Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

MASALUL FIQIYAH
(MEMAKAI CADAR DALAM ISLAM)

Disusun oleh :
Achmad Khoirul Huda Saliyo
NIM 20155601211653

Dosen :
(Drs. Nursaman)

Program Studi S1 Pendidikan Agama Islam Reguler

Sekolah Tinggi Agama Islam Salahuddin Pasuruan

Jl.Raya Warung Dowo Komplek Perkantoran PCNU Kabupaten


Pasuruan Tahun 2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan kekuatan dan keteguhan
hati kepada kami untuk menyelesaikan makalah ini. Sholawat beserta salam
semoga senantiasa tercurah limpahan kepada Nabi Muhammad SAW. Yang
menjadi tauladan para umat manusia yang merindukan keindahan surga.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas,
Drs. Nursaman pada mata kuliah Masailul Fiqiyah. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Nursaman
selaku dosen yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan mata kuliah yang saya tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Pasuruan, 22 April 2021

Achmad Khoirul Huda


Saliyo

ii
DAFTAR ISI
Halaman

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 1
C. Tujuan ......................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Asal Usul Cadar ................................................. 2
B. Fatwa Tentang Cadar dan Hujjahnya ......................................... 4
C. Kondisi-kondisi yang Diperbolehkan Bagi Para Wanita Membuka
Cadarnya ..................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah Ta’ala telah menghancurkan peradaban-peradaban dan bangsa-
bangsa besar di dunia antara lain karena mereka merendahkan kaum wanita
mereka. Sejarah telah mencatat bangsa Yunani yang memberikan
“kebebasan” kepada kaum wanita, padahal sebenarnya hal itu ditujukan untuk
memperturutkan dorongan nafsu mereka. Sejarah juga telah mencatat bangsa
Persia yang menganaktirikan wanita. Salah satunya, mereka menganggap
bahwa hukuman hanya berlaku atas wanita.
Sejarah masih mengenang bangsa Romawi, Cina, India, Yahudi, Kristen
serta Arab Jahiliyah yang mengesampingkan hak pernikahan dan warisan
kaum wanita. Berbeda dengan bangsa lain yang menganggap wanita sebagai
makhluk tak berharga, bangsa Arab Jahiliyah justru menganggap wanita
sebagai harta yang dapat diperjualbelikan.
Kemudian islam datang membebaskan wanita dari semua itu. Islam
datang dan mendudukkan wanita pada tempat yang semestinya. Islam juga
melindungi wanita dari gangguan dan marabahaya, salah satunya dengan
syari’at hijab.
Namun muslimin berbeda pendapat tentang berbagai hal seputar hijab,
terutama cadar. Oleh karena itu maka penulis berkeinginan untuk
mengumpulkan sebagian pembahasan tentang cadar, kemudian
menuliskannya dalam makalah berjudul: MEMAKAI CADAR DALAM
ISLAM

B. Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas maka dapat diambil Rumusan
masalah sebagai berikut:
1. Apa itu cadar dan bagaimana sejarah munculnya cadar?
2. Bagaimana respon para ulama dalam menyikapi masalah cadar?

C. Tujuan

1
1. Memahami tentang pengertian dan sejarah munculnya cadar
2. Memahami masalah tentang cadar di lingkungan masyarakat

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Asal Usul Cadar
1. Pengertian Cadar
Dikatakan dalam kamus Al Muhith bahwa kata cadar dalam bahasa
arabnya (‫ )نقاب‬atau nikoob mempunyai arti : kain yang digunakan untuk
menutupi muka seorang wanita.1
Niqab adalah penutup kepala yang menutupi bagian wajah, namun
masih membiarkan bagian mata terbuka. Niqab pada umumnya
menjuntai hingga bagian tengah punggung dan menutupi bagian tengah
dada. Penutup kepala ini sering digunakan oleh wanita di Arab, namun
beberapa wanita muslim di negara Barat juga seringkali
menggunakannya.
Cadar adalah pakaian yang digunakan untuk menutupi
wajah,minimal untuk menutupi hidung dan mulut. Cadar merupakan
jubah full body yang didesain untuk perempuan bila ingin berpergian
keluar rumah. Cadar biasanya berwarna hitam dan siapapun yang
memakainya harus memegang erat cadar di bagian depan tubuh mereka
karena tidak memiliki pengikat atau tempat untuk ikat pinggang. Pakaian
ini umumnya dipakai di Iran.
2. Asal Usul Cadar
Jika menelusuri asal-usul wanita memakai cadar, tentunya agak
kesulitan mendapatkan beberapa referensi valid yang mengungkap masa
atau masyarakat pertama kali yang memakai cadar. Namun penulis
berusaha untuk memberi pandangan dan mengarahkan ke beberapa
tempat dan masa munculnya cadar di kalangan wanita. Umat Islam di
luar daerah Arab mengenal cadar (niqab) dari salah satu penafsiran ayat
al-Quran di surat An-Nur dan surat Al-Ahzab yang diuraikan oleh

