Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting di dunia yang mengenai jutaan orang setiap tahunnya dan kasusnya meningkat pada orang-orang dengan HIV yang menjadi penyebab kematian di dunia (WHO, 2015). Pada tahun 1992 World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai Global Emergency (PDPI, 2011). Pada tahun 2014, terdapat 9,6 juta kasus TB yang meliputi 5,4 juta orang laki-laki, 3,2 juta orang perempuan, dan 1,0 juta orang anak-anak. Saat ini diperkirakan akan ada sekitar 1 juta kasus baru setiap tahunnya di Indonesia (WHO, 2015). Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal jumlah pasien TB terbanyak. Berdasarkan Data Badan Kesehatan Dunia atau WHO pada tahun 2007 menyatakan jumlah pasien tuberkulosis di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan Cina. Dan pada laporan WHO pada tahun 2012, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi empat setelah Afika Selatan dengan total seluruh kasus TB sebanyak 331.424 kasus (WHO, 2013). Namun saat ini, Indonesia menjadi peringkat kedua setelah India dengan angka 399 ribu kasus dengan prediksi mencapai 1 juta kasus per tahun (WHO, 2015). Pada tahun 1963, WHO menyimpulkan bahwa morbiditas dan mortalitas TB terus meningkat dan menyatakan bahwa TB merupakan kegawatdarutan global .Tiga negara dinyatakan sebagai negara dengan “disease burden” tertinggi, yaitu Cina, India dan Indonesia. Masalah menjadi makin meluas karena hasil “global surveillance“ menunjukkan bahwa mycobacterium yang bersamaan resisten terhadap rifampisin dan isoniazid ( INH ), dan selanjutnya disebut sebagai Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR-TB), ditemukan di semua negara yang mengadakan surveilans. Peningkatan prevalensi MDR-TB ini akan meningkat seandainya keberhasilan program pengendalian TB tidak optimal dan prevalensi
Universitas Sumatera Utara
infeksi oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV) terus meningkat (Agus S, 2010). Secara global, MDR-TB dilaporkan terjadi pada 3,3% kasus TB paru dan 20% kasus yang sudah mendapatkan pengobatan sebelumnya, dimana kejadiannya dijumpai 480.000 kasus dan diperkirakan 190.0000 orang meninggal akibat MDR-TB (WHO, 2015). Kasus MDR-TB ini tentunya juga menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya penularan langsung kuman Mycobacterium tuberculosis (Mtb) yang telah resisten sehingga menimbulkan terjadinya resistensi primer pada orang yang tertular. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan (RSUP HAM) pada tahun 2015 didapatkan sebanyak 142 pasien MDR-TB. Pada tahun 2016 sejak Januari sampai Desember terdata 160 pasien MDR-TB. Jumlah ini menunjukkan bahwa masalah MDR-TB di Sumatera Utara dan sekitarnya menjadi masalah yang serius dan harus diantisipasi (e-TB manager RSUP HAM, 2017). Pada pasien MDR-TB adalah sangat bijaksana untuk memiliki evaluasi kejiwaan sebelum dimulainya pengobatan. Awal evaluasi berfungsi untuk mendokumentasikan setiap kondisi kejiwaan yang sudah ada sebelumnya dan menetapkan dasar untuk perbandingan jika muncul perburukan gejala kejiwaan saat pengobatan. Penyakit kejiwaan diidentifikasi pada awal atau selama pengobatan harus ditujukan sepenuhnya. Depresi dan kecemasan pada pasien dengan MDR-TB, sering dihubungkan dengan kronisitas dan stressor sosial ekonomi yang terkait dengan penyakit MDR-TB (Mukherjee et al, 2003). Efek Samping pasien MDR-TB dapat dilakukan dengan penatalaksanaan secara efektif dengan perhatian khusus terhadap pasien, namun komplikasi gejala kejiwaan seperti depresi dan kecemasan akan mempengaruhi terhadap kualitas hidup pasien MDR-TB serta sikap dokter dan petugas medis lainnya dalam menangani pasien, oleh karena itu keberhasilan dalam mengontrol gejala kejiwaan pada pasien MDR-TB tidak saja menguntungkan dalam kesejahteraan pasien, tetapi juga kenyamanan dokter atau petugas medis lainnya dalam memberikan pengobatan dan merawat pasien (Vega et al, 2004).
Universitas Sumatera Utara
Beberapa penulis menggambarkan , bahwa faktor psikososial dan ekonomi mempengaruhi pasien MDR-TB dalam kepatuhan pengobatan MDR-TB serta gejala kejiwaan juga merupakan faktor dalam keberhasilan pengobatan MDR-TB (Vega et al, 2004). Banyak pasien MDR-TB berjuang terhadap harapan hidup setelah sebelumnya mereka diberitahukan oleh tenaga medis profesional tentang penyakitnya bahwa tidak ada pengobatan yang tersisa lagi dan ini juga berdampak terhadap kejiwaan mereka (Acha et al, 2007). Gejala psikiatri yang muncul akibat pengobatan MDR-TB kebanyakan terjadi dalam 3 bulan awal pengobatan. Peningkatan resiko toksisitas Central Nervous System (CNS) mungkin terkait dengan sikloserin telah dilaporkan dengan angka kejadian 9,7-50% pada setiap individu yang mendapat sikloserin (Saraf et al, 2015). Penelitian yang dilaporkan oleh Vega et al (2004) di Peru pada pasien yang mendapat pengobatan MDR-TB mendapatkan gangguan kecemasan sebanyak 8,7% dan depresi 52,2%. Berdasarkan Penelitian oleh Reviono et al (2014) di Rumah Sakit Moewardi Surakarta mendapatkan efek samping dan resiko pada pengobatan MDR-TB terbanyak adalah gangguan gastrointestinal mual 79,8%, muntah 78,9%, atralgia 78,9%, gangguan renal 59,6%, gangguan pendengaran 59,6%, gangguan psikiatri dengan depresi dan kecemasan 53,5%, hipokalemia 52,6%, diare 49,1%, gangguan tidur 18,4%. Penelitian Rusdi (2011) di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, pasien dengan pengobatan MDR-TB mendapatkan gangguan psikiatri sebanyak 1,25%. Penelitian Furin (2001) di Peru pada pasien dengan pengobatan MDR-TB mendapatkan efek samping gastrisitis ringan 100%, reaksi pada kulit 43,3%, neuropati perifer 16,7%, gangguan kecemasan sebanyak 18,3% dan depresi sebanyak 11,7%. Penelitian Aini et al (2015) di Rumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad, pasien dengan pengobatan MDR-TB mendapatkan efek samping depresi 83,3%. Dua laporan awal pada perawatan ruang isoloasi, membahas beberapa aspek emosional yang terkait dengan TB, termasuk depresi dan kecemasan dimana dinyatakan bahwa pasien TB yang belum mendapatkan pengobatan efektif
Universitas Sumatera Utara
terhadap TB sudah mengalami gejala kejiwaan. Dan ini membuktikan, bahwa komplikasi gejala kejiwaan sudah muncul meskipun belum mendapatkan pengobatan TB (Vega et al, 2004). Berdasarkan latar belakang diatas, penulis ingin membuktikan apakah pasien dengan diagnosis MDR-TB memiliki perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan sebelum mendapatkan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) MDR, bulan pertama dan bulan ketiga sesudah mendapatkan OAT MDR.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas dapat dirumuskan masalah: Apakah ada perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien MDR-TB sebelum mendapatkan OAT MDR, bulan pertama dan bulan ketiga sesudah mendapatkan OAT MDR.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan proporsi simptom depresi dan kecemasan pada pasien MDR-TB sebelum mendapatkan OAT MDR, bulan pertama dan bulan ketiga sesudah mendapatkan OAT MDR.
1.3.2. Tujuan Khusus
• Untuk mengetahui distribusi karakteristik pasien MDR-TB (usia, jenis kelamin, pendidikan, status pernikahan, riwayat merokok, dan pekerjaan). • Untuk mengetahui prevalensi dan insiden simptom depresi dan kecemasan pada pasien MDR-TB sebelum mendapatkan OAT MDR, bulan pertama dan pada bulan ketiga sesudah mendapatkan OAT MDR. • Untuk mengetahui hubungan antara jenis kelamin dengan simptom depresi dan kecemasan pada pasien MDR-TB.
Universitas Sumatera Utara
1.4. Hipotesis Ada perbedaan proporsi antara simptom depresi dan kecemasan pada pasien MDR-TB sebelum mendapatkan OAT MDR, bulan pertama dan bulan ketiga sesudah mendapatkan OAT MDR.
1.5. Manfaat Penelitian
1. Dari penelitian ini diharapkan agar dokter / tenaga kesehatan yang memberikan pengobatan OAT MDR mampu mengobati pasien MDR-TB sampai tuntas. 2. Dari penelitian ini diharapkan agar pasien dengan pengobatan MDR-TB dapat melakukan kontrol pengobatan secara berkesinambungan ke dokter spesialis paru dan spesialis psikiatri sampai selesai pengobatan. 3. Dari penelitian ini diharapkan dapat mengetahui waktu mula terjadinya gejala depresi dan kecemasan sebelum atau sesudah pemberian OAT MDR. 4. Dari penelitian ini diharapkan agar adanya hubungan kerjasama antara divisi paru dan divisi psikiatri dalam menangani pasien MDR-TB sebelum ataupun sesudah mendapatkan OAT MDR. 5. Dari penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti pada pasien MDR-TB dengan simptom depresi dan kecemasan.