Anda di halaman 1dari 10

Pengaruh Pajak Dalam Investasi

Muhammad Na'im Amali

Pajak menurut Rochmat Soemitro (1998) merupakan iuran rakyat untuk mengisi kas
negara berdasarkan undang-undang, yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat jasa timbal
balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Pengertian pajak dikemukakan pula oleh H.J. Hofstra seperti dikutip oleh Ahmadi (2006), yaitu
sumbangan paksaan dari rumah tangga (keuangan) swasta kepada penguasa, yang tidak
mempunyai jasa timbal pribadi secara langsung, dari pihak pemerintah, dan yang dipungut
berdasarkan peraturan umum, lain daripada sebagai hukuman karena melanggar hukum pidana.
Selaras dengan konsep tersebut, pajak menurut Adriani sebagaimana dikutip oleh Brotodiharjo
(1993), merupakan iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya menurut peraturan-peraturan dengan tidak mendapat prestasi kembali yang
langsung dapat ditunjuk, yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubung
tugas negara menyelenggarakan pemerintahan. Sementara itu, konsep pajak menurut
Sommerfeld (1969) adalah “A tax can be defined meaningfully as any nonpenal yet compulsory
transfer of resources from the private to the public sector, levied on the basis of predetermined
criteria and without receipt of a specific benefit of equal value, in order to accomplish some of
nation’s economic and social objectives.”
Klasifikasi pajak dapat dibedakan berdasarkan institusi yang berwenang melakukan
pemungutan, yaitu pajak pusat jika yang wewenang untuk melakukan pemungutan adalah
pemerintah pusat, dan pajak daerah jika yang berwenang pemerintah daerah. Pembedaan
kewenangan tersebut pada umumnya dilakukan untuk menghindari adanya pemungutan pajak
berganda. Sedangkan secara administratif pungutan pajak dapat dikelompokkan menjadi pajak
langsung (direct tax) dan pajak tidak langsung (indirect tax). Perbedaan antara kedua jenis pajak
dapat dilihat dalam tabel berikut yang dikutip dari Rosdiana dan Tarigan (2005).
Pajak Langsung Pajak Tidak Langsung
Dibebankan berdasarkan kemampuan Dibebankan tanpa memperhatikan kondisi
membayar (ability to pay) Wajib Pajak. Wajib Pajak, seperti besarnya penghasilan dan
Artinya, kondisi Wajib Pajak (individual jumlah tanggungan. Contohnya cukai rokok
circumstances) seperti besarnya penghasilan dikenakan terhadap setiap orang yang
dan jumlah tanggungan menjadi salah satu membeli rokok. PPN dikenakan kepada orang
faktor penentu besarnya beban pajak (tax yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak.
burden).
Beban pajak tidak dapat dialihkan. Beban pajak dapat dialihkan, seluruhnya atau
Pemungutan pajak langsung secara otomatis sebagian kepada pihak lain. Bentuk pengalihan
akan mengurangi Take Home Pay Wajib Pajak beban pajak ini bisa Forward
Shifting atau Backward Shifting.
This split depends upon the nature of the past … tax on consumers is collected from
and present administrative arrangements for businesses: it is the indirect tax.
assessment and collection of the tax. If the tax Seperti pajak penjualan atau Pajak
is actually assessed on and collected from the Pertambahan Nilai yang diterapkan di
individuals who intended to bear it, it is called Indonesia meskipun yang menanggung beban
a direct tax. pajak adalah konsumen (jikaforward shifting),
Jadi pada umumnya yang menghitung, tetapi yang memungut, menyetorkan dan
menyetorkan dan melaporkan pajak yang melaporkan pajak yang terutang adalah
terutang adalah Wajib Pajak itu sendiri. Pengusaha Kena Pajak.
Secara administratif, ada periodisasi Bisa terutang setiap saat. Misalnya pembeli
pemungutan pajak (dibayar dan dilaporkan BKP di Supermarket harus membayar PPN
dalam satu periode seperti tahun) pada saat itu juga, saat ia membeli barang.
Begitu juga importir harus membayar bea
Masuk, PPN Impor, PPn BM dan PPh Pasal 22
pada saat mengimpor barang. Jadi, tidak
menunggu sampai akhir bulan atau akhir
tahun.

Dari aliran sumber daya (flows of resources) pajak dapat dipungut dari aliran masuknya
(income) atau aliran keluarnya sumber daya (expenditure). Smith & Skousen sebagaimana
dikutip oleh Suandy (2003) mengemukakan bahwa pajak langsung dikenakan atas masuknya
aliran sumber daya, yaitu penghasilan, sedangkan beban pajak tidak langsung dikenakan
terhadap keluarnya sumber daya seperti pengeluaran untuk konsumsi atas barang atau jasa.
Beban pajak (tax incidence) langsung umumnya ditanggung oleh orang atau badan yang
menerima atau memperoleh penghasilan, sedangkan beban pajak tidak langsung ditanggung
oleh masyarakat. Bagi perusahaan, pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diterima
atau diperoleh dapat dianggap sebagai biaya atau beban (expense) dalam menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan maupun distribusi laba kepada pemerintah.
Pajak merupakan salah satu faktor penting bagi investor dalam menentukan keputusan
untuk berinvestasi pada suatu negara. Secara teori, pajak mempengaruhi keputusan investasi
sepanjang pengenaan pajak tersebut mempengaruhi besarnya biaya dan keuntungan yang
diperoleh investor. Berdasarkan beberapa hasil penelitian, seperti yang dikutip oleh Alex Easson
diketahui bahwa pajak memberikan pengaruh sebagai berikut:

1. Pajak hanya memainkan bagian kecil dalam menentukan keputusan pertama


untuk melakukan investasi ke luar negeri. Apabila besarnya pajak, terutama pajak
penghasilan badan (corporate income tax) di negara investor lebih besar, maka
perusahaan akan tergerak untuk melakukan investasi ke luar negeri dimana besarnya
pajak efektif lebih rendah. Sedangkan besarnya pajak penghasilan orang pribadi
(personal income tax) di negara investor akan menaikkan biaya tenaga kerja, sehingga
biaya produksi di negara investor menjadi lebih besar. Oleh karena itu, perusahaan akan
mengalihkan kegiatan produksinya di negara yang tarif pajaknya lebih rendah dan biaya
tenaga kerjanya lebih rendah.
2. Pajak berpengaruh dalam menentukan lokasi tempat investasi. Peranan pajak
dalam menentukan lokasi tempat investasi relatif lebih kecil daripada faktor stabilitas
politik dan akses pasar.
3. Pajak mempunyai pengaruh yang penting pada jenis investasi tipe tertentu. Tipe
investasi yang berorientasi ekspor sangat sensitif dengan pengaruh faktor biaya,
sehingga pajak yang merupakan tambahan biaya mempunyai pengaruh penting dalam
menentukan keputusan melakukan investasi. Sedangkan tipe investasi yang berorientasi
pada akses pasar kurang sensitif dengan pengaruh pajak
sepanjangkompetitor dikenakan ketentuan pajak yang sama.
4. Perkembangan pentingnya pengaruh pajak. Hasil penelitian yang dilakukan
sebelum tahun 1990 menyatakan bahwa pajak hanya memberikan pengaruh yang kecil
terhadap keputusan investasi. Penelitian pada akhir-akhir ini mengungkapkan bahwa
pengaruh pajak menjadi lebih penting. Bagi perusahaan manufaktur, pajak dianggap
sebagai faktor yang sensitif dalam menentukan lokasi penempatan modal.

Berkaitan dengan transaksi internasional, jenis pajak yang umum dikenakan atas
transaksi tersebut adalah:
a. Pajak atas penghasilan dan modal (taxes on income and capital). Negara host countrysebagai
tempat investasi secara umum mengenakan pajak atas penghasilan dan modal yang didasarkan
pada resident dari wajib pajak atau sumber penghasilan dan tempat keberadaan dari modal
tersebut. Ketentuan umumnya adalah sebagai berikut:

 Wajib Pajak sebagai residents dikenakan pajak atas penghasilan dari seluruh dunia
(World Wide Income).
 Wajib Pajak sebagai non residents dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber
dari negara sumber saja (host country) atau atas modal yang berada di dalam negara host
country.

b. Pajak atas barang dan jasa (taxes on goods and services). Prinsip umum yang dianut dalam
pengenaan pajak atas barang dan jasa adalah destination principle, yaitu pajak dikenakan di
tempat barang atau jasa tersebut dikonsumsi atau dipergunakan. Hal tersebut selaras dengan
ketentuan dalam persetujuan WTO dan GATT serta seiring dengan semakin luasnya
penerapan Value Added Tax (VAT) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Sumber referensi:

1. Ahmadi, Wiratni (2006). Perlindungan Hukum Bagi Wajib Pajak Dalam Penyelesaian
Sengketa Pajak, B
2. R. Soemitro (1998). Azas dan Dasar Perpajakan I, Bandung: Refika Aditama.
3. andung: Refika Aditama.
4. R. Santoso Brotodiharjo (1993). Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Bandung: Eresco N.V.
5. Ray M. Sommerfeld, Hershel M Anderson dan Horace R. Brock (1969). An Introduction to
Taxation, New York.
6. Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan (2005). Perpajakan, Teori dan Aplikasi Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
7. Erly Suandy (2003). Perencanaan Pajak, Jakarta: Salemba Empat.
II. TINJAUAN PUSTAKA DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

1. Tinjauan Pustaka
A. The Trade Off Model
Teori ini menjelaskan adanya hubungan antara pajak, resiko kebangkrutan, dan penggunaan hutang
yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan. Teori ini merupakan
keseimbangan antara keuntungan dan kerugian atas penggunaan hutang, dimana dalam keadaan
pajak nilai perusahaan akan naik minimal dengan biaya modal minimal. Asumsi dasar yang
digunakan dalam trade off adanya informasi asimetri yang menjelaskan keputusan struktur modal
yang diambil oleh suatu perusahaan, yaitu adanya informasi yang dimiliki oleh pihak manajemen
suatu perusahaan dimana perusahaan dapat menyampaikan informasi kepada publik.
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 9 (2013)
Trade off berasumsi bahwa struktur modal suatu perusahaan ditentukan dengan mempertimbangkan
manfaat pengurangan pajak ketika hutang meningkat di satu sisi dan meningkatnya agency cost
(biaya agensi) ketika hutang meningkat pada sisi yang lain. Ketika manfaat pengurangan pajak masih
lebih tinggi dibandingkan dengan perkiraan agency cost maka perusahaan masih bisa meningkatkan
hutangnya dan peningkatan hutang harus dihentikan ketika pengurangan pajak atas tambahan hutang
tersebut sudah lebih rendah dibandingkan dengan peningkatan agency cost. Trade off theory ini juga
dikenal sebagai balanced theory sebagai penyeimbang manfaat dan pengorbanan yang timbul sebagai
akibat penggunaan hutang.
Pecking Order Theory
Teori ini pertama kali dikenalkan oleh Donaldson pada tahun 1961 sedangkan penamaan Pecking
Order Theory dilakukan oleh Myers (1983). Dalam Pecking Order Theory manajer konsisten dengan
tujuan utama perusahaan yaitu memakmurkan kekayaan pemegang saham. Pada Pecking Order
Theory mengatakan bahwa perusahaan lebih cenderung memilih pendanaan yang berasal dari internal
dari pada eksternal perusahaan. Penggunaan sumber pendanaan eksternal oleh perusahaan dilakukan
apabila sumber internal tidak mencukupi.
Urut-urutan yang dikemukakan oleh teori ini dalam hal pendanaan yaitu laba ditahan, hutang, hutang
obligasi dan saham preferen serta yang terakhir adalah penerbitan saham biasa. Pemilihan urutan
pendanaan ini menunjukkan bahwa pendanaan ini didasarkan oleh tingkat resiko atas keputusan
untuk menggunakan pendanaan tersebut. Pemilihan ini juga dikaitkan dengan biaya atas sumber
pendanaan dari mulai yang termurah hingga yang termahal.
Investment Opportunity Set (IOS)
Istilah Investment Opportunity Set (IOS) pertama kali diperkenalkan oleh Myers (1977) yang
menyatakan bahwa perusahaan merupakan kombinasi antara assets in place (tangible assets) dan
investment opportunities (intangible assets). Kombinasi keduanya dapat mempengaruhi struktur
modal perusahaan dan nilai perusahaan. Menurut Gaver (dalam Hasnawati, 2005) IOS merupakan
nilai perusahaan yang besarnya tergantung pada pengeluaran-pengeluaran yang ditetapkan
manajemen di masa yang akan datang, di mana pada saat ini merupakan pilihan-pilihan investasi
yang diharapkan akan mengahasilkan return yang lebih besar.
Menurut Jensen (1986) menyatakan bahwa perusahaan dengan investment opportunity yang tinggi,
biasanya memiliki tingkat pertumbuhan yang tinggi (high growth), aktif melakukan investasi,
memiliki free cash flow yang rendah. Pada perusahaan yang memiliki investment opportunity yang
tinggi dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi dan masih aktif melakukan kegiatan investasi, maka
cash
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 9 (2013) Page 6
flow yang diperoleh masih akan tetap memberikan keuntungan bila diinvestasikan kembali ke dalam
perusahaan.
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honor/honorarium,
upah, tunjangan dan pembayaran lain yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, jabatan dan kegiatan (Godam, 2007). Pendapat lain
dinyatakan oleh Harnanto yaitu “pajak penghasilan adalah pajak yang dihitung berdasarkan peraturan
perpajakan atas penghasilan kena pajak”. Lain halnya dikemukan Arsasi tentang pajak penghasilan
yaitu “pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima dalam tahun
pajak”. Musgrave dalam bukunya Public Finance in Theory and Practice (1984) menyebutkan tujuan
kebijakan pemajakan meliputi tiga aspek yaitu (a) alokasi, (b) distribusi, dan (c) stabilisasi (Gunadi,
1997).
- Earning After Tax (EAT)

Pengaruh pajak penghasilan diproksikan dalam laba sesudah pajak (Earning After Tax). Earning
After Tax (EAT) disebut sebagai faktor pajak karena sudah mencakup manfaat hutang sebagai
pengurang beban pajak berdasarkan penelitian Modigliani Miller (dalam Purnamasari, 2009).
- Earning Before Interest and Tax (EBIT)

EBIT diproksikan dengan faktor non pajak berdasarkan penelitian Graham et al. (1998) yang
menunjukkan bahwa dampak pajak atas keputusan pendanaan masa lalu, dapat dihilangkan dengan
menggunakan variabel before financing tax (didasarkan pada EBIT).
2. Pengembangan dan Perumusan Hipotesis

a. Keputusan Investasi

Penghasilan dari modal merupakan salah satu objek pajak. Menurut Malkiel (dalam Opriani, 2008)
yang dimaksud dengan investasi adalah: “Method of purchasing asset in order to gain profit in the
form of reasonably predictable income (dividen, interest, or rentals) and/or appreciation over the
long term.” Seperti yang telah dijabarkan diatas bahwa investasi adalah sejumlah hasil penanaman
dana dalam jumlah tertentu yang sangat ditentukan oleh kemampuan memprediksi masa depan.
Pengertian tersebut selanjutnya dipertajam oleh Sunariyah (2003): “Investasi adalah penanaman
modal untuk satu atau lebih aktiva yang dimiliki dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan
mendapatkan keuntungan di masa-masa yang akan datang.”
Menurut Amling (dalam Opriani, 2008) dalam proses investasi selalu ada ketidakpastian yang dapat
mereduksi nilai aset yang kita miliki yaitu resiko. Makin
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 9 (2013) Page 7
besar investasi yang kita tanamkan, makin besar resiko yang akan kita hadapi. Keputusan investasi
tidak dapat diobservasi secara langsung, sehingga dalam perhitungannya digunakan proksi Price
Earning Ratio (PER). Price Earning Ratio atau yang lebih sering dikenal sebagai rasio harga laba
adalah suatu ukuran dari potensi pertumbuhan, stabilitas pendapatan, dan kemampuan manajemen
dihitung dengan membagi harga per saham dengan pendapatan per saham.
Warno (2005) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pajak penghasilan tidak memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap keputusan investasi perusahaan. Hal senada juga dikemukakan
oleh Tjai Fung Njit (2006) yang menemukan bahwa pajak penghasilan tidak berpengaruh signifikan
terhadap kebijakan investasi. Menurut Tjai Fung Njit banyaknya faktor lain seperti ketersediaan
sarana dan prasarana, kepastian hukum, keamanan, stabilitas ekonomi, serta tersedianya sumber daya
alam dan manusia yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi, hal itulah yang menjadi
pertimbangan perusahaan dalam melakukan investasi. Penelitian lain dilakukan oleh Hidayat (2010)
dan Kholid (2006) yang menyatakan bahwa beberapa faktor non pajak seperti likuiditas dan
pertumbuhan penjualan berpengaruh terhadap keputusan investasi.
Berdasarkan uraian diatas, maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:
H1a :Faktor pajak (EAT) berpengaruh negatif terhadap keputusan investasi.
H1b :Faktor non pajak (EBIT) berpengaruh positif terhadap keputusan investasi.
b. Kebijakan Hutang

Modigliani dan Miller (1958) pada artikelnya yang berjudul The Cost of Capital, Corporation
Finance, and the Theory of Investment menunjukkan bahwa nilai suatu perusahaan akan meningkat
dengan meningkatnya DER karena adanya efek dari corporate tax shield. Hal ini disebabkan karena
dalam keadaan pasar sempurna dan ada pajak, pada umumnya bunga yang dibayarkan akibat
penggunaan hutang dapat dipergunakan untuk mengurangi penghasilan kena pajak atau dengan kata
lain disebut tax deductible. Dengan demikian, apabila ada dua laba perusahaan yang memperoleh
laba operasi yang sama tetapi perusahaan yang satu menggunakan hutang dan membayar bunga
sedangkan perusahaan yang lain tidak, maka perusahaan yang membayar bunga akan membayar
pajak penghasilan yang lebih kecil. Karena menghemat membayar pajak merupakan manfaat bagi
pemilik perusahaan, maka nilai perusahaan yang menggunakan hutang akan lebih besar daripada
nilai perusahaan yang tidak menggunakan hutang.
Kebijakan hutang dalam perhitungannya menggunakan proksi Debt to Equity Ratio (DER). DER
membandingkan besarnya proporsi antara total debt (total hutang) dan total shareholder’s equity
(total modal sendiri). Rasio ini mengukur seberapa jauh perusahaan dibiayai oleh hutang, dimana
semakin tinggi nilai rasio ini maka
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 9 (2013) Page 8
menggambarkan gejala yang kurang baik bagi perusahaan. Peningkatan hutang pada gilirannya akan
mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividen
yang diterima karena kewajiban untuk membayar hutang lebih diutamakan daripada pembagian
dividen.
Barclay dan Smith (1995) dalam penelitiannya tidak menemukan hubungan dan pengaruh signifikan
pajak (corporate tax) dengan hutang (leverage). Purnamasari (2009) dalam penelitiannya
menemukan bahwa faktor pajak berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan hutang. Hal yang
berbeda ditemukan oleh Tirsono (2008), Sunarsih (2004), dan Graham, Lemmon, Schallheim (1997)
yang menyatakan bahwa faktor pajak berpengaruh signifikan positif terhadap kebijakan hutang
perusahaan.
Berdasarkan uraian diatas, maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:
H2a : Faktor pajak (EAT) berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang.
H2b : Faktor non pajak (EBIT) berpengaruh positif terhadap kebijakan hutang.
c. Kebijakan Dividen

Miller (1977) mengemukakan bahwa investor diharuskan membayar pajak individual atas
penghasilannya yang berupa dividen. Barclay et, al. (1995) berpendapat bahwa penambahan jumlah
hutang disisi perusahaan akan berdampak pada menurunnya tingkat pajak, namun demikian hal ini
mengabaikan posisi investor. Kondisi ini terjadi karena penggunaan hutang sebagai pendanaan
mengakibatkan perusahaan tidak lagi menahan laba untuk kepentingan investasi, tetapi membagikan
seluruh laba tersebut sebagai dividen. Dampaknya adalah meningkatnya equity income berupa
dividen, dan mengharuskan investor untuk membayar pajak individual yang semakin tinggi.
Kebijakan dividen dalam perhitungannya menggunakan proksi Devidend Payout Ratio (DPR).
Kebijakan dividen merupakan penentuan porsi keuntungan yang akan dibagikan kepada para
pemegang saham, dan yang akan ditahan sebagai bagian dari laba ditahan. Rasio pembayaran dividen
adalah persentase laba yang dibayarkan kepada para pemegang saham dalam bentuk kas. DPR
membandingkan besarnya proporsi antara dividend per share (DPS) dan earning per share (EPS).
Kebijakan dividen yang optimal adalah kebijakan dividen yang menciptakan keseimbangan diantara
dividen saat ini dan pertumbuhan di masa mendatang sehingga dapat memaksimumkan harga saham
perusahaan.
Chang et, al. (dalam Wikanaji, 2005) melalui penelitian empiriknya menemukan bahwa pajak
individual mempengaruhi kebijakan hutang dan kebijakan dividen secara simultan. Hal serupa juga
diungkapkan oleh Litzenberger & Ramaswamy (1982) yang mengatakan, bahwa selama dividen
memiliki tarif pajak yang tinggi bagi investor dibandingkan dengan capital gain, maka tingginya
dividen menjadikan tingginya expected personal tax liabilities, sehingga investor
Jurnal Ilmu & Riset Akuntansi Vol. 2 No. 9 (2013) Page 9
mensyaratkan tingginya expected return sebelum pajak. Wikanaji (2005) dan Natalie (2008) dalam
penelitiannya menemukan bahwa pajak penghasilan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi kebijakan dividen perusahaan. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Purnamasari
(2009) menemukan bahwa faktor pajak berpengaruh signifikan negatif terhadap kebijakan dividen.
Berdasarkan uraian diatas, maka dibuatlah hipotesis sebagai berikut:
H3a : Faktor pajak (EAT) berpengaruh negatif terhadap kebijakan dividen.
H3b : Faktor non pajak (EBIT) berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen
Kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
H1a
H2a
H3a
H1b
H2b
H3b
Gambar 1
Kerangka Konseptual Pengaruh Faktor Pajak terhadap Kebijakan Keuangan pada Perusahaan
Manufaktur

Anda mungkin juga menyukai