Peraturan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 130, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3988); Penerapan Untuk peralihan hak berupa jual beli, pajak dikenakan kepada kedua belah pihak baik kepada penjual ataupun pembeli. Kepada penjual dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan pembeli dikenakan BPHTB yang besarnya dihitung berdasarkan harga perolehan hak atau Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP). nilai NPOP ini bisa lebih besar atau lebih kecil dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Banyak faktor yang mempengaruhi nilai NPOP, seperti perkembangan yang luar biasa di suatu daerah dalam waktu singkat sehingga harga tanah meningkat dengan cepat. Daerah seperti ini nilai NPOP bisa jauh lebih besar dari NJOP. Sebaliknya, ada daerah yang nilai NPOP-nya lebih rendah dari nilai NJOP seperti daerah yang direncanakan akan dijadikan tempat pembuangan sampah, daerah yang berdekatan dengan area pemakaman, lokasi yang berada di dekat saluran udara tegangan ekstra tinggi atau sutet, daerah dengan potensi konflik, atau sengketa di kemudian hari. Jika nilai NPOP lebih besar dari NJOP, yang dijadikan sebagai dasar pengenaan PPh dan BPHTB adalah NPOP. Akan tetapi, jika NPOP lebih kecil dari NJOP, yang dijadikan dasar untuk perhitungan PPh dan BPHTB adalah NJOP. PPh atas peralihan tanah dan bangunan dihitung sebesar 5% dari NPOP atau NJOP. Sedangkan untuk perhitungan BPHTB, NPOP dikurangi terlebih dahulu dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) kemudian dikali 5%. 2. Implikasi dan dampak Sebelumnya, BPHTB termasuk pajak pusat tetapi hasilnya sebagian besar diserahkan kepada daerah. Namun, sejak berlakunya UU 28/2009 kewenangan pemungutan BPHTB dialihkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Dampak positif dari adanya pengalihan tersebut adalah daerah dapat sepenuhnya memperoleh hasil dari penerimaan BPHTB. Hal ini tentu sangat menguntungkan terutama bagi pemerintah daerah kabupaten/kota yang pertumbuhan usaha propertinya tinggi. Kendati demikian, pengenaan BPHTB tidak mutlak ada pada seluruh daerah kabupaten/kota. Hal ini berkaitan dengan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah kabupaten/kota untuk mengenakan atau tidak mengenakan suatu jenis pajak daerah. Berdasarkan Pasal 124 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021, keringanan pajak dan retribusi daerah yang dapat diberikan kepada UMK mencakup pengurangan, keringanan, hingga pembebasan pajak dan retribusi daerah. “Insentif yang dimaksud … meliputi pajak bumi dan bangunan sektor pedesaan dan perkotaan (PBB-P2), bea perolehan hak atas tanah dan bangunan, dan retribusi daerah,” demikian isi Pasal 124 ayat (6) PP 7/2021. 3. Kesimpulan BPHTB adalah pajak atas perolehan hak atas tanah dan/atau bangunan. Pungutan ini ditanggung pihak yang memperoleh hak atas tanah/bangunan yang berarti pembeli. Namun demikian, penjual sebagai penerima penghasilan juga dikenakan pajak tetapi berupa pajak penghasilan (PPh).