Anda di halaman 1dari 18

RESUME

POST TRAUMATIC SYNDROME DISORDER (PTSD)


DAN
ASUHAN KEPERAWATAN MASALAH KEJIWAAN PADA LANSIA
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Tugas Mata Kuliah
Keperawatan Jiwa

Di Susun Oleh:
Iis Gandawati
C.0105.20.156

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BUDI LUHUR CIMAHI


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
2019/2020
RESUME
POST TRAUMATIC SYNDROME DISORDER (PTSD)

A. DEFINISI
Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) adalah sindrom yang muncul setelah
seseorang melihat, mendengar atau terlibat dalam stresor traumatis yang ekstrem.
PTSD terjadi karena paparan peristiwa traumatis dan didefinisikan berdasarkan
cluster gejala yang berbeda antara lain kembali merasakan sedang dalam peristiwa
trauma atau flashback, menghindar, emosi tumpul/numbing dan gejala tersebut tetap
bertahan selama lebih dari 1 bulan. (Sadock, B.J .& Sadock, V.A., 2007).
Stresor ekstrem yang memiliki risiko menimbulkan PTSD antara lain serangan
teroris, peperangan, kecelakaan lalu lintas berat, dan bencana alam seperti tsunami
dan gempa bumi (Santiago et al. 2013).
PTSD memiliki dampak jangka panjang yang parah dan individu dengan
PTSD memiliki risiko terkena depresi berat, ketergantungan zat, dan gangguan
kondisi kesehatan lainnya serta terganggunya fungsi peran yang dapat mengurangi
kualitas hidup.

B. EPIDEMIOLOGI
Walaupun PTSD dapat muncul pada usia berapapun, tetapi kebanyakan sering
terjadi pada dewasa muda karena cenderung lebih mudah terpapar. Gangguan ini
cenderung terjadi pada orang yang belum memiliki pasangan, bercerai, janda,
dikucilkan dari lingkungan atau sosial ekonomi yang rendah. Faktor risiko gangguan
ini yaitu pada tingkat keparahan trauma, durasi, serta trauma yang dialami individu.
Trauma yang sering muncul pada pria antara lain kekerasan, sedangkan pada wanita
yaitu pemerkosaan (Sadock, B.J. & Sadock, V.A., 2010).

C. ETIOLOGI
Stresor merupakan faktor utama yang menyebabkan stres akut dan PTSD.
Peristiwa traumatis dapat menimbulkan PTSD jika peristiwa tersebut menjadi stesor
yang kuat dalam kehidupan individu. Sresor tersebut dapat timbul dari pengalaman
perang, kekerasan, bencana alam, pemerkosaan, dan kecelakaan lalu lintas yang
serius.
Kriteria suatu peristiwa menjadi stresor untuk mendiagnosis PTSD, yaitu ;
ancaman serius terhadap keselamatan individu baik secara fisik maupun psikologis,
menyaksikan ancaman kekerasan dan kematian, kerusakan yang terjadi tiba-tiba baik
rumah dan komunitas. Kriteria tersebut dapat menimbulkan respon subjektif antara
lain ketakutan (terror dan horror) serta intensitas maupun durasi dari suatu peristiwa
traumatis yang mempengaruhi kepribadian individu sehingga menimbulkan distress.
(Nurtanty, N.D., 2009)

