………………………19

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………iii

ii
BAB 1

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang

Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan

kualitas hidup pasien dan keluarga yang mengancam jiwa, dengan cara

meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian

yang sempurna dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik

fisik, psikologi, social maupun spiritual.

Primsip pelayanan keperawatan paliatif yaitu menghilangkan

nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya,

penaggulangan nyeri, menghargai kehidupan dan mengaggap kematian

sebagai proses normal, tidak bertujuan untuk mempercepat atau

menghambat kematian, memberikan dukungan psikologis, social, dan

spiritual, memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif

mungkin, memberikan dukungan kepada keluarga samapai masa duka

cita, serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan

pasien dan keluarganya.

Masalah fisik yang sering muncul pada pasien paliatif yaitu nyeri.

Nyeri merupakan pengalaman emosional dan sensori yang tidak

menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan actual yang terjadi

secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantispasi

dan diprediksi.

1
2

b. Rumusan Masalah

1. Bagaimana konsep pain management?

2. Bagaimana pengkajian fisik dan psikologis?

c. TUJUAN

1. Mengetahui konsep management nyeri

2. Mengetahui pengkajian fisik dan psikologis management nyeri


BAB 2

PEMBAHASAN

A. Konsep Management Nyeri

1. Defenisi nyeri

The International Association for the Study of Pain (IASP)

mendefenisikan nyeri sebagai phenomena kombinasi dari aspek sensory,

emosional, kognitif dan eksistensi dan keadaan pathology fisik tidaklah

mutlak muncul pada pasien yang sedang mengalami nyeri.

Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat

individual. Walaupun demikian, nyeri juga dapat pula diartikan sebagai

suatu sensasi yang tidak menyenangkan, baik secara sensori maupun

emosional yang berhubungan dengan adanya suatu kerusakan jaringan atau

factor lain, sehingga individu merasa tersiksa, menderita yang akhirnya

menggangu aktifitas sehari-hari, fisik, psikis, dan lain-lain.

2. Klasifikasi Nyeri

Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan

berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya

serangan.

a. Nyeri berdasarkan tempatnya

1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh

2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuhn yang lebih

dalam yaitu organ-organ tubuh visceral.

3
4

3) Refered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan penyakit

organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubub

didaerah yang berbeda, bukan daerah asal nyeri.

4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada

system saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-lain.

b. Nyeri berdasarkan berat ringannya

1) Nyeri rendah, yaitu nyeri dengan intensitas rendah

2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi

c. Nyeri berdasarkan sifatnya

1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang

2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

dalam waktu yang lama

3) Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan

kuat sekali.

d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan

1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan

berakhir kurang dari 6 bulan, sumber dan saerah nyeri diketahui

dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti

luka operasi, ataupun pada suatu penyakit lain


5

2) Nyeri kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih dari 6 bulan. Nyeri

kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun

e. Berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi:

1) Nyeri somatik luar

Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan

membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam

dan terlokalisasi

2) Nyeri somatik dalam

Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat

rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat

3) Nyeri viseral

Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang

menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum). Nyeri tipe

ini dibagi lagi menjadi nyeri visceral terlokalisasi, nyeri parietal

terlokalisasi, nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.

Klasifikasi yang dikembangkan oleh IASP didasarkan pada lima

aksis yaitu:

a. Aksis I : regio atau lokasi anatomi nyeri

b. Aksis II : sistem organ primer di tubuh yang berhubungan dengan

timbulnya nyeri

c. Aksis III : karekteristik nyeri atau pola timbulnya nyeri (tunggal,

reguler, kontinyu)
6

d. Aksis IV : awitan terjadinya nyeri

e. Aksis V : etiologi nyeri

3. Jenis-jenis skala nyeri

Skala nyeri secara umum digambarkan dalam bentuk nilai angka

yakni 1-10. Berikut adalah jenis skala nyeri berdasarkan nilai angka

a. Skala 0, tidak nyeri

b. Skala 1, nyeri sangat ringan

c. Skala 2, nyeri ringan. Ada sensasi seperti dicubit, namun tidak begitu sakit

d. Skala 3, nyeri sudah mulai terasa, namun masi dapat ditoleransi

e. Skala 4, nyeri cukup mengganggu

f. Skala 5, nyeri benar-benar mengganggu dan tidak bisa didiamkan dalam

waktu lama

g. Skala 6, nyeri sudah mulai mengganggu terutama indra penglihatan

h. Skala 7, nyeri sudah membuat anda tidak dapat melakukan aktivitas

i. Skala 8, nyeri mengakibatkan anda tidak bisa berpikir jernih, bahkan

terjadi perubahan perilaku

j. Skala 9, nyeri mengakibatkan anda menjerit-jerit dan menginginkan cara

apapun untuk menyembuhkan nyeri

k. Skala 10, nyeri berada ditahap yang paling parah dan dapat mengakibatkan

hilangnya kesadaran
7

4. Etiologi

Penyebab nyeri dapat diklasifikasikan kedalam dua golongan, yaitu

penyebab yang berhubungan dengan fisik dan yang berhubungan dengan

psikis. Secara fisik misalnya penyebabnya adalah trauma (mekanik,

thermal, kimiawi maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan

sirkulasi darah dan lain-lain.

a. Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas

mengalami keruskana akibat benturan, gesekan, ataupun luka

b. Trauma thermal menimbulkan nyeri karena ujung saraf reseptor

mendapat rangsangan akibat panas atau dingin

c. Trauma kimiawi terjadi karena sentuhan zat asam atau basa kuat.

Trauma elektrik dapat menimbukan nyeri karena pengaruh aliran

listrik yang kuat mengenai respetor rasa nyeri

d. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya tekanan atau

kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena

tarikan, jepitan, atay metastase

e. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan ujung-ujung saraf

reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh pembengkakan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa nyeri yang disebabkan oleh factor

fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor nyeri.

f. Nyeri yang disebabkan olehh factor psikologis merupakan nyeri yang

dirasakan bukan penyebab organic, melainkan akibat trauma


8

psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik. Nyeri terhadap factor ini

disebut pula psychogenic pain.

5. Patofisologi nyeri

Pada saat sel saraf rusak akibat trauma jaringan, maka terbentuklah

zat-zat kimia seperti Bradikinin, serotonin dan enzim proteotik. Kemudian

zat-zat tersebut merangsang dan merusak ujung saraf dan reseptor nyeri

dan rangsangan tersebut akan dihantarkan ke hypothalamus melalui saraf

asenden. Sedangkan di korteks nyeri akan dipersiapkan sehingga individu

mengalami nyeri. Selain dihantarkan ke hypothalamus nyeri dapat

menurunkan stimulasi terhsdap reseptor mekanin sensitive pada

termosensitif sehingga dapat mengakibatka atau mengalami nyeri.

6. Penanganan nyeri (pain management)

Management nyeri adalah salah satu displin dalam ilmu medis

yang berkaitan dengan upaya-upaya menghilangkan nyeri atau pain relief.

Managemen nyeri ini menggunakan pendekatan multi disiplin yang

didalamnya termasuk pendekatan farmakologikal (termasuk poin

modifiers), non farmakologikal dan psikologikal. Setiap orang memiliki

persepsi yang sangat berbeda dengan orang lain terhadap nyeri yang

mungkin sedang dialami. Perbedaan inilah yang mendorong perawat untuk

meningkatkan kemampuan dalam menyediakan peningkatan rasa nyaman

bagi klien dan mengatasi rasa nyeri.

Hal yang sangat mendasar bagi perawat dalam melaksanakannya adalah

kepercayaan perawat bahwa rasa nyeri yang dialami kliennya adalah


9

sunggun nyata terjadi, kesediaan perawat untuk terlibat dalam menghadapi

pengalaman nyeri yang dialami oleh klien dan kompetensi untuk terus

mengembangkan upaya-upaya untuk mengatasi nyeri.

Strategi keperawatan utama yang spesifik dalam meningkatkan

rasa nyaman bagi pasien yang sedang mengalami nyeri, bersifat

farmakologi dan non farmakologi. Tapi tindakan mengatasi pain

management yang dapat dilakukan oleh perawat sebagai penyedia asuhan

keperawatan.

a. Management nyeri farmakologikal

Yaitu terapi farmakologis untuk menanggulangi nyeri dengan cara

memblokade transmisi stimulant nyeri agar terjadi perubahan persepsi dan

dengan mngurangi respon kortikal terhadap nyeri. Adapun obat yang

digunakan untuk terapi nyeri antara lain:

1) Analgesic narkotik

Menghilangkan nyeri dengan merubuah aspek emosional dari pengalam

nyeri (missal: persepsi nyeri)

2) Analgesic local analgesic

Bekerja dengan memblokade konduksi saraf saat diberikan langsung

3) Analgesic yang dikontrol klien

System analgesic yang dikontrol klien terdiri dari impus yang diisi

narkotika menurut resep, dipasang dengan pengatur pada lubang injeksi

intravena
10

4) Obat-obat nonsteroid

Obat-obat nonsteroid non inflamasi bekerja terutama terhadap penghambat

sintesa prostaglandin. Pada dosis rendah obat-obat ini bersifat anti

inflamtori, sebagai tambahan dari kahsiat analgesic

b. Management nyeri non farmakologikal

Merupakan upaya-upaya mengatasi atau menghilangkan nyeri

dengan menggunakan pendekatan non farmakologi. Upaya-upaya tersebut

antara lain dengan distraksi, relaksasi, massage, akupuntur, terapi music,

pijatan, dan guided imaginary yang dilakukan oleh professional yang ahli

dibidangnya yang disebut therapist. Setiap individu membutuhkan rasa

nyaman. Rasa nyaman ini dipersepsikan berbeda pada tiap orang. Dalam

konteks asuhan keperawatan, perawat harus memperhatikan dan

memenuhi rasa nyaman. Ganguan rasa nyaman yang dialami oleh klien

diatasi oleh perawat melalui intervensi keperawatan.

7. Tujuan pain management (Pain Management)

a. Mengurangi intensitas dan keluhan nyeri

b. Menurunkan kenungkinan berubahnya nyeru akut menjadi gejala

nyeri kronis yang persisten.

c. Meminimalkan reaksi tak diinginkan atau intoleransi terhadap terapi

nyeri.

d. Meningkatkan kualitas hidup pasien untuk menjalakan antifitas sehari-

hari
11

8. Factor yang mempengaruhi respon nyeri

a. Usia

Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus

mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang

melaporkan nyeri jika sudah patologis dan sudah mengalami

kerusakan fungsi. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang

dialami, karena mereka menganggap nyeri adalah hal ilmiah yang

harus dijalani dan mereka takut kalau mengalami penyakit berat atau

meninggal jika nyeri diperiksakan.

b. Jenis kelamin (tidak terlalu signifikan)

c. Ansietas

Cemas meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan nyeri bisa

menyebabkan seseorang cemas

d. Pengalaman masa lalu

Seseorang yang berhasil mengatasi nyeri dimasa lampau, dan saat

ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi

nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeritergantung

pengalaman dimasa lalu dalam mengatasi nyeri.

e. Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri

dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri


12

f. Support keluarga dan social individu yang mengalami nyeri sering

kali nergantung kepada anggota keluarga atau teman dekat untuk

memperoleh dukungan dan perlindungan, dll

9. Sistem Inhibisi Terhadap Nyeri

Tidak semua stimulus nyeri akan menghasilkan sensibel nyeri. Hal ini

dapat terjadi karena ada suatu proses modulasi di kornua dorsalis medulla

spinalis. Ini dimungkinkan karena ada sistem inhibisi. Inhibisi terjadi

melalui beberapa mekanisme, seperti :

a. Stimulasi serat afferent yang mempunyai diameter besar.

Stimulasi serat afferent ini dapat menghasilkan suatu efek berupa

aktifasi interneuron inhibisi di kornua dorsalis. Stimulasi halus

berulang serat A betha atau menggunakan alat TENS dapat

menghambat transmisi nyeri.

b. Serat inhibisi desendens.

Ada 3 lintasan dari midbrain ke kornua dorsalis medulla spinalis,

yaitu :

a. Lintasan I : Berawal dari nukleus raphe magnus.

b. Lintasan II : Berawal dari nukleus lokus seruleus

c. Lintasan III : Berawal dari nucleus Edinger Wesphal

Ketiga lintasan ini turun menuju dan menimbulkan hambatan

fungsi respon nyeri neuron nosisepsi di kornu dorsalis medulla

spinalis. Bila diaktifkan, ketiga lintasan ini akan melepaskan

serotonin, norepinefrin dan cholecystokinin.Periaquaductal gray


13

(PAG) mempunyai hubungan dengan ketiga lintasan ini. PAG kaya

dengan reseptor opioid. Bila reseptor ini diaktifkan, PAG akan

mengaktifkan ketiga lintasan ini. Reseptor opioid PAG dapat

diaktifkan oleh endorphin yang dilepaskan secara endogen dan opioid

yang diberikan secara eksogen. Pelepasan endorphin dapat dipicu oleh

nyeri dan stres.

c. Betha endorphin.

Diproduksi di hipotalamus dan disalurkan ke ventrikulus tertius.

Oleh liquor zat ini dibawa ke medulla spinalis menimbulkan efek

depresi konduksi nyeri di substansia gelatinosa.

d. Opioid

PAG kaya dengen reseptor nyeri. Substansia gelatinosa kornua

dorsalis medulla sinalis juga kaya dengan reseptor opioid. Opioid

bekerja dengan mengaktifkan sistem inhibisi desendens atau

mengaktifkan reseptor opioid di substansia gelatinosa

B. Pengakajian Fisik dan Psikologis

Perawat harus memahami apa yang dialami klien dengan kondisi

terminal, tujuannya untuk dapat menyiapkan dukungan dan bantuan bagi

kliebn sehingga pada saat-saat terakhir dalam hidup bisa bermakna dan

akhirnya dapat meninggal dengan tenang dan damai. Menggabarkan

respon terhadap penyakit yang mengancam hidup kedalam 4 fase, yaitu:

1. Fase respon terhadap penyakit

a) Fase prediagnostik
14

terjadi ketika diketahui ada gejala atau resiko penyakit

b) Fase akut

berpusat pada kondisi krisis. Klien dihadapkan pada serangkaian

keputusan, termasuk kondisi medis, interpersonal, maupun psikologis

c) Fase kronis

klien bertempur dengan penyakit dan pengobatannya. Klien dalam kondisi

terminal akan mengalami berbagai masalah baik fisik, psikologis, maupun

social spiritual.

2. Indikator yang perlu dikaji

a. Faktor fisik

Pada kondisi terminal dihadapkan pada berbagai masalah pada fisik.

Gejala fisik yang ditunjukan antara lain perubahan pada penghilahatan,

pendengaran, nutrisi, cairan, eliminasi, kulit, tanda-tanda vital, mobilisasi

dan nyeri. Perawat harus respek terhadap perubahan fisik yan terjadi pada

klien terminal karena hal tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan

penurunan kemampuan klien dalam pemeliharaan diri. Hal-hal yang perlu

dikaji antara lain:

1) Oksigenisasi : Respirasi irregilar, cepat atau lambat, pernafasan cheyne

stokes, sirkulasi perifer menurun, perubahan mental : Agitasi-gelisah,

tekanan darah menurun, hypoksia, akumulasi secret dan nadi ireguler.

2) Eliminasi : Konstipasi, medikasi atau imobilitas memperlambat

peristaltic, kurang diet serat dan asupan makanan juga mempengaruhi

konstipasi, inkontinensia fekal bisa terjadi oleh karena pengobatan atau


15

kondisi penyakit (misalnya Ca Colon), retensi urin, inkontinensia urin

terjadi akibat penurunan kesadaran atau kondisi penyakit misalnya

trauma medulla spinalis, oliguri terjadi seiring penurunan intake cairan

atau kondisi penyakit misalnya gagal ginjal.

3) Nutrisi dan cairan : Asupan makanan dan cairan menurun, peristaltic

menurun, distensi abdomen, kehilangan BB, bibir kering dan pecah-

pecah, lidah kering dan membengkak, mual, muntah, cegukan,

dehidrasi terjadi karena asupan cairan menurun.

4) Suhu : Ekstremitas dingin, kedinginan sehingga harus memakai

selimut.

5) Sensori : Penglihatan menjadi kabur, refleks berkedip hilang saat

mendekati kematian, menyebabkan kekeringan pada kornea,

pendengaran menurun, kemampuan berkonsentrasi menjadi menurun,

sensasi menurun.

6) Nyeri : Ambang nyeri menurun, pengobatan nyeri dilakukan secara

intra vena, klien harus selalu didampingi untuk menurunkan

kecemasan dan meningkatkan kenyamanan.

7) Kulit dan mobilitas : Seringkali tirah baring lama menimbulkan

masalah pada kulit sehingga pasien terminal memerlukan perubahan

posisi yang sering.

8) Masalah psikologis : Klien terminal dan orang terdekat biasanya

mengalami banyak respon emosi, perasaan marah dan putus asa

seringkali ditunjukan. Problem psikologis lain yang muncul pada


16

pasien terminal antara lain ketergantungan, hilang kontrol diri, tidak

mampu lagi produktif dalam hidup, kehilangan harga diri dan harapan,

kesenjangan komunikasi atau barrier komunikasi.

9) Perubahan sosial-spiritual : Klien mulai merasa hidup sendiri,

terisolasi akibat kondisi terminal dan menderita penyakit kronis yang

lama dapat memaknai kematian sebagai kondisi peredaan terhadap

penderitaan. Sebagian beranggapan bahwa kematian sebagai jalan

menuju kehidupan kekal yang akan mempersatukannya dengan orang-

orang yang dicintai. Sedangkan yang lain beranggapan takut akan

perpisahan, dikucilkan, diterlantarkan, kesepian atau mengalami

penderitaan sepanjang hidup.

b. Faktor psikologis

Perubahan psikologis juga menyertai pasien dalam kondisi terminal.

Perawat harus peka dan mengenali kecemasan yang terjadi pada pasien

terminal, harus bisa mengenali ekspresi wajah yang ditunjukan apakah

sedih, depresi, atau marah. Problem psikologis lain yang muncul pada

pasien terminal antara lain ketergantungan, kehilangan harga diri dan

harapan.

c. Faktor sosial

Perawat harus mengkaji bagaimana interaksi pasien selama kondisi

terminal, karena pada kondisi ini pasien cenderung menarik diri, mudah

tersinggung, tidak ingin berkomunikasi dan sering bertanya tentang

kondisi penyakitnya. Ketidakyakinan dan keputusasaan sering membawa


17

pada perilaku isolasi. Perawat harus bisa mengenali tanda klien

mengisolasi diri, sehingga klien dapat memberikan dukungan sosial bisa

dari teman dekat, kerabat atau keluarga terdekat untuk selalu menemani

klien.

d. Faktor spiritual

Perawat harus mengkaji bagaimana keyakinan klien akan proses kematian,

bagaimana sikap pasien menghadapi saat-saat terakhirnya. Apakah

semakin mendekatkan diri pada Tuhan atau semakin berontak akan

keadaannya. Perawat juga harus mengetahui disaat-saat seperti ini apakah

pasien mengharapkan tokoh agama untuk menemani disaat-saat

terakhirnya.

3. Diagnosa keperawatan

a. Ansietas (ketakutan individu, keluarga) yang berhubungan diperkirakan

dengan situasi yang tidak dikenal, sifat dan kondisi yang tidak dapat

diperkirakan takur akan kematian dan efek negatif pada gaya hidup.

b. Berduka yang berhubungan dengan penyakit terminal dan kematian yang

dihadapi, penurunan fungsi perubahan konsep diri dan menarik diri dari

orang lain.

c. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan gangguan

kehidupan keluarga, takut akan hasil (kematian) dengan lingkungannya

penuh dengan stres (tempat perawatan).


18

d. Resiko terhadap sidtres spiritual yang berhubungan dengan perpisahan dari

sistem pendukung keagamaan, kurang pripasi atau ketidak mampuan diri

dalam menghadapi ancaman kematian.


Daftar Pustaka

Parrot T Panagement In Primary-Care Medical Practice, In: Tollison CD,

Satterhwhaite JR, Tollison JW, eds. Practical Pain Management, 3rd ed.

Philadepia, PA: Lippiconcott Williams & Wikins. Ilmu. Prasetyo Nian

Sigit. (2010). Konsep dan Keperawatan Nyeri. Jakarta : Graha

Gunawan, Imam. Metode Penelitian Kualitatif Teori dan Praktik, Jakarta : Bumi

Aksara (2013)

iii

Anda mungkin juga menyukai