Anda di halaman 1dari 51

INTERVENSI WALKING EXERCISE TERHADAP MASALAH

KEPERAWATAN GANGGUAN POLA TIDUR PADA LANSIA DENGAN


PENDEKATAN TEORI MODEL SELF CARE OREM DI DESA
BENDOWULUNG BLITAR

Oleh :

DEA AYU PRATIWI


NIM. 202006006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


STIKES KARYA HUSADA KEDIRI
2021
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Walking Exercise

2.1.1 Definisi

Walking Exercise merupakan tindakan berjalan biasa dengan mengayunkan


tangan sesuai irama jalan, tindakan ini sangat baik dan cocok untuk segala
tingkatan umur (McCloskey & Bulecek, 2002 dalam Octavia, 2014). Berjalan
dalam walking exercise tersebut merupakan suatu aktivitas dasar dalam kehidupan
sehari-hari selain bernafas, mendengar, melihat, berbicara. Selain itu, walking
exercise merupakan gerakan tubuh atau bagian-bagiannya untuk mencapai
gerakan bebas sebagai tanda dan berfungsinya pergerakan, serta latihan untuk
kesehatan jantung (Oktavia, 2014).

Berdasarkan beberapa pengertian diatas, disimpulkan bahwa walking exercise


merupakan suatu gerakan berjalan dengan mengayunkan tangan sesuai irama
jalan, gerakan bebas dari seluruh tubuh untuk melihat fungsi pergerakan, dan
latihan kesehatan jantung yang sangat baik serta cocok untuk segala tingkatan
umur.

2.1.2 Tujuan Walking Exercise

Walking Exercise memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk memperbaiki daya

guna paru-paru, melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan perasaan tentram,

rileks, kebugaran tubuh dan membantu istirahat tidur lebih baik, serta

meningkatkan kekuatan otot (Kuntaraf, 1996, dalam Dini 2015).

2.1.2.1 memperbaiki daya guna paru-paru

Walking exercise dapat memperbaiki otot pernafasan, sehingga daya

elastisitas paru dapat terjaga. Kondisi tersebut dapat membuka ruang baru yang

dapat digunkaan oleh alveoli dalam pertukaran gas. Proses tersebut dapat

memperbaiki daya guna paru-paru dalam pemenuhan kebutuhan oksigen dari


udara agar dapat digunakan oleh tubuh.

2.1.2.2 melancarkan sirkulasi darah

Walking exercise dapat menyebabkan terbukanya lebih banyak pembuluh

darah, bahkan ketika tubuh teratur melakukan ini, saluran darah tambahan akan

dapat terbentuk di dalam jantung, pembuluh darah koroner akan melebar dan

mengatasi adanya penyumbatan pembuluh darah, sehingga dapat memperlancar

aliran darah. Aliran darah yang lancar menyebabkan jantung tetap mendapatkan

oksigen. Peningkatan oksigen didalam otak akan merangsang peningkatan

sekresi serotonin sehingga membuat tubuh menjadi tenang dan lebih mudah

untuk tidur (Erliana, 2012).

Latihan fisik berjalan kaki termasuk walking exercise dapat membuka arteri,

menambah kelenturan arteri, mendorong peredaran darah balik kaki dan daerah

abdominal, mendorong pembuluh darah kecil di kaki untuk mengarahkan

kembali darah sekeliling arteri yang tersumbat, dan meningkatkan pembakaran

lemak dalam mengurangi low density lipid (LDL) di dalam darah sehingga

jumlah volume darah dan sel darah merah dapat membawa oksigen lebih

banyak untuk dialirkan ke seluruh tubuh dengan lancar (Kuntaraf, 1996, dalam

Dini 2015). Asupan oksigen yang cukup ke jantung akan memperbaiki daya

guna jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh dengan lancar. Perbaikan

fungsi kardiorespirasi seperti aliran darah yang lancar dan perbaikan difusi

oksigen akan menurunkan hipoksia sel yang akan menurunkan gejala sesak

napas.

2.1.2.3 meningkatkan perasaan tentram, rileks, kebugaran tubuh dan

membantu istirahat tidur lebih baik


Perbaikan aliran darah dengan pemenuhan oksigen yang cukup ke otak

dan pengurangan karbondioksida di dalam otak akan mempengaruhi kerja

hipotalamus untuk mengeluarkan hormon beta endorphin dan mengurangi

hormon stress seperti epinefrine dan norepinephrine (Kuntaraf, 1996, dalam

Dini 2015). Hormon endorphin yang dikeluarkan tersebut dapat

menimbulkan rasa nyaman, senang, dan bahagia. Ketika tubuh merasakan

hal tersebut, maka frekuensi gelombang otak akan menurun dan mampu

membantu istirahat tidur menjadi lebih baik (Hartman, 2012).