D. PATOFISIOLOGI
PTSD mengakibatkan terjadinya perubahan yang memengatur memori dan
emosi. Ditinjau dari aspek biologis, PTSD terjadi karena adanya proses yang terjadi di
otak. Individu dengan PTSD akan mengalami perubahan yang terjadi pada fisik.
Kondisi ini mempengaruhi sistem saraf pusat dan sistem saraf otonom. Selain itu akan
terjadi penurunan ukuran dari hipokampus dan amigdala yang over reaktif. Dalam hal
ini, komponen yang paling penting adalah memori karena kejadian traumatis akan
berulang terus menerus melalui memori. Hipokampus dan amigdala adalah kunci dari
memori manusia (Schiraldi, 2009).
Amigdala merupakan fear center dari otak. Sehingga penderita PTSD akan
mengalami amigdala yang over reaktif. Amigdala membantu otak dalam membuat
hubungan antara situasi yang menimbulkan ketakutan di masa lalu. Kondisi ini dapat
berpasangan dengan situasi saat ini yang bisa saja netral. Individu dengan gangguan
ini akan mempertahankan kondisi waspada yang konstan pada saat situasi yang tidak
tepat karena pada saat itu otak memerintahkan individu bahwa dalam situasi yang
aman pun individu sedang menghadapi ancaman (Sun et al. 2013).
Hipokampus adalah bagian yang menciptakan harapan terhadap situasi yang
akan memberikan reward atau situasi traumatis yang kita alami berdasarkan pada
memori dan pengalaman belajar dari masa lalu. Penderita PTSD dengan kerusakan
hipokampus, akan mengalami kesulitan untuk belajar dan menciptakan harapan baru
untuk berbagai situasi yang terjadi setelah kejadian traumatis (Erwina Ira., 2010).
Selain itu pada penderita PTSD juga terjadi derajat hormon stres yang tidak
normal. Individu dengan PTSD memiliki hormon kortisol yang rendah jika
dibandingkan dengan individu yang tidak mengalami PTSD dan hormon epinefrin dan
norepinefrin dalam jumlah yang lebih dari rata-rata. Ketiga hormon tersebut berperan
penting dalam menciptakan respon flight or fight terhadap situasi stres. Ini berarti
bahwa individu dengan PTSD akan selalu berada dalam kondisi flight or fight.
Individu dengan PTSD juga memiliki kadar natural opiate yang tinggi. Kondisi ini
akan membuat individu untuk mengalami kembali trauma dalam hal untuk mencapai
respon dari opiate (Erwina Ira., 2010).

E. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko merupakan faktor pendukung bagi individu untuk mengalami
PTSD. Faktor risiko untuk PTSD meliputi tetap hidup setelah mengalami kejadian
berbahaya dan traumatis, memiliki riwayat penyakit mental, mengalami kecelakaan,
perasaan tertekan, tidak berdaya dan ketakutan yang amat sangat, melihat orang lain
terluka atau meninggal, menghadapi banyak stresor setelah kejadian traumatis yang
dialami, seperti kehilangan anggota keluarga, kehilangan pekerjaan atau tempat
tinggal (Markowitz et al. 2015).
Selain itu faktor risiko lain yang memperberat PTSD yaitu jenis kelamin.
Berdasarkan epidemiologinya, wanita memiliki risiko lebih besar untuk mengalami
PTSD daripada pria. Hal ini disebabkan kerana rendahnya sintesis serotonin serta
tingginya prevalensi wanita untuk menjadi korban dalam peristiwa traumatis seperti
pemerkosaan dan kekerasan. Sedangkan faktor yang memperberat PTSD pada
individu antara lain masalah kesehatan yang dimiliki, penggunaan alkohol, sosial
ekonomi yang rendah, perasaan yang tidak aman, tingkat pendidikan yang rendah,
status sebagai minoritas, dan banyaknya jumlah tanda atau gejala yang dialami
(Erwina Ira., 2010).

F. DIAGNOSIS
Menurut DSM – 5 Post traumatic Stress Disorder digolongkan kedalam
Traumaand Stressor Related Disorders. Sedangkan dalam PPDGJ-III gangguan ini
dimasukan kedalam golongan Gangguan Neurotik, Gangguan Somatoform dan
Gangguan Terkait Stres pada kategori Reaksi Terhadap Stres Berat dan gangguan
Penyesuaian (F.43) (Maslim, R ., 2013).

Diagnostic Criteria Post Traumatic Stress Disorder menurutDSM-5


Kriteria Diagnostik :
A. Terpapar pada kematian aktual atau terancam, cedera serius, atau kekerasan
seksual dengan satu (atau lebih) berikut:
1. Mengalami peristiwa traumatis secara langsung.
2. Menyaksikan secara langsung peristiwa yang terjadi pada orang lain.
3. Mengetahui bahwa peristiwa traumatis terjadi pada anggota keluarga dekat
atau teman dekat. Dalam kasus kematian nyata atau terancam kematian
anggota keluarga atau teman, kejadian tersebut pasti kekerasan atau tidak
disengaja.
4. Mengalami keterpaparan berulang-ulang atau ekstrem terhadap detail
peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan (misalnya, responden pertama
yang mengumpulkan jenazah: petugas polisi berulang kali mengungkap detail
pelecehan anak).
B. Adanya satu (atau lebih) dari gejala gangguan berikut yang terkait dengan
peristiwa traumatis, yang dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi:
1. Memori mengganggu yang berulang, tidak disengaja, dan mengganggu dari
peristiwa traumatis.
2. Mimpi menyedihkan yang berulang di mana isi dan / atau pengaruhnya
terkait dengan peristiwa traumatis.
3. Reaksi disosiatif (mis. Kilas balik) di mana individu merasa atau bertindak
seolah-olah peristiwa traumatis itu berulang. (Reaksi semacam itu dapat
terjadi dalam satu kontinum, dengan ekspresi yang paling ekstrem adalah
hilangnya kesadaran sepenuhnya akan lingkungan sekitar saat ini).
4. Tekanan psikologis yang intens atau berkepanjangan saat terpapar isyarat
internal atau eksternal yang melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa
traumatis.
5. Reaksi fisiologis yang ditandai terhadap isyarat internal atau eksternal yang
melambangkan atau menyerupai aspek peristiwa traumatis.
C. Menghindari rangsangan secara terus-menerus yang terkait dengan peristiwa
traumatis, dimulai setelah peristiwa traumatis terjadi, sebagaimana dibuktikan
oleh salah satu atau kedua hal berikut:
1. Menghindari atau upaya untuk menghindari ingatan, pikiran, atau perasaan
yang menyusahkan tentang atau terkait erat dengan peristiwa traumatis.
2. Menghindari atau upaya untuk menghindari pengingat eksternal (orang,
tempat, percakapan, aktivitas, objek, situasi) yang membangkitkan ingatan,
pikiran, atau perasaan yang mengganggu tentang atau terkait erat dengan
peristiwa traumatis.
D. Perubahan negatif dalam kondisi dan suasana hati yang terkait dengan peristiwa
traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis terjadi,
sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal berikut:
1. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari peristiwa traumatis
(biasanya karena amnesia disosiatif dan bukan karena faktor lain seperti
cedera kepala, alkohol, atau obat-obatan).
2. Keyakinan atau harapan negatif yang terus-menerus dan berlebihan tentang
diri sendiri, orang lain, atau dunia (misalnya, “Saya buruk”, “Tidak ada yang
bisa dipercaya, dunia ini benar-benar berbahaya”, " Seluruh sistem saraf saya
rusak secara permanen ”).
3. Kondisi yang terus-menerus dan terdistorsi tentang penyebab atau
konsekuensi dari peristiwa traumatis yang menyebabkan individu
menyalahkan dirinya sendiri atau orang lain.
4. Keadaan emosi negatif yang terus-menerus (mis. Takut, ngeri, marah,
bersalah, atau malu).
5. Menurunnya minat atau partisipasi dalam aktivitas penting.
6. Perasaan detasemen atau keterasingan dari orang lain.
7. Ketidakmampuan terus-menerus untuk mengalami emosi positif (misalnya,
ketidakmampuan untuk mengalami kebahagiaan, kepuasan, atau perasaan
cinta).
E. Perubahan yang ditandai dalam gairah dan reaktivitas yang terkait dengan
peristiwa traumatis, yang dimulai atau memburuk setelah peristiwa traumatis
terjadi, sebagaimana dibuktikan oleh dua (atau lebih) hal berikut:
1. Perilaku mudah tersinggung dan ledakan amarah (dengan sedikit atau tidak
ada provokasi) biasanya diekspresikan sebagai agresi verbal atau fisik
terhadap orang atau objek.
2. Perilaku sembrono atau merusak diri sendiri.
3. Kewaspadaan berlebihan.
4. Tanggapan mengejutkan yang berlebihan.
5. Masalah dengan konsentrasi.
6. Gangguan tidur (misalnya sulit tidur atau tertidur atau tidur gelisah).
F. Durasi gangguan (Kriteria B, C, D, dan E) lebih dari 1 bulan.
G. Gangguan tersebut menyebabkan gangguan atau gangguan yang signifikan
secara klinis di bidang sosial, pekerjaan, atau bidang fungsi penting lainnya.
H. Gangguan tersebut tidak disebabkan oleh efek fisiologis suatu zat (misalnya,
obat-obatan, alkohol) atau kondisi medis lainnya

Diagnosis untuk Post Traumatic Stress Disorder dapat melalui kriteria


diagnosis menurut PPDGJ-III yaitu :
 Diagnosis baru ditegakan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatis berat (masa laten yang berkisar antara beberapa
minggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6 bulan).
Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila tertundanya waktu mulai
saat kejadian dan onset gangguan melebihi waktu 6 bulan, asal saja manifestasi
klinisnya adalah khas dan tidak didapat alternatif kategori gangguan lainnya.
 Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang atau
mimpi-mimpi dari kejadian traumatis tersebut secara berulang-ulang kembali
(flashback).
 Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya dapat
mewarnai diagnosis tetapi tidak khas.
 Suatu “sequelae” menahun yang terjad lambat setelah stres yang luar biasa,
misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma, diklasifikasikan dalam
kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama setelah mengalami
katasfora).

I. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan penderita PTSD dapat dilakukan dengan farmakoterapi dan
Psikoterapi. Pemberian farmakoterapi merupakan pegobatan penting untuk penderita
PTSD dengan disesuaikan berdasarkan tingkat keparahan gejala dan gejala spesifik yang
dialami penderita.
1. Farmakoterapi
Pemberian SSRI atau Selective Serotonin Re- uptake Inhibitor merupakan obat lini
pertama. Obat golongan ini akan bekerja sebagai penghambat pengambilan kembali
serotonin di celah sinaps sehingga jumlah serotonin dicelah sinaps semakin
bertambah. Sehingga golongan ini efektif untuk semua gejala penderita PTSD dan
memiliki efek samping paling minimal. Ada lima golongan SSRI yang dapat
digunakan untuk penderita PTSD, yaitu Zoloft (setraline), Paxil (paroxetine), Prozac
(fluoxetine), Luvox (Fluvoxamine), Celaxa (citalopram). (Rosss, D ., 1999)
Gejala yang dapat obati dengan golongan SSRI antara lain; Pikiran yang
intrusif, flashback, ketakutan yang berhubungan dengan trauma, panik, menghindar,
emosi tumpul/numbing, gejala disasosiatif, mudah marah/tersinggung, sulit
konsentrasi dan rasa bersalah. Selain itu terdapat golongan psikotropika lain yang juga
diajurkan untuk mengobati gejala PTSD yang timbul seperti golongan anti-depresi
trisiklik (Amitriptyline dan Imipramine), mood stabilizers, golongan SNRI
(Venlafaxine) dan antiansietas (Benzodiazepine). (Nurtanty, N.D., 2009)
2. Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi setelah mengalami peristiwa traumatis harus
bersamaan dengan edukasi dan pembentukan mekanisme koping serta penerimaan
terhadap peristiwa yang dialami. Ketika mengalami gangguan PTSD dapat dilakukan
dua pendekatan yaitu membayangkan peristiwa traumatis untuk meningkatkan
mekanisme koping. Pendekatan kedua yaitu penatalaksanaan stres yang dialami
dengan teknik relaksasi dan pendekatan kognitif. Terapi individual, terapi kelompok
dan terapi keluarga juga efektif dalam penatalaksanaan PTSD.
Penatalaksanaan dengan psikoterapi lainnya yang dapat digunakan untuk
penderita PTSD antara lain, Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Prolonged
Exposure, Stress inoculation Training, Imagery Rehearsal Theraphy (IRT), CPT,
EMDR, Psychodinamic therapy, Hypnosis dan Debriefing. Penatalaksanaan
psikoterapi tersebut menggunakan pendekatan fungsi kognitif pasien untuk
mengurangi gejala yang terjadi pasca trauma (Markowitz et al. 2015).
RESUME
ASUHAN KEPERAWATAN MASALAH JIWA PADA LANSIA

A. LANJUT USIA
1. Pengertian Lanjut Usia
Pengertian lanjut usia dibedakan menjadi dua bagian yaitu usia kronologis dan
usia biologis. Usia kronologis dihitung berdasarkan tahun kalender. Indonesia
melakukan penetapan usia pensiun adalah 56 tahun yang kemungkinan dapat
dijadikan sebagai patokan seseorang memasuki usia lanjut. Sementara berdasarkan
UU No 13 tahun 1998 dinyatakan usia 60 tahun ke atas sebagai usia lanjut (Tamher
dan Noorkasiani, 2009).
Usia biologis adalah usia yang sebenarnya, dimana biasanya diterapkan
kondisi pematangan jaringan sebagai indeks usia biologis. Pada usia lanjut ini telah
terjadi penurunan kondisi fisik/biologis, kondisi psikologis dan perubahan kondisi
sosial (Tamher dan Noorkasiani, 2009).

2. Batasan Lanjut Usia


Menurut WHO dan Undang-Undang No 13 tahun 1998 mneyebutkan bahwa
lanjut usia (elderly) ialah kelompok usia 60 ke atas. Berdasarkan Smith dan Smith
(dalam Tamher dan Noorkasiani, 2009) menggolongkan lanjut usia menjadi 3 yaitu
young old (65-74 tahun); midle old (75-84 tahun); dan old (lebih dari 85 tahun).
Setyonegoro dalam (Tamher dan Noorkasiani, 2009) menyebutkan bahwa
yang disebut lanjut usia adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun, selanjutnya
terbagi dalam usia 70-75 tahun (young old), 75-80 tahun (old), dan lebih dari 80
tahun (very old). Bandiyah (2009). Sedangkan menurut pendapat Sumiati (dalam
Bandiyah, 2009) membagi periodisasi biologis perkembangan manusia sebagai
berikut: Umur 40 – 65 tahun : masa setengah umur (prasenium), 65 tahun ke atas :
masa lanjut usia (senium).

3. Teori Penuaan
Secara garis besar teori penuaan dibagi menjadi teori biologis, teori psikologis,
dan teori sosiokultural (Stanley dan Beare, 2007).
a. Teori Biologis
Teori biologi mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan, termasuk
perubahan fungsi dan struktur, pengembangan, panjang usia dan kematian.
1) Teori genetika
2) Wear and Tear Theory
3) Riwayat lingkungan
4) Teori imunitas
5) Teori neuroendokrin
b. Teori psikososiologis
Teori ini memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan perilaku yang
menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari implikasi bilogi pada kerusakan
anatomis.
1) Teori kepribadian
2) Teori tugas perkembangan
3) Teori disengagement
4) Teori aktivitas
5) Teori kontinuitas

4. Proses Menua
Menurut Constantindes (1994) dalam Nugroho (2000) mengatakan bahwa
proses menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi
normalnya, sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaikinya
kerusakan yang diderita. Proses menua merupakan proses yang terus-menerus secara
alamiah dimulai sejak lahir dan setiap individu tidak sama cepatnya.
Dengan begitu manusia secara progresif akan kehilangan daya tahan terhadap
infeksi dan akan menumpuk makin banyak distorsi metabolik dan stuktural yang
disebut sebagai penyakit degeneratif seperti, hipertensi, aterosklerosis, diabetes
militus dan kanker yang akan menyebabkan kita menghadapi akhir hidup dengan
episode terminal yang dramatik seperti strok, infark miokard, koma asidosis,
metastasis kanker dan sebagainya (Martono & Darmojo, 2006).
Nugroho (2008) menyebutkan beberapa perubahan pada lanjut usia
diantaranya adalah :
a. Perubahan Fisik
1) Sel
2) Sistem Persarafan
3) Sistem Pendengaran
4) Sistem Penglihatan
5) Sistem Kardiovaskuler
6) Sistem Pengaturan Temperatur Tubuh
7) Sistem Respirasi
8) Sistem Gastrointestinal
9) Sistem Genitourinaria
10) Sistem Endokrin
 Produksi dari hampir semua hormon menurun.
 Fungsi paratiroid dan sekresinya tidak berubah.
 Menurunya aktivitas tiroid, menurunya BMR= Basal Metabolic Rate, dan
menurunya daya pertukaran zat.
 Menurunnya produksi aldesteron.
 Menurunnya sekresi hormon kelamin, misalnya: progesteron, estrogen, dan
testeron.
11) Sistem Kulit (Integumentary System)
12) Sistem Muskulosletal (Musculosceletal System)
b. Perubahan Mental
Faktor-faktor yang menpengaruhi perubahan mental antara lain :
Perubahan fisik khususnya organ perasa, kesehatan umum, tingkat pendidikan,
keturunan (Herediter), lingkungan, perubahan kepribadian yang drastis keadaan
ini jarang terjadi lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan
seseorang, kekakuan mungkin karena faktor lain seperti pentakit-penyakit.
c. Perubahan Psikososial
1) Pensiun
2) Bila seseorang pensiun (purna tugas), ia akan mengalami kehilangan-
kehilangan, antara lain:
 Merasakan atau sadar akan kematian (sense of awareness of mortality).
 Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan bergerak
lebih sempit.
 Ekonomi akibat pemberhentian dari jabatan (economic deprivation).
 Meningkatnya biaya hidup pada penghasilan yang sulit, bertambahnya
biaya pengobatan.
3) Penyakit kronis dan ketidakmampuan.
4) Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.
5) Gangguan gizi akibat kehilangan jabatan.
6) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan dengan teman-teman dan family.
d. Perkembangan Spiritual
Bentuk-bentuk permasalahan yang dihadapi selama proses menua oleh lanjut usia
adalah sebagai berikut :
1) Demensia
Demensia adalah suatu gangguan intelektual / daya ingat yang umumnya
progresif dan ireversibel. Biasanya ini sering terjadi pada orang yang berusia >
65 tahun.
2) Stres
Usia bukan merupakan faktor untuk menjadi depresi atau stres tetapi suatu
keadaan penyakit medis kronis dan masalah-masalah yang dihadapi lansia
yang membuat mereka depresi.
3) Skizofrenia
Skizofrenia biasanya dimulai pada masa remaja akhir / dewasa muda dan
menetap seumur hidup. Wanita lebih sering menderita skizofrenia lambat
dibanding pria.
4) Gangguan Delusi
Onset usia pada gangguan delusi adalah 40 – 55 tahun, tetapi dapat terjadi
kapan saja. Pada gangguan delusi terdapat waham yang tersering yaitu :
waham kejar dan waham somatik.
5) Gangguan Kecemasan
Gangguan kecemasan adalah berupa gangguan panik, fobia, gangguan obsesif
konfulsif, gangguan kecemasan umum, gangguan stres akut, gangguan stres
pasca traumatik. Kecemasan yang tersering pada lansia adalah tentang
kematiannya. Gangguan stres lebih sering pada lansia terutama jenis stres
pasca traumatik karena pada lansia akan mudah terbentuk suatu cacat fisik.
6) Gangguan Somatiform
Gangguan somatiform ditandai oleh gejala yang sering ditemukan apada
pasien > 60 tahun. Gangguan biasanya kronis dan prognosis adalah berhati-
hati. Terapi pada gangguan ini adalah dengan pendekatan psikologis dan
farmakologis.
7) Gangguan penggunaan Alkohol dan Zat lain
Sejumlah besar lansia dengan riwayat penggunaan alkohol terdapat penyakit
demensia yang kronis seperti ensefalopati wernicke dan sindroma korsakoff.
Presentasi klinis pada lansia termasuk terjatuh, konfusi, higienis pribadi yang
buruk, malnutrisi dan efek pemaparan. Zat yang dijual bebas seperti kafein dan
nikotin sering disalahgunakan.
8) Gangguan Tidur / Insomnia
Fenomena yang sering dikeluhkan lansia daripada usia dewasa muda adalah
gangguan tidur, ngantuk siang hari dan tidur sejenak di siang hari. Keluhan
utama pada lansia sebenarnya adalah lebih banyak terbangun pada dini hari
dibandingkan dengan gangguan dalam tidur. Perburukan yang terjadi adalah
perubahan waktu dan konsolidasi yang menyebabkan gangguan pada kualitas
tidur pada lansia.

5. Masalah Yang Sering Dihadapi Oleh Lansia Berkaitan Dengan Status Mental
Masalah yang kerap muncul pada usia lanjut, yang disebutnya sebagai a series
of I’s, yang meliputi immobility (imobilisasi), instability (instabilitas dan jatuh),
incontinence (inkontinensia), intellectual impairment (gangguan intelektual),
infection (infeksi), impairment of vision and hearing (gangguan penglihatan dan
pendengaran), isolation (depresi), Inanition (malnutrisi), insomnia (ganguan tidur),
hingga immune deficiency (menurunnya kekebalan tubuh) (Kemala Sari, 2010).

B. STATUS MENTAL
1. Pengertian Status Mental
Status mental adalah suatu pengkajian status mental yang merupakan
komponen penting dari setiap evaluasi apapun tentang fungsi sensorinya,
penampilan, perilaku fisik dan kemampuan kognitif.

2. Pengkajian Status Mental


Pengkajian keperawatan pada klien psikogeriatri merupakan proses yang
komplek. Pengaruh aspek biologik, psikologik, dan sosiokultural akibat proses
penuaan menyebabkan kesulitan dalam mengidentifikasi masalah yang muncul.
Pengkajian ini meliputi penampilan umum klien, kesadaran, fungsi afektif,
karakteristik bicara, orientasi, perhatian dan konsentrasi, penilaian, memori,
persepsi, serta isi dan proses pikir. Bertujuan untuk menentukan pikiran – pikiran
dan proses mental yang mempengaruhi pada pencapaian tingkat optimal dari fungsi
lansia.
Pengkajian Status Mental Lansia menurut (Keliat, 2005), yaitu:
a. Penampilan
Mengkaji penampilan klien rapi atau tidak seperti penampilan klien sehari-hari,
mandi pagi, sore, rambut disisir, berpakaian yang sesuai, gigi bersih, kuku
pendek.
b. Pembicara
Mengkaji pembicaraan klien apakah cepat, keras, gagap, membisu, apatis, atau
lambat, apakah pembicara berpindah dari satu kalimat ke kalimat lain dan tidak
ada kaitannya.
c. Aktivitas Motorik
Mengkaji apakah klien tampak lesu, tegang, gelisah yang tampak jelas, agitas,
grimasen, tremor, dan kompulsif.
d. Alam Perasaan
Mengkaji apakah klien tampak sedih, putus asa, gembira yang berlebihan yang
tampak jelas, ketakutan, kekawatiran.
e. Afek
Mengkaji apakah ada perubahan datar, tumpul, labil.
f. Interaksi selama wawancara
Mengkaji apakah klien bermusuhan, tidak kooperatif, dan mudah tersinggung,
kurangnya kontak mata, defensive, dan curiga.
g. Persepsi
Mengkaji jenis-jenis halusinasi seperti klien mengatakan sering mendengar suara-
suara, dan klien sering melihat bayangan hitam mengejar kearahnya.
h. Proses pikir
Mengkaji sirkumtansial seperti berbicara berbelit-belit tetapi sampai pada tujuan
pembicara, tangensial, kehilangan asosial, flig of ideas, blocking, perseverasi.
i. Isi pikir
Mengkaji tentang obsesi, fobia, hipokondri, depersonalisasi, ide yang terkait, dan
pikiran magis.
j. Tingkat kesadaran
Mengkaji klien apakah klien tampak bingung dan kacau, stupor, orentasi waktu,
tempat dan orang cukup jelas.
k. Memori
Memgkaji adanya gangguan daya ingat jangka panjang, adanya gangguan daya
ingat jangka pendek, dan gangguan daya ingat saat ini.
l. Tingkat konsentrasi dan berhitung
Klien mudah dialihkan, tidak mampu berkonsentrasi dan klien selalu pertanyaan
diulang atau tidak dapat menjelaskan kembali pembicaraan, tidak mampu
berhitung.
m.Kemampuan penilaian
Mengkaji gangguan kemampuan ringan, dapat mengambil keputusan yang
sederhana dengan bantuan orang lain, gangguan menilai bermakna.
n. Daya tilik diri
Klien mengingkari penyakit yang diderita, tidak menyadari adanya penyakit pada
dirinya dan merasa tidak perlu pertolongan, menyalahkan orang lain dan
lingkungannya dengan kondisinya saat ini.

3. Faktor-faktor Predisposisi Sehat Sakit Mental


a. Biologis
b. Psikologi
c. Respon Fisiologis
d. Respon Perilaku
e. Respon Sosial

4. Pengukuran Status Mental


Pengukuran status mental pada lanjut usia dapat dilakukan melalui mini mental
status exam (MMSE) dapat dikategorikan menjadi :
skor 0-2 kesalahan = baik, 3-4 kesalahan = gangguan intelektual ringan. Skor 5-7
kesalahan = gangguan intelek sedang, 8-10 kesalahan = gangguan berat. Bila lanjut
usia tidak pernah sekolah nilai kesalahannya diperbolehkan +1 dan nilai di atas. Bila
lanjut usia sekolah lebih dari SMA, kesalahan yang diperbolehkan -1 dari di atas
(Folestein, 1990 dalam Subiyanto, dkk, 2011).

C. KEMAMPUAN AKTIVITAS SEHARI-HARI PADA LANSIA


1. Pengertian Kemampuan Aktifitas
Aktivitas sehari-hari merupakan semua kegiatan yang dilakukan oleh lanjut
usia setiap hari. Aktivitas ini dilakukan tidak melalui upaya atau usaha keras.
Aktifitas tersebut dapat berupa mandi, berpakaian, makan, atau melakukan
mobilisasi (Luekenotte (2000).

2. Manfaat Kemampuan Aktifitas Sehari-hari Pada Lansia


a. Meningkatkan kemampuan dan kemauan seksual lansia.
b. Kulit tidak cepat keriput atau menghambat proses penuaan.
c. Meningkatkan keelastisan tulang sehingga tulang tidak mudah patah.
d. Menghambat pengecilan otot dan mempertahankan atau mengurangi kecepatan
penurunan kekuatan otot.
e. Self efficacy (keberdayagunaan mandiri) yaitu suatu istilah untuk
menggambarkan rasa percaya diri atas keamanan dalam melakukan aktivitas.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Aktifitas Sehari-hari Pada Lansia


a. Umur
b. Kesehatan fisiologis
c. Fungsi kognitif
d. Fungsi psikologis
e. Tingkat Stres
f. Lingkungan Keluarga
g. Lingkungan tempat kerja
h. Ritme biologi

4. Macam-macam Aktifitas Sehari-hari Pada Lansia


a. Mandi (spon, pancuran, atau bak)
b. Berpakaian
c. Ke kamar kecil
d. Berpindah
e. Kontinen
f. Makan

5. Tingkat aktifitas sehari-hari pada lanjut usia


Menurut Leukenotte (2000) tingkatan aktifitas shari-hari :
 Tingkatan 1 : Mandiri, berarti tanpa pengawasan , pengarahan, atau bantuan
pribadi secara aktif kecuali jika disebutkan secara spesifik sebelumnya.
 Tingkatan 2 : Memerlukan bantuan ketergantungan terhadap lebih dari satu
bagian tubuhnya. Diklasifikasikan menjadi 6 tahapan menurut Miller, (1995)
adalah sebagai berikut :
Skor 5: Aktivitas Mandiri
Skor 4: Aktivitas dengan menggunakan bantuan alat
Skor 3: Aktivitas dengan bantuan sebagian
Skor 2: Aktivitas dengan bantuan 1 orang
Skor 1: Aktivitas dengan bantuan 2 orang
Skor 0: Aktivitas dengan bantuan total
Pengkajian aktivitas sehari-hari pada lanjut usia didasarkan pada :
a. Mandi
b. Ambulasi
c. Aktivitas Di Tempat Tidur
d. Berpakaian
e. Perawatan Mulut
f. Perawatan Rambut
g. Mental Status
h. BAK dan BAB
i. Asupan Makanan
j. Aktivitas bergerak
k. Menyiapkan makan
l. Berbelanja
m. Telepon
n. Transportasi
o. Pengobatan
p. Merawat rumah
q. Mencuci
r. Pengelolaan uang

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai