Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN CEDERA KEPALA SEDANG


DENGAN TINDAKAN CRANIOPLASTY

OLEH :

I DEWA GEDE DWIJA YASA


NIM. 1202105066

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis merupakan suatu trauma/ruda paksa yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009).
Brain Injury Association of America mendefinisikan cedera kepala sebagai suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital atau degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah
kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Penangan khususnya pada klien dengan Cidera Kepala Berat (CKB) yang mengalami
perdarahan atau hematom di kepala baik pada bagian epidural (EDH) maupun
subdural (SDH) dilakukan tindakan trepanasi/kraniotomi.
Epidural hematoma (EDH) adalah suatu perdarahan yang terjadi di antara tulang dan
lapisan duramater, biasanya sumber perdarahannya adalah robeknya Arteri meningica
media (paling sering), Vena diploica (oleh karena adanya fraktur kalvaria), Vena
emmisaria, Sinus venosus duralis.
Subdural hematoma (SDH) merupakan suatu perdarahan yang terdapat pada rongga
diantara lapisan duramater dengan araknoidea, sumber perdarahan dapat berasal dari
Bridging vein (paling sering), A/V cortical, Sinus venosus duralis.
Intracranial hematoma (ICH) sendiri merupakan perdarahan yang terjadi pada
jaringan otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan otak.
Menurut Dorland (1998), kraniotomi/trepanasi adalah setiap operasi terhadap
cranium. Kraniotomi adalah operasi membuka tulang tengkorak untuk mengangkat
tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan darah atau menghentikan perdarahan
(Hinchliff, Sue. 1999).
Kraniotomi mencakup pembukaan tengkorak melalui pembedahan untuk
meningkatkan akses pada struktur intrakranial. (Brunner & Suddarth. 2002).
Jadi post kraniotomi adalah setelah dilakukannya operasi pembukaan tulang
tengkorak untuk, untuk mengangkat tumor, mengurangi TIK, mengeluarkan bekuan
darah atau menghentikan perdarahan.

2. Epidemiologi
Cedera kepala merupakan salah satu masalah kesehatan yang dapat menyebabkan
gangguan fisik dan mental yang kompleks. Cedera kepala adalah salah satu penyebab
kematian utama dikalangan usia produktif antara 15-44 tahun. Secara global insiden
cedera kepala meningkat dengan tajam terutama karena peningkatan penggunaan
kendaraan bermotor. WHO memperkirakan bahwa pada tahun 2020 kecelakaan lalu
lintas akan menjadi penyebab penyakit dan trauma ketiga terbanyak di dunia.
Di Amerika Serikat kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus dari jumlah di atas 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat
cedera kepala tersebut (Fauzi, 2002). Diperkirakan 100.000 orang meninggal setiap
tahunnya akibat cedera kepala, dan lebih dari 700.000 mengalami cedera cukup berat
yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Dua per tiga dari kasus ini berusia
dibawah 30 tahun dengan jumlah laki-laki lebih banyak dari wanita. Lebih dari
setengah dari semua pasien cedera kepala berat mempunyai signifikasi terhadap
cedera bagian tubuh lainnya (Smeltzer and Bare, 2002).

3. Etiologi

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah
karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena
disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan
akibat ledakan di medan perang (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006).
Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma
kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per 100.000 populasi. Kekerasan adalah
penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000
populasi di Amerika Serikat (Coronado, Thomas, 2007).

Smeltzer (2001) mengemukakan penyebab lain terjadinya trauma kepala antara lain :
a. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah dimana merobek otak, misalnya
tertembak peluru atau benda tajam
b. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
c. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepala baik disebabkan oleh pukulan maupun
bukan dari pukulan
d. Kontak benturan (Gonjatan langsung)
Terjadi benturan atau tertabrak sesuatu objek
e. Kecelakaan lalu lintas
f. Jatuh
g. Kecelakaan industri
h. Serangan yang disebabkan karena olah raga
i. Perkelahian

Menurut Tarwoto (2007), penyebab dari Trauma/Cedera Kepala adalah :


a. Kecelakaan lalu lintas.
b. Terjatuh
c. Pukulan atau trauma tumpul pada kepala.
d. Olah raga
e. Benturan langsung pada kepala
f. Kecelakaan industri.

4. Mekanisme Trauma Kepala


Menurut Tarwoto (2007) mekanisme cedera memegang peranan yang sangat sadar
dalam berat ringannya dari trauma kepala. Mekanisme cedera kepala dapat dibagi
menjadi :
a. Cedera Percepatan (akselerasi) yaitu jika benda yang bergerak membentur kepala
yang diam, misalnya pada orang-orang diam kemudian terpukul atau terlempar
batu.
b. Cedera Perlambatan (Deselerasi) yaitu jika kepala bergerak membentur benda
yang diam, misalnya pada saat kepala terbentur.
c. Deformitas adalah perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi
akibat trauma, misalnya ada fraktur kepala, kompresi, ketegangan atau
pemotongan pada jaringan otak.

5. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat
langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala
dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala
(Gennarelli, 1996 ; Israr dkk, 2009). Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang
bisa berupa perdarahan pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan
kecil, tanpa kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan tidak
terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi
tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”.
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering
dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana
caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi
kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate
adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan countrecoup (Mardjono dan
Sidharta, 2008).
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak
dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi
solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat
dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak
membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan
(countrecoup) (Hickey, 2003 dalam Israr dkk,2009).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan iskemia
otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak otak. Cedera
sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera awal. Setiap
kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola tertentu yang
dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel.
Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan
aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang
berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit pada
suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan sangat rentan
terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera mengakibatkan hilangnya
kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah sirkulasi yang tersedia,
menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak (Lombardo, 2003).

6. Klasifikasi
Cedera kepala berdasarkan klasifikasinya dapat dibagi menjadi :
a. Cedera Kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pencahnya tengkorak atau luka
penetrasi. Besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan
bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak
menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak,
jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan. Cedera kepala terbuka
memungkinkan kuman pathogen memiliki akses langsung ke otak.
b. Cedera Kepala Tertutup
Benturan cranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang
mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian
serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera
kepala tertutup meliputi: komusio (gagar otak), kontusio (memar), dan laserasi
(Brunner & Suddarth, 2001)

Berdasarkan nilai GCS, cedera kepala dapat dibagi menjadi :


a. Cedera kepala ringan
Nilai GCS: 13-15, kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit. Ditandai dengan
nyeri kepala, muntah, vertigo dan tidak ada penyerta seperti pada fraktur
tengkorak, kontusio/hematoma
b. Cedera kepala sedang
Nilai GCS: 9-12, kehilangan kesadaran antara 30 menit – 24 jam, dapat mengalami
fraktur tengkorak dan disorientasi ringan (bingung)
c. Cedera kepala berat
Nilai GCS: 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24 jam, meliputi: kontusio serebral,
laserasi, hematoma dan edema serebral

Berikut adalah standar penilaian berdasarkan Gaslow Coma Scale (GCS)


E = Eyes / Buka mata
 Spontan 4
 Respon terhdap perintah lisan 3
 Respon terhadap rangsangan sakit 2
 Tidak ada respon 1
M = Motorik respons / Respon motorik
 Sesuai perintah 6
 Terlokasi pada tempat sakit 5
 Menarik terhadap rangsang sakit 4
 Fleksi abnormal 3
 Respon ekstensor 2
 Tidak ada respon 1
V = Verbal response
 Bicara sesuai, terorientasi 5
 Bicara kacau 4
 Bicara tidak sesuai 3
 Kata-kata tak berarti 2
 Tidak ada respon verbal 1
 Terintubasi T
Ketiga tersebut di gabungkan atau dijumlahkan menjadi penilaian GCS = E M V
(urutan yang sering di gunakan urutannya untuk berkomunikasi dengan dokter atau
petugas kesehatan lain adalah Eyes (E) motorik (M) Verbal (V))

Jumlah sekor :
15 = Compos mentis (CM)
14 – 11 = Somnolen
11 – 8 = Apatis
8 – 7 = Soporus
misalkan : E3 M5 V4 = 12 ( kesadaran somnolen)

Klasifikasi kraniotomi/trepanasi
Secara umum ada dua pendekatan melalui tengkorak yang digunakan:
a. Di atas tentorium (kraniotomi supratentorial) ke dalam kompartemen
supratentorial.
b. Di bawah tentorium ke dalam kompartemen infratentorial (fossa posterior).
c. Pendekatan transfenodial melalui sinus mulut dan hidug digunakan untuk membuat
akses ke kelenjar hipofisis.

7. Manifestasi Klinis
Gejala klinis trauma kepala sebagai berikut:
a. Battle sign : warna biru atau ekhimosis dibelakang telinga diatas os mastoid
b. Hemotipanum : perdarahan di daerah membrane timpani telinga
c. Periorbital ecchymosis : mata warna hitam tanpa trauma langsung
d. Rhinorrhe : cairan serebrospinal keluar dari hidung
e. Otorrhe : cairan serebrospinal keluar dari telinga

Gejala Klinis untuk trauma kepala ringan, sebagai berikut:


a. Pasien tertidur atau kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian
sembuh
b. Sakit kepala yang menetap atau berkepanjangan
c. Mual atau dan muntah
d. Gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun
e. Perubahan kepribadian diri
f. Letargik

Gejala Klinis untuk trauma kepala berat, sebagai berikut:


a. Simptom atau tanda-tanda cardinal yang menunjukkan perubahan di otak, menurun
atau meningkat
b. Perubahan ukuran pupil (anisokoria)
c. Triad Cushing (denyut jantung menurun, hipertensi, depresi pernapasan)
d. Apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan atau posisi
abnormal ekstrimitas

Manifestasi kilnis Subdural hematoma (SDH) antara lain:


a. Nyeri kepala
b. Bingung
c. Mengantuk
d. Menarik diri
e. Berfikir lambat
f. Kejang
g. Udem pupil
Indikasi operasi menurut EBIC (Europe Brain Injuy Commition) pada perdarahan
subdural adalah jika perdarahan tebalnya lebih dari 1cm, jika terdapat pergeseran garis
tengah lebih dari 5mm.

Manifestasi klinis Epidural hematoma (EDH) antara lain:


a. Penurunan kesadaran
b. Adanya lateralisasi
Adanya ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh,
dapat berupa Hemiparese/plegi, pupil anisokor, reflek patologis satu sisi. Adanya
lateralisasi dan jejas pada kepala menunjukkan lokasi dari EDH. Pupil
anisokor/dilatasi dan jejas pada kepala letaknya satu sisi dengan lokasi EDH
sedangkan hemiparese/plegi letaknya kontralateral dengan lokasi EDH.
c. Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian analgesia
d. Bingung
e. Susah Bicara
f. Pengelihatan kabur
g. Keluar cairan darah dari hidung atau telinga
h. Pusing
i. Mual
j. Wajah tampak pucat
k. Pada pemeriksaan radiologis CT Scan didapatkan gambaran area hiperdens dengan
bentuk bikonvek diantara 2 sutura.
Indikasi dilakukan operasi pada EDH jika hasil CT Scan menunjukkan terjadinya
perdarahan volumenya lebih dari 20cc atau tebal lebih dari 1cm atau dengan
pergeseran garis tengah (midline shift) lebih dari 5mm, tanda-tanda lokal dan
peningkatan TIK > 25 mmHg, keadaan pasien memburuk.

Gejala Klinis ICH


Secara klinis ditandai dengan adanya penurunan kesadaran yang kadang-kadang
disertai lateralisasi, pada pemeriksaan CT Scan didapatkan adanya daerah hiperdens
yang indikasi dilakukan operasi jika Single diameter lebih dari 3cm, Perifer, adanya
pergeseran garis tengah, Secara klinis hematom tersebut dapat menyebabkan
gangguan neurologis/lateralisasi.

7. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada klien dengan cedera kepala meliputi
a. CT scan ( dengan/tanpa kontras)
Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan, ventrikuler, dan perubahan
jaringan otak
b. MRI
Digunakan sama dengan CT scan dengan/tanpa kontras radio aktif
c. Cerebral angiografi
Menunjukan anomaly sirkulasi serebral seperti perubahan jaringan otak skundre
menjadi edema, perdarahan, dan trauma.
d. Serial EEG (Electroencephalography)
Dapat melihat perkembangan gelombang patologis
e. Sinar X
Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan/edema) fragmen tulang
f. BAER (Brainstem Auditory Evoked Response)
Mengoreksi batas fungsi korteks dan otak kecil
g. PET (Positron Emission Tomography)
Mendeteksi perubahan aktifititas metabolism otak
h. CSS
Lumbal fungsi dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid
i. Kadar elektrolit
Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan intracranial
j. Screen toxicology
Untuk mendeteksi pengaruh obat yang dapat menyebabkan penurunan kesadaran
k. Rontgen thorahk 2 arah (PA/AP dan lateral)
Rontgen thorak menyatakan akumulasi udara / cairan pada area pleural.
l. Toraksentesis menyatakan darah/cairan
m. SPECT (Single Photon Emission Computed Tomography)
Untuk mendeteksi luas dan daerah abnormal dari otak.
n. Mielografi
Untuk mengganbarkan ruang sub arachnoid sepinal dan menunjukkan adanya
penyimpangan medulla spinalis.

8. Diagnosis
Prosedur diagnostik praoperasi dapat meliputi tomografi computer (pemindaian CT)
untuk menunjukkan lesi dan memperlihatkan derajat edema otak sekitarnya, ukuran
ventrikel, dan perubahan posisinya. Pencitraan resonans magnetik (MRI) memberikan
informasi serupa dengan pemindaian CT, dengan tambahan keutungan pemeriksaan
lesi di potongan lain. Angiografi serebral dapat digunakan untuk meneliti suplai darah
tumor atau memberi informasi mengenai lesi vascular. Pemeriksaan Doppler
transkranial mengevaluasi aliran darah pembuluh darah intrakranial.

9. Terapi
Penatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari faktor
mempertahankan fungsi ABC (airway, breathing, circulation) dan menilai status
neurologis (disability, exposure), maka faktor yang harus diperhitungkan pula adalah
mengurangi iskemia serebri yang terjadi. Keadaan ini dapat dibantu dengan
pemberian oksigen dan glukosa sekalipun pada otak yang mengalami trauma relatif
memerlukan oksigen dan glukosa yang lebih rendah.
Selain itu perlu pula dikontrol kemungkinan tekanan intrakranial yang meninggi
disebabkan oleh edema serebri. Sekalipun tidak jarang memerlukan tindakan operasi,
tetapi usaha untuk menurunkan tekanan intrakranial ini dapat dilakukan dengan cara
menurunkan PaCO2 dengan hiperventilasi yang mengurangi asidosis intraserebral dan
menambah metabolisme intraserebral. Adapun usaha untuk menurunkan PaCO2 ini
yakin dengan intubasi endotrakeal, hiperventilasi. Intubasi dilakukan sedini mungkin
kepala klien-lkien yang koma untuk mencegah terjadinya PaCO 2 yang meninggi.
Prinsip ABC dan ventilasi yang teratur dapat mencegah peningkatan tekanan
intrakranial.
Penangan khususnya pada klien dengan CKB yang mengalami perdarahan atau
hematoma di kepala baik pada bagian EDH maupun SDH dilakukan tindakan
trepanasi. Indikasi dilakukanya trepanasi yaitu penurunan kesadaran tiba-tiba di depan
mata, adanya tanda herniasi/lateralisasi, adanya cedera sistemik yang memerlukan
operasi emergensi dimana CT Scan Kepala tidak bisa dilakukan.
Teknik Operasi Trepanasi Kepala :
a. Positioning
Letakkan kepala pada tepi meja untuk memudahkan operator. Head-up kurang
lebih 15o (pasang donat kecil dibawah kepala). Letakkan kepala miring
kontralateral lokasi lesi/ hematoma. Ganjal bahu satu sisi saja (pada sisi lesi)
misalnya kepala miring ke kanan maka ganjal bantal di bahu kiri dan sebaliknya.
b. Washing
Cuci lapangan operasi dengan savlon. Tujuan savlon: desinfektan, menghilangkan
lemak yang ada di kulit kepala sehingga pori-pori terbuka, penetrasi betadine lebih
baik. Keringkan dengan duk steril. Pasang duk steril di bawah kepala untuk
membatasi kontak dengan meja operasi
c. Markering
Setelah markering periksa kembali apakah lokasi hematomnya sudah benar dengan
melihat CT scan. Saat markering perhatikan: garis rambut untuk kosmetik, sinus
untuk menghindari perdarahan, sutura untuk mengetahui lokasi, zygoma sebagai
batas basis cranii, jalannya N ke-VII (kurang lebih 1/3 depan antara tragus sampai
dengan canthus lateralis orbita)
d. Desinfeksi
Desinfeksi lapangan operasi dengan betadine. Suntikkan Adrenalin 1:200.000
yang mengandung lidocain 0,5%. Tutup lapangan operasi dengan doek steril.
e. Operasi
1) Insisi lapis demi lapis sedalam galea (setiap 5cm) mulai dari ujung.
2) Pasang haak tajam 2 buah (oleh asisten), tarik ke atas sekitar 60 derajat.
3) Buka flap secara tajam pada loose connective tissue. Kompres dengan kasa
basah. Di bawahnya diganjal dengan kasa steril supaya pembuluh darah tidak
tertekuk (bahaya nekrosis pada kulit kepala). Klem pada pangkal flap dan
fiksasi pada doek.
4) Buka pericranium dengan diatermi. Kelupas secara hati-hati dengan
rasparatorium pada daerah yang akan di burrhole dan gergaji kemudian dan
rawat perdarahan.
5) Penentuan lokasi burrhole idealnya pada setiap tepi hematom sesuai gambar
CT scan.
6) Lakukan burrhole pertama dengan mata bor tajam (Hudson’s Brace) kemudian
dengan mata bor yang melingkar (Conical boor) bila sudah menembus tabula
interna.
7) Boorhole minimal pada 4 tempat sesuai dengan merkering.
8) Perdarahan dari tulang dapat dihentikan dengan bone wax. Tutup lubang
boorhole dengan kapas basah/ wetjes.
9) Buka tulang dengan gigli. Bebaskan dura dari cranium dengan menggunakan
sonde. Masukan penuntun gigli pada lubang boorhole. Pasang gigli kemudian
masukkan penuntun gigli sampai menembus lubang boorhole di sebelahnya.
Lakukan pemotongan dengan gergaji dan asisten memfixir kepala penderita.
10) Patahkan tulang kepala dengan flap ke atas menjauhi otak dengan cara tulang
dipegang dengan knabel tang dan bagian bawah dilindungi dengan elevator
kemudian miringkan posisi elevator pada saat mematahkan tulang.
11) Setelah nampak hematom epidural, bersihkan tepi-tepi tulang dengan spoeling
dan suctioning sedikit demi sedikit. Pedarahan dari tulang dapat dihentikan
dengan bone wax.
12) Gantung dura (hitch stitch) dengan benang silk 3.0 sedikitnya 4 buah.
13) Evakuasi hematoma dengan spoeling dan suctioning secara gentle. Evaluasi
dura, perdarahan dari dura dihentikan dengan diatermi. Bila ada perdarahan
dari tepi bawah tulang yang merembes tambahkan hitch stitch pada daerah
tersebut kalau perlu tambahkan spongostan di bawah tulang. Bila perdarahan
profus dari bawah tulang (berasal dari arteri) tulang boleh di-knabel untuk
mencari sumber perdarahan kecuali dicurigai berasal dari sinus.
14) Bila ada dura yang robek jahit dura dengan silk 3.0 atau vicryl 3.0 secara
simpul dengan jarak kurang dari 5mm. Pastikan sudah tidak ada lagi
perdarahan dengan spoeling berulang-ulang.
15) Pada subdural hematoma setelah dilakukan kraniektomi langkah salanjutnya
adalah membuka duramater.
16) Sayatan pembukaan dura seyogianya berbentuk tapal kuda (bentuk U) berla-
wanan dengan sayatan kulit. Duramater dikait dengan pengait dura, kemudian
bagian yang terangkat disayat dengan pisau sampai terlihat lapisan mengkilat
dari arakhnoid. (Bila sampai keluar cairan otak, berarti arachnoid sudah turut
tersayat). Masukkan kapas berbuntut melalui lubang sayatan ke bawah
duramater di dalam ruang subdural, dan sefanjutnya dengan kapas ini sebagai
pelindung terhadap kemungkinan trauma pada lapisan tersebut.
17) Perdarahan dihentikan dengan koagulasi atau pemakaian klip khusus.
Koagulasi yang dipakai dengan kekuatan lebih rendah dibandingkan untuk
pembuluh darah kulit atau subkutan.
18) Reseksi jaringan otak didahului dengan koagulasi permukaan otak dengan
pembuluh-pembuluh darahnya baik arteri maupun vena.
19) Semua pembuluh darah baik arteri maupun vena berada di permukaan di ruang
subarahnoidal, sehingga bila ditutup maka pada jaringan otak dibawahnya tak
ada darah lagi.
20) Perlengketan jaringan otak dilepaskan dengan koagulasi. Tepi bagian otak
yang direseksi harus dikoagulasi untuk menjamin jaringan otak bebas dari
perlengketan. Untuk membakar permukaan otak, idealnya dipergunakan kauter
bipolar. Bila dipergunakan kauter monopolar, untuk memegang jaringan otak
gunakan pinset anatomis halus sebagai alat bantu kauterisasi.
21) Pengembalian tulang. Perlu dipertimbangkan dikembalikan/tidaknya tulang
dengan evaluasi klinis pre operasi dan ketegangan dura. Bila tidak
dikembalikan lapangan operasi dapat ditutup lapis demi lapis dengan cara
sebagai berikut:
- Teugel dura di tengah lapangan operasi dengan silk 3.0 menembus keluar
kulit.
- Periost dan fascia otot dijahit dengan vicryl 2.0.
- Pasang drain subgaleal.
- Jahit galea dengan vicryl 2.0.
- Jahit kulit dengan silk 3.0.
- Hubungkan drain dengan vaum drain (Redon drain).
- Operasi selesai.
Bila tulang dikembalikan, buat lubang untuk fiksasi tulang, pertama pada
tulang yang tidak diangkat (3-4 buah). Tegel dura ditengah tulang yang
akan dikembalikan untuk menghindari dead space. Buat lubang pada tulang
yang akan dikembalikan sesuai dengan lokasi yang akan di fiksasi (3-4
buah ditepi dan 2 lubang ditengah berdekatan untuk teugel dura). Lakukan
fiksasi tulang dengan dengan silk 2.0, selanjutnya tutup lapis demi lapis
seperti diatas.

Perawatan Pascabedah
Monitor kondisi umum dan neurologis pasien dilakukan seperti biasanya. Jahitan
dibuka pada hari ke 5-7. Tindakan pemasangan fragmen tulang atau kranioplasti
dianjurkan dilakukan setelah 6-8 minggu kemudian.
Follow-up
CT scan kontrol diperlukan apabila post operasi kesadaran tidak membaik dan untuk
menilai apakah masih terjadi hematom lainnya yang timbul kemudian.

Intervensi Keperawatan
a. Kraniotomi supratentorial
 Pertahankan kepala tempat tidur 30-45 derajat dengan leher pada kesejajaran
netral.
 Posisikan pasien miring atau terlentang. (Hindari memposisikan pasien pada
sisi operasi bila tumor besar telah diangkat)
b. Kraniotomi Intratentorial
 Pertahankan leher dalam kesejajaran lurus.
 Hindari fleksi leher untuk mencegah kemungkinan robekan garis jahitan.
 Posisikan pasien miring. (Periksa protokol untuk peddoman posisi pasien)
c. Transfenoidal
 Pertahankan tampon nasal di tempatnya dan kuatkan sesuai kebutuhan.
 Instruksikan pasien untuk menghindari meniup hidup.
 Berikan perawatan oral sering.
 Pertahankan kepala tempat tidur tinggi utuk meningkatkan drainase vena dan
drainase dari sisi pembedahan.

10. Komplikasi
Komplikasi bedah intrakranial meliputi peningkatan TIK, infeksi, dan defisit
neurologik.
a. Peningkatan TIK dapat terjadi sebagai akibat edema serebral atau pembengkakan
dan diatasi dengan manitol, diuretik osmotik. Pasien juga memerlukan intubasi
dan penggunaan agens paralisis.
b. Infeksi mungkin karena insisi terbuka. Pasien harus mendapat terapi antibiotik,
dan balutan serta sisi luka harus dipantau untuk tanda infeksi, peningkatan
drainase, bau menyengat, drainase purulen, dan kemerahan serta bengkak
sepanjang garis insisi.
c. Defisit neurologik dapat diakibatkan oleh pembedahan. Pada pascaperasi status
neurologik pasien dipantau dengan ketat untuk adanya perubahan.
B. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
1) Breathing
Pada saat pengkajian fisik lakukan mulai dari kepala ke bawah dan lakukan secara
cepat pengkajian ABC (airway, breathing, sirculation).
 A : Airway
Apakah pernafasan pasien adekuat?
Pola nafas?
Apakah pergerakan kedua dinding dada sama?
 B : Breathing
Bagaimana saturasi oksigen pasien?
Bagaimana cara pemberian terapi oksigen?
Apakah adekuat?
 C : Circulation
Bagaimana heart rate pasien ? irama?
Bagaimana tekanan darahnya?
Bagaimana warna tangan dan kaki?

Pada pemerikasaan Pernafasan.


- Lihat pergerakan dada, samakah?
- Auskultasi sura nafas.
- Cek mode pemberian oksigen.
- Cek saturasi oksigen dan analisa gas darah.

2) Blood
Denyut nadi perifer melemah, tekanan darah biasanya normal, batas jantung tidak
mengalami pergeseran, akral dingin, sianosis, kulit pucat, icterus, CRT memanjang
(>3 det). Terjadi subdural hemtoma (SDH).

3) Brain
Klien biasanya mengalami penurunan kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila
gangguan perfusi jaringan berat. Perlu dikaji tingkat kesadaran, besar dan reflek
pupil terhadap cahaya.
4) Bladder
Pengukuran volume output dan intake cairan, serta dikaji pula kelainan pada
genetalia dan pola eliminasi urine.
Pada pemerikasaan Ginjal
- Cek urine output
- Cek setatus cairan dan balance kumulatif
- Cek kadar ureum dan kreatinin darah

5) Bowel
Dikaji apakah ada distensi pada abdomen, bising usus, bagaimana pola eliminasi
alvi, adakah kelainan pada anus.
Pada pemerikasaan Pencernaan
- Cek Naso Gastrik Tube (NGT) jika ada
- Cek jenis makanan, kecepatan dan toleransi
- Auskultasi peristaltik
- Kapan terakhir BAB dan BAK.

6) Bone
Didapatkan kelemahan dan kelelahan secara fisik, bagaimana ATR (activity tonus
respon).

2. Analisa Data
Pre Operasi
DS :
Pasien mengatakan merasa nyeri pada kepala
P : Subdural hematoma
Q : Tumpul
R : Kepala
S:-
T : Berkepanjangan

DO : Terdapat udema pada area subdural

Intra Operasi
DS : -
DO : Tampak ada pengeluaran darah dari tubuh pasien akibat tindakan operasi.
Post Operasi
DS : -
DO : Tampak ada luka akibat luka operasi

3. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
a. Kekurangan volume cairan b.d
b. Ansietas b.d prosedur operatif d.d mengatakan cemas
Intra Operasi
a. Resiko perdarahan b.d perdarahan intra operatif.
b. Resiko cedera b.d prosedur pembiusan
c. Resiko infeksi b.d pertahanan tubuh primer tidak adekuat
Post Operasi
a. Risiko perdarahan b.d perdarahan post operatif.
b. Nyeri akut b.d agens cedera biologis d.d melaporkan nyeri secara verbal.

DAFTRA PUSTAKA
Dochterman, Joanne McCloskey et al.2004. Nursing Interventions Classification (NIC).
Missouri :Mosby

Moorhead, Sue et al. 2008. Nursing Outcome Classification (NOC). Missouri : Mosby

Potter&Perry.1999. Fundamental Keperawatan. Jakarta:EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 1. Jakarta:
EGC

Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume 2. Jakarta:
EGC

Smeltzer, S.C dan Bare, B.G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth. Jilid Satu. Edisi Kedelapan. Jakarta : EGC

Zen Akatsuki. 2011. Trepanasi / KranioktomiI pada EDH dan SDH.


http://akatsuki-ners.blogspot.com/2011/08/trepanasi-kranioktomii-
pada-edh-dan-sdh.html. Diakses (online) 23 Desember 2013
3. Rencana Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional


1 Nyeri Akut b.d agens Setelah dilakukan tindakan Pain Management Pain Management
cedera biologis d.d keperawatan selama 2 x 24 jam, 1. Lakukan pengkajian nyeri yang 1. Untuk mengetahui lokasi,
melaporkan nyeri secara diharapkan terjadi penurunan skala komprehensif, meliputi : lokasi, karakteristik, awitan dan
verbal. nyeri dari 4 menjadi 2 (1-10). karakteristik, awitan dan durasi, durasi, frekuensi, kualitas,
NOC label: Pain Level frekuensi, kualitas, intensitas atau intensitas atau keparahan
1. Skala nyeri pasien berkurang keparahan nyeri, faktor presipitasi nyeri. nyeri, faktor presipitasi
2. Observasi isyarat nonverbal
dari 4 menjadi 2 dari rentangan nyeri.
ketidaknyamanan pasien 2. Untuk mengetahui isyarat
(1-10).
3. Berikan informasi tentang nyeri,
2. Pasien melaporkan bahwa nyeri nonverbal ketidaknyamanan
penyebab nyeri, berapa lama akan
berkurang ketika menarik napas pasien
berlangsung, dan antisipasi 3. Agar pasien mengetahui
setelah melakukan manajemen
ketidaknyamanan akibat prosedur. informasi tentang nyeri,
nyeri
4. Bantu pasien mengidentifikasi tindakan
3. Menyatakan rasa nyaman penyebab nyeri, berapa lama
kenyamanan yang efektif di masa lalu.
setelah nyeri berkurang akan berlangsung, dan
5. Ajarkan pasien penggunaan teknik terapi
antisipasi ketidaknyamanan
NOC label : Pain Control nonfarmakologis (relaksasi progresif,
1. Pasien mampu mengontrol dan akibat prosedur.
distraksi, guided imagery, kompres panas,
4. Untuk membantu pasien
menangani nyeri (mampu back massage) mengidentifikasi tindakan
6. Bantu klien untuk lebih berfokus pada
menggunakan tehnik kenyamanan yang efektif di
aktivitas, bukan pada nyeri dan rasa tidak
nonfarmakologi untuk masa lalu.
nyaman dengan melakukan pengalihan 5. Agar pasien mampu
mengurangi nyeri, mencari
melaui televise, radio, tape, dan interaksi melakukan teknik terapi non
bantuan)
2. Mampu mengenali nyeri (skala, dengan pengunjung farmakologis untuk
7. Gunakan pendekatan yang positif untuk
intensitas, frekuensi dan tanda mengatasi nyeri secara
mengoptimalkan respon pasien terhadap
nyeri) mandiri.
NOC label: Vital Signs analgesic. 6. Agar pasien lebih berfokus
1. Tanda vital dalam rentang 8. Kolaborasi dengan dokter .
pada aktivitas, bukan pada
normal ( T = 36,5o C – 37,5o C , Analgesic Administration
nyeri dan rasa tidak nyaman
TD = 120/80 mmHg, RR = 16- 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas,
dengan melakukan
20 x/menit, N = 60-75x/menit) dan derajat nyeri sebelum pemberian
pengalihan melaui televise,
obat.
radio, tape, dan interaksi
2. Cek instruksi dokter tentang jenis obat,
dengan pengunjung.
dosis, dan frekuensi pemberian obat. 7. Untuk mengoptimalkan
3. Cek riwayat alergi. respon pasien terhadap
4. Pilih analgesic yang diperlukan atau analgesic dengan
kombinasi dari analgesic ketika menggunakan pendekatan
pemberian lebih dari satu. positif
8. Untuk dapat berkolaborasi
5. Tentukan pilihan analgesic tergantung
dengan dokter .
tipe dan beratnya nyeri.
Analgesic Administration
6. Tentukan analgesic pilihan, rute
1. Untuk mengetahui lokasi,
pemberian, dan dosis optimal.
karakteristik, kualitas, dan
7. Monitor vital signs sebelum dan sesudah
pemberian analgesic pertama kali. derajat nyeri sebelum
8. Berikan analgesic tepat waktu terutama pemberian obat.
saat nyeri hebat. 2. Untuk mengecek intruksi
9. Evaluasi efektivitas analgesic, tanda dan dokter tentang jenis obat,
gejala (efek samping). dosis, dan frekuensi
Vital Signs Monitoring pemberian obat pasien.
1. Monitor tekanan darah,nadi,suhu,dan 3. Untuk mengetahui riwayat
pernafasan setelah dan sebelum alergi pasien.
melakukan aktivitas 4. Untuk menentukan analgesic
2. Memonitor tanda dan gejala dari
yang diperlukan atau
hypothermia daan hyperthermia
kombinasi ketika pemberian
3. Monitor pernafasan yang abnormal
4. Monitor frekuensi pernafasan lebih dari satu.
a. NIC label: relaxation therapy
5. Untuk menentukan piilihan
1. Menjelaskan rasional dan keuntungan
analgesic tergantung tipe dan
dari relaksasi, batasan dan tipe dari
beratnya nyeri pasien.
relaksasi yang ada, seperti: musik,
6. Untuk menentukan pilihan,
meditasi, bernafas ritmis, dan relaksasi
rute pemberian, dan dosis
otot progresif.
2. Menggunakan intervensi relaksasi yang optimal pada pasien.
mungkin berhasil diwaktu yang lampau 7. Untuk memantau vital signs
3. Ajak pasien untuk relaksasi dan
sebelum dan sesudah
merasakan sensasi yang terjadi.
pemberian analgesic pertama
kali.
8. Agar analgesic dapat
diberikan tepat waktu
terutama saat nyeri hebat.
9. Untuk dapat mengevaluasi
efektivitas analgesic, tanda
dan gejala (efek samping).
Vital Signs Monitoring
1. Untuk memantau kondisi
klien atau mengindentifikasi
masalah dan mengevaluasi
respons klien terhadap
intervensi.
2. Untuk mengetahui ada tanda
dan gejala pasien mengidap
penyakit hipertermi
3. Untuk mengetahui adanya
pernafasan abnormal yang
dialami pasien.
4. Untuk mengetahui apabila
pasien ada gangguan nafas

2 Resiko perdarahan b.d Setelah diberikan asuhan NIC LABEL :Bleeding Reduction 1. Untuk mengetahui tingkat
1. Kaji pasien untuk menemukan bukti-bukti
perdarahan intra operatif. keperawatan selama …x24 jam, keparahan perdarahan pada
perdarahan atau hemoragi
perawat dapat meminimalkan klien sehingga dapat
2. Catat kadarhemoglobin/hematokrit sebelum
komplikasi yang terjadi dengan menentukan intervensi
dan sesudah pendarahan
kriteriahasil: 3. Pantau koagulasi darah pasien selanjutnya.
2. Untuk mengetahui kadar
NOC LABEL : Blood Loss (prothrombin, thromboplastin,
hemoglobin/hematokrit
Severity. fibrinogen,fibrin, dan jumlah platelet) pasien.
4. Pantau aliran IV 3. Untuk mengetahui kemampuan
1. Klien tidak mengalami
darah dalam melakukan proses
kehilangan darah
pembekuan darah sehingga
2. Kulit dan membrane mukosa
tidak terjadi pendarahan
pasien tidak pucat
4. Untuk mengetahui kelancaran
aliran IV pasien.
3 Risiko infeksi b.d Setelah diberikan asuhan NIC Label : Wound Care NIC Label : Wound Care
pertahanan tubuh primer keperawatan selama …. X 24 jam 1. Ganti dressing dan pita perekat (plester) 1. Dressing diganti secara rutin
tidak adekuat diharapakan klien tidak mengalami secara rutin untuk menjaga kebersihan
2. Pantau karakteristik dari luka termasuk
infeksi dengan criteria hasil : luka sehingga meminimalkan
ukuran, drainase, warna dan bau
NOC : Wound Healing : Primary terjadinya infeksi
3. Bersihkan luka dengan pembersih
2. Pemantauan luka yang tepat
Intention
normal saline.
akan membantu dalam
1. Tidak terjadi peningkatan 4. Pilihlah dreesing sesuai untuk jenis luka
5. Pertahankan teknik steril ketika mengetahuai perkembangan
temperatur kulit
melakukan perawatan luka. luka dan tindakan perawatan
2. Tidak terdapat edema di sekitar
6. Bandingkan dan catat secara teratur setiap
selanjutnya.
luka
perubahan luka. 3. Normal saline menciptakan
3. Tidak ada kemerahan di sekitar
keadaan yang lembab pada
luka
luka.
4. Tidak terdapat cairan purulen di 4. Penggunaan dreesing yang
sekitar luka tepat sangat berpengaruh
5. Tidak terdapat bau yang pada kesembuhan luka
menyengat dari luka karena pemakaian dresing
berbeda-beda disesuai
dengan keadaa luka.
5. Teknik sterille saat
perawatan luka berguna
untuk mencegah terjadi
infeksi.
6. Agar mengetahui
perkembngan lukanya.
4 Kekurangan volume cairan Setelah dilakukan asuhan NIC label: Fluid Management 1. Untuk dapat mengetahui
b.d keperawatan selama …x24 jam, 1. Pantau status hidrasi (seperti : status hidrasi klien sehingga
diharapkan cairan tubuh klien kelembaban membran mukosa, nadi dapat melakukan intervensi
seimbang dengan : adekuat dan tekanan darah ortostatik). yang tepat.
2. Berikan cairan sesuai kebutuhan.
NOC label: Fluid Balance 2. Untuk memenuhi kebutuhan
3. Pantau tanda-tanda vital klien sesuai
Dengan kriteria hasil: cairan klien.
kebutuhan.
1. Tekanan darah sistole dan 4. Pantau respon klien untuk menentukan 3. Menjadi indikator respon
diastole normal. (120/80 terapi elektrolit. tubuh terhadap terapi yang
5. Memantau intake dan output klien dengan
mmHg) diberikan.
akurat.
2. Isi ulang kapiler (CRT) normal 4. Untuk dapat memberikan
6. Monitor hasil laboratorium retensi cairan
(kembali dalam waktu < 2 intervensi terapi eletrolit
klien.
detik) yang tepat pada klien.
7. Memberikan terapi IV.
3. Membran mukosa lembab 5. Dapat melakukan intervensi
NIC Label : Fluid Monitoring
4. Tidak ada tanda kehausan. yang tepat untuk mengatasi
1. Tentukan kemungkinan adanya faktor
5. Tidak terjadi kejang otot. faktor resiko
resiko ketidakseimbangan cairan
6. Turgor kulit normal ketidakseimbangan cairan.
( seperti : hipertermia, terapi diuretik ,
6. Untuk membantu
patologis ginjal, gagal jantung,
memperkirakan kebutuhan
diaporesis, disfungsi hati, eksposur panas,
infeksi, post operasi , poliuria, muntah pemasukan cairan.
dan diare). 7. Menjadi indikator akan
2. Pantau pemasukan dan pengeluaran
terjadinya komplikasi lebih
cairan.
lanjut dari penyakit klien.
3. Pantau warna , kuantitas urine.
8. Untuk menjaga kondisi
Hypovolemia Management
cairan infus tetap baik
1. Mengatur cairan intravena pada suhu 9. Agar input cairan klien
ruangan. adekuat sesuai kebutuhan.
2. Pertahankan aliran infus intravena klien
stabil.

5 Ansietas b.d prosedur Setelah dilakukan asuhan NIC Label : Anxiety Reduction 1. Tindakan yang tepat agar
operatif d.d mengatakan keperawatan selama ...x24 jam, kekhawatiran dapat
1. Bersikap tenang, sehingga mampu
cemas diharapkan ansietas pada pasien berkurang
mendekati ketenangan 2. Untuk membantu
dapat ditangani dengan kriteria 2. Memberikan informasi factual tentang
menurunkan ansietas terkain
hasil, yaitu: diagnosis, pengobatan, dan prognosis dari
NOC Label : Anxiety Self-Control kurangnya informasi
penyakit klien 3. Untuk mendapat dukungan
3. Mengajak keluarga untuk selalu bersama
1. Dapat menghilangkan pencetus dari pihak lain sehingga dapat
dengan pasien
dari ansietas menurunkan ansietas
NIC Label : Coping Enhancement
2. Dapat mencari informasi untuk
1. Menilai dan dan mendiskusikan respon
menurunkan ansietas 1. Menentukan respon yang
alternative dalam sebuah situasi
3. Dapat merencanakan strategi tepat untuk mengatasi
2. Memberitahukan pemahaman kepada
koping jika berhadapan dalam ansietas
klien mengenai proses penyakitmya
situasi tertekan 3. Mendorong sikap harapan yang realistis 2. Untuk meningkatkan

sebagai cara untuk mengatasi perasaan pengetahuan klien mengenai


Noc label : Coping tidak berdaya penyakitnya agar memiliki
4. Dorong klien untuk mengevaluasi
mekanisme koping yang
1. Klien mampu perilakunya
efektif
mengidentifikasi pola koping 3. Untuk meningkatkan
yang efektif kepercayaan diri dan koping
2. Klien mampu
positif.
mengidentifikasi pola koping 4. Untuk membantu klien
yang tidak efektif menentukan tindakan yang
3. Klien melaporkan peningkatan
dapat dilakukan untuk
kenyamanan psychologycal
mengatasi stressnya.

6 Resiko cedera b.d prosedur Setelah diberikan intervensi ...x24 Fall Prevention 1. Dapat menghindari trauma
pembiusan jam, pasien diharapkan 1. Mengidentifikasi defisit kognitif atau pada mata

NOC LABEL : fisik pasien yang dapat meningkatkan


2. Dapat menggunakan
potensi jatuh dalam lingkungan tertentu
Sensory function : vision pencahayaan yang cukup
2. Mengidentifikasi perilaku dan faktor- untuk kegiatan yang
1. Terjadi peningkatan ketajaman
faktor yang mempengaruhi risiko jatuh dilakukan
visual tengah(kiri)
3. Mengidentifikasi karakteristik 3. Dapat menggunakan obat
2. Terjadi peningkatan ketajaman
lingkungan yang dapat meningkatkan mata yang diresepkan
visual tengah(kanan)
potensi untuk jatuh (misalnya lantai
4. Terjadi peningkatan
3. Terjadi peningkatan ketajaman licin dan tangga terbuka)
ketajaman visual
visual tepi (kiri)
4. Memberikan pencahayaan yang
5. Terjadi respon terhadap
4. Terjadi peningkatan ketajaman memadai untuk meningkatkan visibilitas
rangsangan visual
visual tepi (kanan)
5. Menyediakan lampu malam di samping
6. Penglihatan halos sekitar
5. Terjadi peningkatan ketajaman tempat tidur
lampu berkurang
penglihatan bidang visual 6. Anjurkan pasien untuk memakai 7. Penglihatan kabur berkurang
tengah (kiri) kacamata resep, sebagai appropriatiate,
ketika keluar dari tempat tidur
6. Terjadi peningkatan ketajaman
penglihatan bidang visual 7. Mendidik anggota keluarga tentang
tengah (kanan) faktor risiko yang berkontribusi
terhadap jatuh dan bagaimana mereka
7. Terjadi respon terhadap dapat menurunkan risiko tersebut
rangsangan visual
8. Berkolaborasi dengan anggota tim
8. Penglihatan halos sekitar lampu kesehatan lain untuk meminimalkan
berkurang efek samping dari obat yang
berkontribusi terhadap jatuh (hipotensi
9. Penglihatan kabur berkurang
ortostatik misalnya dan gaya goyah)

Environtment Management

1. Menciptakan lingkungan yang aman


bagi pasien

2. Identifikasi kebutuhan keamanan pasien


, berdasarkan tingkat fungsi fisik dan
kognitif dan pengalaman masa lalu dari
perilaku

3. Pindahan bahaya lingkungan ( misalnya


karpet longgar dan kecil , furrnitur
bergerak )

4. Pindahkan benda-benda berbahaya dari


lingkungan

5. Tempatkan benda-benda yang sering


digunakan dalam jangkauan

6. Mengurangi rangsangan lingkungan


agar sesuai

7. Memanipulasi pencahayaan untuk


manfaat terapeutik
Pathway
Trauma kepala

Cedera Kepala Sedang

Pembedahan

Intraoperatif
Post operatif
Preoperatif

Puasa (+) Takut akan pembedahan Pembiusan Insisi Luka operasi Penurunan efek
anastesi
Kerusakan jaringan Terpasang drain
Kekurangan volume Kesadaran Nyeri Akut
cairan Ansietas
Resiko Perdarahan
Terbukanya jaringan
Positioning

Resiko Cedera Tempat kuman masuk

Resiko Infeksi

Resiko Perdarahan

Anda mungkin juga menyukai