1 Kamus Al-Muhit, 4/421

2
sebagian sahabat Nabi, sehingga pembahasan cadar wanita dalam Islam
masuk dalam salah satu pembahasan disiplin ilmu Islam, termasuk fikih
dan sosial.

3
4

Dalam penelitian M. Qurash Shihab mengungkapkan, bahwa


memakai pakaian tertutup termasuk cadar bukanlah monopoli masyarakat
Arab, dan bukan pula berasal dari budaya mereka. 2 Bahkan menurut
ulama dan filosof besar Iran kontemporer, Murtada Mutahhari, pakaian
penutup (seluruh badan wanita termasuk cadar) telah dikenal di kalangan
bangsa-bangsa kuno, jauh sebelum datangnya Islam, dan lebih melekat
pada orang-orang Persia, khususnya Iran, dibandingkan dengan di
tempat-tempat lain, bahkan lebih keras tuntutannya daripada yang
diajarkan Islam.3 Pakar lain menambahkan, bahwa orang-orang Arab
meniru orang Persia yang mengikuti agama Zardasyt dan yang menilai
wanita sebagai makhluk tidak suci, karena itu mereka diharuskan
menutup mulut dan hidungnya dengan sesuatu agar nafas mereka tidak
mengotori api suci yang merupakan sesembahan agama Persia lama.
Orang-orang Arab meniru juga masyarakat Byzantium (Romawi) yang
memingit wanita di dalam rumah, ini bersumber dari masyarakat Yunani
kuno yang ketika itu membagi rumah-rumah mereka menjadi dua bagian,
masing-masing berdiri sendiri, satu untuk pria dan satu lainnya untuk
wanita. Di dalam masyarakat Arab, tradisi ini menjadi sangat kukuh pada
saat pemerintahan Dinasti Umayyah, tepatnya pada masa pemerintahan
al-Walid II (125 H/747 M), di mana penguasa ini menetapkan adanya
bagian khusus buat wanita di rumah-rumah.4
Sementara pada masa Jahiliyah dan awal masa Islam, wanita-wanita
di Jazirah Arabiah memakai pakaian yang pada dasarnya mengundang
kekaguman pria, di samping untuk menampik udara panas yang
merupakan iklim umum padang pasir. Memang, mereka juga memakai
kerudung, hanya saja kerudung tersebut sekadar diletakkan di kepala dan
biasanya terulur kebelakang, sehingga dada dan kalung yang menghiasi
leher mereka tampak dengan jelas. Bahkan boleh jadi sedikit dari daerah
buah dada dapat terlihat karena longgar atau terbukanya baju mereka itu.
Telinga dan leher mereka juga dihiasi anting dan kalung. Celak sering
2 Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimat, (Jakarta: Lentera Hati, 2014), 48.
3 Murtadha Muthahari, Gaya Hidup Wanita Islam, ter. Agus Efendi, Alwiyah Abdurrahman, (Bandung,
Mizan, 1990), 34
4 Hasan al-‘Audah, al-Mar’ah al-‘Arabiyah Fial-Din wa al-Mujtama’, (Bairut: al-Ahaly, 2000), 101-102
5

mereka gunakan untuk menghiasi mata mereka. Kaki dan tangan mereka
dihiasi dengan gelang yang bergerincing ketika berjalan. Telapak tangan
dan kaki mereka sering kali juga diwarnai dengan pacar. Alis mereka pun
dicabut dan pipi mereka dimerahkan, tak ubahnya seperti wanita-wanita
masa kini, walau cara mereka masih sangat tradisional. Mereka juga
memberi perhatian terhadap rambut yang sering kali mereka sambung
dengan guntingan rambut wanita lain, baru setelah Islam datang, al-
Quran dan Sunnah berbicara tentang pakaian dan memberi tuntunan
menyangkut cara-cara memakainya.5
Intelektual kontemporer asal Pakistan, Abu al-A’la al-Mawdudi
menjelaskan, bahwa banyak sekali tuduhan-tuduhan tidak penting
terhadap Islam yang datang dari orang-orang yang tidak bertanggung
jawab, seperti halnya mereka menuduh hijab dan cadar (niqab) berasal
dari budaya perempuan-perempuan Arab jauh sebelum Islam masuk,
tepatnya di masa Jahiliyah, kemudian berlanjut warisan jahiliyah ini ke
orang-orang Muslim di abad-abad berikutnya, khususnya setelah masa
Nabi. Mereka sangat pandai berusaha menghantam beberapa ajaran
Islam, seperti mencari sejarah lahirnya cadar atau beberapa tradisi
masyarakat tertentu yang dikaitkan ke masalah syari’ah, agar
menggoncang pembahasan yang telah ditetapkan oleh ulama sebagai
ahlinya.6

B. Fatwa Tentang Cadar dan Hujjahnya


Masalah kewajiban memakai cadar sebenarnya masih ada perbedaan
pendapat di antara para ulama. Maka wajarlah bila kita sering mendapati
adanya sebagian ulama yang mewajibkannya dengan didukung oleh sederet
dalil dan hujjah. Namun kita juga tidak asing dengan pendapat yang
mengatakan bahwa cadar itu bukanlah kewajiban. Pendapat yang kedua ini
pun biasanya diikuti dengan sederet dalil dan hujjah juga.

1. Kalangan Yang Mewajibkan Cadar

5 Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimat, 48


6 Abu al-A’la> al-Maudu>di>, Al-H{ija>b, (Damaskus: Dar al-Fikr bi Damasyq, 1964), 307
6

Al-Hafizh Ibnu Hajjar di dalam kitabnya Fathul al- Baari berkata :


”kebiasa’an para wanita dari zamam dahulu sampai kini, masih tetap
menutupi muka mereka dari pandangan orang lain yang bukan
muhrimnya.7
Dalil-dalil yang mereka kemukakan antara lain :
a. Surat Al-Ahzab : 59
‫كَ أَ ْدن َٰى أَ ْن‬WWِ‫ين َعلَ ْي ِه َّن ِم ْن َجاَل بِيبِ ِه َّن ۚ ٰ َذل‬
Wَ ِ‫ ْدن‬Wُ‫ك َونِ َسا ِء ْال ُم ْؤ ِمنِينَ ي‬ َ ‫يَا أَيُّهَا النَّبِ ُّي قُلْ أِل َ ْز َوا ِج‬
َ ِ‫ك َوبَنَات‬
َ ‫يُع َْر ْفنَ فَاَل ي ُْؤ َذ ْينَ ۗ َو َكانَ هَّللا ُ َغفُور‬
‫ًار ِحي ًما‬
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian
itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”(QS. Al-Ahzah : 59)
Imam Suyuthi berkata: ”Ayat ini adalah ayat hijab yang berlaku
bagi seluruh wanita. Di dalamnya berisi kewajiban untuk menutupi
kepala dan wajah mereka.”
Abu ‘Ubaidah As-Salmani dan lainnya memperaktekkan cara
mengulurkan jibab itu dengan selendangnya, yaitu menjadikannya
sebagai kerudung, lalu dia menutupi hidung dan matanya sebelah
kiri, dan menampakkan matanya sebelah kanan. Lalu dia
mengulurkan selendangnya dari atas kepala sehingga dekat ke
alisnya, atau di atas alis.
Syaikh Bakar bin Abu Zaid berkata8: Perintah mengulurkan
jilbab ini meliputi menutup wajah berdasarkan beberapa dalil :
1) Makna jilbab dalam bahasa Arab adalah : Pakaian yang luas
yang menutupi seluruh badan. Sehingga seorang wanita wajib
memakai jilbab itu pada pakaian luarnya dari ujung kepalanya
turun sampai menutupi wajahnya, segala perhiasannya dan
seluruh badannya sampai menutupi kedua ujung kakinya.

