Anda di halaman 1dari 3

1.

7 Penatalaksanaan

Tidak ada pengobatan yang permanen untuk SLE. Tujuan dari terapi adalah

mengurangi gejala dan melindungi organ dengan mengurangi peradangan dan atau tingkat

aktifitas autoimun di tubuh. Banyak pasien dengan gejala yang ringan tidak membutuhkan

pengobatan atau hanya obat-obatan anti inflamasi yang intermitten. Pasien dengan sakit yang

lebih serius yang meliputi kerusakan organ dalam membutuhkan kortikosteroid dosis tinggi

yang dikombinasikan dengan obat-obatan lain yang menekan sistem imunitas. Pasien dengan

SLE lebih membutuhkan istirahat selama penyakitnya aktif. Penelitian melaporkan bahwa

kualitas tidur yang buruk adalah faktor yang signifikan dalam menyebabkan kelelahan pada

pasien dengan SLE. Hal ini memperkuat pentingnya bagi pasien dan dokter untuk

meningkatkan kualitas tidur. Selama periode ini, latihan tetap penting untuk menjaga tekanan

otot dan luas gerakan dari persendian (Mok & Lau, 2017).

Terapi Farmakologi.

Penyakit yang ringan atau remitten bisa dibiarkan tanpa pengobatan. Bila diperlukan,

NSAID dan anti malaria bisa digunakan. NSAID membantu mengurangi peradangan dan

nyeri pada otot, sendi, dan jaringan lainnya. Contoh NSAID adalah aspirin, ibuprofen,

naproxen, dan sulindac. Pada beberapa keadaan tidak disarankan pemberian agen selektif

COX-2 karena dapat meningkatkan resiko kardiovaskular. Karena respon individual tiap

pasien bervariasi, penting untuk mencoba NSAID yang berbeda untuk menemukan yang

paling efektif dengan efek samping paling kecil. Efek samping yang paling sering adalah

tidak enak perut, nyeri abdomen, ulkus, dan bisa perdarahan ulkus. NSAID biasanya

diberikan bersamaan dengan makanan untuk mengurangi efek samping. Kadangkadang, obat

yang mencegah ulser bisa diberikan bersamaan, seperti misoprostol. Kortikosteroid lebih baik

dari NSAID dalam mengatasi peradangan dan mengembalikan fungsi ketika penyakitnya

aktif. Kortikosteroid lebih berguna terutama bila organ dalam juga terkena. Kortikosteroid
bisa diberikan peroral, injeksi langsung ke persendian atau jaringan lainnya, atau diberikan

intra vena. Sayangnya, kortokosteroid memiliki efek samping yang serius bila diberikan

dalam dosis tinggi selama periode yang lama, dan harus dimonitor aktifitas dari penyakitnya

untuk menurunkan dosisnya bila memungkinkan. Efek samping dari kortikosteroid adalah

penipisan tulang dan kulit, infeksi, diabetes, wajah membengkak, katarak, dan kematian

(nekrosis) dari persendian yang besar Hydroxychloroquine adalah obat anti malaria yang

ditemukan efektif untuk pasien SLE dengan kelemahan, penyakit kulit dan sendi. Efek

samping termasuk diare, tidak enak perut, dan perubahan pigmen mata. Perubahan pigmen

mata jarang, tetapi diperlukan, monitor oleh ahli mata selama pemberian obat ini. Ditemukan

bahwa obat ini mengurangi frekwensi bekuan darah yang abnormal pada pasien dengan SLE.

Jadi, obat ini tidak hanya mengurangi kemungkinan serangan dari SLE, tetapi juga berguna

untuk mencegah pembekuan darah abnormal yang luas. Untuk penyakit kulit yang resisten,

obat anti malaria lainnya, seperti chloroquine atau quinacrine bisa diberikan, dan bisa

dikombinasikan dengan hydroxychloroquine. Pengobatan alternatif untuk penyakit di kulit

adalah dapsone dan asam retinoat (Retin-A). Pengobatan immunosupresan digunakan pada

pasien dengan manifestasi SLE berat dan kerusakan organ dalam. Contohnya adalah

methotrexate, azathioprine, cyclophosphamide, chlorambucil dan cyclosporine. Semua

immunosupresan menyebabkan jumlah sel darah menurun dan meningkatkan resiko

terjadinya infeksi dan perdarahan. Efek samping lainnya berbeda pada tiap obat.

Methotrexate menyebabkan keracunan hati, cyclosporine bisa mengganggu fungsi ginjal.

Tahun-tahun belakangan, mycophenolate mofetil digunakan sebagai obat yang efektif

terhadap SLE, khusunya bila dikaitkan dengan penyakit ginjal. Obat ini menolong dalam

mengembalikan dari keadaan lupus renal disease dan untuk mempertahankan remisi setelah

stabil. Efek samping yang lebih sedikit membuatnya lebih bermanfaat dibandingkan

pengobatan imunosupresan yang tradisional. Pada pasien SLE dengan penyakit otak dan
ginjal yang serius, plasmapharesis (mengeluarkan plasma dan menggantikannya dengan

plasma beku yang spesifik) kadang-kadang dibutuhkan untuk menghilangkan antibodi dan

bahan-bahan imunitas lainnya dari darah untuk menekan imunitas. Pada beberapa pasien

SLE,hal ini bisa menyebabkan tingkat platelet yang sangat rendah yang meningkatkan resiko

perdarahan spontan dan luas. Karena spleen dipercaya sebagai tempat penghancuran platelet

yang utama, operasi pengangkatan spleen kadang kala dilakukan untuk meningkatkan jumlah

platelet. Kerusakan ginjal stadium akhir akibat SLE membutuhkan dialisis atau transplantasi

ginjal. Sebagian besar penelitian menunjukkan keuntungan rituximab dalam mengobati lupus.

Rituximab intra vena, yaitu memasukkan antibodi yang menekan sejumlah sel darah putih,

sel B, dan menurunkan jumlahnya dalam sirkulasi. Sel B ditemukan memainkan peranan

penting dalam aktifitas lupus, dan bila ditekan, penyakitnya memasuki masa remisi

(Hockenberry & Wilson, 2015).

Terapi Non Farmakologi.

Menghindari sinar matahari atau menutupinya dengan pakaian yang melindungi dari

sinar matahari bisa efektif mencegah masalah yang disebabkan fotosensitif. Penurunan berat

badan juga disarankan pada pasien yang obesitas dan kelebihan berat badan untuk

mengurangi beberapa efek dari penyakit ini, khususnya ketika ada masalah dengan

persendian. Pada pasien ini diberikan terapi dengan kortikosteroid sesuai teori. Kortikosteroid

yang diguna dalam kasus ini adalah methylprednisolone. Selain itu pasien juga dinasehatkan

agar melindungi dirinya dari cahaya matahari (Mok & Lau, 2017).

Anda mungkin juga menyukai