Anda di halaman 1dari 31

PAJAK DAERAH DAN

RETRIBUSI DAERAH

RATIH KUMALA, M.A.


rhaty07@gmail.com / 0812-9490-9022
SESI 8
PAJAK HOTEL &
PAJAK RESTORAN
3

Pajak Pusat vs Daerah


• Berdasarkan otoritas pemungutnya, pajak dapat
dibedakan menjadi : Pajak Pusat dan Pajak Daerah
• Pembedaan Pajak Pusat dan Pajak daerah umumnya
dilakukan untuk menentukan kewenangan pemungutan
pajak dan pemanfaatan/penggunaannya serta untuk
menghindari adanya pajak berganda.
• Pada umumnya, pajak yang sudah dipungut oleh
pemerintah pusat, tidak lagi dipungut oleh pemerintah
daerah, begitu juga sebaliknya.
• Dalam pemungutan PPN di Indonesia misalnya,
pemerintah pusat tidak menjadikan makanan dan
minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah
makan dan sejenisnya, karena menghindari pajak
berganda dengan Pajak Daerah.
Penggolongan Pajak Daerah
Secara umum, pajak daerah di Indonesia dapat
dikategorikan sebagai :
1. Pajak Tidak Langsung (indirect taxes)
2. Pajak Obyektif
3. Pajak Konsumsi

Penggolongan jenis pajak ini harus diperhatikan


agar tidak terjadi kesalahan antara lain dalam
mendesain, mengevaluasi dan menganalisis
kebijakan pajak daerah.
PAJAK LANGSUNG PAJAK TIDAK LANGSUNG 5
Dibebankan berdasarkan kemampuan membayar Dibebankan tanpa memperhatikan kondisi Wajib Pajak,
(ability to pay) Wajib Pajak. Artinya, kondisi Wajib seperti besarnya penghasilan dan jumlah tanggungan.
Pajak (individual circumstances) seperti besarnya Contohnya, cukai rokok dikenakan terhadap setiap orang
penghasilan dan jumlah tanggungan menjadi salah yang membeli rokok. PPN dikenakan kepada orang yang
satu faktor penentu besarnya beban pajak (tax menkonsumsi BKP.
burden)
Beban pajak tidak dapat dialihkan. Pemungutan pajak Beban pajak dapat dialihkan-seluruhnya atau sebagian-
langsung secara otomatis akan mengurangi Take kepada pihak lain. Bentuk pengalihan beban pajak ini
Home Pay Wajib Pajak. bisa Forward Shifting atau Backward Shifting.
This split depends upon the nature of the past and …tax on consumers is collected from businesses: it is
present administrative arrangements for assessment the indirect tax.
and collection of the tax. If the tax is actually Seperti Pajak Penjualan -atau Pajak Pertambahan Nilai
assessed on and collected from the individuals yang diterapkan di Indonesia- meskipun yang
who intended to bear it, it is called a direct tax. menanggung beban pajak adalah konsumen (jika
Jadi, pada umumnya yang menghitung, menyetorkan forward shifting), tetapi yang memungut, menyetorkan
dan melaporkan pajak yang terhutang adalah WP itu dan melaporkan pajak yang terhutang adalah PKP
sendiri. (dengan pertimbangan efficiency, dll)

Secara administratif, ada periodisasi pemungutan Bisa terhutang setiap saat. Misalnya pembeli BKP di
pajak (dibayar dan dilaporkan dalam satu periode Supermarket harus membayar PPN pada saat itu juga-
seperti Tahun).Hal ini sejalan dengan pengertian saat ia membeli barang. Begitu juga importir -harus
penghasilan yang menggunakan Accreation Concept. membayar Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN Impor,
Jadi tambahan kemampuan ekonomis tsb dihitung PPn BM dan PPh Pasal 22 pada saat mengimpor barang.
dalam suatu periode. Jadi tidak menunggu sampai akhir bulan atau akhir
tahun.

Ratih Kumala, M.A.


