Anda di halaman 1dari 25

PAJAK HOTEL & PAJAK RESTORAN

TIM DOSEN PDRD


DIA FISIP UI
Pajak Pusat vs Daerah
 Berdasarkan otoritas pemungutnya, pajak dapat dibedakan
menjadi : Pajak Pusat dan Pajak Daerah
 Pembedaan Pajak Pusat dan Pajak daerah umumnya dilakukan
untuk menentukan kewenangan pemungutan pajak dan
pemanfaatan/penggunaannya serta untuk menghindari adanya
pajak berganda.
 Pada umumnya, pajak yang sudah dipungut oleh pemerintah
pusat, tidak lagi dipungut oleh pemerintah daerah, begitu juga
sebaliknya.
 Dalam pemungutan PPN di Indonesia misalnya, pemerintah
pusat tidak menjadikan makanan dan minuman yang disajikan
di hotel, restoran, rumah makan dan sejenisnya, karena
menghindari pajak berganda dengan Pajak Daerah.

2 Dr. Haula Rosdiana, M.Si.


Penggolongan Pajak Daerah
Secara umum, pajak daerah di Indonesia dapat
dikategorikan sebagai :
1. Pajak Tidak Langsung (indirect taxes)
2. Pajak Obyektif
3. Pajak Konsumsi

Penggolongan jenis pajak ini harus diperhatikan agar tidak


terjadi kesalahan antara lain dalam mendesain,
mengevaluasi dan menganalisis kebijakan pajak daerah.
PAJAK LANGSUNG PAJAK TIDAK LANGSUNG
Dibebankan berdasarkan kemampuan membayar Dibebankan tanpa memperhatikan kondisi Wajib Pajak,
(ability to pay) Wajib Pajak. Artinya, kondisi Wajib seperti besarnya penghasilan dan jumlah tanggungan.
Pajak (individual circumstances) seperti besarnya Contohnya, cukai rokok dikenakan terhadap setiap orang
penghasilan dan jumlah tanggungan menjadi salah yang membeli rokok. PPN dikenakan kepada orang yang
satu faktor penentu besarnya beban pajak (tax menkonsumsi BKP.
burden)
Beban pajak tidak dapat dialihkan. Pemungutan pajak Beban pajak dapat dialihkan-seluruhnya atau sebagian-
langsung secara otomatis akan mengurangi Take kepada pihak lain. Bentuk pengalihan beban pajak ini
Home Pay Wajib Pajak. bisa Forward Shifting atau Backward Shifting.
This split depends upon the nature of the past and …tax on consumers is collected from businesses: it is
present administrative arrangements for assessment the indirect tax.
and collection of the tax. If the tax is actually Seperti Pajak Penjualan -atau Pajak Pertambahan Nilai
assessed on and collected from the individuals yang diterapkan di Indonesia- meskipun yang
who intended to bear it, it is called a direct tax. menanggung beban pajak adalah konsumen (jika
Jadi, pada umumnya yang menghitung, menyetorkan forward shifting), tetapi yang memungut, menyetorkan
dan melaporkan pajak yang terhutang adalah WP itu dan melaporkan pajak yang terhutang adalah PKP
sendiri. (dengan pertimbangan efficiency, dll)

Secara administratif, ada periodisasi pemungutan Bisa terhutang setiap saat. Misalnya pembeli BKP di
pajak (dibayar dan dilaporkan dalam satu periode Supermarket harus membayar PPN pada saat itu juga-
seperti Tahun).Hal ini sejalan dengan pengertian saat ia membeli barang. Begitu juga importir -harus
penghasilan yang menggunakan Accreation Concept. membayar Bea Masuk, Bea Masuk Tambahan, PPN
Jadi tambahan kemampuan ekonomis tsb dihitung Impor, PPn BM dan PPh Pasal 22 pada saat mengimpor
dalam suatu periode. barang. Jadi tidak menunggu sampai akhir bulan atau
akhir tahun.

4 Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.


PAJAK SUBYEKTIF dan PAJAK OBYEKTIF
 Pajak subjektif adalah pajak yang memperhatikan
keadaan wajib pajak, yaitu untuk menetapkan
pajaknya harus ditemukan alasan-alasan yang objektif
yang berhubungan erat dengan keadaan materialnya,
yaitu yang disebut dengan ability to-pay-nya.
Besarnya ability to-pay seseorang tidak hanya
berdasarkan faktor penghasilan, konsumsi atau
kekayaan, tetapi juga oleh faktor-faktor lain yang
mempengaruhinya, seperti jumlah tanggungan dari
Wajib Pajak.

5 Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.


Pajak Subjektif Pajak Objektif

Pajak yang Personlijk Pajak yang erat hubungannya


(bersifat Kepribadian) dengan objek pajak

Erat hubungannya
Besarnya jumlah pajak
dengan subjek yang
hanya tergantung kepada
dikenakan pajak
keadaan objek itu

Pajak
Disebut juga pajak
Subjektif
bersifat kebendaan
(Zakelijk)

Keadaan WP (sep. keadaan


Contoh: Bea masuk, cukai tembakau,
tidak kawin, dengan anak
cukai premium, PPN, cukai T, BM,
bahkan usia lanjut WP dapat
PBI, PKB, dsb
mempengaruhi besarnya pajak

6 Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si.


OBJEK PAJAK HOTEL
 Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang
disediakan oleh Hotel dengan pembayaran,
termasuk jasa penunjang sebagai kelengkapan
Hotel yang sifatnya memberikan kemudahan dan
kenyamanan, termasuk fasilitas olahraga dan hiburan.
(Pasal 32 ayat 1)
 Jasa penunjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
adalah fasilitas telepon, faksimile, teleks, internet,
fotokopi, pelayanan cuci, seterika, transportasi, dan
fasilitas sejenis lainnya yang disediakan atau dikelola
Hotel. (Pasal 32 ayat 2)
OBJEK PAJAK HOTEL
 Perda DKI : Fasilitas olahraga dan hiburan antara lain;
Pusat Kebugaran (Fitness Center), Kolam renang, Tenis,
Golf, Karaoke, Pub, Cafe, Bar, Diskotik dan sejenisnya
yang disediakan atau dikelola oleh Hotel, untuk tamu
hotel.
PERKECUALIAN
Tidak termasuk objek Pajak Hotel (Pasal 32 ayat 3) :
 jasa tempat tinggal asrama yang diselenggarakan oleh
Pemerintah atau Pemerintah Daerah;
 jasa sewa apartemen, kondominium, dan sejenisnya;
 jasa tempat tinggal di pusat pendidikan atau kegiatan
keagamaan;
 jasa tempat tinggal di rumah sakit, asrama perawat, panti
jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya yang sejenis; dan
 jasa biro perjalanan atau perjalanan wisata yang
diselenggarakan oleh Hotel yang dapat dimanfaatkan oleh
umum.
Subjek Pajak & Wajib Pajak Hotel
 Subjek Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan
yang melakukan pembayaran kepada orang
pribadi atau Badan yang mengusahakan Hotel. (Pasal 33
ayat 1)
 Wajib Pajak Hotel adalah orang pribadi atau Badan
yang mengusahakan Hotel. (Pasal 33 ayat 2)
Tax Formula (1)
Tax Base : Dasar pengenaan Pajak Hotel adalah jumlah
pembayaran atau yang seharusnya dibayar kepada
Hotel.
Perda DKI No 11 Tahun 2010 Tentang Pajak Hotel
 Yang dimaksud dengan pembayaran atau
seharusnya dibayar adalah jumlah yang diterima
atau seharusnya diterima sebagai imbalan atas
penyerahan jasa sebagai pembayaran.
Penyerahan jasa adalah pelayanan jasa yang diberikan
oleh hotel baik sendiri maupun kerjasama dengan pihak
lain.
Tax Formula (2)
 Contoh :
Pelayanan jasa transportasi yang disediakan hotel bekerja
sama dengan perusahaan transportasi (taksi), dan hotel
menerima pembayaran (bagian dari pembayaran dari
pelayanan jasa transportasi tersebut).
 Tax Rate : Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling
tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). (Pasal 35 ayat
1)
 DKI  tarif Pajak Hotel 10%
PAJAK RESTORAN
OBJEK PAJAK RESTORAN (1)
 Merupakan Pajak Kabupaten/ Kota
 Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan
oleh Restoran. (Ayat 1 Pasal 37)
 Pelayanan yang disediakan meliputi: pelayanan penjualan
makanan dan/atau minuman yang dikonsumsi oleh pembeli,
baik dikonsumsi di tempat pelayanan maupun ditempat lain.
 Tidak termasuk objek Pajak Restoran : pelayanan yang
disediakan oleh Restoran yang nilai penjualannya tidak
melebihi batas tertentu (treshhold) yang ditetapkan
dengan Peraturan Daerah.
 Issue : Kebijakan besaran treshhold
SUBJEK PAJAK RESTORAN
Pasal 38 UU PDRD
 Subjek Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan
yang membeli makanan dan/atau minuman dari Restoran.
 Wajib Pajak Restoran adalah orang pribadi atau Badan
yang mengusahakan Restoran  WP menurut KUP
Tax Formula
 Tax Base (Dasar Pengenaan Pajak) : Dasar pengenaan Pajak
Restoran adalah jumlah pembayaran yang diterima atau yang
seharusnya diterima Restoran. (Pasal 39)
 Yang dimaksud dengan ”YANG SEHARUSNYA DIBAYAR”
adalah:
a) Service charge yang dibebankan kepada konsumen;
b) Potongan harga yang diberikan kepada konsumen.
 Tax Rate (Tarif Pajak Restoran) ditetapkan paling tinggi sebesar
10% (sepuluh persen). (Pasal 40)
Tax Formula : Tax Base x Tax Rate (Pasal 41)
 Masa Pajak Restoran : Jangka Waktu yang lamanya sama dengan
satu bulan
 Bagian dari bulan dihitung satu bulan
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (1)
 JAKARTA, KOMPAS.com - Sejak 2010 lalu, isu
mengenai pajak warung tegal ini ramai dibicarakan dan
terus menjadi perdebatan. Menanggapi hal ini, Dinas
Pelayanan Pajak DKI Jakarta menjelaskan bahwa yang
ada sesungguhnya adalah pajak restoran sebesar 10
persen dari omset penjualan yang berlaku mulai
Januari 2012 ini.
 Kepala Dinas Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Iwan
Setiawandi, mengatakan bahwa sejak 29 Desember 2011
lalu Perda Pajak Restoran sudah diundangkan secara
resmi dengan Perda No. 11 tahun 2011, sehingga pada
tahun 2012 ini sudah mulai berlaku.
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (2)
 "Memang harus segera diundangkan menjadi
sebuah perda baru. Kalau tidak diundangkan
maka tidak ada dasar hukum untuk
memberlakukan pajak restoran di tahun 2012,"
kata Iwan ketika jumpa pers di Kantor Dinas
Pelayanan Pajak DKI Jakarta, Jalan Abdul Muis,
Jakarta Pusat, Rabu (1/2/2012).
 Sebelum perda ini dikeluarkan, awalnya ada
rapat untuk menentukan nilai batas tidak kena
pajak bagi sebuah restoran.
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (3)
 Angka batas tidak kena pajak yang sebelumnya
sempat diajukan dalam Raperda Pajak
Restoran adalah kurang dari Rp 60 juta per
tahun atau Rp 5 juta per bulan atau Rp 167.000
per hari.
 Namun setelah melalui berbagai pembahasan
dengan Badan Legislasi Daerah (Balegda)
DPRD DKI dan rapat kerja Komisi C DPRD
DKI bersama pihak eksekutif dan koperasi
warteg (Kowarteg) pada tahun 2011 lalu, angka
yang disepakati naik menjadi tiga kali lipat.
Kasus Pajak Restoran DKI Jakarta (4)
 "Akhirnya ditetapkan batas minimal tidak kena pajak
kurang dari Rp 200 juta per tahun atau Rp 16,6 juta
per bulan atau Rp 550.000 per hari. Kami menyadari
warteg dikunjungi orang untuk kebutuhan hidup,"
pungkas Iwan
 (
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/02/01/2028586
5/Mulai.Januari.2012.Pajak.Restoran.Sudah.Berlaku
diunduh Senin, 19 November 2012)
Presumptive Taxation
 Presumptive taxation involves the use of indirect means to
ascertain tax liability, which differ from the usual rules based
on the taxpayer's accounts.
 The term "presumptive" is used to indicate that there is a
legal presumption that the taxpayer's income is no less than
the amount resulting from application of the indirect method.
 As discussed below, this presumption may or may not be
rebuttable. The concept covers a wide variety of alternative
means of determining the tax base, ranging from methods of
reconstructing income based on administrative practice,
which can be rebutted by the taxpayer, to true minimum taxes
with tax bases specified in legislation. (Thuronyi, 1996)
Presumptive Taxation
 Presumptive techniques may be employed for a variety of
reasons. One is simplification, particularly in relation to the
compliance burden on taxpayers with very low turnover (and the
corresponding administrative burden of auditing such taxpayers).
 A second is to combat tax avoidance or evasion (which works
only if the indicators on which the presumption is based are more
difficult to hide than those forming the basis for accounting
records).
 Third, by providing objective indicators for tax assessment,
presumptive methods may lead to a more equitable distribution
of the tax burden, when normal accounts-based methods are
unreliable because of problems of taxpayer compliance or
administrative corruption.
Presumptive Taxation
 Fourth, rebuttable presumptions can encourage taxpayers to
keep proper accounts, because they subject taxpayers to a
possibly higher tax burden in the absence of such accounts.
 Fifth, presumptions of the exclusive type (see below) can be
considered desirable because of their incentive effects—a
taxpayer who earns more income will not have to pay more
tax. Finally, presumptions that serve as minimum taxes may
be justified by a combination of reasons (revenue need,
fairness concerns, and political or technical difficulty in
addressing certain problems directly as opposed to doing so
through a minimum tax).
Presumptive Taxation
The use of withholding taxes is sometimes discussed together with
presumptive techniques. Withholding taxes can also achieve the effect of
taxation based on an alternative simplified base.
Withholding is commonly used for the income tax and is usually based on
the gross amount of a payment. Withholding can also be imposed on other
bases, for example, on the amount of imported goods, with a credit
allowed against income tax.
The legal nature of withholding taxes is normally not the same as that of
presumptions, because taxpayers normally have the right to file a return
and receive a refund of excess amounts withheld. Therefore, although
there is some commonality between withholding and presumptive
techniques, the former is not considered in this chapter. If taxpayers are
not given the right to claim a refund, then the withholding tax is in effect a
minimum tax collected by withholding, which does not differ
conceptually from other minimum taxes.
Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai