Anda di halaman 1dari 6

Ujian Akhir Semester Pendidikan Komunitas Asia

Dosen Pengampu : Meida Esterlina Marpaung, S.Pd., M.Pd

Silahkan kerjakan soal uraian dibawah ini boleh. Silahkan dikerjakan sesuai dengan instruksi
yang ditanyakam? Dikerjakan selama tiga hari. Pengumpulan terakhir hari Sabtu tanggal 29 Mei
2021 (pukul 15.00 WITA)
Selamat mengerjakan.

1. Belajar Cara Singapura Melahirkan Guru Berkualitas Kelas Dunia

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Belajar Cara Singapura Melahirkan
Guru Berkualitas Kelas Dunia", Klik untuk
baca: https://edukasi.kompas.com/read/2021/04/10/114303571/belajar-cara-singapura-
melahirkan-guru-berkualitas-kelas-dunia?page=all.
Penulis : Yohanes Enggar Harususilo
Editor : Yohanes Enggar Harususilo

Guru berkualitas harus mampu berpikir otonom dan mampu meningkatkan


kapasitasnya secara berkelanjutan. Kemampuan inilah yang dikembangkan oleh
Singapura dalam mencetak guru profesional berkelas dunia. Mereka terbukti telah
berhasil menempatkan siswanya meraih prestasi terbaik pada tes Program
International Student Assessment (PISA) dalam kemampuan membaca, sains, dan
matematika. Menurut Prof. Liu Woon Chia, guru besar The National Institute of
Education (NIE) Singapura, salah satu faktor sukses mereka bisa mencetak guru-guru
berkualitas adalah adanya komunikasi yang kuat antara NIE dengan stakeholders
seperti kementerian pendidikan dan sekolah dalam mendesain kegiatan praktik
mengajar yang efektif untuk calon guru. “Kegiatan praktik atau pengalaman di
lapangan selama periode pendidikan guru, merupakan kesempatan terbaik untuk
calon guru berkembang menjadi guru berkualitas,” ungkap Prof. Liu saat berbagi
pengalaman dalam webinar "Mendesain Praktik Mengajar Calon Guru" yang digelar
Tanoto Foundation, Kamis (8/4/2021).
Seleksi ketat dan berkualitas Guru adalah salah satu karier profesional di Singapura.
Hanya kandidat terbaiklah yang bisa menjadi guru. Memberikan gaji yang tinggi bukan
satu-satunya faktor yang mendorong orang tertarik menjadi guru.
Singapura menjadikan guru sebagai profesi terhormat dan didengar pendapatnya. Hal
itu yang membuat banyak kandidat terbaik yang melamar menjadi guru. Beda halnya
dengan Indonesia yang memiliki ribuan LPTK, Singapura hanya memiliki satu LPTK,
sehingga jalur masuk untuk menjadi guru terbilang ketat. "Kurang lebih hanya sekitar
30 persen calon guru yang diterima di NIE," ungkap Prof. Liu.
Materi kuliah pembelajaran daring Meski Singapura dapat mengatasi situasi pandemi
dengan baik, Prof. Liu mengaku adaptasi tetap diperlukan ketika merancang desain
kegiatan praktik untuk para calon guru selama pandemi. “Selama pandemi kami
memberikan beberapa model perkuliahan daring untuk para calon guru agar mereka
dapat memutuskan untuk melakukan pendekatan apa ketika sedang praktik di
lapangan,” tambahnya. Pembelajaran daring sudah menjadi materi perkuliahan bagi
mahasiswa calon guru. Sekarang belajar dari rumah merupakan bagian pembelajaran
setiap sekolah.
NIE membantu para guru Singapura siap menerapkan pembelajaran daring yang
membuat siswa bisa mendapatkan pembelajaran berkualitas.
Kemitraan sekolah dan LPTK Prof Liu juga menyampaikan pendidikan berkualitas
akan lebih berhasil bila sekolah dan LPTK mau bekerja sama. LPTK perlu belajar dari
pengalaman sekolah dan melakukan penelitian kolaboratif untuk saling mendukung
dalam meningkatkan kualitas pembelajaran. Cara ini dilakukan NIE Singapura
sehingga membuat sekolah menjadi lebih berkualitas dan bisa menjadi tempat praktik
mengajar terbaik untuk calon guru.
Dulu ada sekolah yang tidak mau bermitra dengan LPTK karena dianggap menjadi
beban tambahan menjadi tempat praktik mengajar. Justru sekarang sekolah merasa
beruntung bisa bekerja sama dengan LPTK karena para guru pamong yang menjadi
mentor ikut berproses dan tumbuh pada saat membimbing calon guru tersebut. “Agar
guru pamong termotivasi untuk aktif membimbing, guru pamong harus menemukan
arti dalam keterlibatannya dalam proses ini,” urai Prof Liu.
Pengalaman NIE mencetak calon guru berkualitas, menurut Margaretha Ari Widowati,
Direktur Pendidikan Dasar Tanoto Foundation, bisa menjadi inspirasi bagi pimpinan
LPTK, dosen, dan guru pamong di Indonesia. “Tanoto Foundation juga tengah bekerja
sama dengan empat LPTK di Indonesia mengembangkan inovasi praktik mengajar
mahasiswa pendidikan profesi guru (PPG). Pengalaman NIE memperkaya referensi
kami dalam berkolaborasi untuk menemukan strategi penyiapan calon guru terbaik,”
kata Ari
Pertanyaan :
Dari artikel diatas berikan pendapat dan pandangan kamu mengenai guru-guru
di Indonesia dan bagaimana sistem pendidikan yang ada di Indonesia untuk
menghasilkan guru-guru yang berkualitas?