6

PAJAK SUBYEKTIF dan PAJAK OBYEKTIF

• Pajak subjektif adalah pajak yang


memperhatikan keadaan wajib pajak, yaitu
untuk menetapkan pajaknya harus ditemukan
alasan-alasan yang objektif yang berhubungan
erat dengan keadaan materialnya, yaitu yang
disebut dengan ability to-pay-nya. Besarnya
ability to-pay seseorang tidak hanya
berdasarkan faktor penghasilan, konsumsi atau
kekayaan, tetapi juga oleh faktor-faktor lain
yang mempengaruhinya, seperti jumlah
tanggungan dari Wajib Pajak.
7

Pajak Subjektif Pajak Objektif

Pajak yang Personlijk Pajak yang erat hubungannya


(bersifat Kepribadian) dengan objek pajak

Erat hubungannya
Besarnya jumlah pajak
dengan subjek yang
hanya tergantung kepada
dikenakan pajak
keadaan objek itu

Pajak
Subjektif Disebut juga pajak
bersifat kebendaan
(Zakelijk)

Keadaan WP (sep. keadaan


Contoh: Bea masuk, cukai tembakau,
tidak kawin, dengan anak
cukai premium, PPN, cukai T, BM,
bahkan usia lanjut WP dapat
PBI, PKB, dsb
mempengaruhi besarnya pajak
OBJEK PAJAK HOTEL
• Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan oleh
Hotel dengan pembayaran, termasuk jasa
penunjang sebagai kelengkapan Hotel yang sifatnya
memberikan kemudahan dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan. (Pasal 32 ayat 1)
• Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah fasilitas
telepon, faksimile, teleks, internet, fotokopi, pelayanan cuci,
seterika, transportasi, dan fasilitas sejenis lainnya yang disediakan
atau dikelola Hotel. (Pasal 32 ayat 2)
OBJEK PAJAK HOTEL
• Perda DKI : Fasilitas olahraga dan hiburan
antara lain; Pusat Kebugaran (Fitness Center),
Kolam renang, Tenis, Golf, Karaoke, Pub, Cafe,
Bar, Diskotik dan sejenisnya yang disediakan
atau dikelola oleh Hotel, untuk tamu hotel.
PERKECUALIAN
Tidak termasuk objek Pajak Hotel (Pasal 32 ayat 3) :
q jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh Pemerintah
atau Pemerintah Daerah;
q jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
q jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan keagamaan;
q jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti jompo,
panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
q jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang diselenggarakan
oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh umum.
Subjek Pajak & Wajib Pajak Hotel
• Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi
atau Badan yang melakukan pembayaran
kepada orang pribadi atau Badan yang
mengusahakan Hotel. (Pasal 33 ayat 1)
• Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau
Badan yang mengusahakan Hotel. (Pasal 33
ayat 2)
Tax Formula (1)
Tax Base : Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah
pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada Hotel.
Perda DKI No 11 Tahun 2010 Tentang Pajak Hotel
• Yang dimaksud dengan pembayaran atau
seharusnya dibayar adalah jumlah yang diterima
atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas penyerahan
jasa sebagai pembayaran.
Penyerahan jasa adalah pelayanan jasa yang diberikan
oleh hotel baik sendiri maupun kerjasama dengan pihak
lain.
Tax Formula (2)
• Contoh :
Pelayanan jasa transportasi yang disediakan hotel
bekerja sama dengan perusahaan transportasi
(taksi), dan hotel menerima pembayaran (bagian
dari pembayaran dari pelayanan jasa transportasi
tersebut).
• Tax Rate : Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). (Pasal 35
ayat 1)
• DKI à tarif Pajak Hotel 10%
PAJAK RESTORAN
OBJEK PAJAK RESTORAN (1)
q Merupakan Pajak Kabupaten/ Kota
q Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan oleh
Restoran. (Ayat 1 Pasal 37)
q Pelayanan yang disediakan meliputi: pelayanan penjualan makanan
dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli, baik dikonsumsi
di tempat pelayanan maupun ditempat lain.
q Tidak termasuk objek Pajak Restoran : pelayanan yang disediakan
oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak melebihi batas
tertentu (treshhold) yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
q Issue : Kebijakan besaran treshhold
SUBJEK PAJAK RESTORAN
Pasal 38 UU PDRD
• Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau
Badan yang membeli makanan dan/atau
minuman dari Restoran.
• Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau
Badan yang mengusahakan Restoran à WP
menurut KUP
Tax Formula
q Tax Base (Dasar Pengenaan Pajak) : Dasar pengenaan Pajak Restoran
adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang seharusnya
diterima Restoran. (Pasal 39)
q Yang dimaksud dengan ”YANG SEHARUSNYA DIBAYAR” adalah:
a)Service charge yang dibebankan kepada konsumen;
b)Potongan harga yang diberikan kepada konsumen.
q Tax Rate (Tarif Pajak Restoran) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
(sepuluh persen). (Pasal 40)
Tax Formula : Tax Base x Tax Rate (Pasal 41)
• Masa Pajak Restoran : Jangka Waktu yang lamanya sama dengan satu
bulan
• Bagian dari bulan dihitung satu bulan
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (1)
• JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak 2010 lalu, isu
mengenai pajak warung tegal ini ramai dibicarakan dan
terus menjadi perdebatan. Menanggapi hal ini, Dinas
Pelayanan Pajak DKI Jakarta menjelaskan bahwa yang
ada sesungguhnya adalah pajak restoran sebesar 10
persen dari omset penjualan yang berlaku mulai
Januari 2012 ini.
• Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan
Setiawandi, mengatakan bahwa sejak 29 Desember 2011
lalu Perda Pajak Restoran sudah diundangkan secara
resmi dengan Perda No. 11 tahun 2011, sehingga
pada tahun 2012 ini sudah mulai berlaku.
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (2)
• "Memang harus segera diundangkan menjadi
sebuah perda baru. Kalau tidak diundangkan
maka tidak ada dasar hukum untuk
memberlakukan pajak restoran di tahun
2012," kata Iwan ketika jumpa pers di Kantor
Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Jalan
Abdul Muis, Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2012).
• Sebelum perda ini dikeluarkan, awalnya ada
rapat untuk menentukan nilai batas tidak
kena pajak bagi sebuah restoran.
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (3)
• Angka batas tidak kena pajak yang
sebelumnya sempat diajukan dalam Raperda
Pajak Restoran adalah kurang dari Rp 60 juta
per tahun atau Rp 5 juta per bulan atau Rp
167.000 per hari.
• Namun setelah melalui berbagai pembahasan dengan
Badan Legislasi Daerah (Balegda) DPRD DKI
dan rapat kerja Komisi C DPRD DKI bersama
pihak eksekutif dan koperasi warteg
(Kowarteg) pada tahun 2011 lalu, angka yang
disepakati naik menjadi tiga kali lipat.
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (4)
• "Akhirnya ditetapkan batas minimal tidak
kena pajak kurang dari Rp 200 juta per
tahun atau Rp 16,6 juta per bulan atau Rp
550.000 per hari. Kami menyadari warteg
dikunjungi orang untuk kebutuhan hidup,"
pungkas Iwan
• (http://megapolitan.kompas.com/read/2012/02
/01/20285865/Mulai.Januari.2012.Pajak.Restor
an.Sudah.Berlaku diunduh Senin, 19 November
2012)
Presumptive Taxation
• Presumptive taxation involves the use of indirect means
to ascertain tax liability, which differ from the usual
rules based on the taxpayer's accounts.
• The term "presumptive" is used to indicate that there is a
legal presumption that the taxpayer's income is no less
than the amount resulting from application of the
indirect method.
• As discussed below, this presumption may or may not be
rebuttable. The concept covers a wide variety of
alternative means of determining the tax base, ranging
from methods of reconstructing income based on
administrative practice, which can be rebutted by the
taxpayer, to true minimum taxes with tax bases specified
in legislation. (Thuronyi, 1996)
Presumptive Taxation
• Presumptive techniques may be employed for a variety of reasons.
One is simplification, particularly in relation to the compliance
burden on taxpayers with very low turnover (and the corresponding
administrative burden of auditing such taxpayers).
• A second is to combat tax avoidance or evasion (which works only if
the indicators on which the presumption is based are more difficult
to hide than those forming the basis for accounting records).
• Third, by providing objective indicators for tax assessment,
presumptive methods may lead to a more equitable distribution of
the tax burden, when normal accounts-based methods are
unreliable because of problems of taxpayer compliance or
administrative corruption.
Presumptive Taxation
• Fourth, rebuttable presumptions can encourage taxpayers to keep
proper accounts, because they subject taxpayers to a possibly higher
tax burden in the absence of such accounts.
• Fifth, presumptions of the exclusive type (see below) can be
considered desirable because of their incentive effects—a taxpayer
who earns more income will not have to pay more tax. Finally,
presumptions that serve as minimum taxes may be justified by a
combination of reasons (revenue need, fairness concerns, and
political or technical difficulty in addressing certain problems
directly as opposed to doing so through a minimum tax).
Presumptive Taxation
The use of withholding taxes is sometimes discussed together with
presumptive techniques. Withholding taxes can also achieve the effect
of taxation based on an alternative simplified base.
Withholding is commonly used for the income tax and is usually based on
the gross amount of a payment. Withholding can also be imposed on
other bases, for example, on the amount of imported goods, with a
credit allowed against income tax.
The legal nature of withholding taxes is normally not the same as that of
presumptions, because taxpayers normally have the right to file a return
and receive a refund of excess amounts withheld. Therefore, although
there is some commonality between withholding and presumptive
techniques, the former is not considered in this chapter. If taxpayers are
not given the right to claim a refund, then the withholding tax is in
effect a minimum tax collected by withholding, which does not differ
conceptually from other minimum taxes.
Studi Kasus 1
Nusa dan Rara berkunjung ke salah satu Kedai Aquarium
Resto dan mereka telah memesan menu sebagai berikut:
• Nasi putih (2) Rp. 6.000
• Sop iga Rp.35.000
• Ayam Saus Tiram Rp.20.000
• Soto Mie Bogor Rp.16.000
• Air Mineral 600ml Rp. 5.000
• Ice Lemon Tea Rp.10.000

Hitunglah pajak restoran yang dibayar Nisa dan Rara


apabila kedai tersebut menetapkan biaya service sebesar
5% dengan ketentuan pajak restoran di daerah tersebut
sebesar 10%!
Penyelesaian (1)
Pesanan:
• Nasi putih (2 x Rp.6.000) Rp. 12.000
• Sop iga Rp. 35.000
• Ayam Saus Tiram Rp. 20.000
• Cah Kangkung Rp. 16.000
• Air Mineral 600ml Rp. 5.000
• Ice Lemon Tea Rp. 10.000
Jumlah Rp. 98.000

Biaya service (5% x Rp.98.000) Rp. 4.900


Total Rp.102.900
Penyelesaian (2)
• Maka, pajak terutangnya:
Pajak terutang = DPP x Tarif Pajak
= Rp.102.900 x 10%
= Rp.10.290

Jadi, pajak restoran yang harus di bayar Nusa dan


Rara ialah sebesar Rp.10.290, karena yang
menjadi dasar pengenaan pajak restoran yaitu
total keseluruhan setelah ditambah biaya service.
Studi Kasus 2
• Sebuah restoran menyediakan makanan dan
minuman di tempat, sekaligus melayani
pesanan. Berdasarkan laporan Perusahaan,
selama satu (1) bulan restoran tersebut
memperoleh pendapatan dari konsumen yang
makan di restorannya sebesar Rp.65.000.000,-
dan dari pesanan (dus) sebesar Rp.15.000.000,-.
Berapakah Pajak restoran yang harus dibayar
oleh restoran tersebut jika tarif pengenaan pajak
restoran sebesar 10%?
Penyelesaian
• Cara perhitungan pajak :

Pajak terutang = DPP (omzet) x Tarif pajak


= Rp.65.000.000 + Rp.15.000.000,-
= Rp.80.000.000,-

Maka, pajak restoran terutangnya sebesar:


= Rp.80.000.000,- x 10%
= Rp.8.000.000,-
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai