Anda di halaman 1dari 47

TUGAS MEMBACA

SYOK

Pembimbing:

Dr. Dian Novita, Sp.aAn

Penyusun:

Christy Yoshida Gultom 030.15.049

Nanda Lisisina 030.15.130

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH

PERIODE 10 FEBRUARI – 13 MARET 2020

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

1
1. Syok
1.1 Definisi Syok

Syok merupakan keadaan darurat yang disebabkan oleh kegagalan perfusi


darah ke jaringan, sehingga mengakibatkan gangguan metabolisme sel.
Kematian karena syok terjadi bila keadaan ini menyebabkan gangguan nutrisi
dan metabolisme sel. Terapi syok bertujuan memperbaiki gangguan fisiologik
dan menghilangkan faktor penyebab. Syok didefinisikan juga sebagai volume
darah sirkulasi tidak adekuat yang mengurangi   p e r f u s i , pertama pada
j a r i n g a n n o n v i t a l ( k u l i t , j a r i n g a n i k a t , t u l a n g , o t o t ) d a n kemudian ke
organ vital (otak, jantung, paru- paru, dan ginjal). Syok atau renjatan
merupakan suatu keadaan patofisiologis dinamik yang mengakibatkan
h i p o k s i a  jaringan dan sel.

1.2 Etiologi dan klasifikasi


1. Syok hipovolemik, syok yang disebabkan karena tubuh kehilangan darah/syok hemoragik.
Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal. Hemoragik internal :
hematoma, hematotoraks Kehilangan plasma : luka bakar  Kehilangan cairan dan
elektrolit. Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebih. Internal : asites, obstruksi
usus
2. Syok kardiogenik, kegagalan kerja jantung. Gangguan perfusi jaringan yang disebabkan
karena disfungsi jantung misalnya : aritmia, AMI (Infark MiokardAkut)
3. Syok septik, terjadi karena penyebaran atau invasi kuman dan toksinnya didalam tubuh
yang berakibat vasodilatasi.
4. Syok anafilaktif, gangguan perfusi jaringan akibat adanya reaksi antigen
antibody yang mengeluarkan histamine dengan akibat peningkatan permeabilitas
membrane kapiler dan terjadi dilates arteriola sehingga venous return menurun.
Misalnya: reaksi tranfusi, sengatan serangga, gigitan ular berbisa.

1
5. Syok neurogenik, terjadi gangguan perfusi jaringan yang disebabkn karena
disfungsi sistem saraf simpatis sehingga terjadi vasodilatasi. Misalnya :
trauma pada tulang belakang, spinal syok.

Secara umum syok dapat dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah
penurunan volume plasma intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh baik
arteri, vena, arteriol, venule atupun kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung,
sirkulasi pulmonal dan sitemik.1,2 Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan
faktor utama yang menyebabkan gterjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume
intravaskuler apakah akibat perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang balik
ke jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantungpun menurun.
Pada akhirnya ambilan oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel
(perfusi) juga tidak dapat dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung,
bila otot-otot jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga
tidak dapat memompa darah dengan baik dan curah jantungpun menurun. Pada kondisi ini
meskipun volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan
darah yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak
terpenuhi.1-3 Gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri
(afterload), vena (preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan tahanan vaskuler arteri
atau arteriol akan menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan intravaskuler dengan
pembuluh tersebut sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi sangat rendah yang akhirnya
juga menyebabkan tidak terpenuhianya perfusi jaringan. Peningkatan tahanan arteri juga dapat
mengganggu sistim sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel jantung sehingga
sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu juga bila terjadi peningkatan
hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat menghambat aliran sirkulasi ke jaringan.
Gangguan pada vena dengan terjadinya penurunan tahanan atau dilatasi yang berlebihan
menyebabkan sistim darah balik menjadi sehingga pengisian jantung menjadi berkurang pula.
Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun yang tidak
mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Ganguan pada kapiler secara langsung
seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi sistemik secara langsung menyebabkan terjadinya
gangguan perfusi karena area kapiler adalah tempat terjadinya pertukaran gas antara vaskuler

2
dengan jaringan sel-sel tubuh.1-3 Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan
mekanisme terjadinya itu syok dapat dikelompokkan menjadi beberapa empat macam yaitu syok
hipovolemik, syok distributif, syok obstrukttif, dan syok kardiogenik.1,2

1.3 Patofisiologi
Syok menunjukkan perfusi jaringan yang tidak adekuat. Hasil akhirnya
berupa l e m a h n y a a l i r a n d a r a h y a n g m e r u p a k a n p e t u n j u k y a n g
u m u m , w a l a u p u n a d a  bermacam-macam penyebab. Syok dihasilkan oleh
disfungsi tiga system yang t e r p i s a h n a m u n s a l i n g b e r k a i t a n y a i t u :
j a n t u n g , p e m b u l u h d a r a h , d a n d a r a h . Jika salah satu faktor ini bermasalah dan
faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi maka akan terjadi syok. Awalnya
tekanan darah a r t e r i m u n g k i n n o r m a l s e b a g a i k o m p e n s a s i p e n i n g k a t a n
isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung
m e n u r u n d a n v a s o k o n t r i k s i p e r i f e r   meningkat. Menurut patofisiologinya, syok
terbagi atas 3 fase yaitu: ( Anderson)

Fase Kompensasi

Penurunan curah jantung (cardiac output ) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul
gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler.
Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah
ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital.
Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume
darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan
kadar oksigen didaerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan frekuensi
dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi
untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi ginjal
mempunyai cara regulasi sendiri untuk  mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi
jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.

Fase Progresif 
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan
tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi

3
sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri
menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler,
metabolisme, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding
pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan
vena, venous return menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan
aliran darah kejaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini
dapat menyebabkan trombosis luas (DIC =Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan
r e s p i r a s i d i o t a k . K e a d a a n i n i m e n a m b a h h i p o k s i a  jaringan. Hipoksia
dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan
(histamin dan bridikinin) yang ikut memperburuk syok  (vasodilatasi dan
memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan
penurunan integritas mukosa usus pelepasan toksin dan invasi  bakteri usus ke
sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksifikasi hepar memperburuk
keadaan. Timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas system retikulo endotelial rusak,
integritas mikrosirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik,
terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.

Fase Irrevesibel/Refrakter
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat
diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya irreversibilitas syok.Gagal sistem
kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi
kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan
hiperkapnea.( Sjamsuhidayat,2005)

2. Syok Hipovolemik
2.1 Definisi

Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume


plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik),

4
trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non
fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat.
Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan
sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat
disebabkan oleh berbagai trauma hebat pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang
disertai dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama.2,4,5

2.2 Peranan Fisiologis Sisitim Kardiovaskuler dan Saraf pada Syok


Untuk memahami patofisiologi atau memahami proses terjadinya berbagai jenis
syok terutama syok hipovolemik, maka pemahaman fisiologi jantung, sirkulasi dan sisitim
saraf sangat diperlukan.
Peranan Fungsi Kardiovaskuler
Jantung merupakan organ yang berfungsi untuk memompakan darah keseluruh
tubuh. Jantung bergerak secara otonom yang diatur melalui mekanisme sistim saraf
otonom dan hormonal dengan autoregulasi terhadap kebutuhan metabolime tubuh.
Mekanisme otonom aktifitas otot jantung ini berasal dari cetusan listrik (depolarisasi) pada
otot jantung itu sendiri. Depolarisai otonom otot jantung berasal dari sekelompok sel-sel
yang menghasilkan potensial listrik yang disebut dengan nodus sinoatrial [sinoatratrial
(SA) node]. SA node terletak di atrium kanan berdekatan dengan muara vena cava
superior.6,7 Impuls listrik yang dihasilkan oleh SA node akan dialirkan keseluruh otot-
otot jantung (miokardium) sehingga menyebabkan kontraksi. Mekanisme penyebaran
impuls ini teratur sedemikian rupa sesuai dengan siklur kerja jantung. Pertama impuls
dialirkan secara langsung ke otot-otot atrium kiri dan kanan sehingga menyebabkan
kontraksi atrium. Atrium kanan yang berisi darah yang berasal dari sistim vena sitemik
akan dipompakan ke ventrikel kana, dan darah pada atrium kiri yang berasl dari paru
(vena pulmonalis) akan dialirkan ke ventrikel kiri. Selanjutnya impuls diteruskan ke
ventrikel melalui sistim konduksi nodus atrioventrikuler [atrioventricular (AV) node],
terus ke atrioventricular (AV) bundle dan oleh serabut purkinje ke seluruh sel-sel otot
ventrikel jantung. Impils listrik yang ada di ventrikel terjadinya depolarisasi dan
selanjutnya menyebabkan otot-otot ventrikel berkontraksi. Kontraksi ventrikel inilah yang
dikenal sebagai denyut jantung. Denyut ventrikel kanan akan mengalirkan darah ke paru

5
untuk pengambilan oksigen dan pelepasan karbondioksida, dan denyut ventrikel kiri akan
mengalirkan darah ke seleuruh tubuh melalui aorta. Denyut jantung yang berasal dari
depolarisai SA node berjumlah 60-100 kali permenit, dengan rata-rat 72 kali permenit.6,7
Kontraksi ventrikel saat mengeluarkan darah dari jantung disebut sebagai fase sitolik atau
ejeksi ventrukuler. Jumlah darah yang dikeluarkan dalam satu kali pompan pada fase
ejeksi ventrikuler disebut sebagai ‘volume sekuncup’ atau stroke volume, dan pada
dewasa rata-rata berjumlah 70 ml. Dengan jumlah kontraksi rata-rata 72 kali permenit,
maka dalam satu menit jumlah darah yang sudah melewati dan diponpakan oleh jantung
sekitar 5 liter, yang dsiebut sebagai curah jantung (cardiac output).

Aktifitas listrik pada SA node yang menyebabkan kontraksi otot jantung terjadi
secara otonom tanpa kontrol pusat kesadaran yang dipengaruhi oleh sistim saraf otonom
simpatis dan parasimpatis. Dengan demikian seperti yang terlihat pada gambar-1, sistim
saraf otonom sangat berperan dalam pengaturan kardiovaskuler dengan mempengaruhi
frekuensi denyut dan kontraktilitas otot jantung. Disamping itu sisitim saraf otonom juga
mempengaruhi pembuluh darah terhadap perubahan resistensi pembuluh darah. Curah
jantung mempunyai peranan penting sebagai salah satu faktor untuk memenuhi kebutuhan
oksigenasi atau perfusi kejaringan sebagai tujuan dari fungsi kardiovaskuler. Kecukupan
perfusi jaringan ditentukan oleh kemampuan fungsi sirkulasi menghantarkan oksigen ke
jaringan yang disebut sebagai oxygen delivery (DO2), dan curah jantung adalah faktor
utama yang menentukan DO2 ini.

6
Gangguan pada faktor-faktor yang mepengaruhi curah jantung dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan perfusi dan berujung kepada syok. Misalnya
kehilangan volume plasma hebat akan mengurangi preload dan dapat mengakibatkan
terjadinya syok hipovolemik, gangguan kontraktilitas dapat mengakibatkan terjadinya
syok kardiogenik, dan gangguan resistensi vaskuler sitemik dapat berujung ada syok
distributif.

Peranan Fungsi Sistim Saraf Otonom

Sistem saraf otonom dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistim saraf simpatis
dan para simpatis. Sistim saraf simpatis merupakan sistim saraf yang bekerja secara
otonom terhadap respon stress psikis dan aktifitas fisik. Respon simpatis terhadap stress
disebut juga sebagai ‘faight of flight response’ memberikan umpan balik yang spesisfik
pada organ dan sistim organ, termasuk yang paling utama adalah respon kardiovaskuler,
pernafasan dan sistim imun. Sedangkan sistim para simpatis mengatur fungsi tubuh secara
otonom terutama pada organ-organ visceral, produksi kelenjar, fungsi kardiovaskuler dan
berbagai sistim organ lainnya dan bukan respon terhadap suatu stressor ataupun aktifitas
fisik.10,11 Sistim saraf simpatis berasal dari medulla spinalis pada segmen torakolumbal,
tepatnya segmen torakal-1 sampai lumbal-2, dengan pusat ganglion sarafnya berada di
daerah paravertebre. Sistim saraf simpatis menimbulkan efek pada organ dan sistim organ
melalui perantra neurotrasmiter adrenalin (epinefrin) atau noradrenalin (norepinefrin)
endogen yang dhasilkan oleh tubuh. Adrenalin di sekresikan oleh kelenjar adrenal bagian
medula, sedangkan noradrenalin selain dihasilkan oleh medulla adrenal juga disekresikan
juga oleh sel-sel saraf (neutron) simpatis pascaganglion.10,11 Respon yang muncul pada
organ-organ target tergantung reseptor yang menerima neurotrasmiter tersebut yang
dikenal dengan reseptor alfa dan beta adrenergik. Pada jantung terdapat resesptor beta,
rangsangan simpatis pada otot jantung atau reaksi adrenalin dengan reseptor beta-1
menyebabkan peningkatan frekuensi (kronotropik) dan kontraktilitas otot jantung
(inotropik). Efek adrenergik pada pembuluh terjadi melalui reaksi neurotrasmiternya
dengan reseptor alfa-1, yang menyebabkan terjadinya vasokontriksi arteri dan vena.
Sedangkan efek pada saluran pernafasan terutama bronkhus adalah dilatasi (melalui

7
reseptor beta-2).10,11 Sistim parasismpatis dari segmen kraniosakral, yaitu dari saraf
kranial dan medulla spinalis sekmen sakralis. Saraf kranial merupakan saraf tepi yang
langsung keluar dari batang otak dan terdapat 12 pasang, namun yang memberikan efek
parasimpatis yaitu nervus-III (okulomotorius), nervusVII (fasialis), nervus-IX
(glosofaringeus) dan nervus-X (vagus). Rangsangan parasimpatis pada masingmasing
saraf tersebut memberikan efek spesifik pada masing-masing organ target, namun yang
memberikan efek terhadap fungsi kardiovaskuler adalah nervus vagus. Sedangkan yang
berasal dari medulla spinalis yang menimbulkan efek parasimpatis adalah berasal dari
daerah sakral-2 hingga 4. Efek parasimpatis muncul melalui perantara neurotrasnmiter
asetilkolin, yang disekresikan oleh semua neuron pascaganglion sisitim saraf otonom
parasimpatis. Efek parasimpatis ini disebut juga dengan efek kolinergik atau muskarinik.
Sebagaimana halnya sistim saraf simpatis, sistim saraf parsimpatis juga menimbulkan efek
bermacam-macam sesuai dengan reaksi neurotransmitter asetilkolin dengan reseptornya
pada organ target. Efek yang paling dominan pada fungsi kardiovaskuler adalah
penurunan frekuensi jantung dan kontraktilitasnya (negatif kronotropik dan inotropik)
serta dilatasi pembuluh darah. Dalam kedaan fisiologis, kedua sistim saraf ini mengatur
funsgi tubuh termasuk kardiovaskuler secara homeostatik melalui mekanisme
autoregulasi. Misalnya pada saat aktifitas fisik meningkat, tubuh membutuhkan energi dan
metabolisme lebih banyak dan konsumsi oksigen meningkat, maka sistim simpatis sebagai
respon homestatik akan meningkatkan frekuensi denyut dan kontraktilitas otot jantung,
sehingga curah jantung dapat ditingkatkan untuk untuk mensuplai oksigen lebih banyak.
Begitu juga bila terjadi kehilangan darah, maka respon simpatis adalah dengan terjadinya
peningkatan laju dan kontraktilitas jantung serta vasokontriksi pembuluh darah, sehingga
kesimbangan volume dalam sirkulasi dapat terjaga dan curah jantung dapat dipertahankan.
Namun bila gangguan yang terjadi sangat berlebihan, maka kompensasi autoregulasi tidak
dapat lagi dilakukan sehingga menimbulkan gejala-gejala klinis.7,12

2.3 Patofisiologi dan Gambaran Klinis

Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan
darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat

8
dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan
kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu
lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum syok
hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi),
pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas
yang dingin dan pengisian kapiler yang lambat.1-3 Pemeriksaan yang dilakukan untuk
menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan
frekuesnsi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari
(refiling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah,
syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium syok
dibagi http://jurnal.fk.unand.ac.id 181 Jurnal Kesehatan Andalas. 2013; 2(3) berdasarkan
persentase kehilangan darah sama halnya dengan perhitungan skor tenis lapangan, yaitu
15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan
pemeriksaan klinis tersebut. 1-3,13 1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi
pada kehilangan darah hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini
tubuh mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan
refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun
tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan
normal. 2. Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%.
Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi
kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan
tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien
menjadi lebih cemas. 3. Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak
30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi
nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga
diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling
kapiler yang sangat lambat. 4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan
darah lebih dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian
lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk.
Kehilangan volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat,
tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik.

9
Selengkapnya stadium dan tanda-tanda klinis pada syok hemoragik dapat dilihat pada
tabel-1.

Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat
bahwa penurunan refiling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi dari
pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama
sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang hanya berdasarkan perubahan tekanan darah
sitolik dan frekuensi nadi dapat meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosoa dan
penatalaksanaan (neglected cases). Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP)
merupakan merupakan tekanan efektif rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara
matematis tekanan ini dipadapatkan dari penjumlahan tekanan sistolik dengan dua kali
tekanan diastolik kemudian dibagi tiga (seperti yang terlihat pada gambar-3).

10
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme
kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awalawal terjadinya kehilangan
darah, terjadi respon sistim saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas
dan frekuensi jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat
dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuuh perifer
sehingga telah terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi
penurunan tekanan nadi rata-rata.13 Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap
kehilangan volume sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat
dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan
tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh masih
dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon simpatis. Pada
tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya dengan baik
untuk seluruh organ dan sistim organ. Pada tahapan ini melalui mekanisme autoregulasi
tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan organ-organ vital terutama otak dan
terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan
tungkai mulai pucat dan terasa dingin. Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila
kehilangan darah terus berlanjut sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap
dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan
sistim filtrasi ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal akut.3,5

2.4. Penatalaksanaan
Keadaan syok hipovolemia biasanya terjadi bersamaan dengan kecelakaan sehingga
diperlukan tatalaksana prehospital untuk mencegah timbulnya komplikasi, transfer pasien
ke rumah sakit harus cepat, tatalaksana awal di tempat kejadian harus segera dikerjakan.
Pada perdarahan eksternal yang jelas, dapat dilakukan penekanan langsung untuk
mencegah kehilangan darah yang lebih banyak lagi.
Prinsip Penatalaksanaan

11
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan
hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut
dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok
hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah
yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan
syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di
tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit.3-5,15

I. Penatalaksanaan awal
A. Pemeriksaan jasmani
Meliputi penilaian ABCDE, serta respon penderita terhadap terapi, yakni melalui
tanda-tanda vital, produksi urin dan tingkat kesadaran.
1. Airway dan Breathing
Tujuan: membebaskan jalan nafas dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen
untuk mempertahankan saturasi >95%. Pada pasien cedera servikal p e r l u dilakukan
imobilisasi. Pada pasien dengan syok hipovolemik memberikan ventilasi tekanan
positif dapat mengakibatkan terjadinya penurunan aliran balik vena, cardiac
output, dan memperburuk syok. Untuk memfasilitasi ventilasi maka dapat
diberikan oksigen yang sifat alirannya high flow. Dapat diberikan dengan
menggunakan non rebreathing mask sebanyak 10-12 L/menit.
2. Sirkulasi
Kontrol pendarahan dengan, mengendalikan pendarahan dan memperoleh akses
intravena yang cukup, kemudian menilai perfusi jaringan. Pengendalian pendarahan,
dari luka luar tekanan langsung pada tempat pendarahan (bebat tekan). Pada pasien
dengan hipotensi dengan menaikkan kakinya lebih tinggi dari kepala dan badannya
akan meningkatkan venous return. Pada pasien hipotensi yang hamil dengan cara
memiringkan posisinya ke sebelah kiri juga meningkatkan aliran darah balik ke
jantung.
3. Disability

12
Pemeriksaan neurologi. Menentukan tingkat kesadaran, pergerakan mata dan respon
pupil, fungsi motorik dan sensorik. Manfaat: menilai perfusi otak,
mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan pemulihan.
4. Exposure
Pemeriksaan lengkap terhadap cedera lain yang mengancam jiwa serta pencegahan
terjadi hipotermi pada penderita.
5. Dilatasi Lambung: dekompresi Dilatasi lambung pada penderita trauma, terutama
anak-anak mengakibatkan terjadinya hipotensi dan disritmia jantung yang tidak dapat
diterangkan. Distensi lambung menyebabkan terapi syok menjadi sulit. Pada
penderita yang tidak sadar, distensi lambung menyebabkan resiko aspirasi isi
lambung. Dekompresi dilakukan dengan memasukkan selang melalui mulut atau
hidung dan memasangnya untuk mengeluarkan isi lambung.
6. Pemasangan kateter urin memudahkan penilaian adanya hematuria dan evaluasi
perfusi ginjal dengan memantau produksi urin. Kontraindikasi: darah pada uretra,
prostat letak tinggi, mudah bergerak.
B. Akses pembuluh darah
Harus segera didapatkan akses ke pembuluh darah. Paling baik dengan 2 kateter
intravena ukuran besar, sebelum jalur vena sentral. Kateter yang digunakan adalah
kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan dalam jumlah
besar. Tempat terbaik jalur intravena orang d e w a s a a d a l a h l e n g a n b a w a h . B i l a
t i d a k m e m u n g k i n k a n d i g u n a k a n a k s e s  pembuluh sentral atau melakukan
venaseksi. Pada anak-anak < 6 tahun, teknik  penempatan jarum intraosseus harus
dicoba sebelum menggunakan jalur vena sentral. Selain itu, teknik intraoseus juga dapat
dilakukan pada pasien dewasa dengan hipotensi. Jika kateter vena telah
terpasang, diambil darah untuk crossmatc, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan toksikologi, serta tes kehamilan pada wanita subur serta analisis gas
darah arteri.
C. Terapi Awal Cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan sebagai terapi cairan awal. Jenis cairan ini
mengisi intravaskuler dalam waktu singkat dan juga menstabilkan volume
vaskuler dengan mengganti volume darah yang hilang berikutnya kedalam

13
ruang intersisial dan intraseluler. Larutan Ringer Laktat adalah
cairan pilihan pertama sedangkan NaCl fisologis adalah pilihan kedua. Jumlah cairan
yang diberikan adalah berdasarkan hukum 3 untuk 1, yaitu memerlukan sebanyak 300
ml larutan elektrolit untuk 100 ml darah yang hilang. Sebagai contoh, pasien dewasa
dengan berat badan 70 kg dengan derajat perdarahan III membutuhkan jumlah cairan
sebanyak 4.410 cairan kristaloid. Hal ini didapat dari perhitungan [(BB x % darah
untuk masing-masing usia x % perdarahan) x 3], yaitu [70 x 7% x 30% x 3].13
Jumlah darah pada dewasa adalah sekitar 7% dari berat badan, anak-anak sekitar 8-9%
dari berat badan. Bayi sekitar 9-10% dari berat badan. 16 Pemberian cairan ini tidak
bersifat mutlak, sehingga perlu dinilai respon penderita untuk mencegah
kelebihan atau kekurangan cairan. 13,17 B i l a s e w a k t u r e s u s i t a s i , j u m l a h
c a i r a n y a n g diperlukan melebihi perkiraan, maka diperlukan penilaian
ulang yang teliti dan perlu mencari cedera yang belum diketahui atau penyebab syok
yang lain. Singkatnya untuk bolus cairan inisial dapat diberikan 1-2 L cairan
kristaloid, pada pasien anak diberikan 20 cc/kg BB II. Evaluasi Resusitasi Cairan dan
Perfusi Organ.

Gambar 1. Bagan Penatalaksanaan Syok Hipovolemik.

14
Keberhasilan manajemen syok hemoragik atau lebih khusus lagi resusitasi cairan
bisa dinilai dari parameter-parameter berikut: Capilary refill time < 2 detik, MAP 65-70
mmHg, saturasi O2 >95%, Urine output >0.5 ml/kg/jam (dewasa) ; > 1 ml/kg/jam
(anak), Shock index = HR/SBP (normal 0.5-0.7),CVP 8 to12 mm Hg, ScvO2 > 70%IV.

15
1. Pemberian cairan :
a. Cairan diberikan sebanyak mungkin dalam waktu singkat ( dengan pengawasan tanda
vital).
b. Sebelum darah tersedia atau pada syok yang bukan disebabkan oleh perdarahan, dapat
di berikan cairan : plasmanate, plasma fusin (maximum 20ml/kgBB), dextra 70
(maximum 15ml/kgBB), periston, subtosan, hemasel plasma expander dalam jumlah
besar dapat mengganggu mekanisme pembentukan darah ; cairan lain: RL, Nacl
0,9%. Harus dikombinasi dengan cairan lain karena cepat keluar keruang extra
vaskuler
c. Untuk memperoleh hasil yang optimal letakan botol infus setinggi mungkin dan
gunakan jarum yang besar; bila perlu gunalan beberapa vena sekaligus dan lakukan
vena seksi
d. Pengawasan yang perlu : auskultasi paru untuk mencari tau tanda over hidrasi berupa
ronkhi basah halus dibasal akibat edema paru, cvp (bila mungkin) dipertahankan pada
16-19 cm H2o, pengukuran diuresis melalui pemasangan kateter pertahankan sekitar
30ml/jm.
e. Kecuali pada syok ireversibel, perbaikan keadaan biasanya tercapai setelah pemberian
kurang lebih 3000ml cairan koloid (plasma/plasmaexander), bila digunakan cairan
non koloid bisa sampai 8000 ml

Tabel 1. Klasifikasi syok hemoragik

% Blood Volume loss < 15% 15 – 30% 30 – 40% >40%


HR <100 >100 >120 >140
SBP N N, ↓ DBP, ↓ ↓
postural drop
Pulse Pressure N or ↓ ↓ ↓
Cap Refill < 3 sec > 3 sec >3 sec or absent
absent
Resp 14 – 20 20 - 30 30 - 40 >35
CNS Anxious v. anxious confused lethargic
Treatment 1 – 2 L 2 L crystalloid, 2 L crystalloid, re-
crystalloid, + re-evaluate evaluate, replace blood
maintenance loss 1:3 crystalloid, 1:1
16
colloid or blood products.
Urine output >0.5
mL/kg/hr
TTrans
Tranfusi Darah
Tujuan utama transfusi darah adalah memperbaiki kemampuan mengangkut oksigen dari
volume darah. Pemberian darah juga tergantung respon penderita terhadap pemberian
cairan.
a. Pemberian darah packed cell vs darah biasa. Tujuan utama transfusi darah: memperbaiki
kemampuan mengangkut oksigen dari volume darah. Dapat diberikan darah biasa
maupun packed cell. Pemberian cairan adekuat dapat memperbaiki cardiac
output tetapi tidak memperbaiki oksigensi sebab tidak ada penambahan jumlah
dari media transport oksigen yaitu hemoglobin. Pada keadaan tersebut perlu
dilakukan tranfusi. Beberapa indikasi pemberian tranfusi PRC adalah:16
1. Jumlah perdarahan diperkirakan >30% dari volume total atau perdarahan derajat III
2. Pasien hipotensi yang tidak berespon terhadap 2L kristaloid
3. Memperbaiki delivery oksigen
4. Pasien kritis dengan kadar hemoglobin 6 -8 gr/dl. Fresh frozen plasma diberikan
apabia terjadi kehilangan darah lebih dari 20-25% atau terdapat koagulopati dan
dianjurkan pada pasien yang telah mendapatkan 2-10 unit PRC. Transfusi platelet
diberikan apabila keadaan trombositopenia (trombosit <20.000-50.000/mm) dan
perdarahan yang terus menerus.
Komplikasi paling umum pada syok hemoragik adalah penggantian volume yang tidak
adekuat :
1. Pendarahan yang berlanjut, perdarahan yang tidak terlihat adalah penyebab paling
umum dari respon buruk penderita terhadap cairan, dan termasuk kategori respon
sementara.
2. Kebanyakan cairan (overload ) dan pemantauan CVP (central venous pressure).
Setelah penilaian penderita dan pengelolaan awal, resiko kebanyakan cairan diperkecil
dengan memantau respon penderita terhadap resusitasi, salah satunya dengan CVP.
CVP merupakan pedoman standar untuk menilai kemampuan sisi kanan jantung untuk
menerima beban cairan.
3. Menilai masalah lain. Jika penderita tidak memberi respon terhadap terapi, maka perlu
dipertimbangkan adanya tamponade jantung, penumothoraks, masalah ventilator,

17
kehilangan cairan yang tidak diketahui, distensi akut lambung, infark miokard,
asidosis diabetikum, hipoadrenalisme dan syok neurogenik. Beberapa medikasi lain
yang diperlukan adalah pemberian antibiotik dan antasida atau H2 blocker. Pasien
syok perdarahan memiliki resiko terjadinya sepsis akibat iskemi pada sistem saluran
cerna. Pemberi anantasida atau H2 blocker  bertujuan untuk mengurangi stress ulcer 18
4. Sekuele neurologis
5. Kematian

Pemberian obat-obat suportif :


a. Vasolidator
Dapat diberikan setelah terdapat perbaikan umum, sambil terus diberikan cairan, dengan
tujuan :
- Diagnostik : bila terjadi penurunan tekanan darah berarti tubuh masih kekurangan
cairan
- Terapeutik : untuk memperbaiki perfusi organ penting dengan membuka pre dan
post capilary sphinctr
- Isoproterenol (isuprel)
 Dosis 2 ml dalam 500 ml glukosa 5-10 %
 Tetesan disesuaikan untuk mempertahankan tekanan sistolik disekitar 60
mmHg
 Tidak dapat diberikan bila frekuensi jantung lebih basar 120/menit atau
diketahui mempunyai kelainan jantung karena mempunyai kelainan efek
memperbesar kebutuhan oksigen jantung dan mempertinggi iritabilitas
miokardium
 Hentikan pengobatan bila frekuensi janting lebih besar atau 150/menit
atau aritmik
- Dopamin
 Dosis 200ml dalam 200 ml glukosa 5-10%
 Jumlah tetesan mula-mula 2 mcg/kgBB/menit kemudian disesuikan
dengan tekanan darah
 Dapat digunakan sebagai pengganti isoproterenol

18
- Alfa adrenergic blockers
 Venoksibenzamin ( dibenzyline) 1 mg/kgBB dalam 250-500 ml glukosa
5% atau Nacl 0,9%/drip, atau
 Klorpromazin (largactil) ¼-1 mg/kgBB iv lambat
b. Vasokonstriktor (norepineprn,aramine EF-fortil) tidak dianjurkan karena dapat
memperburuk sirkulasi organ penting
c. Kortikosteroid
Bila secara klinik derajat syok tidak sesuai dengn perdarahan atau bila dengan
pergantian cairan yang adekuat tidak terlihat perbaikan, fikirkan kemungkinan
insufisiensi korteks adrenal. Untuk itu berikan kortiko dosis besar, misalkan hidrokortisol
300mb iv lambat (dalam 30 detik), dapat diulang sampai mencapai dosis total 2-6gr/24jm.
Dapat juga digunakan preparat lain dengan perbandingan dosis : kortison 25,
hidrokortison 20, metilprednisolon 4 dan dexametason 0,75. Sering memberikan efek
yang memuaskan terutama pada syok hipopolemik dan syok septik

d. Koreksi asidosis
Diberikan NA-bikarbonat dengan dosis ( 0,3xBBxbaseexcess) meq iv. Pada kasus
asidosis yang nyata baseexcess dianggap 20meq. Bila mungkin, gunakan pemeriksaan gas
darah (astruk) sebagai pedoman
e. Diuretik
Bila tekanan darah dan cvp telah membaik tetapi diuresis tetap ≤ 30 ml/jm, berikan
manitol 20% 100ml/drip dalam waktu 1 jm :
- Bisa setelah itu diuresis >40ml/jm, pertahankan dengan dosis manitol ulangan
sampai mencapai dosis maksimul 100gr/24 jm
- Bila tetap <40ml/jm, berikan asametakrinat (edrecine) 50-100 mg iv : bila diuresis
membaik (>40ml/jm) pertahankan dengan kombinasi manitol dan asametakrinat, bila
tetap <40ml/jm dianggap telah terjadi payah ginjal akut.

3. Syok Kardiogenik
3.1 Definisi

19
Syok kardiogenik merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan
perfusi jaringan didalam penghantaran oksigen dan zat-zat gizi, serta pembuangan sisa-
sisa metabolit pada tingkat jaringan, yang terjadi karena penurunan/tidak cukupnya
curah jantung untuk mempertahankan alat-alat vital akibat dari disfungsi otot jantung
terutama ventrikel kiri, sehingga terjadi gangguan atau penurunan fungsi pompa
jantung.1,4,5,7,8,9

Etiologi Syok kardiogenik diakibatkan oleh kerusakan bermakna pada miokardium


ventrikel kiri yang ditandai oleh gangguan fungsi ventrikel kiri, yang mengakibatkan
gangguan berat pada perfusi jaringan dan penghantaran oksigen ke jaringan. Penyebab
dari syok kardiogenik dibagi dalam : 1. Gangguan ventrikular ejection a. Infark
miokard akut b. Miokarditis akut c. Komplikasi mekanik : - Regurgitasi mitral akut
akibat ruptur atau disfungsi otot papilaris - Ruptur septum interventrikulorum - Ruptur
free wall - Aneurisma ventrikel kiri - Stenosis aorta yang berat - Kardiomiopati -
Kontusio miokard 2. Gangguan ventrikular filling a. Tamponade jantung b. Stenosis
mitral c. Miksoma pada atrium kiri d. Trombus ball valve pada atrium e. Infark
ventrikel kanan 8,10

3.2 Patofisiologi
Syok kardiogenik dapat dipandang sebagai bentuk yang berat dari kegagalan
ventrikel kiri. Peristiwa patofisiologik dan respon kompensatoriknya sesuai dengan
gagal jantung, tetapi telah berkembang ke bentuk yang lebih berat. Penurunan
kontraktilitas jantung mengurangi curah jantung dan meningkatkan volume dan tekanan
akhir diastolik ventrikel kiri, hingga mengakibatkan kongesti paru-paru dan edema.5,11
Dengan menurunnya tekanan arteria, maka terjadi perangsangan terhadap baroreseptor
pada aorta dan sinus karotikus. Perangsangan simpatoadrenal menimbulkan refleks
vasokonstriksi, takikardia, dan meningkatkan kontraktilitas untuk menambah curah
jantung dan menstabilkan tekanan darah. Kontraktilitas akan terus meningkat sesuai
dengan hukum Starling melalui retensi natrium dan air. Jadi, menurunnya kontraktilitas
pada syok kardiogenik akan memulai respon kompensatorik, yang meningkatkan beban
akhir dan beban awal. Meskipun mekanisme protektif ini pada mulanya akan

20
meningkatkan tekanan arteria darah dan perfusi jaringan, namun efeknya terhadap
miokardium justru buruk karena meningkatkan beban kerja jantung dan kebutuhan
miokardium akan oksigen. Karena aliran darah koroner tidak memadai, terbukti dengan
adanya infark, maka ketidakseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen terhadap
miokardium semakin meningkat. Gangguan miokardium juga terjadi akibat iskemia dan
nekrosis fokal, yang akan memperberat lingkaran setan dari kerusakan miokardium.
Dengan bertambah buruknya kinerja ventrikel kiri, keadaan syok berkembang dengan
cepat sampai akhirnya terjadi gangguan sirkulasi hebat yang mengganggu sistem
organorgan penting.5,9 Pengaruh sistemik dari syok akhirnya akan membuat syok
menjadi irreversibel. Beberapa organ terserang lebih cepat dan berat daripada yang lain.
Seperti telah diketahui, miokardium akan menderita kerusakan yang paling dini pada
keadaan syok. Selain dari bertambahnya kerja miokardium dan kebutuhannya terhadap
oksigen, beberapa perubahan lain juga terjadi. Karena metabolisme anaerobik dimulai
pada keadaan syok, maka miokardium tidak dapat mempertahankan cadangan fosfat
berenergi tinggi (adenosin trifosfat) dalam kadar normal, dan kontraktilitas ventrikel
akan makin terganggu. Hipoksia dan asidosis menghambat pembentukan energi dan
mendorong terjadinya kerusakan lebih lanjut dari sel-sel miokardium. Kedua faktor ini
juga menggeser kurva fungsi ventrikel ke bawah dan ke kanan yang akan semakin
menekan kontraktilitas.6,10 Gangguan pernafasan terjadi sekunder akibat syok.
Komplikasi yang mematikan adalah gangguan pernafasan yang berat. Kongesti paru-
paru dan edema intra-alveolar akan mengakibatkan hipoksia dan kemunduran gas-gas
darah arteria. Atelektasis dan infeksi paru-paru dapat pula terjadi. Faktor-faktor ini
memicu terjadinya syok paru-paru, yang sekarang sering disebut sebagai sindrom
distres pernafasan dewasa. Takipnea, dispnea, dan ronki basah dapat ditemukan,
demikian juga gejala-gejala yang dijelaskan sebelumnya sebagai manifestasi gagal
jantung ke belakang.3,7,8 Perfusi ginjal yang menurun mengakibatkan anuria dengan
keluaran kemih kurang dari 20 ml/jam. Dengan semakin berkurangnya curah jantung,
biasanya menurunkan pula keluaran kemih. Karena adanya respon kompensatorik
retensi natrium dan air, maka kadar natrium dalam kemih juga berkurang. Sejalan
dengan menurunnya laju filtrasi glomerulus, terjadi peningkatan BUN dan kreatinin.
Bila hipotensi berat dan berkepanjangan, dapat terjadi nekrosis tubular akut yang

21
kemudian disusul gagal ginjal akut.1,5,10 Syok yang berkepanjangan akan
mengakibatkan gangguan sel-sel hati. Kerusakan sel dapat terlokalisir pada zona-zona
nekrosis yang terisolasi, atau dapat berupa nekrosis hati yang masif pada syok yang
berat. Gangguan fungsi hati dapat nyata dan biasanya bermanifestasi sebagai
peningkatan enzim-enzim hati, glutamatoksaloasetat transaminase serum (SGOT), dan
glutamat-piruvat transaminase serum (SGPT). Hipoksia hati juga merupakan
mekanisme etiologi yang mengawali komplikasi-komplikasi ini.2,4,13 Iskemia saluran
cerna yang berkepanjangan umumnya mengakibatkan nekrosis hemorhagik dari usus
besar. Cedera usus besar dapat mengeksaserbasi syok melalui penimbunan cairan pada
usus dan absorbsi bakteria dan endotoksin ke dalam sirkulasi. Penurunan motilitas
saluran cerna hampir selalu ditemukan pada keadaan syok.5,14 Dalam keadaan normal,
aliran darah serebral biasanya menunjukan autoregulasi yang baik, yaitu dengan usaha
dilatasi sebagai respon terhadap berkurangnya aliran darah atau iskemia. Namun,
pengaturan aliran darah serebral ternyata tidak mampu mempertahankan aliran dan
perfusi yang memadai pada tekanan darah di bawah 60 mmHg. Selama hipotensi yang
berat, gejala-gejala defisit neurologik dapat ditemukan. Kelainan ini biasanya tidak
berlangsung terus jika pasien pulih dari keadaan syok, kecuali jika disertai dengan
gangguan serebrovaskular.8,9 Selama syok yang berkelanjutan, dapat terjadi
pengumpulan komponenkomponen selular intravaskular dari sistem hematologik, yang
akan meningkatkan tahanan vaskular perifer lebih lanjut. Koagulasi intravaskular difus
(DIC) dapat terjadi selama syok berlangsung, yang akan memperburuk keadaan
klinis.5,11

3.3 Diagnosis
Kriteria untuk diagnosis syok kardiogenik telah ditetapkan oleh Myocardial Infarction
Research Units of the National Heart, Lung, and Blood Institute. Syok kardiogenik
ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: 1. Tekanan arteria sistolik < 90 mmHg atau 30
sampai 60 mmHg di bawah batas bawah sebelumnya. 2. Adanya penurunan aliran
darah ke sistem organ-organ utama : a. Keluaran kemih < 20 ml/jam, biasanya disertai
penurunan kadar natrium dalam kemih b. Vasokonstriksi perifer yang disertai gejala
kulit dingin, lembab c. Terganggunya fungsi mental 3. Indeks jantung < 2,1

22
L/(menit/m2) 4. Bukti-bukti gagal jantung kiri dengan peningkatan LVEDP/tekanan
baji kapiler paru-paru (PCWP) 18 sampai 21 mmHg.5,9,15 Kriteria ini mencerminkan
gagal jantung kiri yang berat dengan adanya gagal ke depan dan ke belakang. Hipotensi
sistolik dan adanya gangguan perfusi jaringan merupakan ciri khas keadaan syok.
Penurunan yang jelas pada indeks jantung sampai kurang dari 0,9 L/(menit/m2) dapat
ditemukan pada syok kardiogenik yang jelas.5,16 Pada sebagian besar pasien syok
kardiogenik, didapatkan sindrom klinis yang terdiri dari hipotensi seperti yang disebut
di atas; tanda-tanda perfusi jaringan yang 1 SYOK KARDIOGENIK article by MiSC
Kardiovaskular fkuii.org 5 buruk, yaitu oliguria (urin 100 x/menit bila tidak ada blok
AV. Sering kali didapatkan tanda-tanda bendungan paru dan bunyi jantung yang sangat
lemah walaupun bunyi jantung III sering kali dapat terdengar. Pasien dengan disfungsi
katup akut dapat memperlihatkan adanya bising akibat regurgitasi aorta atau mitral.
Pulsus paradoksus dapat terjadi akibat adanya tamponade jantung akut.5,8 Menurut
Scheidt dan kawan-kawan (1973) kriteria syok kardiogenik dalam penelitian mereka
adalah : 1. Tekanan sistolik arteri < 20 ml/hari atau gangguan status mental. 3. Tekanan
pengisian ventrikel kiri > 12 mmHg. 4. Tekanan vena sentral lebih dari 10 mmH2O,
dianggap menyingkirkan kemungkinan hipovolemia.2,4 Keadaan ini disertai dengan
manifestasi peningkatan katekolamin seperti pada renjatan lain, yaitu: gelisah, keringat
dingin, akral dingin, takikardia, dan lainlain.2,7 Tiga komponen utama syok
kardiogenik telah termasuk dalam definisi ini, yaitu adanya: gangguan fungsi ventrikel,
bukti kegagalan organ akibat berkurangnya perfusi jaringan, tidak adanya hipovolemi
atau sebab-sebab lainnya.8,15

3.4 Gejala Klinis


Syok kardiogenik ditandai dengan tekanan sistolik rendah (kurang dari
90mmHg), diikuti menurunnya aliran darah ke organ vital
1. Produksi urin kurang dari 20 ml/jam
2. Gangguan mental, gelisah, sopourus
3. Akral dingin
4. Aritmia yang serius, berkurangnya aliran darah koroner, meningkatnya laktat
kardial.

23
5. Meningkatnya adrenalin, glukosa, free fatty acid cortisol , rennin,
angiotensin plasma serta menurunnya kadar insulin plasma. Pada keadaan lanjut
akan diikuti hipoksemia primer ataupun sekunder, terjadi karena ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi, hipovolemia, dan asidosis metabolic. Hipovolemia merupakan
komplikasi yang sering terjadi pada syok kardiogenik, disebabkan oleh
meningkatnya redistribusi cairan dari intravaskular ke interstitiel, stres akut, ataupun
penggunaan diuretika.
Kriteria hemodiamik syok kardiogenik adalah hipotensi terus menerus (tekanan darah
sistolik < 90 mmHg lebih dari 90 menit) dan bekurangnya cardiac index (<2,2/menit per
m2) dan meningginya tekanan kapiler paru (>15 mmHg).
Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
1. Tensi turun: sistolik < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg
darisemula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
2. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
3. Tekanan di atrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal,rendah
sampai meninggi.
4. Tekanan di atrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
5. Resistensi sistemis.
6. Asidosis.

3.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan yang segera dilakukan :
1. Serum elektrolit, fungsi ginjal dan fungsi hepar.
2. Jumlah sel darah merah, leukosit (infeksi), trombosit (koagulopati)
3. Enzim Jantung (Creatinine Kinase, troponin, myoglobin, LDH)
4. Analisa gas darah arteri, dapat menggambarkan keseimbangan asam-basa dan
kadar oksigen.
5. .Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis.
6. Pemeriksaan yang harus direncanakan adalah EKG, ekokardiografi. foto polos
dada.

24
3.6 Penatalaksanaan
Prehospital care: bertujuan untuk meminimalisir iskemik dan
s y o k y a n g sedang terjadi. Pasien dipasang akses intravena, oksigen h i g h
f l o w , d a n m o n i t o r    jantung/ EKG. Dengan EKG dapat segera dideteksi
terjadinya ST elevasi yang terjadi pada infark miokard. Obat-obatan inortropik
sebaiknya dipersiapkan. Bila perlu, dapat dilakukan pemberian ventilasi tekanan
positif dan intubasi. Pemasangan CPAP (Continuous positive airway pressure) atau
BIPAP (bilevel positive airway pressure) dapat dipertimbangkan.
Berdasarkan penelitian yang terdahulu, terapi pilihan untuk
s y o k t i p e i n i adalah percutaneus coronary intervention (PCI) atau bypass
arteri koroner. Dengan t e r a p i i n i m a k a a n g k a k e m a t i a n d a p a t t u r u n
d a l a m 1 t a h u n p e r t a m a . P C I t e r b a i k   dilakukan saat onset dengan kejadian
infark sekitar 90 menit sampai 12 jam pertama. Jika fasilitas seperti ini tidak ada, maka
terapi dengan trombolitik dapat dipertimbangkan. Beberapa penelitian menunjukkan
pemberian trombolitik pada tekanan darah yang rendah tidak dapat mengakibatkan lisis
thrombus di pembuluh darah.
Tatalaksana dimulai dengan manajemen ABC. Pada pasien yang sangat sesak dapat
dipertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik. Pemberian
vasopresor intravena baik untuk meningkatkan inortropik dan
m e m a k s i m a l k a n p e r f u s i k e miokardium yang iskemik. Yang perlu diperhatikan,
pemberian vasopresor itu sendiri dapat berakibat peningkatan denyut jantung
yang pada akhirnya akan memperluas infark yang telah terjadi. Sehingga
penggunaan vasopresor disini harus digunakan secara hati-hati. Beberapa
vasopresor yang dapat diberikan seperti: (Patrick,2003)
1. Dopamin, dengan dosis tinggi mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen
miokard, dosis yang digunakan 5-10 mcg/kg/min.
2. Dobutamin selain memiliki sifat inortropik tetapi juga memiliki efek vasodilatasi
sehingga dapat mengurangi preload dan afterload.
3. Norepinefrin per infus dapat diberikan pada syok kardiogenik yang refrakter, obat ini
dapat mengakibatkan peningkatan afterload, dosis yang dapat digunakan 0.5
mcg/kg/min. Preparat nitrat atau morfin digunakan untuk analgetik, tetapi perlu

25
diingat bahwa keduanya dapat mengakibatkan hipotensi sehingga jangan sampai
memperparah keadaan syok pasien dengan pemberian preparat ini. Alat yang
dapat membantu pasien dalam syok kardiogenik secara mekanis yakni
intraaortic balloon pump (IABP) bermanfaat terutama pada syok kardiogenik
yang sudah tidak dapat ditangani dengan obat-obatan. Anti agregasi trombosit
seperti aspirin tersedia dalam 81 mg, 325 mg, 500 mg, dapat menurunkan
mortalitas akibat infark miokard. Vasodilator yang juga dapatdigunakan
adalah nitrogliserin IV yang bekerja dengan merelaksasikan otot
polos pembuluh darah sehingga menurunkan resistensi perifer. (Patrick,2003)

3.7 Beberapa komplikasi syok kardiogenik:


-Henti jantung
-Disritmia
-Gagal ginjal
-Kegagalan multiorgan
-Aneurisma ventrikel
-Sekuele tromboembolik
-Stroke
-Kematian.

4. SYOK SEPTIK
4.1 Definisi
Syok yang disebabkan oleh infeksi mikroba sistemik. Syok ini paling sering
terjadi dalam kasus infeksi gram negative, tetapi dapat pula disebabkan oleh infeksi
gram positif dan jamur.
4.2 Patogenesis
Syok septik dengan angka kematian 25% hingga 50%, menempati peringkat
pertama penyebab kematian di ICU dan berperan pdaa lebih dari 200.000 kematian

26
per tahun di Amerika Serikat. Selain itu, angka kejadian sindrom sepsis yang
dilaporkan sedang meningkat secara dramatis, yang sebagian disebabkan oleh
membaiknya penunjang hidup untuk pasien berisiko tinggi, meningkatnya
penggunaan prosedur invasive, dan semakin banyaknya pejamu yang mengalami
gangguan imunologi (karena imunoterapi,imunosupresi atau infeksi HIV). Syok
septik berasal dari penyebaran dan perluasan infeksi yang pada mulanya terlokalisasi
(misalnya abses, peritonitis, pneumonia) ke dalam aliran darah.
Sebagian besar kasus syok septik disebabkan oleh basil gram negative yang
menghasilkan endotoksin, sehingga diberi istilah syok endotoksik. Endotoksin
merupakan lipopolisakarida (LPS) dinding bakteri yang dilepaskan ketika dinding sel
dipecah (misalnya respon peradangan). LPS terdiri atas inti asam lemak toksik yang
lazim terdapat pada semua bakteri gram negative (lipid A) dan selubung polisakarida
kompleks yang unik untuk tiap spesies (antigen O). Molekul analog pada dinding
bakteri gram positif dan jamur dapat pula menimbulkan syok septik.
Semua efek pada sel dan hemodinamik yang dihasilkan pada syok septik dapat
dihasilkan kembali hanya dengan menyuntikkan LPS. LPS bebas akan melekat pada
protein pengikat LPS yang beredar dalam pembuluh darah, dan kompleks tersebut
kemudian berikatan pada reseptor spesifik (disebut CD14) pada monosit, makrofag,
dan neutrophil. Pengikatan CD14 mengakibatkan pemberian sinyal intrasel melalui
reseptor menyerupai toll yang menyertainya dan kemudian terjadi aktivasi sel
mononuclear yang kuat disertai dengan produksi sitokin efektor yang poten, seperti
IL-1 dan TNF. Reseptor yang menyerupai toll tersebut disebut demikian karena
homolog secara structural dengan protein Drosofila yang disebut toll.
Dalam dosis rendah LPS terutama berfungsi untuk mengaktivasi monosit,
makrofag dan neutrophil disertakan efek yang mungkin dimaksudkan untuk
meningkatkan kemampuannya menyingkirkan bakteri penyerang. LPS dapat pula
mengaktivasi komplemen secara langsung, yang juga turut berperan pada
pembasmian bakteri local.Fagosit mononuclear akan berespon terhadap LPS dengan
menghasilkan TNF,yang kemudian menginduksi sintesis IL-1. Baik TNF maupun IL-
1 bekerja pada sel endotel untuk menghasilakn sitokin yang lebih lanjut (misalnya
IL-6 dan IL-8) dan menginduksi molekul adhesi. Dengan demikian pelepasan awal

27
LPS menghasilakn suatu kaskade sitokin terbatas yang meningkatkan respon
inflamasi akut local dan meningkatkan pembersihan infeksi.
Pada infeksi yang cukup berat dan oleh karena itu kadar LPS yang lebih tinggi
(dan akibat peningkatan kaskade sitokin), efektor sekunder yang diinduksi oleh
sitokin (misalnya nitrit oksidadan faktor pengaktivasi trombosit) akan menjadi
bermakna. Selain itu, efeksistemik TNF dan IL-1 dapat mulai terlihat, yaitu demam,
peningkatan sintesis acute phase reactant dan peningkatan produksi neutrophil yang
beredar dalam darah.
Aktifnya masih dengan kadar LPS yang lebih tinggi, sindrom syok septik akan
muncul kemudian.Saat ini sitokin dan mediator sekunder sama-sama berada dalam
kadar yang tinggi dan mengakibatkan vasodilatasi sistemik (hipotensi), kontraktilitas
miokard berkurang, jejas dan aktivasi endotel yang meluas menyebabkan perlekatan
leukosit sistemik serta kerusakankapiler alveolus yang difus dalam paru, aktivasi
sistemik pembekuan berpuncak pada DIC.
Hipoperfusi yang disebbakan oleh efek gabungan vasodilatasi yang luas,
kegagalan pompa miokardial dan DIC menyebabkan kegagalan sistem multiorgan
yang mengenai ginjal,hati dan sistemsaraf psat di antara organ lainnya. Jika infeksi
yang mendasarinya tidak segera dikendalikan biasanya pasien akan meninggal.
Dalam beberapa percobaan, antobodi terhadap IL-1 atau TNF atau inhibitor
farmakologis mediator sekunder (misalnya sintesis nitrit oksida), telah menunjukkan
efektivitas tertentu dalam memberi perlindungan terhadap syok septik.Sayangnya
reagen ini belum terbukti mempunyai manfaat klinis pada pasien ,kemungkinan
karena daa berbagai jalur dan mediator yang berbeda yang diaktivasi oleh LPS.
4.3 Manifestasi Klinis
Pada syok septik kulit dapat teraba hangat dan kemerahan karena vasodilatasi
perifer. Ancaman awal terhadap kehidupan berasal dari gangguan dasar yang
dicetuskan oleh syok (misalnya infark miokard, perdarahan berat atau infeksi bakteri
yang tidak terkendali). Namun perubahan yang cepat pada jantung, otak dan paru
yang disebabkan oleh keadaan syok utamanya akan memperburuk masalah tersebut.
Pada akhirnya, gangguan eletrolit dan asidosis metabolic juga meperburuk masalah
tersebut. Pada akhirnya, gangguan eletrolit dan asidosis metabolic juga memperburuk

28
keadaan. Jika mampu bertahan lebih lama dari komplikasi awal, par pasien akan
memasuki tahap kedua yang didominasi oleh insufisiensi renal dan ditandai dengan
penurunan pengeluaran urine secara progresif serta ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit yang berat.
Kriteria untuk SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik berdasarkan Konsensus
Konferensi ACC/SCCM 1991 :

4.4 Diagnosis
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP dan European Society of Critical Care Medicine
(ESICM) merevisi definisi sepsis dan menambahkan tingkat dari sepsis dengan
akronim PIRO (Predisposition, Infection, Response to the infectious challenge, and
Organ dysfunction). Kemudian pada tahun2016, SCCM dan ESCIM mengeluarkan
konsensus internasional yang ketiga yang bertujuan untuk mengidentifikasi pasien
dengan waktu perawatan di ICU dan risiko kematian yang meningkat. Konsensus ini
menggunakan skor SOFA (Sequential Organ Failure Assesment) dengan peningkatan
angka sebesar , dan menambahkan kriteria baru seperti adanya peningkatan kadar
laktat walaupun telah diberikan cairan resusitasi dan penggunaan vasopressor pada
keadaan hipotensi. Istilah Sepsis menurut konsensus terbaru adalah keadaan disfungsi
organ yang mengancam jiwa yang disebabkan karena disregulasi respon tubuh

29
terhadap infeksi. Penggunaan kriteria SIRS untuk mengidentifikasi sepsis dianggap
sudah tidak membantu lagi. Kriteria SIRS seperti perubahan dari kadar sel darah
putih, temperatur, dan laju nadi menggambarkan adanya inflamasi (respon tubuh
terhadap infeksi atau hal lainnya). Kriteria SIRS tidak menggambarkan adanya respon
disregulasi yang mengancam jiwa. Keadaan SIRS sendiri dapat ditemukan pada
pasien yang dirawat inap tanpa ditemukan adanya infeksi.
Disfungsi organ didiagnosis apabila peningkatan skor SOFA ≥ 2. Dan istilah
sepsis berat sudah tidak digunakan kembali. Implikasi dari definisi baru ini adalah
pengenalan dari respon tubuh yang berlebihan dalam patogenesis dari sepsis dan syok
septik, peningkatan skor SOFA ≥ 2 untuk identifikasi keadaan sepsis dan penggunaan
quick SOFA (qSOFA) untuk mengidentifikasi pasien sepsis di luar ICU. Walaupun
penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor SOFA di ICU,
qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat dilakukan secara
cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat membantu klinisi dalam
mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai atau mengeskalasi
terapi.10 Dan septik syok didefinisikan sebagai keadaan sepsis dimana abnormalitas
sirkulasi dan selular/ metabolik yang terjadi dapat menyebabkan kematian secara
signifikan. Kriteria klinis untuk mengidentifikasi septik syok adalah adanya sepsis
dengan hipotensi persisten yang membutuhkan vasopressor untuk menjaga mean
arterial pressure (MAP) ≥ 65 mmHg, dengan kadar laktat ≥ 2 mmol/L walaupun telah
diberikan resusitasi cairan yang adekuat.
Walaupun penggunaan qSOFA kurang lengkap dibandingkan penggunaan skor
SOFA di ICU, qSOFA tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium dan dapat
dilakukan secara cepat dan berulang. Penggunaan qSOFA diharapkan dapat
membantu klinisi dalam mengenali kondisi disfungsi organ dan dapat segera memulai
atau mengeskalasi terapi.

30
Tabel 1. Skor SOFA

Tabel 2. Kriteria qSOFA

4.5 Tatalaksana
Tata laksana dari sepsis menggunakan protokol yang dikeluarkan oleh SCCM dan
ESICM yaitu “Surviving Sepsis Guidelines”. Surviving Sepsis Guidelines pertama
kali dipublikasi pada tahun 2004, dengan revisi pada tahun 2008 dan 2012. Pada
bulan Januari 2017, revisi keempat dari Surviving Sepsis Guidelines dipresentasikan
pada pertemuan tahunan SCCM dan dipublikasikan di Critical Care Medicine dan
Intensive Care Medicine dimana didapatkan banyak perkembangan baru pada revisi

31
yang terbaru.13 Komponen dasar dari penanganan sepsis dan syok septik adalah
resusitasi awal, vasopressor/ inotropik, dukungan hemodinamik, pemberian antibiotik
awal, kontrol sumber infeksi, diagnosis (kultur dan pemeriksaan radiologi), tata
laksana suportif (ventilasi, dialisis, transfusi) dan pencegahan infeksi.
Early Goal-Directed Therapy (EGDT) yang dikembangkan oleh Rivers et al pada
tahun 2001 merupakan komponen penting dalam protokol sebelumnya.13 Rivers et al
mengevaluasi efikasi dari EGDT pada 263 pasien dengan infeksi dan hipotensi atau
kadar serum laktat ≥ 4 mmol/L yang dilakukan randomisasi dan diberikan resusitasi
standar atau EGDT (133 kontrol dengan 130 EGDT) di ruang IGD sebelum
dipindahkan ke ruang ICU. Selama 6 jam di ruang IGD, pasien dengan terapi EGDT
mendapatkan terapi cairan, transfusi darah, dan inotropik lebih banyak dibandingkan
grup kontrol. Kemudian, selama 6 – 72 jam di ruang ICU setelah mendapatkan terapi
EGDT, kelompok pasien ini memiliki tingkat ScvO2 dan pH yang lebih tinggi dengan
kadar laktat dan defisit basa yang lebih rendah. Skor disfungsi organ lebih baik secara
signifikan pada kelompok pasien EGDT. Hal ini juga berhubungan dengan masa inap
rumah sakit yang lebih singkat dan penurunan komplikasi kardiovaskular seperti henti
jantung, hipotensi, dan gagal nafas akut.
Pada tahun 2014, protokol EGDT ini dibandingkan dengan 3 protokol lain seperti
ARISE (Australasian Resuscitation in Sepsis Evaluation), ProMISe (Protocolized
Management in Sepsis), dan ProCESS (Protocolized Care for Early Septic Shock) dan
hal ini mengubah rangkaian 6 jam dalam Surviving Sepsis Guideline dimana
pengukuran tekanan vena sentral dan saturasi oksigen vena sentral tidak dilakukan
lagi.2 Dalam protokol yang dikeluarkan pada tahun 2016, target resusitasi EGDT
telah dihilangkan, dan merekomendasikan keadaan sepsis diberikan terapi cairan
kristaloid minimal sebesar 30 ml/kgBB dalam 3 jam atau kurang. Dengan
dihilangkannya target EGDT yang statik (tekanan vena sentral), protokol ini
menekankan pemeriksaan ulang klinis sesering mungkin dan pemeriksaan kecukupan
cairan secara dinamis (variasi tekanan nadi arterial).
Hal ini merupakan perubahan yang signifikan, karena pada protokol sebelumnya
merekomendasikan bahwa klinisi harus menentukan angka tekanan vena sentral
secara spesifik dan ternyata tekanan vena sentral memiliki manfaat terbatas untuk

32
menentukan respon tubuh terhadap pemberian cairan. Protokol ini menekankan
bahwa klinisi harus melakukan teknik “fluid challenge” untuk mengevaluasi
efektivitas dan keamanan dari pemberian cairan. Ketika status hemodinamik
membaik dengan pemberian cairan, pemberian cairan lebih lanjut dapat
dipertimbangkan. Namun pemberian carian harus dihentikan apabila respon terhadap
pemberian cairan tidak memberikan efek lebih lanjut. Maka dari itu, protokol ini telah
berubah dari strategi resusitasi kuantitatif ke arah terapi resusitasi yang fokus
terhadap kondisi pasien tersebut dengan dipandu pemeriksaan dinamis untuk
mengevaluasi respon dari terapi tersebut. Pemeriksaan lain yang dapat digunakan
seperti carotid doppler peak velocity, passive leg raising, ekokardiografi.
Karena infeksi menyebabkan sepsis, penanganan infeksi merupakan komponen
penting dalam penanganan sepsis. Tingkat kematian akan meningkat dengan adanya
penundaan penggunaan antimikroba. Untuk meningkatkan keefektifitas penggunaan
antibiotik, penggunaan antibiotik berspektrum luas sebaiknya disertai dengan kultur
dan identifikasi sumber penularan kuman.Dan hal ini dilakukan sesegera mungkin.
Protokol terbaru merekomendasikan bahwa penggunaan antibiotik harus diberikan
maksimal dalam waktu 1 jam. Rekomendasi ini berdasarkan berbagai penelitian yang
meunjukkan bahwa penundaan dalam penggunaan antibiotik berhubungan dengan
peningkatan resiko kematian.Penggunaan vasopressor yang direkomendasikan adalah
norepinefrin untuk mencapai target MAP ≥ 65 mmHg. Penggunaan cairan yang
direkomendasikan adalah cairan kristaloid dengan dosis 30 ml/kgBB dan diberikan
dengan melakukan fluid challenge selama didapatkan peningkatan status
hemodinamik berdasarkan variabel dinamis (perubahan tekanan nadi, variasi volum
sekuncup) atau statik (tekanan nadi, laju nadi).7 Pada suatu penelitian yang dilakukan
oleh Bernard et al , penggunaan drotrecogin α (Human Activated Protein C)
menurunkan tingkat kematian pada pasien dengan sepsis. Protein C yang teraktivasi
akan menghambat pembentukan thrombin dengan menginaktifasi factor Va, VIIIa
dan akan menurunkan respon inflamasi.
5. SYOK ANAFILAKTIK
5.1 Definisi

33
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
peningkatan permeabilitas vascular.
5.2 Etiologi
Syok anafilaktik adalah kejadian akut yang berpotensi fatal di mana terjadi reaksi
sistem multi organ yang disebabkan oleh perilisan mediator kimia dari sel mast dan
basophil. Banyak pemicu yang menyebabkan terjaadinya syok anafilaktik. Makanan
adalah pemicu yang umum terutama kacang. Selain makanan, terdapat obat-obatan
(antibiotic,anestesi local, analgesic, opiate, media kontras,dll), produk-produk
biologis (darah,venom, vaksin, ekstrak allergen), pengawet dan zat adiktif (MSG) dan
lain-lain.
5.3 Patolofisologi
Syok anafilaktik terjadi setelah pajanan antigen terhadap sistem imun yang
menghasilkan dreganulasi sel mast dan pelepasan mediator. Aktivasi sel mast dapat
terjadi baik oleh jalur yang dimediasi imunoglobulin E (IgE) (anafilaktik) maupun
yang tidak dimediasi IgE (anafilaktoid ). Pencetus syok anafilaktik meliputi gigitan
atau sengatan serangga, obat-obatan dan makanan; anafilaksis dapat juga bersifat
idiopatik. Mediator gadar meliputi histamine, leukotriene, triptase, dan prostaglandin.
Bila dilepaskan, mediator menyebabkan peningkatan sekresi mucus, peningkatan
tonus otot polos bronkus, edema saluran napas, penurunan tonus vascular, dan
kebocoran kapiler. Konstelasi mekanisme tersebut menyebabkan gangguan
pernapasan dan kolaps kardiovaskular. ( Michael I. Greenberg, Teks-Atlas
Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24)
Antigen masuk ke dalam tubuh dapat melalui bermacam cara yaitu kontak
langsung melalui kulit, inhalasi, saluran cerna dan melalui tusukan / suntikan. Pada
reaksi anafilaksis, kejadian masuknya antigen yang paling sering adalah melalui
tusukan / suntikan.
Begitu memasuki tubuh, antigen akan diikat langsung oleh protein yang spesifik
(seperti albumin). Hasil ikatan ini selanjutnya menempel pada dinding sel makrofag
dan dengan segera akan merangsang membrane sel makrofag untuk melepaskan sel
precursor pembentuk reagen antibody immunoglobulin E atau reagenic ( IgE)

34
antibody forming precursor cell. Sel-sel precursor ini lalu mengadakan mitosis dan
menghasilkan serta membebaskan antibody IgE yang spesifik. IgE yang terbebaskan
ini akan diikat oleh reseptor spesifik yang berada pada dinding sel mast dan basofil
membentuk reseptor baru yaitu F ab. Reseptor F ab ini berperan sebagai pengenal dan
pengikat antigen yang sama. Proses yang berlangsung sampai di sini disebut proses
sensitisasi.
Pada suatu saat dimana tubuh kemasukan lagi antigen yang sama, maka antigen
ini akan segera sikenali oleh reseptor F ab yang telah terbentuk dan diikat membentuk
ikatan IgE – Ag. Adanya ikatan ini menyebabkan dinding sel mast dan basofil
mengalami degranulasi dan melepaskan mediator-mediator endogen seperti
histamine, kinin, serotonin, Platelet Activating Factor (PAF). Mediator-mediator ini
selanjutnya menuju dan mempengaruhi sel-sel target yaitu sel otot polos. Proses
merupakan reaksi hipersensitivitas.
Pelepasan endogen tersebut bila berlangsung cepat disebut fase akut dan karena
dapat dilepaskan dalam jumlah yang besar, maka biasanya tidak dapat diatasi dengan
hanya memberikan antihistamin.
Pada saat fase akut ini berlangsung, pada membran sel mast dan basofil terjadi
pula proses yang lain. Fosfolipid yang terdapat di membrane sel mast dan basofil oleh
pengaruh enzim fosfolipase berubah menjadi asam arakidonat dan kemudian akan
menjadi prostaglandin, tromboksan dan leukotrien / SRSA ( Slow Reacting Substance
of Anaphylaxis) yang juga merupakan mediator-mediator endogen anafilaksis. Karena
proses terbentuknya mediator yang terakhir ini lebih lambat, maka disebut dengan
fase lambat anafilaksis.
Melalui mekanisme yang berbeda, bahan yang masuk ke dalam tubuh dapat
lasung mengaktivasi permukaan reseptor sel plasma dan menyebabkan pembebasan
histamine oleh sel mast dan basofil tanpa melalui pembentukan IgE dan reaksi ikatan
IgE-Ag. Proses ini disebut reaksi anafilaktoid, yang memberikan gejala dan tanda
serta akibat yang sama seperti reaksi anafilaksis. Beberapa sistem yang dapat
mengaktivasi komplemen yaitu, obat-obatan, aktivasi kinin, pelepasan histamine
secara langsung, narkotika, obat pelemas otot : d-tubokurarin, atrakurium,
antibiotika : vankomisin, polimiksin B.

35
Pada reaksi anafilaksis, histamine dan mediator lainnya yang terbebaskan akan
mempengaruhi sel target yaitu sel otot polos dan sel lainnya. Akibat yang ditimbulkan
dapat berupa:
a.  Terjadinya vasodilatasi sehingga terjadi hipovolemi yang relative.
b.  Terjadinya kontraksi dari otot-otot polos seperti spasme bronkus
mengakibatkan sesak nafas, kontraksi vesika urinaria menyebabkan
inkontinensia uri, kontraksi usus menyebabkan diare.
c. Terjadi peningkatan permeabilitas kapiler yang mengakibatkan edema karena
pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstisial dan menyebabkan
hipovolemi intravaskuler dan syok. Edema yang dapat terjadi terutama di kulit,
bronkus, epiglottis dan laring.
d.  Pada jantung dapat terjadi spasme arteri koronaria dan depresi miokardium.
e.   Terjadinya spasme arteri koronaria dan depresi miokardium yang bila sangat
hebat dapat menyebabkan henti jantung mendadak.
Leukotrin (SRSA) dan tromboksan yang terbebaskan pada fase lambat dapat
menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih kuat dibandingkan dengan yang
disebabkan oleh histamine. Prostaglandin selain dapat menyebabkan bronkokonstriksi
juga dapat meningkatkan pelepasan histamine. Peningkatan pelepasan histamine ini
dapat pula disebabkan oleh PAF.
5.4 Manifestasi Klinis
Gambaranyang paling sering adalah berasal dari kardiovaskuler. Tidak semua
gejala terjadi pada setiap pasien –satu gejala mungkin lebih mencolok dibandingkan
gejalayang lain. Reaksi berkisar dari yang ringan sampai yang mengancam hidup.
Pasien yang sadar akanmengeluhkan serangkaian gejala, tetapi diagnosis lebih sulit
pada pasien yang telah dianestesi.
Anafilaksis dicurigai terjadi pada pasien yang telah dianestesi jika timbul
hipotensi atau bronkhospasme secara tiba-tiba, terutama jika hal tersebut
terjadisetelah pemberian suatu obat atau cairan. Alergi lateks mungkin mempunyai
onset yang lambat, kadang-kadang memerlukan waktu sampai 60 menit untuk
bermanifestasi.

36
 Kardiovaskuler: Hipotensi dan kolaps kardiovaskuler. Takikardi, aritmia,
EKG mungkin memperlihatkan perubahan iskemik. Henti jantung.
 Sistem Pernapasan :Edema glottis, lidah dan saluran napas dapat
menyebabkan stridor atauobstruksi saluran napas. Bronkospasme –pada
yang berat.
 Gastrointestinal : Terdapat nyeri abdomen, diare atau muntah.
 Hematologi: Koagulopati.
 Kulit: Kemerahan, eritema, urtikaria.
5.5 Diagnosis
Untuk mengetahui babarapa penyebab terjadinya syok anafilatik, maka dilakukan
beberapa tes untuk mengidentifikasi alergennya :
a. Skin tes
Skin tes merupakan cara yang banyak digunakan, untuk mengevaluasi
sensitivitas alerginya. Keterbatasan skin tes adalah adanya hasil positif palsu
dan adanya reexposure dengan agen yang akan mengakibatkan efek samping
serius yang akan datang, oleh karena itu pemberiannya diencerkan 1 : 1.000
sampai 1 : 1.000.000 dari dosis initial.
b. Kadar komplemen dan antibody
Meskipun kadar komplemen tidak berubah dan Ig E menurun setelah reaksi
anafilaktik, keadaan ini tidak berkaitan dengan reaksi imunologi. Pada tes ini
penderita diberikan obat yang dicurigai secara intra vena, kemudian diamati
kadar Ig E nya, akan tetapi cara ini dapat mengancam kehidupan.
c. Pelepasan histamin oleh lekosit in vitro
Histamin dilepaskan bila lekosit yang diselimuti Ig E terpapar oleh antigen
imunospesifik. Pelepasan histamin tergantung dari derajat spesifitas sel yang
disensitisasi oleh antibodi Ig E. akan tetapi ada beberapa agent yang dapat
menimbulkan reaksi langsung ( non imunologik ) pada pelepasan histamin.
d. Radio allergo sorbent test ( RAST )
Antigen spesifik antibodi Ig E dapat diukur dengan menggunakan RAST.
Pada RAST, suatu kompleks pada sebuah antigen berikatan dengan matriks
yang tidak larut diinkubasi dengan serum penderita. Jumlah imunospesifik

37
antibodi Ig E ditentukan dengan inkubasi pada kompleks dan serum dengan
ikatan radioaktif 125-labelled anti-Ig E. ikatan radioaktif ini mencerminkan
antigen-spesifik antibodi.
e. Hitung eosinofil darah tepi
menunjukan adanya alergi dengan peningkatan jumlah.
5.6 Tatalaksana
Tanpa memandang beratnya gejala anafilaksis, sekali diagnosis sudah ditegakkan
pemberian epinefrin tidak boleh ditunda-tunda. Hal ini karena cepatnya mulai
penyakit dan lamanya gejala anafilaksis berhubungan erat dengan kematian. Dengan
demikian sangat masuk akal bila epinefrin 1 :1000 yang diberikan adalah 0,01
ml/kgBB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan (SK) dan dapat diberikan
setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali seandainya gejala penyakit bertambah buruk atau
dari awalnya kondisi penyakitnya sudah berat, suntikan dapat diberikan secara
intramuskular (IM) dan bahkan kadang-kadang dosis epinefrin dapat dinaikan sampai
0,5 ml sepanjang pasien tidak mengidap kanaikan jantung.
Bila pencetusnya adalah alergen seperti pada suntikan imunoterapi, penisilin, atau
sengatan serangga, segera diberikan suntikan inflitrasi epinefrin 1 : 1000 0,1 – 0,3 ml
di bekas tempat suntikan untuk mengurangi absorbsi alergen tadi. Bila mungkin
dipasang torniket proksimal dari tempat suntikan dan kendurkan setiap 10 menit.
Torniket tersebut dapat dilepas bila keadaan sudah terkendali. Selanjutnya dua hal
penting yang harus segera di perhatikan dalam memberikan terapi pada pasien
anafilaksis yaitu mengusahakan :
a.    Sistem pernapasan yang lancar, sehingga oksigenasi berjalan dengan baik.
b.    Sistem kardiovaskuler yang juga harus berfungsi baik sehingga perfusi
jaringan memadai.
Meskipun prioritas pengobatan ditujukan kepada sistem pernapasan dan
kardiovaskular, tidak berarti pada organ lain tidak perlu diperhatikan atau diobati.
Prioritas ini berdasarkan kenyataan bahwa kematian pada anafilaksis terutama
disebabkan oleh tersumbatnya saluran napas atau syok anafilaksis.
a.    Sistem pernapasan

38
1)    Memelihara saluran napas yang memadai. Penyebab tersering kematian pada
anafilaksis adalah tersumbatnya saluran napas baik karena edema laring atau spasme
bronkus. Pada kebanyakan kasus, suntikan epinefrin sudah memadai untuk mengatasi
keadaan tersebut. Tetapi pada edema laring kadang-kadang diperlukan tindakan
trakeostomi. Tindakan intubasi trakea pada pasien dengan edema larings tidak saja
sulit tetapi juga sering menambah beratnya obstruksi. Karena pipa endotrakeal sering
mengiritasi larings. Bila saluran napas tertutup sama sekali hanya tersedia waktu 3
menit untuk bertindak. Karena trakeostomi hanya dikerjakan oleh dokter ahli atau
yang berpengalaman maka tindakan yamg dapat dilakukan dengan segera adalah
melakukan punksi membran krikotiroid dengan jarum besar. Kemudian pasien segera
dirujuk ke rumah sakit.
2)    Pemberian oksigen 4-6 l/menit sangat penting baik pada gangguan
pernapasan maupun pada kardiovaskular.
3)    Bronkodilator diperlukan bila terjadi obsruksi saluran napas bagian bawah
seperti pada gejala asma atatu status asmatikus. Dalam hal ini dapat diberikan larutan
salbutamol atau agonis beta-2 lainnya 0,25 cc- 0,5 cc dalam 2-4 ml NaCl 0,9%
diberikan melalui nebulisasi atau aminofilin 5-6 mg / kgBB yang diencerkan dalam
20 cc deksrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan perlahan-lahan sekitar 15 menit.
b.    Sistem Kardiovaskular
1)    Gejala hipotensi atau syok yang tidak berhasi dengan pemberian epinefrin
menandakan bahwa telah terjadi kekurangan cairan intravaskular. Pasien ini
membutuhkan cairan intravena secara cepat baik dengan cairan kristaloid (NaCl 0,9
%) atau koloid (plasma, dextran). Dianjurkan untuk memberikan cairan koloid 0,5-1
L dan sisanya dalam bentuk cairan kristaloid. Cairan koloid ini tidak saja mengganti
cairan intravaskular yang merembes ke luar pembuluh darah atau yang terkumpul di
jaringan splangnikus, tetapi juga dapat menarik cairan ekstravaskular untuk kembali
ke intravaskular.
2)    Oksigen mutlak harus diberikan disamping pemantauan sistem
kardiovaskular dan pemberian natrium bikarbonat bila terjadi asidosis metabolik.
3)   Kadang-kadang diperlukan CVP (central venous presure). Pemasangan CVP
ini selain untuk memantau kebutuhan cairan dan menghindari kelebihan pemberian

39
cairan, juga dapat dipakai untuk pemberian obat yang bila bocor dapat merangsang
jaringan sekitarnya.
4)    Bila tekanan darah masih belum teratasi dengan pemberian cairan, para ahli
sependapat untuk memberikan vasopresor melalui cairan infus intravena. Dengan cara
melarutkan 1 ml epinefrin 1:1000 dalam 250 ml dekstrosa ( konsentrasi 4 mg/ml)
diberikan dengan infus 1 – 4 mg/menit atau 15-60 mikrodip/menit (dengan infus
mikridip), bila diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai maksimum 10 mg/ml.

Bila sarana pembuluh darah tidak tersedia, pada keadaann anafilaksis yang berat,
American Heart Association, menganjurkan pemberian epinefrin secara endotrakeal
dengan dosis 10 ml epinefrin 1:10.000 diberikan melalui jarum panjang atau kateter
melalui pipa endotrakeal (dosis anak 5 ml epinefrin 1:10.000 ). Tindakan diatas
kemudian diikuti pernapasan hiperventilasi untuk menjamin absorbsi obat yang cepat.
Pernah dilaporkan selain usah-usaha yang dilaporkan tadi ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan :
a)    Pasien yang mendapatkan obat atau dalam pengobatan obat penyakit reseptor
beta (beta blocker) gejalanya sering sukar diatasi dengan epinefrin atau bahkan
menjadi lebih buruk karena stimulasi reseptor adrenergik alfa tidak terhambat. Dalam
keadaan demikian inhalasi agonis beta-2 atau sulfas atropine akan memberikan
manfaat disamping pemberian amiofilin dan kortikosteroid secara intravena.
b)    Antihistamin (AH) khususnya kombinasi AH1 dangan AH2 bekerja secara
kinergistik terhadap reseptor yang ada di pembuluh darah. Tergantung beratnya
penyakit, AH dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis berat
antihistamin dapat diberikan IV. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau ranitidin
(150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila pasien mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari
sebagai gantiya dipakai ranitidin.
c)    Kortikosteroid harus rutin diberikan baik pada pasien yang mengalami
gangguan napas maupun gangguan kardiovaskular. Memang kortikosteroid tidak
bermanfaat untuk reaksi anafilaksis akut, tetapi sangat bermanfaat untuk mencegah
reaksi anafilaksis yang berat dan berlangsung lama. Jika pasien sadar bisa diberikan

40
tablet prednisone tetapi lebih disukai memberikan intravena dengan dosis 5mg/kgBB
hidrokortison atau ekuivalennya. Kortikosteroid ini diberikan setiap 4-6 jam.

6. SYOK NEUROGENIK

6.1 Definisi

Syok neurogenic adalah jenis syok distributive dimana terjadi suatu keadaan
hilangnya tonus otonom secara tiba-tiba akibat dari cedera tulang belakang. Syok
neurogenic disebabkan oleh adanya disfungsi sistem saraf otonom dengan disfungsi
ganglia simpatis paravertebral yang menginervasi segmen torakolumbal, dimana bagian
ini merupakan persarafan yang berfungsi untuk mempertahankan tonus pembuluh darah
perifer.

6.2 Etiologi

Syok nerogenik disbebakan oleh adanya cedera tulang belakang, anastesi umum atau
spinal, luka dan kecemasan. Pasien dengan cedera tulang belakang bagian servikal lebih
mungkin untuk berkembang menjadi syok neurogenic.

6.3 Patofisiologi

Syok neurogenik termasuk syok distributif dimana penurunan perfusi  jaringan


dalam syok distributif merupakan hasil utama dari hipotensi arterial karena penurunan
resistensi pembuluh darah sistemik (systemic vascular resistance). Sebagai tambahan,
penurunan dalam efektifitas sirkulasi volume  plasma sering terjadi dari penurunan
venous tone, pengumpulan darah di  pembuluh darah vena, kehilangan volume
intravaskuler dan intersisial karena  peningkatan permeabilitas kapiler. Akhirnya, terjadi
disfungsi miokard primer yang bermanifestasi sebagai dilatasi ventrikel, penurunan fraksi
ejeksi, dan  penurunan kurva fungsi ventrikel.

Pada keadaan ini akan terdapat peningkatan aliran vaskuler dengan akibat sekunder
terjadi berkurangnya cairan dalam sirkulasi. Syok neurogenik mengacu  pada hilangnya
tonus simpatik (cedera spinal). Gambaran klasik pada syok neurogenik adalah hipotensi
tanpa takikardi atau vasokonstriksi kulit.

41
Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan
vasodilatasi menyeluruh di regio splangnikus, sehingga perfusi ke otak berkurang. Reaksi
vasovagal umumnya disebabkan oleh suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau
nyeri. Syok neurogenik bisa juga akibat rangsangan parasimpatis ke jantung yang
memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke
pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional. Pada
penggunaan anestesi spinal, obat anestesi melumpuhkan kendali neurogenik sfingter
prekapiler dan menekan tonus vasomotor. Pasien dengan nyeri hebat, stres emosi dan
ketakutan meningkatkan vasodilatasi karena mekanisme reflek yang tidak jelas yang
menimbulkan volume sirkulasi yang tidak efektif dan terjadi sinkop.

6.4 Manifestasi Klinis

Hampir sama dengan syok pada umumnya tetapi pada syok neurogenik terdapat
tanda tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, bahkan dapat lebih lambat
(bradikardi) kadang disertai dengan adanya defisit neurologis berupa quadriplegia atau
paraplegia. Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar,  barulah
nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler
dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.

6.5 Diagosis

MRI maupun CT-scan dilakukan untuk mengidentifikasi trauma pada tulang


belakang. Diagnosis dari syok neurogenic dapat diambil dari radiografi, monitoring dari
hemodinaik pasien derta pemeriksaan fisik.

6.6 Tatalaksana

Konsep dasar untuk syok distributif adalah dengan pemberian vasoaktif seperti
fenilefrin dan efedrin, untuk mengurangi daerah vaskuler dengan penyempitan sfingter

42
prekapiler dan vena kapasitan untuk mendorong keluar darah yang berkumpul ditempat
tersebut. 

1. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).

2. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen, sebaiknya dengan menggunakan


masker. Pada pasien dengan distress respirasi dan hipotensi yang berat,
penggunaan endotracheal tube dan ventilator mekanik sangat dianjurkan. Langkah ini untuk
menghindari pemasangan endotracheal yang darurat jika terjadi distres respirasi yang
berulang. Ventilator mekanik juga dapat menolong menstabilkan hemodinamik dengan
menurunkan penggunaan oksigen dari otot-otot respirasi.13

3. Untuk keseimbangan hemodinamik, sebaiknya ditunjang dengan resusitasi cairan. Cairan


kristaloid seperti NaCl 0,9% atau Ringer Laktat sebaiknya diberikan per infus secara cepat
250-500 cc bolus dengan pengawasan yang cermat terhadap tekanan darah, akral, turgor
kulit, dan urin output untuk menilai respon terhadap terapi.

4. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasoaktif
(adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :3,14,15

Dopamin

Merupakan obat pilihan pertama. Pada dosis > 10 mcg/kg/menit, berefek serupa dengan
norepinefrin. Jarang terjadi takikardi.

Norepinefrin

Efektif jika dopamin tidak adekuat dalam menaikkan tekanan darah. Monitor terjadinya
hipovolemi atau cardiac output yang rendah jika norepinefrin gagal dalam menaikkan tekanan
darah secara adekuat. Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya
diberikan per infus. Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi
perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan
bila tekanan darah sudah normal kembali. Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena
dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.

Epinefrin

Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam
badan. Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung Sebelum

43
pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik.
Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada
pasien syok neurogenik

Dobutamin

Berguna jika tekanan darah rendah yang diakibatkan oleh menurunnya cardiac output.
Dobutamin dapat menurunkan tekanan darah melalui vasodilatasi perifer.

KESIMPULAN

44
Syok bukan merupakan suatu diagnosis, syok merupakan suatu sindrom
klinis yang mencakup sekelompok keadaan dengan manifestasi hemodinamik
yang bervariasi tetapi petunjuk yang umum adalah tidak adekuatnya perfusi
jaringan. Syok terdiri dari beberapa tahapan, diantaranya tahapan kompensasi,
tahapan dekompensasi, dan tahapan irreversible. Berdasarkan etiologinya, syok
terdiri dari, syok hipovolemik, syok kardiogenik, dan syok distributif. Syok
distributif meliputi syok anafilaktik, syok neurogenik, dan syok sepsis.
Penanganan syok berbeda-beda sesuai dengan kelainan atau penyebab syok
tersebut. Adapun gejala dari syok adalah pucat (pallor ),hipotensi (tekanan sistol < 90
mmHg), kadang- kadang tekanan darah tidak terdeteksi, takikardi (frekuensi jantung >
100x/menit), takipneu (nafas cepat), berkeringat, Akral dingin, dan Oliguria.

DAFTAR PUSTAKA

45
1. Sjamsuhidayat, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC; 2005. 119-
24.
2. Udeani J. Shock, Hemorrhagic. 2008 [cited November 26
Th 2011].http://emedicine.medscape.com/article/432650-overview
3. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of  Emergency
Surgery. 2006. 1-144.
4. Anderson SP, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit jilid 1, edisi
4.1995. Jakarta: EGC.
5. Stern SA. Low-volume fluid resuscitation for presumed hemorrhagic shock:Helpful or
harmful Curr Opin Crit Care 7:422, 2001
6. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd,2003
7. Krausz. Initial Resuscitation Of Hemorrhagic Shock. World Jurnal of  Emergency
Surgery. 2006. 1-141 6 .
8. Martel MJ. Hemorrhagic shock. J Obstet Gynaecol Can. Vol 24 (6). 2002.504-11
9. Suryono B. Diagnosis dan pengelolaan syok pada dewasa. [Clinical
updatesemergency case]. FK UGM: RSUP dr. Sadjito, 2008
10. Abbas, AK.,Aser JC dan Kumar. Buku Ajar patologi Robbins. Edisi 9.
Ingapura:Elseveier Saunders.2007
11. Irvan,Febyan,Suparto.Jurnal Anastesiologi Indonesia : Sepsis dan Tata Laksana Berdasar
Guideline Terbaru.Vol. X No.1. Jakarta. 2019

46

Anda mungkin juga menyukai