Anda di halaman 1dari 5

A.

Kasus
Empat bulan yang lalu telah terjadi kebakaran pada tengah malam di daerah pemukiman
padat penduduk di Kecamatan S yang meliputi dua kelurahan dan menimbulkan 10 korban
tewas sedangkan lebih dari 50 orang cidera. Berdasarkan pengkajian didapatkan bahwa
terdapat 5 orang anak yang sering mengalami mimpi buruk dan perasaan seperti tercekik dan
terbakar ketika tidur akan tetapi mereka menolak untuk bercerita tentang kejadian kebakaran
yang dialami. Anak anak tersebut menolak untuk bermain dengan teman temannya dan
memilih mengurung diri di kamar. Mereka cenderung apatis dan mudah marah.

B. Analisis Masalah Kesehatan atau Gangguan Mental


Dari tanda-tanda yang diperlihatkan pada kasus diatas bahwa korban (5 orang anak)
mengalami gejala atau masalah kesehatan gangguan mental yang disebut PTSD (Post
Traumatic Stress Disorder). PTSD adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah
mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa traumatik. Pasien yang mengalami gangguan
jiwa PTSD peristiwa traumatik menunjukkan tanda-tanda khas dari gangguan tersebut, yang
meliputi reexperiencing (gejala mengalami kembali peristiwa yang menyebabkan trauma),
menghindar dari lingkungan, dan hyperarousal (teragitasi) yaitu (Ayuningtyas, 2017):
1. Reexperiencing
a. Memori yang terganggu
b. Kejadian yang berulang
c. Mengalami mimpi buruk yang berulang atau terus menerus.
d. Perasaan distres ketika mengingat trauma
e. Respon fisik ketika mengingat trauma, seperti nafas cepat,berdeba-debar,sesak
nafas,mual,kaku otot dan berkeringat)
2. Penghindaran
a. Menghindari tempat atau kegiatan yang mengingatkan pada trauma
b. Menghindari fikiran dan perasaan yang mengingatkan pada trauma
c. Ketidakmampuan mengingat sesuatu atau aspek penting dari trauma
3. Hyperousal
a. Adanya tingkat kecemasan yang tinggi
b. Sulit berkonsentrasi
c. Sulit untuk tidur dan mudah bangun
d. Selalu waspada dan tegang
e. Menjadi mudah kaget
f. Kehilangan minat untuk menjalani aktivitas atau hidup
d. Selalu menjauh dari orang lain dan
e. Mempunyai perasaan pesimis terhadap masa depan

Pada kasus diatas korban mengalami gejala atau masalah kesehatan gangguan mental yang
disebut PTSD, karena:
1. PTSD merupakan syndrome gangguan jiwa yang berkembang setelah melihat, mendengar
atau mengalami pengalaman yang traumatik berkisar 3-6 bulan yang lalu. Sama halnya
dengan kasus diatas korban (5 orang anak) mengalami pengalaman traumatik yaitu
terjadinya peristiwa kebakaran yang terjadi 4 bulan yang lalu (rentan PTSD 3-6 bulan).
2. Pada penderita PTSD mereka akan mengalami pengulangan pengalaman traumatik mimpi
buruk yang berulang. Sama halnya dengan kasus diatas yang dialami oleh korban (5
orang anak), dimana sering mengalami mimpi buruk dan perasaan tercekik dan terbakar
ketika tidur.
3. Penderita PTSD mengalami kehilangan minat terhadap aktivitas dan hidup sehari-hari.
Dilihat dari kasus diatas korban (5 orang anak) cenderung lebih memilih mengurung diri
dikamar dan menolak untuk bermain dengan teman-temannya.
4. Orang yang menderita PTSD cenderung mudah iritabel/mudah marah/emosi, hal ini sama
yang terjadi dengan korban (5 orang anak) yaitu mereka yang cenderung apatis dan
mudah marah.

C. Strategi Trauma Healing


Play Therapy menjadi salah satu metode yang efektif dan merupakan suatu teknik
konseling yang diberikan oleh terapis kepada anak-anak melalui konsep bermain yang
bertujuan untuk mengintervensi dan berdialog dengan anak agar tercipta kondisi perasaan
yang nyaman dan dapat mengenali potensinya untuk mengatasi permasalahannya. Menurut
Dzulfaqori (2017) Play Therapy adalah sebuah teknik yang mampu menangani anak pasca
trauma bencana untuk menghibur dan mengatasi masalah yang diderita anak melalui
bermain. Bermain merupakan salah satu metode yang paling cocok, karena melalui bermain
anak akan merasa nyaman, senang dalam mengekpresikan dan mengeksplorasi perasaan yang
ada pada dirinya, dan anak akan melupakan kondisi trauma yang dialami pada dirinya.
Play Therapy juga dapat menghilangkan beberapa permasalahan pada anak yang
bertujuan untuk merubah tingkah laku anak yang kurang sesuai menjadi tingkah laku yang
sesuai dengan yang diharapkan, sehingga anak dapat bermain dan kooperatif serta dapat
mudah diajak untuk kerjasama ketika menjalani terapi (Noverita, 2017). Strategi Play
Therapy dalam mereduksi dampak psikologis korban bencana alam (Nawangsih , 2014):
1. Langkah Awal
Dalam tahap awal ini, tindakan utamanya adalah membangun kedekatan dengan anak.
Terapis harus mampu membangun hubungan yang hangat dan saling percaya. Langkah
ini bisa dilakukan dengan menyediakan berbagai permainan yang digemari oleh anak.
2. Langkah Pertengahan
Langkah pertengahan dimulai ketika anak sudah asyik dengan aktivitas mereka. Pada
tahap ini terapis dapat menyediakan berbagi sarana bermain agar anak dapat
mengekpresikan peristiwa yang pernah dialami dimasa lampau atau harapannya pada
masa yang akan datang. Terapis dapat melibatkan diri pada aktivitas bermain anak.
Dengan cara ini, terapis dapat membantu anak untuk mengembangkan kreativitasnya
secara luas, termasuk kemampuan bahasa, seni, dan kemampuan gerak.
3. Langkah Akhir
Pada tahap ini terapis dapat melihat hasil dari terapi dan memutuskan apakah terapi bisa
dihentikan atau dilanjutkan. Terapi dapat dihentikan jika anak menunjukkan kemajuan
dalam bentuk perilaku positif. Misalnya anak telah mampu bermain peran, melakukan
permainan yang melibatkan kerjasama dengan teman sebayanya, atau menampilakn
perubahan perilaku postif lainnya. Dalam terapi bermain tema permainan yang diangkat
sangatlah beragam, di antaranya:
a. Permainan yang melibatkan seluruh anggota gerak tubuh, yang bersifat energik dan
melibatkan keaktifan anak.
b. Tema keluarga, dengan mendongeng dan melibatkan figur keluarga, hewan yang
melibatkan kasih sayang dan kepengasuhan.
c. Tema safety atau security. Tema ini difokuskan pada upaya anak untuk menghadirkan
figur karakter yang menyelamatkan dan menjaga keamanan.

Berdasarkan dari kasus diatas metode play therapy yang tepat diberikan kepada korban
(5 orang anak) adalah dengan metode Art Therapy. Dengan Art Therapy akan memberikan
kesempatan pada korban (5 orang anak) untuk mengkomunikasikan perasaan, pikiran,
masalah, harapan, mimpi dengan cara yang aman. Pada Art Therapy tidak terdapat adanya
batasan atau penilaian khusus dalam menggambar, sehingga korban dapat menyampaikan
apapun mengenai gambar yang dibuatnya (Buchalter & Susan, 2009). Art Therapy
merupakan terapi yang efektif untuk mengurangi gangguan stress pada anak-anak korban
bencana. Selain itu Art therapy juga dapat menangani anak yang mengalami trauma, yang
dapat membuat anak lebih mampu untuk mengungkapkan emosi dan pengalamannya secara
verbal dari pada bercerita.
DAFTAR PUSTAKA

Ayuningtyas, I. P. (2017). Penerapan Strategi Penanggulangan Penanganan PTSD (Post


Traumatic Stress Disorder) pada Anak-Anak dan Remaja. 1st ASEAN School
Counselor Conference on Innovation and Creativity in Counseling Promoting
Equity through Guidance and Counseling. pp 47-56. Universitas Negeri
Semarang.
Buchalter, & Susan, I. (2009). Art therapy techniques and applications. Jessica Kingsley
Publisher: London.
Dzulfaqori, I.S. (2017). Konseling pada Anak Korban Bencana Alam: Play Therapy
Perspekti. Proceedings Jambore Konselor 3 Seminar dan Workshop Nasional
Bimbingan dan Konseling (p. 122). Cirebon: Indonesia Counselor Assosiacition
(IKI).
Nawangsih, E. (2014). Play Therapy untuk Anak-anak Korban Bencana Alam yang
Mengalami Trauma (Post Traumatic Stress Disorder). Psymphatic Jurnal Ilmiah
Psikologi, 1.
Noverita, M. D. (2017). Terapi Bermain Terhadap Tingkat Kecemasan pada Anak Usia 3-5
Tahun yang Berobat Dipuskesmas. Jurnal Ilmu Keperawatan, 73.

Anda mungkin juga menyukai