Anda di halaman 1dari 25

HYBRID CONTRACTS

PADA PRODUK KEUANGAN SYARIAH

Disusun Oleh :

Dosen Pengampu :

Dr. Hasanuddin, M.Ag.

Nisrina Mutiara Dewi SE.Sy., M.H

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI


SYARIAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’ alaikum warahmatullah wabarakatuh

Dengan mengucapkan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan yang
Maha Esa. Karena berkat rahmat dan lindungannya kami dapat menyelesaikan tugas
mata kuliah Fiqih Muamalat Kontemporer dengan bahasan : Hybrid Contract Pada
Produk Keuangan Syariah. Bahasan ini disusun oleh kelompok kami secara kompeten,
dan dari sumber yang dapat dipercaya. Pada akhirnya, Kami mengucapkan banyak
terimakasih kepada dosen kami, Dr. Hasanuddin, M.Ag dan Nisrina Mutiara Dewi
SE.Sy., M.H karena telah memberikan tugas berupa makalah ini, sehingga kami bisa
memahami materi ini, dan semoga dapat menambah khasanah pengetahuan kami.
Tentunya, makalah ini masih memiliki banyak kekurangan, maka dari itu ungkapan maaf
sebesar-besarnya kami sampaikan atas segala kesalahan dan kekeliruan. Atas
perhatiannya, kami ucapkan terimakasih.
Wassalamu’ alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ciputat, 15 September 2019

Pemakalah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................2

DAFTAR ISI.....................................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang........................................................................................................4

B. Rumusan Masalah..................................................................................................5

C. Tujuan Penulisan....................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN

A. Istilah Hybrid Contract dan Pengertiannya............................................................6

B. Macam-macam Hybrid Contract............................................................................8

C. Jenis Hybrid Contract/Multiakad dalam lembaga keuangan.................................11

D. Pandangan Ulama‟ dan Fatwa DSN tentang Hukum Hybrid Contract ..................13

E. Batasan dan Ketentuan (Dhawabit) Hybrid Contract.............................................17

F. Hybrid Contract yang Dilarang..............................................................................20

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan...........................................................................................................21

B. Saran.....................................................................................................................23

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................24

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pertumbuhan Perbankan Syariah semakin berkembang pesat ditandai dengan


munculnya produk- produk kreatif yang ditawarkan kepada masyarakat. Munculnya
produk-produk baru di Perbankan Syariah menimbulkan kesulitan dalam penerapan
prinsip syariah terutama dalam aspek kesesuaiannya dengan akad. Ijtihad para ulama
sangat diperlukan dalam menjawab persoalan tersebut. Dewan Syariah Nasionaltelah
3
berupaya memberikan jawaban terhadap kebutuhan produk tersebut yang tersebar
dalam fatwa DSN. Sebagian fatwa terbut merupakan transformasi akad-akad dalam
hukum Islam ke dalam kegiatan transaksi keuangan modern. Untuk menilai suatu
produk apakah telah memenuhi prinsip syariah atau tidak, salah satunya adalah
dengan memperhatikan akad-akad dan berbagai ketentuannya yang digunakan dalam
produk tersebut. Produk-produk dalam perbankan syariah, beberapa atau bahkan
sebagian terbesar ternyata mengandung beberapa akad. Sebagai contoh, dalam
transaksi kartu kredit syariah terdapat akad ijarah, qardh, dan kafalah, obligasi syariah
mengandung sekurang-kurangnya akad mudharabah (atau ijarah) dan wakalah, serta
terkadang disertai kafalah. Dalam setiap transaksi, akad-akad tersebut dilakukan
secara bersamaan atau setidaktidaknya setiap akad yang terdapat dalam suatu produk
tidak bisa ditinggalkan, karena kesemuanya merupakan satu kesatuan. Transaksi
seperti itulah yang dalam tulisan ini diistilahkan dengan ”Multi Akad” yang kini
dalam peristilahan fikih muamalat kontemporer (fiqh al-mu‟amalat al-maliyah al-
mu‟ashirah) disebut dengan al-‟uqud al-murakkabah. Untuk
lebih jelasnya pemaklah akan menjelaskan secara rinci dalam tulisan ini.

4
A. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Hybrid Contract?

2. Apa saja macam-macam Hybrid Contract?

3. Bagaimana Pandangan Ulama‟ dan Fatwa DSN Tentang Hukum


Hybrid Contract?

B. Tujuan Penulisan

1. Menjelaskan Pengertian Hybrid Contract

2. Menjelaskan macam-macam Hybrid Contract


3. Menjelaskan Pandangan Ulama‟ dan Fatwa DSN Tentang Hukum
Hybrid Contract
BAB II
PEMBAHASAN

A. Istilah Hybrid Contract dan Pengertiannya


Di era transaksi keuangan modern yang semakin kompleks, dibutuhkan design
kontrak dalam bentuk kombinasi beberapa akad yang disebut dengan hybrid contract (multi
akad), atau dikenal juga dengan istilah al-uqud almurakkabah. Kombinasi akad zaman
sekarang adalah sebuah keniscayaan,akad tunggal sudah tidak mampu lagi merespon kasus-
kasus dan masalah keuangan kontemporer.1
Kata “hybrid” (Inggris), dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah “hibrida”
digunakan pertama kali sebagai istilah bagi hasil persilangan (hibridisasi atau pembastaran)
antara dua individu dengan geneotipe berbeda. Kata “hibrida” dalam pengertian ini
memiliki medan makna yang tumpang tindih dengan “bastar”, atau dalam bahasa sehari-
hari disebut blaster.2 Oleh karena itu, hybrid contract dimaknai sebagai kontrak yang
dibentuk oleh kontrak yang beragam.
Sementara hybrid contract dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah multiakad.
Multi dalam bahasa Indonesia berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, berlipat
ganda.3Dengan demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda atau
akad yang banyak, lebih dari satu. Sedangkan, dalam istilah fiqih disebut al-u‟qud al-
murakkabah, Kata al-murakkabah (murakkab) secara etimologi berarti “aljam„u”, yakni
“pengumpulan atau penghimpunan”4. Secara terminology, al-murakhabah adalah
kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau
lebih, seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh, muzara‟ah, sharf,
syirkah, mudharabah dsb, sehingga semua akibat hukum akad-akad yang terhimpun

1
Agustianto Mingka, Reaktualisasi dan Kontekstualisasi Fikih Muamalah Ke Indonesiaan: Upaya Inovasi
Produk Perbankan dan Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Iqtishad Publishing, 2014), hlm 91.
2
Wikipedia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/hibrida diakses pada tanggal 15/09/2019.
3
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hlm. 761.
4
Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progresif,
1997), hlm. 953.
tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya dipandang sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari satu akad.5

akad murakkab menurut Nazih Hammad adalah:


“Kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua
akad atau lebih, -seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakâlah, qardh,
muzâra'ah, sharf (penukaran matauang), syirkah, mudhârabah, dst.,- sehingga semua
akibat hokum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan,
sebagaimana akibat hukum dari satu akad”.6

Sedangkan menurut al-„Imrânî, akad murakkab adalah:


“Himpunan beberapa akad kebendaan yang dikandung oleh sebuah akad, baik
secara gabungan maupun secara timbal-balik, sehingga seluruh hak dan kewajiban yang
ditimbulkannya dipandang sebagai akibat hukum dari satu akad”.7

Selain istilah akad murakkab, ada beberapa istilah lain yang digunakan ahli fikih
yang memiliki hubungan, kemiripan, dan kesamaan dengan pengertian akad murakkab.
Istilah-istilah itu antara lain al-‟uqûd almujtami„ ah, al-‟uqûd almuta‟addidah, al-‟uqûd
al-mutakarrirah, al-‟uqûd almutadâkhilah, al-‟uqûd almukhtalithah.8
Terhimpunnya akad-akad itu, baik secara gabungan maupun secara timbal balik9
membangun terjadinya hubungan hukum antara para pihak yang menimbulkan hak dan
kewajiban sesuai dengan tujuannya dan berlaku sebagai nash syariah bagi mereka yang
melakukan akad tersebut. Seperti dalam akad murabahah mengandung dua akad bai‟ dan

5
Nazih Hammad, Al-‘Uqud al-Murakkabah fi al Fiqh al-Islamy (Damaskus: Dār al-Qalam, 2005), Cet.ke 1,
hlm.7.
6
Hasanudin Maulana, “Multi akad dalam Transaksi Syari’ah Kontemporer pada Lembaga Keuangan Syari’ah
di Indonesia,” Jurnal Al-Iqtishad Vol. III, No. 1 (Januari 2011), hlm. 158.
7
Ibid, 159.
8
Ibid,.
9
Al-Imrani, Al-‘Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah (Riyadh: Dār
Kunuz Eshbelia li al-Nasyar wa Tauzi, 2006), Cet. Ke 1,hlm.45.
wakalah, pada akad ijarah muntahiya bittamlik mengandung dua akad, yaitu ijarah dan
hibah atau jual beli ditambah wa‟ad, pada akad musyarakah mutanaqishah mengandung
empat akad, yaitu syirkah inan, bai‟, ijarah dan wakalah, pada pembiayaan take over
mengandung akad qardh, bai‟ dan murabahah atau gabungan qardh, bai‟ dan ijarah
muntahiya bittamlik, pada kartu kredit syariah mengandung akad kafalah, bai‟, ijarah dan
qardh, pada pembiayaan bai‟ al-istighlāl10 (untuk pembiayaan multiguna) mengandung dua
akad bai‟, wa‟ad dan ijarah, pada pembiayaan ulang (refinancing) dapat digunakan akad
al-ba‟i wa al-isti‟jar (sale and lease back) dengan memberlakukan akad ba‟i dan ijarah
muntahiya bittamlik ma‟a hibah atau digunakan akad al-ba‟i dalam rangka musyarakah
mutanaqishah. Akad qardh, rahn dan ijarah pada produk gadai emas.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan pengertian multi akad adalah kesepakatan
dua pihak untuk melaksanakan suatu muamalah yang meliputi dua akad atau lebih,
sehingga semua akibat hukum dari akad-akad gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban
yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, yang sama
kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari satu akad.11

B. Macam-Macam Hybrid Contract


Al-„Imrani membagi multiakad dalam lima macam, yaitu: al-‟uqud almutaqabilah,
al‟uqud al-mujtami„ah, al-‟uqud al-mutanaqidhah wa al-mutadhadah wa al-mutanafiyah,
al- ‟uqud al-mukhtalifah, al-‟uqud al-mutajanisah. Dari lima macam itu, menurut dia, dua
macam yang pertama yaitu al-‟uqud almutaqabilah dan al-‟uqud al-mujtami„ah, adalah
multiakad yang umum dipakai. Berikut penjelasan dari lima macam multiakad tersebut 12.
Berikut Penjelasan dari kelima jenis Hyberd Contract/multiakad atau Al-„Uqud Al-
Murakkabah.13:

10
Termasuk salah satu dari al-’uqud al-mukhtalithah, pengembangan dari ba’i al-wafa.
11
Najamuddin, “Al-Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syari’ah,” Jurnal Syari‟ah Vol. II, No. II
(Oktober 2013), hlm. 9.
12
Ali Amin Isfandiar, Analisis Fiqh Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan Penerapannya Pada
Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2, November 2013, hlm. 205.
13
Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer , (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), hlm. 374.
1. Hybrid Contract yang akad Bergantung/Akad Bersyarat (al-‟uqûd
almutaqâbilah).
Al-‟uqûd al-mutaqâbilah adalah multi akad dalam bentuk akad kedua
merespon akad pertama, di mana kesempurnaan akad pertama bergantung pada
sempurnanya akad kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain, akad satu
bergantung dengan akad lainnya14
2. Hybrid Contract yang Akad Terkumpul (al-‟uqûd al-mujtami‟ah)
Al-‟uqûd al-mujtami‟ah adalah multi akad yang terhimpun dalam satu akad.
Dua atau lebih akad terhimpun menjadi satu akad. Seperti contoh "Saya jual rumah
ini kepadamu dan saya sewakan rumah yang lain kepadamu selama satu bulan
dengan harga lima ratus ribu".
Multi akad yang mujtami'ah ini dapat terjadi dengan terhimpunnya dua akad
yang memiliki akibat hukum berbeda di dalam satu akad terhadap dua objek dengan
satu harga, dua akad berbeda akibat hukum dalam satu akad terhadap dua objek
dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang berbeda hukum atas satu
objek dengan satu imbalan, baik dalam waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
Salah satu contoh dari akad ini yaitu wadiah dan mudarabah pada giro.15
3. Hybrid Contract yang Akad berlawanan (Al-‟uqûd al-mutanâqidhah)
Ketiga istilah al-mutanaqidhah, al-mutadhadah, almutanafiyah memiliki
kesamaan bahwa ketiganya mengandung maksud adanya perbedaan. Tetapi ketiga
istilah ini mengandung implikasi yang berbeda. Mutanaqhidah mengandung arti
berlawanan, seperti pada contoh seseorang berkata sesuatu lalu berkata sesuatu lagi
yang berlawanan dengan yang pertama.Sedangkan arti etimologi dari mutanaqhidah
adalah dua hal yang tidak mungkin terhimpun dalam satu waktu, seperti antara
malam dan siang. Adapun arti dari mutanafiyah adalah menafikan, lawan dari
menetapkan. Dikatakan mutanâqidhah karena antara satu dengan yang lainnya tidak

14
Ibid,.
15
Ibid,.
saling mendukung, melainkan mematahkan. Contoh dari akad ini yaitu jual beli dan
pinjaman, menggabungkan qarḍ wal ijârah dalam satu akad.16
Dari pengertian di atas, para ahli fikih merumuskan maksud dari multi akad
(„uqud murakkabah) yang mutanaqhidah, mutadhadah, dan mutanafiyah, yaitu :
1) Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang berlawanan,
maka setiap dua akad yang berlawanan tidak mungkin dipersatukan dalam
satu akad.
2) Satu hal dengan satu nama tidak cocok untuk dua hal yang berlawanan,
karena dua sebab saling menafikan akan menimbulkan akibat yang saling
menafikan pula.
3) Dua akad yang secara praktik berlawanan dan secara akibat hukum bertolak
belakang tidak boleh dihimpun.
4) Haram terhimpunnya akad jual beli dan sharf dalam satu akad. Mayoritas
ulama Maliki berpendapat akadnya batal karena alasan ketentuan hukum
kedua akad itu saling menafikan, yaitu bolehnya penundaan dan khiyar
dalam jual beli, sedangkan dalam sharf penundaan dan khiyar tidak
dibolehkan.
5) Ada dua pendapat mengenai terhimpunnya jual beli dan ijarah, dan jual beli
dengan sharf dengan satu imbalan ('iwadh). Pendapat pertama mengatakan
kedua akad ini batal karena hukum dua akad yang berlawanan dan tidak ada
prioritas satu akad dengan akad lain, karenanya kedua akad itu tidak sah.
pendapat kedua mengatakan, sah kedua akad dan imbalan dibagi untuk dua
akad sesuai dengan harga masing-masing objek akad. penggabungan ini
tidak membatalkan akad.
6) Terhimpunnya dua akad atas objek yang memiliki harga berbeda dengan
satu imbalan (wadh), seperti sharf dan bai‟ atau menjual barang yang
dinyatakan bahwa akad telah mengikat sebelum serah terima, hukumnya
sah, karena keduanya dapat dimintakan imbalan sebagai harga masing-
masing. Dari pendapat Ulama di atas disimpulkan bahwa multi akad yang

16
Ibid,.
mutanaqhidah, mutadhadah, dan mutanafiyah adalah akad-akad yang tidak
boleh dihimpun menjadi satu akad. Meski demikian pandangan ulama
terhadap tiga bentuk multi akad tersebut tidak seragam.17

C. Jenis Hybrid Contract/multiakad dalam Lembaga Keuangan


Metode Hybrid Contract atau kombinasi beberapa „aqd dalam satu transaksi telah
menjadi ciri khas industri perbankan syariah di seluruh dunia termasuk Indonesia dalam
pengembangan produk. Hal ini harus dilakukan karena kombinasi kontrak dalam system
ekonomi sekarang adalah sebuah kebutuhan. Mingka18 menjelaskan bahwa ada banyak jenis
hybrid kontrak di perbankan syariah dan keuangan seperti bay‟ wafa '(kombinasi
kontrak penjualan dengan janji untuk membeli kembali) dan kontrak paling menonjol yang
saat ini digunakan di perbankan syariah terutama untuk pembiayaan rumah yang
mushārakah mutanāqishah. Kontrak ini terdiri dari beberapa kontrak dalam satu transaksi
seperti kontrak kepemilikan bersama (syirkah al-milk), kontrak penjualan (bay‟), akad
Ijarah (lease), hibah (hibah), dan sebagainya. Selanjutnya dia membagi jenis kontrak
hibrida menjadi empat kategori:19
Pertama, Multi Akad yang mukhtalithah (bercampur) yang memunculkan nama
baru,
seperti bay‟ istighlal20, bay‟ tawarruq21, musyarakah mutanaqishah22 dan bay‟ wafa23‟.

17
Ali Amin Isfandiar, Op Cit, Hlm. 215-216
18
Mingka, Agustianto. (2011) Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah. Diakses pada 13/09/2019
www.agustiantocentre.com.
19
Muhammad Iman Sastra Mihajat, Hybrid Contract in Islamic Banking and Finance: A Proposed Shariah
Principles and Parameters for Product Development, EJBM-Special Issue :Islamic Management and Business
www.iiste.org, ISSN 2222-1905 (Paper) ISSN 2222-2839 (Online), Vol 7, No.16 (Special Issue), 2015.
20
Jual beli istighlal merupakan percampuran 3 akad, yaitu 2 akad jual beli dan ijarah, sehingga bercampur 3
akad. Akad ini disebut juga three in one.
21
Jual Beli Tawarruq percampuran 2 akad jual beli. Jual Beli 1 dengan pihak pertama, Jual Beli kedua dengan
pihak ketiga.
22
Musyarakah Mutanaqishah (MMQ). Akad ini campuran akad syirkah milik dengan Ijarah yang
mutanaqishah atau jual beli yang disifati dengan mutanaqishah (decreasing). Percampuran akad-akad ini
melahirkan nama baru, yaitu musyarakah mutanaqishah (MMQ). Substansinya hampir sama dengan IMBT,
karena pada akhir periode barang menjadi milik nasabah, namun bentuk ijarahnya berbeda, karena transfer
of title ini bukan dengan janji hibah atau beli, tetapi karena transfer of tittle yang mutanaqishah, karena itu
sebutannya ijarah saja, bukan IMBT.
Kedua, kontrak yang menggabungkan beberapa „aqd dalam satu transaksi dan
keluar dengan nama baru caqd, namun nama „aqd lama masih disebutkan, seperti bay 'at-
takjīry (menyewa perjanjian pembelian atau sewa guna usaha) mudhārabah mushtarakah
dalam asuransi jiwa (Fatwa DSN-MUI No. 51/2006) dan deposito berjangka di bank
syariah (Fatwa DSN-MUI No. 50/2006).
Ketiga, Hybrid contract, yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan
nama akad baru. tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan dipraktekkan dalam
suatu transaksi. Contohnya :
1. Kontrak akad pembiayaan take over pada alternatif 1 dan 4 pada fatwa DSN MUI No
31/2000.
2. Kafalah wal ijarah pada kartu kredit.
3. Wa‟ad untuk wakalah murabahah, ijarah, musyarakah, dll pada pembiayaan rekening
koran or line facility
4. Murabahah wal wakalah pd pembiayaan murabahah basithah.
5. Wakalah bil ujrah pada L/C, RTGS, General Insurance, Factoring,
6. Kafalah wal Ijarah pada LC, Bank Garansi
7. pembiayaan multi jasa / multi guna, kartu kredit.
8. Mudharabah wal murabahah/ ijarah/ istisna pada pembiayaan terhadap karyawan
koperasi instansi.
9. Hiwalah bil Ujrah pada factoring.
10. Rahn wal ijarah pada REPO SBI dan SBSN.
11. Qardh, Rahn dan Ijarah pada produk gadai emas di bank syariah.
Keempat, Hybrid Contract yang mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan). Bentuk ini
dilarang dalam syariah. Contohnya menggabungkan akad jual beli dan pinjaman (bay‟wa
salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal ijarah dalam satu akad. Kedua contoh
tersebut dilarang oleh nash (dalil) syariah, yaitu hadits Rasulullah Saw.
Contoh lainnya :

23
Bay’ wafa’ adalah percampuran (gabungan) 2 akad jual beli yang melahirkan nama baru. Pada awal
kelahirannya di abad 5 Hijriyah, akad ini merupakan multiakad (hybrid), tetapi dalam proses sejarah menjadi
1 akad, dengan nama baru yaitu bay wafa’
menggabungkan qardh dengan janji hadiah.
Secara umum hybrid kontrak/multi akad yang banyak di aplikasikan dalam lembaga
keuangan 24:
1. Ijarah muntahiyah bi al-tamlik (akad sewah menyewah yang berakhir dengan
kepemilikan/jual beli).
2. Musyarakah mutanaqishah (akad kerja sama yang berkurang berakhir dengan jual
beli kredit).
3. Murabahah marakkabah (akad bagi hasil berganda berakhir dengan jual beli biasa)
4. Ta‟min tauni murakkabah (asuransi berganda)
5. Akad Murabahah lil Aamir bi asy-Syira` (Murabahah KPP [Kepada Pemesan
Pembelian]/Deferred Payment Sale).
6. Ta‟jir tamwili (penggabungan akad jual beli dengan sewah menyewah) walaupun
ada sebagaian ulama mengatakan bahwa akad ini sebenarnya adalah al-ijarah
muntahiyah bi al-tamlik.

D. Pandangan Ulama’ dan Fatwa DSN Tentang Hukum Hybrid


Contract
Mengenai status hukum hybrid contract (multi akad), ulama berbeda pendapat
terutama berkaitan dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multi akad
sah dan diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama
berada dalam dua pendapat tersebut membolehkan dan melarang. Mayoritas ulama
Hanafiyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah, ulama Syafi‟iyah, dan Hambali
berpendapat bahwa hukum multi akad sah dan diperbolehkan menurut syariat Islam. Bagi
yang membolehkan beralasan bahwa hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak
diharamkan dan dibatalkan selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau
membatalkannya.25

24
Najamuddin, Op. Cit,. hlm 6-7.
25
Hasanudin,” Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di
Indonesia”, Multi Akad Padalembaga Keuangansyariah, (Mei, 2009), hlm. 5.
Menurut Ibnu Taimiyah, hukum asal dari segala muamalat di dunia adalah boleh
kecuali yang diharamkan Allah dan Rasulnya, tiada yang haram kecuali yang diharamkan
Allah, dan tidak ada agama kecuali yang disyariatkan. Al-Syâthibî menjelaskan perbedaan
antara hukum asal dari ibadah dan muamalah. Menurutnya, hukum asal dari ibadah adalah
melaksanakan (ta„abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum.
Sedangkan hukum asal dari muamalah adalah mendasarkan substansinya bukan terletak
pada praktiknya (iltifât ilâ ma‟ânî). Dalam hal ibadah tidak bias dilakukan penemuan atau
perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalah terbuka lebar
kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya
adalah diperbolehkan (al-idzn) bukan melaksanakan (ta „abbud).26 Pendapat ini didasarkan
pada beberapa nash yang menunjukkan kebolehan multi akad dan akad secara umum.
Firman Allah dalam Q.S Al- Ma‟idah (5) : 1 yaitu:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. ”

Kalangan Mâlikiyyah dan Ibn Taymiyyah berpendapat bahwa multi akad


merupakan jalan keluar dan kemudahan yang diperbolehkan dan disyariatkan selama
mengandung manfaat dan tidak dilarang agama. Karena hukum asalnya adalah sahnya
syarat untuk semua akad selama tidak bertentangan dengan agama dan bermanfaat bagi
manusia.27 Dari paparan di atas, dapat diambil kesimpulan melalui metode muqâranah dan
tarjîh bahwa pendapat pertama lebih kuat dan sesuai dengan perkembangan zaman
dibanding dengan pendapat kedua. Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pertimbangan.
Pertama, dalil yang digunakan pendapat pertama memiliki status yang kuat dan kejelasan
makna yang dikandungnya. Kedua, kesesuaian dengan tujuan syari‟ah (maqâshid
syarî„ah), yaitu adanya kemudahan dalam muamalah, keringanan dalam beban, dan
memberi peluang inovasi. Ketiga, relevansi dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
manusia akan transaksi dan akad-akad modern.28

26
Hasanudin Maulama, Op Cit. Hlm. 170.
27
Ibn Taymiyyah, Nazhariyat al-„Aqd, h. 227. Dikutip oleh Hasanudin Maulama, hlm. 171
28
Al-Imrânî, Al-‟uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, hlm. 74–75. Dikutip oleh Hasanudin Maulama, hlm. 171.
Hukum asal dari syara‟ adalah bolehnya melakukan transaksi multiakad,
selama setiap akad yang membangunnya ketika dilakukan sendiri-sendiri hukumnya boleh
dan tidak ada dalil yang melarangnya. Ketika ada dalil yang melarang, maka dalil itu tidak
diberlakukan secara umum, tetapi mengecualikan pada kasus yang diharamkan menurut
dalil itu. Karena itu, kasus itu dikatakan sebagai pengecualian atas kaidah umum yang
berlaku yaitu mengenai kebebasan melakukan akad dan menjalankan perjanjian yang telah
disepakati.
Demikian pula dengan Ibn al-Qayyim, ia berpendapat bahwa hokum asal dari akad dan
syarat adalah sah, kecuali yang dibatalkan atau dilarang oleh agama. Karena hukum asalnya
adalah boleh, maka setiap akad dan syarat yang belum dijelaskan keharamannya oleh Allah
tidak bisa dinyatakan sebagai haram. Allah telah menjelaskan yang haram secara rinci,
karenanya setiap akad yang dinyatakan haram harus jelas keharamannya seperti apa dan
bagaimana. Tidaklah boleh mengharamkanyang telah dihalalkan oleh Allah atau
dimaafkan, begitu pula tidak boleh menghalalkan yang telah diharamkan oleh-Nya.29
Terjadinya pro dan kontra dalam hybrid contract tidak lain karena para ulama
memandang adanya faktor hukum dalam transaksi tersebut. Adapun illat (faktor hukum)
larangan dalam transaksi seperti ini adalah adanya unsur riba, ghoror 30 perjudian atau
penipuan. Seperti dalam kasus jual beli dua harga dalam satu transaksi, sesungguhnya pihak
yang menjual komoditi seharga seratus (misalnya) dengan cara tunai dan seratus sepuluh
secara kredit tidak dapat mengetahui akad atau harga manakah yang akan teralisir atau
dipilih oleh pembeli. Dari sini jelas sekali terjadi ketidakjelasan dalam transaksi.
Jadi, transaksi bisnis (dalam bai‟ataini fi bai‟ah) sebagaimana contoh di atas jelas
mengandung unsur gharar yang terdapat dalam sighat (kalimat) transaksi yang disepakati
dan bukan dalam obyeknya.31

29
Ibid, 18.
30
Ibnu Taimiyah Mengartikan Gharar Dengan Pertaruhan Sehingga Tidak Jelas Hasilnya. Al-Gharar Bisa Juga
Juga Bermakna Al-Jahalah Artinya Ketidakjelasan Atau Ketidakpastian (Unclearly/Uncertainty). Lihat
Muhammad Nizarul Alim. (2011). Muhasabah Keuangan Syariah. (Solo: PT Aqwam Media Profetika), hlm.31.
31
Haryono, Dinamika Dan Solusi Pengembangan Multi Akad (Hybrid Contract) Sebagai Basis Produk
Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, Ad-Denaar. hlm. 32. (13/09/2019)
Dari contoh kasus tersebut kita bisa mengetahui bahwa akad transaksi sangat berpengaruh
terhadap legalitas transaksi muamalah. Dimyaudin Djuwaini (2008) mengemukakan bahwa
akad mempunyai implikasi hukum seperti pemindahan kepemilikan, hak sewa, dan lainnya.
Hukum akad salam Islam adalah mubah selama tidak ada larangan syar‟i tentang
akad tersebut. Dalam hal ini sebagaimana yang dinyatakan Abdullah Muslih dan Shalah
Ash-Shawi dalam buku beliau32 bahwa:
“Asal dari segala bentuk akad dan persyaratan adalah mubah, menurut pendapat
ulama yang paling benar, sehingga tidak ada yang diharamkan kecuali yang diindikasikan
keharamannya oleh ajaran Islam, dengan dalil tegas atau qiyas.”
DSN-MUI dalam melakukan ijtihad hukum mengacu pada pedoman penetapan
fatwa yang ditetapkan berdasarkan SK Pimpinan MUI Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang
ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada Bab
II yang menyatakan bahwa:
1. Penetapan fatwa didasarkan pada al-Qur‟an, Sunnah (hadits), ijma‟, dan qiyas;
2. Penetapan fatwa bersifat responsif, proaktif, dan antisipatif;
3. Aktivitas penetapan fatwa dilakukan secara kolektif oleh suatu lembaga yang
dinamakan komisi fatwa.
Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang
digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan
oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI
adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketika menetapkan fatwa, di samping itu
juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang
mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut
tidak cenderung pada kedua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan, tengah antara dua
pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI
dalam menetapkan fatwa adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang
keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya33.

32
Abdullah Al-Mushlih Dan Shalah Ash-Shaw, Fiqh Ekonomi Keuangan Islam. (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm.
57.
33
http://www.muidkijakarta.or.id/bagaimana-metode-penetapan-fatwa-mui/
Dalam kaitannya Multi akad, DSN-MUI telah mengeluarkan fatwa yang dapat
dijadikan pedoman pelaksanaannya. Sehingga dikatakan sah apabila telah memenuhi rukun
dan syarat-syarat pada masing-masing akad yang membentuknya. Hingga november 2017,
fatwa yang dikeluarkan DSN-MUI berjumlah 109 fatwa 34. Aspek yang tetap (tsawabit)
adalah pemeliharaan kemashlahatan. Maslahat yang didapat dengan mengkomodasi
kebolehan multi akad (ta‟addud al-„uqud fi shafqah wahidah) adalah ketika praktisi
ekonomi dapat mengaplikasikan syari‟ah sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan
aplikasi tersebut, sektor-sektor usaha syari`ah terpacu untuk berkembang dan mencakup.
Sebaliknya, apabila multi akad tidak diperbolehkan, maka sektor-sektor usaha dengan
sistem syari`ah dapat mengalami kesulitan/kendala (mudlarah)35.
Kemudian aspek yang berubah (mutaghayyirah) adalah aspek cara, yakni Nabi Muhmmad
Saw melarang multi akad, sedangkan DSN-MUI membolehkan dengan syarat agar
pelaksanaan multi akad tersebut memperhatikan standar yang ditentukan agar tidak
mengandung ketidakjelasan (jahalah), ketidakpastian manipulatif (gharar) dan riba. Dengan
kata lain, DSN-MUI membolehkan multi akad selama terhindar dari riba, jahalah dan
gharar36.

E. Batasan dan Ketentuan (dhawabit) hybrid contract


Para ulama yang membolehkan praktik hybrid contract (multi akad) bukan berarti
membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan-batasan yang tidak boleh dilewati. Karena
batasan ini akan menyebabkan multi akad menjadi dilarang. Secara umum, batasan yang
disepakati oleh para ulama adalah sebagai berikut:37
1. Dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multiakad yang
dilarang, yaitu

34
https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/
35
Hasanuddin. Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama
Indonesia (DSN MUI), (Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2008)
36
Hasanudin Maulana, “Multiakad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah
Di Indonesia,” Al-Iqtishad: Vol. III, No. 1, Januari 2011. hlm 170.
37
Hasanudin,”Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada Lembaga Keuangan Syariah Di
Indonesia”, Multi Akad Pada lembaga Keuangan syariah, (Mei, 2009), hlm. 18.
a. multi akad dalam jual beli dan pinjaman,
b. dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan;
c. dua transaksi dalam satu transaksi.38
Dari Abu Hurairah R.A, berkata: “Rasulullah melarang dua jual beli dalam satu jual
beli”. (HR. Malik)
Selain perspektif nash agama, larangan ini sesungguhnya dikarenakan
transkasi itu mengandung riba dan gharar.
Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga, dan waktunya diketahui
oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di antaranya tidak jelas, maka hukum dari
akad itu dilarang.
2. Hybrid Contract (multi akad) sebagai hîlah ribawi
Multi akad yang menjadi hîlah ribawi dapat terjadi melalui kesepakatan jual beli
„înah atau sebaliknya dan hîlah riba fadhl
a. Al-„inah
Contoh „înah yang dilarang adalah menjual sesuatu dengan harga seratus secara
cicil dengan syarat pembeli harus menjualnya kembali kepada penjual dengan
harga delapan puluh secara tunai. Pada transaksi ini seolah ada dua akad jual
beli, padahal nyatanya merupakan „înah riba dalam pinjaman, karena objek
akad semu dan tidak faktual dalam akad ini. Sehingga tujuan dan manfaat dari
jual beli yang ditentukan yariat tidak ditemukan dalam transaksi ini.39
b. Hîlah riba fadhl
Transaksi ini dilarang didasarkan atas peristiwa pada zaman Nabi di mana para
penduduk Khaibar melakukan transaksi kurma kualitas sempurna satu kilo
dengan kurma kualitas rendah dua kilo, dua kilo dengan tiga kilo dan
seterusnya. Praktik seperti ini dilarang Nabi, dan beliau mengatakan agar ketika
menjual kurma kualitas rendah dibayar dengan harga sendiri, begitu pula ketika
membeli kurma kualitas sempurna juga dengan harga sendiri.40

38
Ibid, 19.
39
Ibid, 21
40
Ibid, 22.
3. Hybrid Contract (multi akad) menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba,
hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
Penghimpunan akad yang hukumnya asal boleh namun membawanya
kepada yang dilarang maka hukumnya dilarang. Seperti: multiakad antara salaf
dan jual beli, contoh A meminjamklan uang kepada B sebesar 1 juta, dengan
ketentuan B harus membeli HP sia dengan harga sekian.
Multi akad dari gabungan qardh dan hibah/manfaat lain dilarang syariah.
Ulama‟ sepakat mengharamkan qardh yang dibarengi dengan persyaratan
imbalan lebih, berupa hibah atau lainnya. Misalnya si A meminjamkan uang
kepada si B, dengan syarat A menempati rumah si B. Termasuk dalam kategori
ini menggabungkan qardh dan ijarah dalam satu transaksi, kecuali ijarahnya
sebatas biaya operasional, yaitu untuk menutupi riel cost.
4. Hybrid Contract (multi akad) terdiri dari akad-akad yang akibat
hukumnya saling bertolak belakang atau berlawanan.
Kalangan ulama Malikiyah mengharamkan multi akad antara akad-akad
yang berbeda ketentuan hukumnya dan atau akibat hukumnya saling
berlawanan atau bertolak belakang. Larangan ini didasari atas larangan Nabi
menggabungkan akad salaf dan jual beli. Dua akad ini mengandung hukum
yang berbeda. Jual beli adalah kegiatan muamalah yang kental dengan nuansa
dan upaya perhitungan untung-rugi, sedangkan salaf adalah kegiatan sosial
yang
mengedepankan aspek persaudaraan dan kasih saying serta tujuan mulia. Meski
demikian, sebagian ulama Malikiyah dan mayoritas ulama non-Malikiyah
membolehkan multi akad jenis ini. Mereka beralasan perbedaan hukum dua
akad tidak menyebabkan hilangnya keabsahan akad.
Dari dua pendapat ini, pendapat yang membolehkan multi akad jenis ini
adalah pendapat yang unggul. Larangan multi akad ini karena penghimpunan
dua akad yang berbeda dalam syarat dan hokum menyebabkan tidak sinkronnya
kewajiban dan hasil. Hal ini terjadi karena dua akad untuk satu objek dan satu
waktu, sementara hukumnya berbeda. Sebagai contoh tergabungnya antara akad
menghibahkan sesuatu dan menjualnya. Akad-akad yang berlawanan inilah
yang dilarang dihimpun dalam satu transaki. 41
c. Akad Sejenis (al-uqud mutajanisab)
Al-uqud al- murakhabah al-mutajanisab adalah akad-akad yang mungkin
dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi didalam hukum dan
akibat hukumnya. Multiakad jenis ini dapat terdiri dari satu jenis akad seperti
akad jual beli dan akad jual beli, atau dari beberapa jenis akad jual beli dan
sewa menyewa. Multiakad jenis dapat pula terbentuk dari dari dua akad yang
memiliki hukum yang sama atau berbeda.
F. Hybrid Contract yang dilarang
Ibnu Qayyim berpendapat bahwa Nabi melarang multi akad antara akad salaf
(memberi pinjaman) dan jual beli, meskipun kedua akad itu jika berlaku sendiri-sendiri
hukumnya boleh. Larangan menghimpun salaf dan jual beli dalam satu akad untuk
menghindari terjurumus kepada riba yang diharamkan. Hal itu terjadi karena seseorang
meminjamkan seribu, lalu menjual barang yang bernilai delapan ratus dengan harga seribu.
Dia seolah memberi seribu dan barang seharga delapan ratus agar mendapatkan bayaran
dua ribu. Di sini ia memperoleh kelebihan dua ratus.
Selain multi akad antara salaf dan jual beli yang diharamkan, ulama juga sepakat
elarang multi akad antara berbagai jual beli dan qardh dalam satu transaksi. Semua akad
yang mengandung unsur jual beli dilarang untuk dihimpun dengan qardh dalam satu
transaksi, seperti antara ijârah dan qardh, salam dan qardh, dan sebagainya. Meski
penggabungan qardh dan jual beli ini dilarang, namun menurut al-„Imrâni tidak selamanya
dilarang. Penghimpunan dua akad ini diperbolehkan apabila tidak ada syarat di dalamnya
dan tidak ada tujuan untuk melipatkan harga melalui qardh. Seperti seseorang yang
memberikan pinjaman kepada orang lain, lalu beberapa waktu kemudian ia menjual sesuatu
kepadanya padahal ia masih dalam rentang waktu qardh tersebut. Yang demikian
hukumnya boleh.

41
Ibid, 23.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pengertian multi akad adalah kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu
muamalah yang meliputi dua akad atau lebih, sehingga semua akibat hukum dari akad-akad
gabungan itu, serta semua hak dan kewajiban yang ditimbulkannya, dianggap satu kesatuan
yang tak dapat dipisahpisahkan, yang sama kedudukannya dengan akibat-akibat hukum dari
satu akad.
Mengenai status hukum multiakad, ulama berbeda pendapat terutama berkaitan
dengan hukum asalnya. Perbedaan ini menyangkut apakah multiakad sah dan
diperbolehkan atau batal dan dilarang untuk dipraktikkan. Mengenai hal ini ulama berada
dalam dua pendapat tersebut, yaitu membolehkan dan melarang. Dari banyaknya pendapat
dari kalangan ulama madzhab dan fatwa dari DSN-MUI yang membolehkan transaksi
hybrid contract/multi akad dengan alasan bahwa :
1. Hukum asal dari akad adalah boleh dan sah, tidak diharamkan dan dibatalkan
selama tidak ada dalil hukum yang mengharamkan atau membatalkannya.
2. Maslahat yang didapat dengan mengkomodasi kebolehan multi akad (ta‟addud al
„uqud fi shafqah wahidah) adalah ketika praktisi ekonomi dapat mengaplikasikan
syari‟ah sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan aplikasi tersebut, sektor-
sektor usaha syari`ah terpacu untuk berkembang dan mencakup. Sebaliknya, apabila
multi akad tidak diperbolehkan, maka sektor-sektor usaha dengan sistem syari`ah
dapat mengalami kesulitan/kendala (mudlarah).
3. Kesesuaian dengan tujuan syariah (maqashid syariah)
4. Lelaksanaan multi akad harus memperhatikan standar yang ditentukan agar tidak
mengandung ketidakjelasan (jahalah), ketidakpastian manipulatif (gharar) dan riba.

Adapun ulama yang melarang transaksi hybrid contract/multi berpendapat bahwa :


1. Akad hukum asal dari akad adalah dilarang dan batal kecuali yang ditunjukkan
boleh oleh agama. Merekan beralasan bahwa Islam sudah sempurna, sudah
dijelaskan apa yang diperlukan oleh manusia. Setiap perbuatan yang tidak
disebutkan dalam nas-nas agama berarti membuat ketentuan sendiri yang tidak ada
dasarnya dalam agama. Istimbat hukum berdasarkan pada Q.S Al-Baqarah : 229
2. Akad dan syarat yang tidak diajarkan oleh agama adalah bentuk tindakan
melampaui ketentuan agama dan membuat hal baru dalam agama. Allah telah
menyempurnakan turunnya Islam semasa Muhammad, seperti dijelaskan dalam Q.s.
Al-Maidah (5): 3, Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu
Batasan dan Ketentuan (dhawabit) hybrid contract
1. Dilarang karena nash agama
Dalam hadis, Nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multiakad yang
dilarang, yaitu
a. multi akad dalam jual beli dan pinjaman,
b. dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan;
c. dua transaksi dalam satu transaksi.
2. Hybrid Contract (multi akad) sebagai hîlah ribawi
a. Al-inah
b. Hîlah riba fadhl
3. Hybrid Contract (multi akad) menyebabkan jatuh ke riba
Setiap multi akad yang mengantarkan pada yang haram, seperti riba,
hukumnya haram, meskipun akad-akad yang membangunnya adalah boleh.
4. Hybrid Contract (multi akad) terdiri dari akad-akad yang akibat hukumnya
saling bertolak belakang atau berlawanan.
5. Akad Sejenis (al-uqud mutajanisab)
Al-uqud al- murakhabah al-mutajanisab adalah akad-akad yang mungkin
dihimpun dalam satu akad, dengan tidak mempengaruhi didalam hukum dan
akibat hukumnya.
B. Saran

Demikianlah kami menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Semoga


dapat bermanfaat bagi kami khususnya, dan pembaca pada umumnya. Mohon
maaf apabila terdapat banyak kesalahan dan ketidak lengkapan materi dan
referensi pada makalah ini. Kami harap baik Dosen pembimbing ataupun Rekan
pembaca berkenan memberikan revisi nya untuk makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA

Mingka, Agustianto. Reaktualisasi dan Kontekstualisasi Fikih Muamalah Ke


Indonesiaan “Upaya Inovasi Produk Perbankan dan Keuangan Syari‟ah”,
(Jakarta: Iqtishad Publishing. 2014).
Wikipedia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/hibrida diakses pada tanggal
15/09/2019.
Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indoneisa, (Jakarta: Balai Pustaka,
2005)
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
(Surabaya: Pustaka Progresif. 1997).
Hammad, Nazih. Al-„Uqud al-Murakkabah fi al Fiqh al-Islamy (Damaskus: Dār al-
Qalam, 2005), Cet.ke 1.
Hasanudin, Maulana “Multi akad dalam Transaksi Syari‟ah Kontemporer pada
Lembaga Keuangan Syari‟ah di Indonesia,” Jurnal Al-Iqtishad Vol. III, No. 1 (Januari
2011).
Al-Imrani, Al-„Uqud al-Maliyah al-Murakkabah, Dirasah Fiqhiyyah Ta‟shiliyah
wa Tathbiqiyah (Riyadh: Dār Kunuz Eshbelia li al-Nasyar wa Tauzi. 2006), Cet. Ke 1.
Najamuddin, “Al-‟Uqûd Al-Murakkabah Dalam Perspektif Ekonomi Syari‟ah,”
Jurnal Syari‟ah Vol. II, No. II (Oktober 2013).
Isfandiar, Ali Amin. Analisis Fiqh Muamalah Tentang Hybrid Contract Model dan
Penerapannya Pada Lembaga Keuangan Syariah, Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2,
November 2013.
Ismail, Nawawi. Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer. (Bogor: Ghalia
Indonesia. 2012).
Hasanudin,” Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada
Lembaga Keuangan Syariah Di Indonesia”, Multi Akad Pada lembaga Keuangan
syariah, (Mei, 2009)
Ibn Taymiyyah, Nazhariyat al-„Aqd, h. 227. Dikutip oleh Hasanudin Maulama.
Mingka, Agustianto. (2011) Hybrid Contract Dalam Keuangan Syariah. Diakses
pada 13/09/2019 www.agustiantocentre.com
Ibnu Taimiyah, Muhasabah Keuangan Syariah. (Solo: PT Aqwam Media Profetika)
Sastra Mihajat, Muhammad Iman, Hybrid Contract in Islamic Banking and Finance: A
Proposed Shariah Principles and Parameters for Product Development, EJBM- Special
Issue :Islamic Management and Business www.iiste.org, ISSN 2222-1905 (Paper)
ISSN 2222-2839 (Online), Vol 7, No.16 (Special Issue), 2015.
Nizarul Alim, Muhammad. (2011). Muhasabah Keuangan Syariah. Solo: PT
Aqwam Media Profetika.
Haryono, Dinamika Dan Solusi Pengembangan Multi Akad (Hybrid Contract)
Sebagai Basis Produk Perbankan Syariah, Jurnal Ekonomi Dan Bisnis Islam, Ad-Denaar.
hlm. 32 (13/09/2019)
Abdullah Al-Mushlih Dan Shalah Ash-Shawi. (2004). Fiqh Ekonomi Keuangan
Islam. Jakarta: Darul Haq.
Hasanuddin. Konsep dan Standar Multi Akad dalam Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSNMUI). Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah, 2008.
http://www.muidkijakarta.or.id/bagaimana-metode-penetapan-fatwa-
mui/ https://dsnmui.or.id/produk/fatwa/
Wikipedia, dalam http://id.wikipedia.org/wiki/hibrida diakses pada
tanggal 03/09/2019.
Al-Imrânî, Al-‟uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dikutip oleh Hasanudin Maulama.

Anda mungkin juga menyukai