7 Fathul Baari, 9/24


8 Hirasatu al-Fadhilah , Abu Bakar bin Abu Zaid, 41-90
7

2) Yang biasa nampak pada sebagian wanita jahiliyyah adalah


wajah mereka, lalu Allah perintahkan istri-istri dan anak-anak
perempuan Nabi serta istri-istri orang mukmin untuk
mengulurkan jilbabnya ketubuh mereka. Kata idna yang
ditambahkan hurup ‘ala mengandung makna mengulurkan dari
atas. Maka jilbab itu diulurkan dari atas kepala menutupi wajah
dan badan.
3) Menutupi wajah, baju dan perhiasan dengan jilbab itulah yang
difahami oleh wanita-wanita Shahabat.
4) Dalam firman Allah Ta’ala: Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, dan karena itu mereka tidak
diganggu. “ Menutup wajah wanita merupakan tanda wanita
baik-baik, dengan demikian tidak diganggu. Demikian juga jika
wanita menutupi wajahnya, Maka laki-laki yang rakus tidak
akan berkeinginan untuk membuka anggota tubuhnya yang lain.
Maka membuka wajah bagi wanita merupakan sasaran
gangguan dari laki-laki jahat. Maka dengan menutupi wajahnya,
seorang wanita tidak akan memikat dan menggoda laki-laki
sehingga dia tidak akan diganngu.
5) Aisyah berkata : “Para pengendara kendaraan biasa melewati
kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama
Rasulullah Saw. Maka jika mereka mendekati kami, salah
seorang dari kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya pada
wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, kami membuka
wajah. (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah)
6) Asma’ binti Abu Bakar berkata : “ kami menutupi wajah kami
dari laki-laki, dan kami menyisir rambut sebelum itu disaat
ihram. (HR. Ibnu Khuzaimah dan Al. Hakim)
Ini menunjukkan bahwa menutup wajah bagi wanita sudah
merupakan kebiasaan para wanita Shahabat.
Demikian juga mazhab Imam Ahmad yang mengatakan : Setiap
bagian tubuhnya, termasuk kukunya adalah aurat. Ini juga pendapat
8

Imam Malik. Semenjak turunnya Ayat 59 dari surat Al Ahzab para


wanita muslimah ketika itu menutup wajah dari pandangan pria. Jadi
wanita dahulu mengenakan Niqob ( cadar).
b. Surat An-Nuur : 31
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka
menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang nampak dari
padanya.” (QS. An-Nur : 31).
Ibnu Mas`ud berkata bahwa yang dimaksud perhiasan yang
tidak boleh ditampakkan adalah wajah, karena wajah adalah pusat
dari kecantikan. Sedangkan yang dimaksud dengan `yang biasa
nampak` bukanlah wajah, melainkan selendang dan baju.
Syafi’iyah dan Hanabiah mengatakan ayat ini secara mutlak
mengharamkan sesuatu dari anggota tubuh secara mutlak untuk
ditampakkan begitu juga dengan perhiasan mereka di depan para
lelaki asing kecuali yang biasa nampak darinya ( ‫ر منها‬WW‫ا ظه‬WW‫إال م‬ )
adalah yang dimaksud adalah biduni kosdin wala amdin (tidak
sengaja) semisal pakaiannya terkena sapuan angin lalu terlihat
betisnya atau dari sesuatu dari anggota tubuhnya dll.
Dari sini bisa diambil kesimpulan bahwasanya para wanita
dilarang atau diharamkan menampakkan wajah dan kedua telapak
tangannya kecuali tersingkap dengan tidak disengaja.9
2. Kalangan yang tidak mewajibkan cadar
Sedangkan mereka yang tidak mewajibkan cadar berpendapat bahwa
wajah bukan termasuk aurat wanita. Mereka juga menggunakan banyak
dalil serta mengutip pendapat dari para Imam mazhab yang empat dan
juga pendapat salaf dari para shahabat Rasulullah sholallohu
‘alaihiwassalam

a) Ijma Shahabat

9 Rawaiul Bayaan Tafsirul Ayatil Ahkam , Ali Ash-Shobuni, 2/ 155


9

Para shahabat Rasululloh sepakat mengatakan bahwa wajah dan


tapak tangan wanita bukan termasuk aurat. Ini adalah riwayat yang
paling kuat tentang masalah batas aurat wanita.
b) Pendapat Para Fuqoha Ala-Madzahibi Al-Arba’ah Bahwa Wajah
Bukan Termasuk Aurat Wanita.
1) Mazhab Hanafi
Dalam kitab al-Ikhtiyar, salah satu kitab Mazhab Hanafi,
disebutkan: Tidak diperbolehkan melihat wanita lain kecuali
wajah dan telapak tangannya, jika tidak dikhawatirkan timbul
syahwat. Dan diriwayatkan dari Abu Hanifah bahwa beliau
menambahkan dengan kaki, karena pada yang demikian itu ada
kedaruratan untuk mengambil dan memberi serta untuk
mengenal wajahnya ketika bermuamalah dengan orang lain,
untuk menegakkan kehidupan dan kebutuhannya, karena tidak
adanya orang yang melaksanakan sebab-sebab penghidupannya.
Beliau berkata: Sebagai dasarnya ialah firman Allah
Ta’ala, “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya
kecuali apa yang biasa tampak daripadanya.” (an-Nur: 31)
2) Mazhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah
aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan)
dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh
wanita adalah aurat.
3) Mazhab Syafi’i
Asy-Syirazi, salah seorang ulama Syafi’iyah, pengarang
kitab al-Muhadzdzab mengatakan:
“Adapun wanita merdeka, maka seluruh tubuhnya adalah
aurat, kecuali wajah dan telapak tangan – Imam Nawawi
berkata: hingga pergelangan tangan- Berdasarkan firman Allah :
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali apa
10

yang biasa tampak daripadanya.’ Ibnu Abbas berkata,


‘Wajahnya dan kedua telapak tangannya.’
4) Madzhab Zahiri
Daud yang mewakili kalangan Zahiri pun sepakat bahwa
batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan tapak
tangan. Sebagaimana yang disebutkan dalam Nailur Authar.
Begitu juga dengan Ibnu Hazm mengecualikan wajah dan tapak
tangan sebagaimana tertulis dalam kitab Al-Muhalla.
c) Pendapat Para Mufassirin
Para mufassirin yang terkenal pun banyak yang mengatakan
bahwa batas aurat wanita itu adalah seluruh tubuh kecuali muka dan
tapak tangan.
Mereka antara lain At-Thabari, Al-Qurthubi, Ar-Razy, Al-
Baidhawi dan lainnya. Pendapat ini sekaligus juga mewakili
pendapat jumhur ulama.
d) Dhai’ifnya Hadits Asma Dikuatkan Oleh Hadits Lainnya
Adapun hadits Asma` binti Abu Bakar yang dianggap dhaif,
ternyata tidak berdiri sendiri, karena ada qarinah yang menguatkan
melalui riwayat Asma` binti Umais yang menguatkan hadits tersebut.
Sehingga ulama modern sekelas Nasiruddin Al-Bani sekalipun
meng-hasankan hadits tersebut sebagaimana tulisan beliau ‘Hijab
Wanita Muslimah’, ‘Al-Irwa`, Shahih Jamius Shaghir dan `Takhrij
Halal dan Haram. Tetapi di dalam kitab Fiqh Islam wa Adilatuhu
dikatakan oleh Dr.Wahbah Az-Zuhayli bahwa hadis yang dari
Aisyah dan Ibnu Abbas  diriwayatkan oleh Imam al-Bayhaqi dan
dikatakan bahwa hadis itu adalah do’if.
e) Perintah Kepada Laki-laki Untuk Menundukkan Pandangan.
Allah  telah memerintahkan kepada laki-laki untuk
menundukkan pandangan (ghadhdhul bashar). Hal itu karena para
wanita muslimah memang tidak diwajibkan untuk menutup wajah
mereka.
11

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah


mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;
yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka  perbuat (QS. An-Nuur :
30)
Dalam hadits Rasulullah kepada Ali  disebutkan bahwa,
“Janganlah kamu mengikuti pandangan pertama (kepada wanita)
dengan pandangan berikutnya. Karena yang pertama itu untukmu
dan yang kedua adalah ancaman / dosa“. (HR. Ahmad, Abu Daud,
Tirmizy dan Hakim).
Mereka yang berpendapat akan kebolehan membuka cadar
adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Syafi’i dan
dengan syarat terbebas dari fitnah.10 Begitu juga dengan pendapat
para ulama dan karena tidak adanya Nash yang jelas-jelas
memerintahkannya

C. Kondisi-Kondisi yang Diperbolehkan Bagi Para Wanita Membuka


Cadarnya11
1. Saat khitbah (meminang)
Seorang wanita dibolehkan menampakkan wajah dan dua telapak
tangannya di hadapan lelaki yang berkeinginan meminangnya agar si
lelaki itu dapat melihatnya, dengan catatan harus disertai dengan mahram
dan tidak menyentuhnya. Karena wajah menunjukkan cantik atau
tidaknya si wanita dan kedua telapak tangan menunjukkan subur atau
tidaknya badan si wanita Abul Faraj Al-Maqdisi berkata: “Tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang bolehnya melihat wajah
wanita (saat meminangnya)
2. Saat bermu’amalah (berinteraksi sosial).
Wanita juga dibolehkan menampakkan wajah dan kedua telapak
tangannya dalam proses jual beli jika memang dibutuhkan. Sebagaimana

10 lihat Fiqh ala Mazaaibil Arba’ah Jilid : 1 hal 583 ; Fiqh Islam Wa Adilatuhu, Dr.Wahbah Az-Zuhayli,
1/744-755
11 Islam tanya & Jawab , Sholeh Al-Munajid (www.islam Qa-com)
12

halnya penjual boleh melihat wajahnya untuk menyerahkan barang dan


menerima uangnya, selama tidak menimbulkan fitnah.

3. Saat pengobatan.
Kaum wanita juga boleh membuka tempat yang terkena penyakit pada
wajah atau bagian tubuhnya yang terkena penyakit kepada dokter untuk
diobati. Dengan syarat harus disertai mahram atau suaminya.
Ibnu Qudamah berkata: “Seorang dokter dibolehkan melihat bagian
tubuh wanita yang sakit bila perlu diperiksa. Sebab bagian tubuh itu
memang perlu dilihat.
4. Saat menjadi saksi atau sebagai orang yang diberi persaksian
Ibnu Qudamah mengatakan: “Saksi boleh melihat terdakwa supaya
persaksiannya tidak salah alamat. Imam Ahmad berkata: Tidak boleh
memberikan persaksian terhadap seorang terdakwa wanita hingga Ia
mengenali indentitasnya dengan pasti.12

12 lihat kitab Al-Mughni VII/459, Syarah Al-Kabir ‘Alal Muqni’ VII/348 dan Al-Hidayah ma’a Takmilah
Fathul Qadir X/26
PENUTUP

Demikianlah apa yang patut kita ketahui tentang hukum memakai cadar. Dan
setelah itu marilah kita melihat kenyataan hari ini di mana kita hidup di dalamnya,
maka kita akan mendapatkan fitnah ada di mana-mana. Rasulullah sudah
mengingatkan kita akan besarnya fitnah wanita terhadap laki-laki sebelum beliau
wafat. Dan Sabdanya : Bertaqwalah akan fitnah dunia dan fitnah wanita. Karena
sesungguhnya fitnah yang pertama sekali menimpa bani isroil adalah fitnah
wanita. [Muslim : 17/55 ]
Di zaman Rasulullah wanita-wanita yang tidak memakai cadar adalah para
budak. Sehingga diceritakan dalam tafsir “Adhwa’aul Bayan”: Wanita-wanita
budak tidak memakai cadar sehingga mereka diganggu. Maka untuk membedakan
antara wanita budak dengan wanita merdeka diperintahkan untuk menutup muka
dengan menurunkan jilbabnya. Sebagian para ulama berpendapat seorang laki-laki
lebih tertarik dikarenakan melihat wajahnya daripada melihat kakinya. Dan kita
bisa melihat wanita-wanita yang tidak menutup auratnya yang sering menjadi
korban pelecehan saksual oleh lelaki yang tidak bermoral. Hanya kepada Allah
sajalah kami memohon agar memperbaiki keadaan kaum muslimin. Shalawat dan
salam semoga tercurah atas nabi kita Muhammad.

13
DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran dan Terjemahnya


Saudah, Siti. 2006 M/1427 H. Hukum Cadar Bagi Wanita. Surakarta:
Jilbab Wanita Muslimah , Syekh Nasirudien Al-Bani
Fiqh Islam wa Adilatuhu, Dr.wahbah Az-Zuhaily.
https://muslim.or.id/6207-hukum-memakai-cadar-dalam-pandangan-4-
madzhab.html
http://digilib.uinsby.ac.id/4513/6/Bab202.pdf

14

Anda mungkin juga menyukai