2. Baca artikel berikut ini dengan baik


Putus Sekolah Akibat Perang di Suriah, Yaman, dan Afghanistan
Pada 2017, sebesar 22 persen dari 25 juta anak usia enam sampai 15 tahun di 22 negara tidak sekolah
karena konflik yang berkecamuk.
Baca selengkapnya di artikel "Putus Sekolah Akibat Perang di Suriah, Yaman, dan
Afghanistan", https://tirto.id/cMew
tirto.id - Nyaris tidak ada masa depan bagi para anak-anak yang hidup di daerah konflik.
Kekejaman yang dipertontonkan orang dewasa telah merenggut segalanya, termasuk hak
untuk mendapat pendidikan. Ghadeer, perempuan muda yang ada di Raqqa, Suriah, hidup
dalam bayang-bayang perang sipil sejak 2011. Masa-masa belajar dan bermain di sekolah
bersama teman sebaya terpaksa harus ditinggalkan. Menikah menjadi fase yang harus dilalui
dengan terpaksa. “Di kotaku, sulit bagi seorang gadis untuk belajar," kata Ghadeer kepada
UNICEF pada September 2016 lalu. “Aku kehilangan tiga tahun masa sekolah, jadi aku
memutuskan meninggalkan sekolah, menikah dan mengurus keluarga.
Selain Ghadeer, UNICEF mencatat Hadi yang ketika diwawancarai berusia 14 tahun.
Ia terpaksa meninggalkan bangku sekolah sebelum kelas sembilan. Hadi harus bekerja
menghidupi keluarganya dalam situasi perang. “Selama beberapa tahun terakhir, saya
bekerja dan mempersiapkan ujian.” Meski berada di kondisi sulit, Hadi masih menunjukkan
minta belajar yang besar. “Saya mengandalkan buku dan belajar mandiri.” jelasnya lagi. Di
kota lain di Suriah, ada Batoul dari Idlib. Ia menjelaskan bahwa situasi di tempat tinggalnya
mencekam hingga ke persekolahan sejak kelompok bersenjata memberlakukan kontrol baru
terhadap pendidikan. Batoul terpaksa tidak masuk sekolah selama satu bulan lantaran
ketakutan. Waktu itu, sebuah kelompok bersenjata menutup sekolah dan memperkenalkan
kurikulum baru. Ada pula Ahmad, pemuda berusia 19 tahun yang masih menunjukkan tekad
kuat untuk terus sekolah, meski kondisinya tak jarang diliputi aksi pengepungan dan suara
desing peluru. “Kami belajar di bawah kepungan dan kami sering kelaparan. Kami biasa
belajar di siang hari, karena tidak ada listrik, bahkan lilin, yang memungkinkan kami membaca
di malam hari,” kata Ahmad yang tengah bersiap mengikuti ujian kelas 12. Nama-nama
responden disamarkan untuk menjaga privasi dan keamanan. Ada banyak lagi cerita pilu yang
akan didapat ketika mengorek keterangan dari para bocah Suriah.
Tahun 2016 menjadi titik paling kritis dalam tragedi kemanusiaan di Suriah. Data
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2016 menyebutkan, sekitar 13,52 juta orang, termasuk
di antaranya enam juta anak, membutuhkan bantuan dan perlindungan kemanusiaan. Sekitar
6,5 juta orang, termasuk 2,8 juta anak-anak, terpaksa mengungsi dari kampung halamannya.
Lebih dari dua juta anak dan remaja Suriah tidak sekolah. Satu dari empat sekolah kondisinya
rusak, hancur atau sedang diduduki oleh kelompok bersenjata. Satu dari empat anak Suriah
berisiko mengalami gangguan kesehatan mental. Krisis semakin diperparah lagi oleh
serangan kelompok-kelompok bersenjata yang bertikai ke bangunan sekolah, rumah sakit,
jaringan air, pembangkit listrik, tempat ibadah, aset ekonomi dan infrastruktur sipil lainnya.
Anak-anak perempuan menghadapi kerentanan tambahan seperti paksaan pernikahan dini
karena keadaan dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya, termasuk risiko kekerasan berbasis
gender. Tak Hanya di Suriah Anak-anak di daerah konflik lainnya bernasib sama seperti anak-
anak di Suriah. Hak mereka untuk mendapat pendidikan di sekolah tercerabut. Sejak invasi
AS pada 2001, Afghanistan dilanda perang sipil. Data UNICEF pada Juni 2018 menyebutkan,
3,7 juta anak-anak berusia antara 7 sampai 17 tahun di Afghanistan tidak bersekolah. Baca
juga: Nasib Tanpa Negara Para Pencari Suaka di Indonesia Kondisi tersebut tidak bisa
dilepaskan dari situasi keamanan yang masih memburuk di seluruh penjuru negeri. Belum
lagi ditambah kemiskinan dan diskriminasi terhadap anak perempuan yang makin mendorong
anak-anak untuk putus sekolah sejak 2002. Anak-anak perempuan masih menyumbang
populasi tak sekolah terbesar (60 persen). Di beberapa provinsi terparah seperti Kandahar,
Helmand, Wardak, Paktika, Zabul, dan Uruzgan, populasi anak perempuan yang tak sekolah
mencapai 86 persen. Praktik pernikahan dini yang memengaruhi peluang anak-anak untuk
bersekolah dan mengenyam pendidikan adalah faktor yang semakin memperburuk keadaan.
Di tengah suramnya dunia pendidikan dan sekolah di Afghanistan, rupanya masih ada kabar
baik:85 persen anak laki-laki dan perempuan yang sejak bersekolah dari Sekolah Dasar
menempuh pendidikan sampai tingkat akhir. Tantangannya kini adalah membuat anak-anak
mulai bersekolah dari tingkat yang paling dasar. Sejak 2015, Yaman dilanda perang sipil.
Human Rights Watch (HRW) merilis laporan, sepanjang 2017 ada 85 serangan udara dari
kelompok koalisi pimpinan Arab Saudi yang menewaskan hampir 1.000 warga sipil. Peluru
dan bom juga menghantam rumah, pasar, rumah sakit, sekolah dan masjid. Ada indikasi
kejahatan perang selama rentetan serangan brutal tersebut. Pada tahun yang sama, Arab
Saudi berjanji untuk mengurangi kerugian dampak perang yang dialami warga sipil Yaman.
HRW mencatat memang ada penurunan kerusakan dan jumlah korban, dengan korban tewas
55 warga sipil, termasuk 33 anak-anak. Anak-anak Yaman turut direkrut sebagai pasukan
bersenjata di kubu pro-pemerintah Yaman. Agustus 2017, PBB mencatat 1.702 kasus
perekrutan anak-anak sejak Maret 2015, 65 persen di antaranya dilakukan oleh kelompok
Houthi dan pro-Saleh. Baca juga: Keterlibatan Jerman di Tengah Krisis dan Konflik Yaman
Blokade Saudi Memperparah Bencana Kelaparan di Yaman Perlindungan untuk perangkat
pendidikan yang meliputi siswa, guru dan sekolah di Yaman pun makin mendesak. Pada
Oktober 2017, Yaman mendukung deklarasi sekolah aman yang berkomitmen melindungi
seluruh perangkat pendidikan dengan menerapkan pedoman perlindungan sekolah dan
universitas dari ancaman konflik bersenjata. Di negara bagian Rakhine, Myanmar, pemerintah
mempersekusi etnis Rohingya dan melahirkan arus pengungsi ke negara-negara tetangga.
Laporan UNICEF 2017 (PDF) menyebut, sebanyak 453.000 anak-anak berusia 4 sampai 18
tahun dari komunitas Rohingya yang mengungsi di Bangladesh membutuhkan akses
pendidikan. Angka tersebut membuat UNICEF membuka 228 pusat pembelajaran dan
pendidikan dasar non-formal di sekitar permukiman pengungsi. Anak-anak di Afrika Timur
juga putus atau tidak sekolah karena konflik di negaranya masing-masing. Menurut laporan
Norwegian Refugee Council (NRC) pada September 2017, di Sudan Selatan yang masih
didera perang sipil, ada 2,2 juta anak putus sekolah. Lebih dari 70 persen anak Sudan Selatan
kehilangan akses pendidikan, dan lebih dari sepertiga bangunan sekolah rusak atau hancur
karena perang. Di Somalia, konflik yang telah berlangsung lebih dari dua dekade dan bencana
kekeringan membuat hampir dua juta anak usia sekolah tidak lagi bisa mengenyam
pendidikan. Sekitar 30 persen anak Somalia menyelesaikan empat tahun sekolah dengan
melawatkan periode sekolah dasar. Baca juga: Sekolah-sekolah di Zaman Belanda Mereka
Bukan Kuli Terdidik Warisan Kolonial Uganda menampung lebih dari satu juta pengungsi dari
Sudan Selatan. Lebih dari setengahnya adalah anak-anak. Sekitar 40 persen dari anak-anak
usia enam sampai 13 tahun tidak terdaftar di jenjang SD dan 80 persen tidak terdaftar di
sekolah menengah
Padahal, pendidikan dapat menyelamatkan nyawa anak-anak terlantar. Sekolah dapat
mencegah anak-anak bergabung dengan kelompok bersenjata. Di sekolah, anak juga
diajarkan cara-cara menyelamatkan diri dari ranjau darat dan bom. Dalam rangkuman laporan
UNICEF per September 2017, disebutkan bahwa 27 juta anak-anak di 27 negara yang terkena
konflik terpaksa putus sekolah. Dengan tingkat pendidikan rendah atau bahkan tidak
mengenyam pendidikan sama sekali, anak-anak dan remaja yang sedang mengungsi dari
konflik lebih rentan terhadap eksploitasi. Status para pengungsi juga lima kali lebih mungkin
untuk putus sekolah dibandingkan anak-anak lainnya. Sudan Selatan menjadi negara dengan
tingkat putus sekolah tertinggi di jenjang SD (72 persen). Disusul Chad (50 persen) dan
Afghanistan (46 persen). Tiga negara tersebut juga mencatatkan rekor jumlah perempuan
yang tak sekolah: Sudan Selatan (76 persen), Afghanistan (55 persen) dan Chad (53 persen).
Sejauh ini UNICEF berperan menjalankan program-program di negara-negara yang
terdampak konflik dan memberikan akses pendidikan ke anak-ana, termasuk melatih para
guru, merehabilitasi sekolah dan membagikan peralatan sekolah. Kegagalan memberikan
kesempatan belajar untuk anak-anak yang tercerabut aksesnya ke pendidikan akibat konflik
punya konsekuensi yang besar baik bagi individu dan masyarakat. “Tanpa pendidikan,
bagaimana anak-anak akan mencapai potensinya dengan maksimal dan berkontribusi pada
masa depan, stabilitas keluarga, komunitas dan ekonomi mereka?” tutur Josephine Bourne,
Kepala Pendidikan UNICEF.
Baca selengkapnya di artikel "Putus Sekolah Akibat Perang di Suriah, Yaman, dan
Afghanistan", https://tirto.id/cMew
Pertanyaan

Dari artikel tersebut berikan pendapat dan tanggapan kamu mengapa negar-negara konflik
tidak pernah mengalami kemajuan dalam pendidikan dan bandingkan dengan di Negara Indonesia
apa yang menyebabbkan Negara Indonesia msh memiliki sistem pendidikan yg msh dikategorikan
berkembang. Berikan penjelasanmu?
3. Survei UNICEF: 66 Persen Siswa Mengaku Tak Nyaman Belajar di Rumah

https://edukasi.kompas.com/read/2020/06/24/090832371/survei-unicef-66-persen-siswa-
mengaku-tak-nyaman-belajar-di-rumah.:

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 membuat siswa yang tinggal di zona merah, oranye dan
kuning masih harus melakukan pembelajaran jarak jauh di tahun ajaran baru. Terkait dengan
pengalaman siswa belajar dari rumah selama masa pandemi Covid-19, merangkum dari laman
Sahabat Keluarga Kemendikbud, UNICEF menyelenggarakan survei pada 18-29 Mei 2020 dan 5-
8 Juni 2020 lalu. Selama survei, UNICEF menerima lebih dari 4.000 tanggapan dari siswa di 34
provinsi Indonesia, melalui kanal U-Report yang terdiri dari SMS, WhatsApp, dan Messenger.
Hasil survei menyebut, sebanyak 66 persen dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan
di 34 propinsi mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Dari jumlah
tersebut, 87 persen siswa ingin segera kembali belajar di sekolah

Lalu, 88 persen siswa juga bersedia mengenakan masker di sekolah dan 90 persen
mengatakan pentingnya jarak fisik jika mereka melanjutkan pembelajaran di kelas. Meski begitu,
siswa telah menyadari dampak Covid-19 bila mereka kembali ke sekolah, sehingga sehingga
menurut mereka akan lebih baik untuk menunggu sampai jumlah kasus COVID-19 berkurang.

Alasan siswa tak nyaman belajar dari rumah Bukan tanpa alasan bila siswa merasa tak
nyaman saat harus belajar dari rumah ketimbang di sekolah. Survei juga mendapati, selama
belajar di rumah, 38 persen siswa yang jadi responden mengatakan kekurangan bimbingan dari
guru menjadi kendala utama. Sementara 35 persen menyebutkan akses internet yang buruk. Jika
pembelajaran jarak jauh berlanjut, lebih dari setengah atau 62 persen responden mengakui
membutuhkan kuota internet

Menanggapi hasil survei itu, perwakilan UNICEF di Indonesia Debora Comini mengatakan,
sangat penting bagi pemerintah untuk memprioritaskan pembelajaran anak-anak, baik di sekolah
atau jarak jauh selama masa pandemi Covid-19

Anak-anak yang paling rentan adalah yang paling terpukul oleh penutupan sekolah, dan kita
tahu dari krisis sebelumnya bahwa semakin lama mereka tidak bersekolah, semakin kecil
kemungkinan mereka untuk kembali,” lanjut Comini. Spesialis Pendidikan UNICEF Nugroho
Warman menambahkan, orangtua dan siswa yang jadi responden mengatakan hambatan terbesar
yang dihadapi murid saat belajar dari rumah adalah kurangnya akses internet dan perangkat
elektronik yang mendukung. “Orang tua juga harus fokus pada kewajiban lain untuk menghidupi
keluarga mereka, yang akhirnya membuat mereka kurang memiliki waktu untuk membantu anak-
anak mereka,” katanya.

Pertanyaan
Berikan tanggapan kalian mengenai berita tersebut dan bagaimana pengalaman kamu
secara pribadi mengenai berita tersebut?
4. Tuliskan Perbedaan antara sistem pendidikan di negara maju dan negara
berkembang berdasarkan data yang kamu dapatkan!
Tuliskan perbedaan tersebut dan SERTAKAN SUMBER (BERITA) MENGENAI
PERBEDAAN TERSEBUT?
5. Tuliskan pendapat kamu mengenai Kampus Merdeka Merdeka Belajar! Apa harapan
kamu mengenai sistem pembelajaran yang ada saat ini!

Anda mungkin juga menyukai