2.1.2.4 meningkatkan fungsi dan kekuatan otot

Tindakan walking exercise membutuhkan suatu pergerakan tubuh yang

melibatkan sistem gerak berupa tulang dan otot. Dalam tindakan ini akan

dapat meregangkan dan melenturkan otot tubuh yang akan mampu

meningkatkan kekuatan otot (Kuntaraf, 1996, dalam Dini 2015). Pada saat

latihan fisik seperti berjalan kaki akan merangsang saraf simpatis pada otot

untuk mengeluarkan norepinefrin dan epinefrin untuk berikatan dengan

reseptor α sehingga otot berkontraksi. Selain itu saat latihan fisik,

hipotalamus akan menstimulasi kelenjar hipofisis anterior untuk

mengeluarkan zat vasokonstriktor seperti epinefrin dan norepinefrin pada

kelenjar medula adrenal yang akan disirkulasi melalui darah. Vasokontriksi

pada otot perifer pada latihan fisik akan merangsang jantung untuk

mengalirkan darah lebih banyak pada otot untuk mendukung metabolisme

aerobik (Guyton & Hall, 2011).

2.1.3 Efek Walking Exercise

Respon fisiologi berbagai sistem tubuh terhadap latihan tergantung daari


jenis dan itensitas latihan dan keadaan lingkungan (Scoot, 2004 dalam

Made 2017). Menurut Basmajian (2001) terdapat beberapa adaptasi

aerobik yang utama, terjadi pada otot skeletal yang dihasilkan oleh

latihan berjalan kaki :

2.1.3.1 Peningkatan kadar mioglobin

mioglobin merupakan pigmen yang mengikat oksigen dengan

hemoglobin. Mioglobin merupakan tempat persediaan oksigen. Fungsi

minor memperbaiki sistem aerobik. Fungsi pokok adalah menambah

difusi oksigen membran sel ke mitokondria yang digunakan.

2.1.3.2 Peningkatan oksidasi karbohidrat (glikogen)

latihan dapat meningkatkan kapasitas otot skeletal terhadap pemecahan

glikogen pada proses oksidasi dengan hasil ATP. Dengan kata lain

kapasitas otot meghasilkan energi aerobik yang meningkat, dibuktikan

dengan peningkatan tenaga aerobik maksimal (VO2 maks).

2.1.3.3 Perubahan relatif pada serabut otot tipe I dan tipe II

perubahan serabut otot pada latihan kontinyu terjadi teruama pada

serabut tipe I yang mempunyai kapasitas aerobik yang lebih tinggi dari

tipe II.

2.1.4 Teknik Pelaksanaan walking exercise

Teknik pelaksanaan walking exercise terdiri dari tahap persiapan, tahap

kerja, dan tahap evaluasi.

2.1.4.1 Tahap persiapan

Tahap persiapan meliputi persiapan klien, persiapan alat, dan persiapan


lingkungan.

2.1.4.2 Persiapan klien

1. Memberikan salam, memperkenalkan diri


2. Jelaskan maksud dan tujuan tindakan yang akan dilakukan
3. Pastikan klien sudah makan terlebih dahulu 30-60 menit sebelum
latihan
4. Anjurkan klien untuk memakai pakaian yang nyaman dan
menyerap keringat

5. Anjurkan klien untuk memakai alas kaki yang nyaman dipakai

selama latihan

2.1.4.3 Persiapan alat

1. Alat penghitung waktu atau stopwatch

2. Lembar kegiatan walking exercise

2.1.4.4 Persiapan lingkungan

1. Lingkungan yang aman dan tidak banyak kendaraan bermotor.

2. Bila perlu dilakukan di tempat khusus (taman atau lapangan


olahraga).

