QUIZ – 1.
TAHAPAN DAN PROSES PENURUNAN MUTU IKAN SEGAR
QUIZ – 1.
TAHAPAN DAN PROSES PENURUNAN MUTU IKAN SEGAR
ttd…………………
Dosen Pengampu,
ttd…………………
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan inayah-Nya
sehingga kegiatan perkuliahan penanganan hasil perikanan dapat berjalan dengan lancar
dan penulis dapat menyelesaikan Quiz – 1 Tahapan dan Proses Penurunan Mutu Ikan
Segar.
Terima kasih saya ucapkan kepada bapak Dr. Ir. Latif Sahubawa, M.Si., selaku
dosen kelas penanganan hasil perikanan yang telah membantu kami baik secara moral
maupun materi.
Penulis menyadari, bahwa Quiz – 1 Tahapan dan Proses Penurunan Mutu Ikan
Segar yang dibuat ini masih jauh dari kata sempurna baik segi penyusunan, bahasa,
maupun penulisannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari semua pembaca guna menjadi acuan agar penulis bisa menjadi lebih
baik lagi di masa mendatang.
Semoga Quiz – 1 Tahapan dan Proses Penurunan Mutu Ikan Segar ini bisa
menambah wawasan para pembaca dan bisa bermanfaat untuk perkembangan dan
peningkatan ilmu pengetahuan.
iii
DAFTAR ISI
iv
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
v
BAB I
PENDAHULUAN
Laut merupakan komponen penting bagi bumi yang mengandung sumber energi
tak terhingga besarnya sehingga manusia tidak bisa hidup tanpa adanya lautan.
Membicarakan laut tentu tidak akan lepas dari negara Indonesia yang memiliki garis
pantai terpanjang kedua setelah Kanada. Luas 2/3 dari wilayah Indonesia adalah laut
dengan garis pantai lebih dari 99.000 km dan menghubungkan kawasan Asia Pasifik
dengan Australia, hal ini menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia dibidang
perdagangan global. Tidak hanya itu, laut juga menjadikan Indonesia sebagai negara yang
kaya akan biodiversitas mulai dari ekosistem mangrove yang disampaikan oleh
Soemodihardjo dan Ishemat (1989) bahwa Indonesia memiliki 34 spesies mangrove,
ekosistem lamun yang di dalamnya terdapat 15 jenis lamun (Wahyudin, et al., 2019), dan
ekosistem terumbu karang yang kekayaan di Indonesia mencapai 569 jenis atau 67% dari
845 total spesies karang dunia (Giyanto, et al., 2017). Tentunya di dalam ekosistem yang
beragam juga mengandung produksi sumber pangan ikan yang besar.
Kekayaan jenis ikan yang dimiliki Indonesia diperkirakan mencapai 8500 spesies
dan merupakan 45% dari jumlah jenis global di dunia (Budiman, et al., 2002). Tentunya
dengan kekayaan yang begitu besarnya, sumber daya perikanan ini dapat dijadikan sektor
ekonomi yang menunjang kemakmuran bangsa Indonesia. Sumber pangan ikan diketahui
mengandung protein omega-3, vitamin, serta makro dan mikro mineral yang merupakan
nutrisi penting bagi tubuh dan kandungannya paling tinggi dibanding subsitusi pengganti
ikan layaknya daging ayam dan daging sapi. Namun salah satu kekurangan terbesar dari
ikan yaitu sifat ikan perishable atau mudah rusak. Sesaat setelah ikan mati, ikan akan
mengalami penurunan mutu atau deteoriorasi yang sebelumnya mengalami beberapa fase.
Maka dari itu penting untuk mengerti bagaimana tahapan kemunduran mutu ikan agar
dapat ditangani dengan tepat, sehingga produk perikanan dapat sampai ke konsumen
dengan kondisi segar serta mutu yang baik.
1
1.2 Tujuan
Dengan ditulisnya makalah ini, dapat memperkenalkan mahasiswa tentang
kemunduran mutu perikanan dan bagaimana cara mengatasinya.
1.3 Manfaat
Mahasiswa menjadi tahu dan paham mengenai kemunduran mutu perikanan serta cara
mengatasinya, sehingga diharapkan dapat membuka inovasi bagi mahasiswa untuk
menghasilkan produk perikanan yang lebih baik.
2
BAB II
Ikan merupakan sumber pangan tinggi protein dan bernilai ekonomis namun
dikenal dengan sifat perishable atau mudah rusak. Kerusakan yang dimaksud yaitu
mengalami kemunduran mutu. Ada beberapa faktor penyebab kemunduran mutu ikan,
yaitu kerusakan fisik, kerusakan kimiawi, dan kerusakan mikrobiologi (Efendi dan Yusra,
2012). Kerusakan fisik sering dialami selama proses penangkapan, seperti memar yang
dihasilkan ketika memukul ikan dengan maksud membunuh ikan hingga menyebabkan
luka. Memar yang ada membuat aktivitas enzim meningkat sehingga mempercepat proses
pembusukkan. Sementara luka yang ada akan membuat mikroba pembusuk mudah masuk
sehingga dapat merombak komponen tubuh di dalamnya.
Kerusakan kimiawi dapat terjadi ketika proses setelah penangkapan, seperti saat
mencuci ikan, autolisis, dan oksidasi. Saat mencuci ikan, maka beberapa senyawa kimia
seperti vitamin B dan C, protein, dan lain sebagainya akan turut larut sehingga dapat
dikatakan mutu ikan mengalami kemunduran. Autolisis yaitu proses perombakan
komponen tubuh melalui enzim, biasanya terjadi saat fase post rigor sehingga daging ikan
sudah tidak elastis kembali. Sementara itu oksidasi terjadi karena ikan mengandung tinggi
lemak tak jenuh yang dapat membuat ikan rentan terhadap peroksidasi dan cepat rusak
terutama bagian rasa serta tekstur. Perubahan lebih lanjut seperti warna, nilai gizi atau
produk sekunder dari lipid akan teramati pada proses peroksidasi lipid (Dragoev dkk.,
2008).
3
Saat ikan mengalami kemunduran mutu, ikan mengalami beberapa fase terlebih
dahulu yaitu pre-regor, regor mortis, dan post regor mortis. Pada fase pre-rigor, otot ikan
masih lembut dan lentur yang disebabkan masih adanya sisa ATP sehingga masih dapat
melakukan relaksasi. Fase pre-rigor biasanya terjadi pada 3 jam pertama setelah
dimatikan (Kalista et al., 2018). Ciri-ciri lain yaitu matanya masih cerah, insangnya merah
cemerlang, tekstur daging masih padat dan elastis, serta baunya masih segar.
Sedangkan pada fase rigor mortis, tubuh ikan menjadi mengeras serta kaku dan
ikan kehilangan kelenturannya dikarenakan ATP yang kian menurun sehingga tidak
cukup energy untuk melakukan perombakan aktomiosin menjadi aktin dan myosin
(Kalista et al., 2018). Pada fase ini dimulai dari 4 jam setelah kematian, namun dapat
diperlambat dengan adanya penangan ikan yang baik seperti pendinginan hingga fase
rigor mortis terjadi 36 jam setelah kematian (Nurjanah, et al., 2011). Ciri lain yang dapat
diamati dari ikan yang mengalami fase rigor mortis yaitu mata berwarna putih cerah,
insang merah namun kurang cemerlang dan terdapat lendir, serta baunya masih segar.
Fase terakhir yaitu post rigor mortis menjadi tahap awal dalam pembusukan
(deteriorasi). Pada fase ini, otot ikan sudah tidak elastis disebabkan proses autolisis yang
menghasilkan senyawa media pertumbuhan mikrobia (Dwiari et al., 2008), fase ini bisa
terjadi 8 jam setelah kematian atau 228 jam setelah kematian bila dilakukan penanganan
berupa pendinginan (Nurjanah, et al., 2011). Ciri lain ikan yang mengalami fase ini yaitu
bola mata agak cekung dan berwarna keabuan, insangnya berwarna merah kusam dan
berlendir, daging agak lunak dan tidak elastis, sementara baunya masih agak segar.
4
Kemunduran mutu ikan dapat diketahui lebih lanjut melalui beberapa uji,
beberapa ujinya yaitu uji organoleptic, uji total plate count (TPC), dan uji pH. Pengujian
organoleptic merupakan cara pengujian dengan menggunakan indera pada penampakan,
bau, perut, dan lain sebagainya (Deni 2015). Uji porganoleptic termasuk uji paling mudah
dan tidak membutuhkan banyak peralatan. Penilaian ini bersifat subjektif dan penilaian
uji organoleptik terhadap ikan segar ini tercantum dalam SNI.012729.2006.
5
Selanjutnya yaitu uji TPC (Total Plate Count) untuk menghitung jumlah total
mikroorganisme aerob dan anaerob yang terdapat pada ikan. Mikroorganisme yang paling
dominan dan berperan dalam kerusakan (pembusukan) daging ikan adalah bakteri, maka
dari itu TPC menjadi salah satu pengujian untuk menentukan kualitas mutu ikan. TPC
dilakukan menghitung jumlah bakteri yang ditumbuhkan dalam media agar lalu
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 37°C (Apriani, et al., 2017). Pada setiap fase
kemundururan mutu ikan, jumlah bakteri mengalami peningkatan yang pastinya
menyebabkan kualitas ikan semakin menurun (Nurjanah, et al., 2011). Berdasarkan jurnal
yang ditulis oleh Jaya dan Ramadhan (2006), pada masa post rigor, jumlah bateri meningkat pesat
namun pada akhirnya pertumbuhan bakteri menjadi lambat dan tidak tersebar secara menyeluruh
ke seluruh tubuh namun berpusat pada lendir kulit, insang, dan isi perut.
(a) (b)
Sumber : Jaya dan Ramadhan, 2006 Sumber : Nurjanah, et al., 2011
Gambar 2. Uji TPC Ikan Berdasarkan Fase Kematian. (a) pada suhu ruang. (b) pada suhu
chilling
6
(a) (b)
Sumber : Jaya dan Ramadhan, 2006 Sumber : Nurjanah, et al., 2011
Gambar 3. Uji pH Ikan Berdasarkan Fase Kematian. (a) pada suhu ruang. (b) pada suhu chilling
7
BAB III
Hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi kemunduran mutu ikan yaitu dengan
memberikan penanganan yang baik pada ikan saat penangkapan, setelah penangkapan
hingga pengolahan sehingga dapat memperlambat proses kemunduran mutu. Saat
penangkapan, diusahakan menggunakan metode yang tidak menimbulkan luka pada ikan.
Seperti yang sudah dipaparkan di bab sebelumnya bahwa luka dan memar dapat
menyebabkan cepatnya penurunan mutu. Setelah ditangkap hendaknya langsung di cuci
bersih guna menghilangkan kotoran yang dapat mempercepat proses pembusukkan. Lalu
disimpan dalam suhu rendah (dingin maupun beku) agar aktivasi bakteri dan enzim
terhenti. Langsung dilakukan filleting juga dapat memperlambat penurunan mutu ikan
karena isi perut, kulit, bagian keras (tulang, sisik), serta insang akan dihilangkan sehingga
tempat penyebaran bakteri terbanyak sudah dibuang.
Penurunan kualitas mutu juga bisa dicegah dengan pengolahan seperti perebusan
yang dimana dapat menghilangkan mikroba, mendenaturasi protein, hingga menurunkan
kadar air. Selain perebusan ada juga penguapan, sehingga air yang tadinya bisa dijadikan
tempat aktivitas mikroba pembusuk menjadi tidak bisa lagi dimanfaatkan oleh mikroba
pembusuk. Cara lainnya yaitu dengan menambah bahan tambahan seperti garam dan gula.
Dengan ditambahkannya garam dan gula, akan terjadi perbedaan tekanan osmotis antara
produk perikanan dan lingkungannya sehingga cairan dari produk akan keluar dengan
sendirinya. Selain itu kandungan garam seperti ion Na+ serta Cl- dapat membunuh
mikroba pembusuk, dan mendenaturasi protein (Efendi dan Yusra, 2012). Cara lainnya
yaitu dengan fermentasi produk perikanan. Pada proses fermentasi, enzim dalam
lingkungan terkendali akan merombak senyawa kompleks menjadi senyawa sederhana.
8
SUMBER PUSTAKA
Apriani, R., R. Ferasyi, dan R. Razali. 2017. Jumlah cemaran mikroba dan nilai
organoleptik ikan tongkol (Euthynnus affinis). JIMVET, 01 (3) : 598-603
Botutihe, F. 2016. Penilaian mutu organoleptik dan pH ikan roa (Hemirhampus sp.)
sebagai bahan baku ikan asap. Jurnal Agropolitan, 3 (3) : 27-31
Budiman, A., A.J. Arief, dan A.H. Tjakrawidjaya. 2002. Peran museum zoologi dalam
penelitian dan konservasi keanekaragaman hayati (ikan). Jumal Iktiologi
Indonesia 2 (2) : 5l-55.
Deni, S. 2015. Karakteristik mutu ikan selama penanganan pada kapal km. Cakalang.
Jurnal Ilmiah agribisnis dan Perikanan, 8 (2) : 72-80.
Diouf, B. dan P. Rioux. 1999. Use of the rigor mortis process as a tool for better
understanding skeletal physiology, 61 (5) : 376 – 379.
Dragoev, S.G., Kiosev, D.D., Danchev, S.A., Ioncheva, N.I. dan Genov, N.S. 2008. Study
on the oxidative processes in frozen fish. Journal of Agriculture and Science, 4:
55–65.
Efendi, Y., dan Yusra. 2012. Pengendalian Mutu Hasil Perikanan. Bung Hatta University
Press, Padang.
Giyanto, M. Abrar, T.A. Hadi, A. Budiyanto, M. Hafizt, A. Salatalohy, dan M.Y. Iswari.
2017. Status Terumbu Karang Indonesia. Puslit Oseanografi – LIPI, Jakarta.
Sulistijowati S, R., Djunaedi, O.S., Nurhajati, J., Afrianto, E., Udin, Z. 2012. Mekanisme
Pengasapan Ikan. UNPAD Press, Bandung.
9
Wahyudin, Y., D. Mulyana, A. Ramli, N. Rikardi, D. Suhartono, dan A. T. Kesewo. 2019.
Nilai ekonomi keanekaragaman hayati pesisir dan laut Indonesia. Jurnal
Pendidikan Insan Kamil Al Ihya, 2 (2) : 37-51.
10