2.1.4.5 Tahap kerja

Langkah-langkah pada tahap kerja adalah sebagai berikut:

1. Jelaskan manfaat dan tujuan tindakan yang akan dilakukan

2. Tanyakan kesiapan klien sebelum kegiatan dilakukan

3. Lakukan pemanasan/ peregangan otot kepala, tangan, dan kaki

selama 5 menit

4. Lakukan latihan jalan kaki (walking exercise) selama 30 menit

sebanyak 3 kali seminggu


5. Anjurkan klien untuk menjaga posisi tubuh dan mengatur

kecepatan langkahnya (kira-kira 0,89 m/s atau 2 mph) agar merasa

lebih nyaman selama kegiatan

6. Beri waktu isitirahat selama 3 menit jika klien merasa kelelahan

7. Hentikan latihan jika klien merasa pusing dan sesak nafas

8. Lanjutkan latihan kembali dengan sisa waktu yang telah

ditentukan, setelah klien beristirahat atau sudah merasa tenang dan

kondisi klien telah membaik

9. Latihan ditutup setelah pendinginan 5 menit

2.1.3.5 Tahap Evaluasi

Setiap akhir dari pelaksanaan walking exercise ini akan dilakukan

tindakan evaluasi meliputi:

1. Evaluasi tindakan yang sudah dilakukan


2. Berikan reinforcement positif
3. Lakukan penilaian
4. Lakukan kontrak untuk tndakan selanjutnya

2.2 Konsep Gangguan Pola Tidur

2.2.1 Definisi

Tidur merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan

reaksi individu terhadap lingkungan menurun atau hilang dan dapat

dibangunkan kembali dengan stimulus dan sensori yang cukup. Selain

itu tidur juga dikatakan sebagai keadaan tidak sadarkan diri yang

relatif, bukan hanya keadaan penuh ketenangan tanpa kegiatan,

melainkan merupakan sesuatu urutan siklus yang berulang (Wahit

Iqbal Mubarak et al., 2015). Tidur merupakan suatu keadaan yang


berulang-ulang, dimana perubahan status kesadaran yang terjadi

selama periode tertentu (Potter & Perry, 2010)

Gangguan pola tidur merupakan gangguan yang terjadi pada

kualitas dan kuantitas waktu tidur seseorang akibat faktor eksternal

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016).

2.2.2 Fisiologi Tidur

Fisiologi tidur terdiri dari:

2.2.2.1 Irama sirkadian

Irama siklus 24 jam siang-malam disebut irama sirkadian. Irama

sirkadian memengaruhi perilaku dan pola fungsi biologis utama seperti

suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi hormon,

kemampuan sensorik dan suasana hati. Irama sirkadian dipengaruhi

oleh cahaya, suhu, dan faktor eksternal seperti aktivitas sosial dan

rutinitas pekerjaan.

2.2.2.2 Tahapan tidur

Dua fase tidur normal : NREM (pergerakan mata yang tidak

cepat), dan REM (pergerakan mata yang cepat) terdiri dari :

1) Tahap 1 : NREM

Merupakan tingkatan paling dangkal dari tidur. Tahapan ini

berakhir beberapa menit sehingga orang mudah terbangun karena

suara.Merasa telah melamun setelah bangun.

2) Tahap 2 : NREM

Merupakan tidur bersuara. Terjadi relaksasi sehingga untuk bangun


sulit.

Tahap ini berakhir 10-20 menit. Fungsi tubuh menjadi lambat.


3) Tahap 3 : NREM

Menjadi tahap awal tidur yang dalam. Otot – otot menjadi relaks

penuh sehingga sulit untuk dibangunkan dan jarang bergerak. Tanda-

tanda vital menurun namun teratur. Berakhir 15-30 menit.

4) Tahap 4 : NREM

Menjadi tahap tidur mendalam. Individu menjadi sulit

dibangunkan. Jika individu kurang tidur, individu akan

menyeimbangkan porsi tidurnya pada tahap ini. Tanda-tanda vital

menurun secara bermakna. Pada tahap ini terjadi tidur sambil berjalan

dan enuresis. Berakhir dalam waktu 15-30 menit.

5) Tidur REM

Pada tahap ini, individu akan mengalami mimpi. Respon pergerakan

mata yang cepat, fluktuasi jantung dan kecepatan respirasi dan

peningkatan tekanan darah. Terjadi tonus otot skelet penurunan dan

sekresi lambung meningkat. Berakhir dalam waktu 90 menit. Terjadi

penigkatan tidur REM tiap siklus dalam waktu 20 menit (Saryono &

Tri Widianti, 2011).

2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kuantitas Dan Kualitas Tidur

Kualitas dan kuantitas tidur dapat memengaruhi beberapa faktor.

Kualitas tersebut dapat menunjukkan adanya kemampuan individu

untuk tidur dan memperoleh jumlah istirahat sesuai dengan

kebutuhannya. Berikut ini merupakan faktor yang dapat memengaruhi

pemenuhan kebutuhan tidur seseorang, antara lain:

2.2.3.1 Status kesehatan atau penyakit


Seseorang yang kondisi tubuhnya sehat memungkinkan untuk

dapat tidur dengan nyenyak. Sakit dapat memengaruhi kebutuhan tidur

seseorang. Banyak penyakit yang dapat memperbesar kebutuhan tidur,

seperti penyakit yang disebabkan oleh infeksi..

2.2.3.2 Latihan dan kelelahan

Keletihan akibat aktivitas yang tinggi dapat memerlukan lebih

banyak tidur untuk menjaga keseimbangan energi yang telah

dikeluarkan. Hal tersebut terlihat pada seseorang yang telah melakukan

aktivitas dan mencapai kelelahan. Dengan demikian, orang tersebut

akan lebih cepat untuk dapat tidur karena tahap tidur gelombang

lambatnya (NREM) diperpendek. Ibu post SC merasa lelah setelah

melaksanakan persalinan.

2.2.3.3 Lingkungan

Keadaan lingkungan yang aman dan nyaman bagi seseorang dapat

mempercepat proses terjadinya tidur. Sebaliknya, lingkungan yang

tidak aman dan nyaman bagi seseorang dapat menyebabkan hilangnya

ketenangan sehingga memengaruhi proses tidur.

2.2.3.4 Stress emosional

Ansietas dan depresi sering kali mengganggu tidur seseorang.

Kondisi ansietas dapat meningkatkan kadar norepinefrin darah melalui

stimulasi sistem saraf simpatis. Kondisi ini menyebabkan

berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta

seringnya terjaga saat tidur.

2.2.3.5 Obat atau medikasi


Obat – obatan tertentu dapat memengaruhi kualitas tidur

seseorang. Beberapa jenis obat yang dapat menimbulkan gangguan

tidur yaitu sebagai berikut :

1) Diuretik yang dapat menyebabkan insomnia

2) Anti depresan yang dapat menyebabkan supresi pada tidur REM

3) Kafein yang digunakan untuk meningkatkan saraf simpatis

yang dapat menyebabkan seseorang mengalami kesulitan

untuk tidur.

4) Beta bloker dapat menimbulkan insomnia

5) Narkotika dapat menyupresi REM sehingga mudah mengantuk

6) Amfetamin dapat menurunkan tidur REM

2.2.3.6 Nutrisi

Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang cukup dapat mempercepat proses

tidur protein yang tinggi seperti terdapat pada keju, susu, daging, dan

ikan tuna dapat berfungsi untuk mempercepat seseorang untuk tidur,

karena adanya L - Triptofan yang merupakan asam amino dari protein

yang dicerna. Sebaliknya minuman yang mengandung kafein ataupun

alkohol akan mengakibatkan seseorang tidurnya terganggu. Penurunan

berat badan dikaitkan dengan penurunan waktu tidur dan seringnya

terjaga pada malam hari. Sebaliknya, penambahan berat badan

dikaitkan dengan peningkatan total tidur dan dan sedikitnya periode

terjaga di malam hari.

2.2.3.7 Motivasi

Motivasi merupakan suatu dorongan atau keinginan seseorang


untuk tidur, sehingga dapat memengaruhi proses tidur. Selain itu,

adanya keinginan untuk tidur dapat menimbulkan gangguan proses

tidur.

2.2.3.8 Gaya hidup

Kelelahan dapat memengaruhi pola tidur seseorang. Kelelahan

tingkat menengah orang dapat tidur nyenyak. Sementara pada

kelelahan yang berlebihan akan menyebabkan periode tidur REM lebih

pendek.

2.2.3.9 Stimulan dan alkohol

Kafein yang terkandung dalam beberapa minuman dapat

merangsang SSP sehingga dapat mengganggu pola tidur. Sementara

mengonsumsi alkohol yang berlebihan dapat mengganggu siklus tidur

REM.

2.2.3.10 Merokok

Nikotin yang terkandung dalam rokok memiliki efek stimulasi

pada tubuh. Akibatnya yaitu perokok sering kali kesulitan untuk tidur

dan mudah terbangun di malam hari (Saryono & Tri Widianti, 2011).

2.2.4 Penyimpangan Tidur Yang Umum Terjadi

Ada beberapa penyimpangan atau gangguan tidur yang umum

terjadi pada individu antaranya : (Wahid Iqbal Mubarak, Indarawati, &

Santo, 2015).

2.2.4.1 Insomnia

Insomnia adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur,

baik secara kualitas maupun kuantitas. Gangguan tidur ini umumnya


ditemui pada individu dewasa. Penyebabnya bisa karena gangguan

fisik atau karena faktor mental seperti perasaan gundah atau gelisah.

2.2.4.2 Parasomnia

Parasomnia adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau

muncul saat seseorang tidur. Beberapa turunan parasomnia antara lain

sering terjaga seperti tidur berjalan, gangguan transisi bangun tidur

seperti mengigau, parasomnia yng terkait dengan tidur REM seperti

mimpi buruk.

2.2.4.3 Hipersomnia

Hipersomnia adalah kebalikan dari insomnia, yaitu tidur yang

berlebihan terutama pada siang hari. Gangguan ini dapat disebabkan

oleh kondisi medis tertentu, seperti kerusakan system saraf, gangguan

pada hati atau ginjal, atau karena gangguan metabolisme.

2.2.4.4 Narkolepsi

Narkolepsi adalah gelombang kantuk yang tidak bisa tertahankan

yang muncul secara tiba – tiba pada siang hari. Gangguan ini disebut

juga sebagai “serangan tidur” atau sleep attack.

2.2.4.5 Apnea saat tidur

Apnea saat tidur adalah kondisi terhentinya nafas secara periodik pada

saat tidur. Kondisi ini diduga terjadi pada orang yang mengorok dengan

keras, sering terjaga di malam hari, insomnia, mengantuk berlebihan

pada siang hari, sakit kepala di pagi hari, iritabilitas, atau mengalami

perubahan psikologis seperti hipertensi atau aritmia jantung.

2.2.4.6 Sleep walking


Sleep walking adalah perilaku yang dapat mengganggu tidur atau

muncul saat seseorang tidur atau perilaku tidak normal.

2.2.4.7 Sleep apnea

Sleep apnea adalah gangguan tidur dengan kesulitan bernafas.

Ada dua jenis sleep apnea, yaitu sentral dan obstruktif. Orang yang

menderita hal ini biasanya tidak sadar, walaupun setelah bangun.

2.2.4.8 Delayed sleep phase disorder

Orang dengan kondisi ini ditandai dengan kesulitan tidur pada

malam hari, sehingga mengalami kesulitan untuk bangun pagi. Kondisi

ini dianggap normal jika yang mengalaminya sesekali, tetapi jika

mengalaminya hampir setiap pagi maka perlu ada perhatian serius.

2.2.4.9 Somnabolisme

Somnabolisme adalah suatu keadaan perubahan kesadaran,

fenomena tidur – bangun, terjadi pada saat besamaan. Sewaktu tidur,

penderita melakukan aktivitas motorik yang biasa dilakukan seperti

berjalan, berpakaian, atau pergi ke kamar mandi, dan lain-lain. Akhir

kegiatan tersebut kadang penderita terjaga.

2.2.4.10 Mendengkur

Disebabkan oleh adanya rintangan terhadap pengaliran udara di

hidung dan mulut. Amandel yang membengkak dapat menjadi factor

yang turut menyebabkan mendengkur.

2.2.4.11 Nightmare

Biasanya terjadi pada sepertiga awal tidur. Dengan gejala tiba-tiba

bangun tengah malam, menangis dan ketakutan. Hal ini dikarenakan


tidur yang disertai dengan mimpi buruk.

2.2.5 Upaya Pemenuhan Kebutuhan Tidur

Meningkatkan kualitas dan kuantitas memerlukan beberapa upaya

yang meliputi:

2.2.5.1 Melakukan ritual tidur

Sebagian besar orang yang terbiasa untuk melakukan ritual tidur

atau melakukan rutinitas sebelum tidur yang kondusif untuk

kenyamanan dan relaksasi. Aktivitas sebelum tidur yang biasa

dilakukan oleh orang dewasa mencakup berjalan-jalan di malam hari,

mendengarkan musik, menonton televisi dan beribadah. Tidur juga

dapat di dahului dengan rutinitas kebersihan seperti membasuh wajah

dan tangan, menyikat gigi dan berkemih (Kozier, Erb, Berman, &

Snyder, 2010).

2.2.5.2 Meningkatkan kenyamanan dan relaksasi

Kenyamanan sangat penting untuk membuat seseorang tertidur

maupun tetap tidur, terutama jika dampak penyakit seseorang

mempengaruhi tidur. Untuk meningkatkan relaksasi dapat dilakukan

dengan menggunakan gaun tidur yang longgar dan mengatur posisi

yang nyaman serta memastikan lingkungan hangat dan aman sesuai

dengan kebutuhan dari individu (Kozier et al., 2010).

2.2.6 pola dan kebutuhan tidur berdasarkan tingkatan atau usia. Usia

merupakan salah satu faktor penentu lamanya tidur yang

dibutuhkan seseorang. Semakin tua usia, maka semakin pula

lama tidur yang dibutuhkan (Aspiani, 2014)


Tabel 2.1 Pola Tidur Berdasarkan Tingkat Perkembangan/Usia

Tingkat perkembangan/ Usia Pola tidur normal

Bayi baru ahir Tidur sekitar 14-18 jam


sehari,pernafasan teratur,gerak tubuh
sedikit, 50% tidur NREM, banyak waktu
tidurnya dilewatkan pada tahap III dan
IV tidur NREM. Setiap siklus 40-60
menit

Bayi Tidur 12-14 jam sehari, 25% tidur REM,


tidur lebih lama pada malam hari, dan
pola tidur terbangun sebentar

Toddler Tidur sekitar 10-12 jam sehari, 25%


tidur REM, banyak tidur malam hari,
terbangun dini hari berkurang, siklus
bangun tidur
normal sudah menetap pada umur 2-3
tahun

Pra sekolah Tidur sekitar 11 jam sehari, 20% tidur


REM, periode terbangun kedua hilang
pada umur 3 tahun. pada umur 5 tahun
tidur siang tidak ada kecuali kebiasaan
tidur sore hari

Usia sekolah Tidur sekitar jam 10 ja sehari, 18,5%


tidur REM, sisa waktu tidur relatif
konstan

Remaja Tidur sekitar 8,5 jam sehari, dan 20%


tidur pada tahap III dan IV

Dewasa muda Tidur sekitar 7-9 jam sehari, 20-25%


tidur REM, 5-10% tidur tahap I, tidur
tahap II, dan 10-20% tidur tahap III
dan IV

Dewasa pertengahan Tidur sekitar 7 jam sehari, 20% tidur


REM, mungkin mengalami insomnia
dan sulit untuk dapat tidur

Dewasa tua Tidur sekitar 6 jam sehari,20-25%


tidur REM, tidur tahap IV nyata
berkurang kadang-kadang tidak ada.
Mungkin mengalami insomnia dan
sering terbangun sewaktu tidur
malam hari
Kebutuhan tidur padaseseorang, tergantung pada tingkat

perkembangan. Tabel kebuuhan tidur berdasarkan usia (Aspiani,

2014).

Tabel 2.2 Kebutuhan Tidur Manusia

Usia Tingkat perkembangan Jumlah kebutuhan tidur

0-1 bulan Masa neonatal 14-18 jam/ hari


1-18 bulan Masa bayi 12-14 jam / hari
18 bulan- 3 tahan Masa anak 11- 12 jam/ hari
3- 6 tahun Masa prasekolah 11 jam/hari
6-12 tahun Masa sekolah 10 jam/hari
12-18 tahun Masa remaja 8,5 jam/ hari
18-40 tahun Masa dewasa awal 7-8 jam/hari
40-60 tahun Masa paruh baya 7 jam/ hari
60 tahun keatas Masa dewasa tua 6 jam/ hari

2.2.7 Alat Ukur Kualitas Tidur

Pengukuran kualitas tidur dapat berupa kuesioner maupun sleep diary,

nocturnal polysomnography, dan multiple sleep latency test (Hermawati

dalam Indrawati, 2012). Sleep diary merupakan pencatatan aktivitas tidur

sehari-hari, waktu ketika tertidur, aktivitas yang dilakukan dalam 15 menit

setelah bangun, makanan dan minuman, serta obat yang dikonsumsi. PSQI

merupakan instrumen efektif yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur

dan pola tidur. Instrumen PSQI dibuat berdasarkan pengukuran pola tidur

responden dengan rentang tidur satu bulan terakhir. Tujuan pembuatan PSQI

adalah untuk menyediakan standar pengukuran kualitas tidur yang valid dan

terpercaya, membedakan antara tidur yang baik dan tidur yang buruk,
menyediakan indeks yang mudah dipakai oleh subjek dan interpetasi oleh

peneliti, dan digunakan sebagai ringkasan dalam pengkajian gangguan tidur

yang bisa berdampak pada kualitas tidur (Busyee, Reynolds, Monk, et al.,

1989 dalam Dien, M (2017)).

Busyee, Reynolds, Monk, et al. (1989) dalam Dien, M (2017) membedakan

penilaian PSQI menjadi kualitas tidur baik dan buruk yang mencakup 7

ranah, yaitu kualitas tidur subjektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur,

gangguan tidur, penggunaan obat tidur, dan disfungsi tidur di siang hari.

Jawaban dari masing-masing soal memiliki skor 0-3 dan setiap jenis

pertanyaan memiliki cara perhitungan berbeda- beda. Pada akhir penjumlahan

skor dari seluruh pertanyaan dan hasilnya diklasifikasikan menjadi dua

kategori. Jika skor akhir <5 dikategorikan ke dalam kualitas tidur baik dan

jika skor akhir >5 dikategorikan ke dalam tidur buruk.

2.3 Konsep Gangguan Pola Tidur menurut SDKI, SLIKI, dan SIKI

2.3.1 Standar Diagnosis Keperawayan Indonesia (SDKI) denganDiagnosa

Keperawatan Gangguan Pola Tidur

2.3.1.1 Definisi

Gangguan pola tidur merupakan angguan yang terjadi pada kualitas dan

kuantitas waktu tidur seseorang akibat faktor eksternal (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2016).

2.3.1.2 Penyebab Gangguan Pola Tidur

Adapun penyebab yang dapat menyebabkan seseorang mengalami

gangguan pola tidur (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) yaitu :

1. Hambatan lingkungan yang terdiri dari :


a. Kelembaban lingkungan sekitar

b. Suhu lingkungan

c. Pencahayaan

d. Kebisingan

e. Bau yang tidak sedap

2. Jadwal pemantauan atau pemeriksaan atau tindakan

a. Kurang kontrol tidur

b. Kurang privasi

c. Restraint fisik

d. Ketiadaan teman tidur

e. Tidak familiar dengan peralatan tidur

2.3.1.3 Tanda Dan Gejala Gangguan Pola Tidur

Pasien yang mengalami gangguan pola tidur akan biasanya

menunjukkan gejala dan tanda mayor maupun minor seperti berikut

(Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) :

a. Gejala dan tanda mayor

1) Secara subjektif pasien mengeluh sulit tidur, mengeluh sering

terjaga, mengeluh tidak puas tidur, mengeluh pola tidur

berubah, dan mengeluh istirahat tidak cukup.

2) Secara objektif tidak tersedia gejala mayor dari gangguan pola


tidur.

b. Gejala dan tanda minor

1) Secara subjektif pasien mengeluh kemampuan beraktivitas


menurun
2) Secara objektif tidak tersedia gejala minor dari gangguan pola
tidur.

3) Kecemasan

4) Penyakit paru obstruktif kronis

5) Kehamilan

6) Periode pasca partum

7) Kondisi pasca operasi

2.3.2 Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) dengan Diagnosa

Keperawatan Gangguan Pola Tidur

2.3.2.1 Kriteria Hasil (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2019) : Pola Tidur

(L.05045)

Cukup Cukup
Kriteria Menurun Sedang Meningkat
Menurun Meningkat

Keluhan sulit tidur 1 2 3 4 5

Keluhan sering terjaga 1 2 3 4 5

Keluhan tidak puas tidur 1 2 3 4 5

Keluhan pola tidur 1 2 3 4 5

berubah 1 2 3 4 5

Keluhan istirahat tidak cukup


Cukup Cukup
Kriteri Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun

Kemampuan beraktivitas 1 2 3 4 5

2.3.3 Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI) dengan Diagnosa


Keperawatan Gangguan Pola Tidur

2.3.3.1`Intervensi Gangguan Pola Tidur (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2018)

1) Dukungan Tidur (I.05174)

Definisi :

Memfasilitasi siklus tidur dan terjaga yang teratur.

Tindakan :

Observasi
- Identifikasi pola aktivitas dan tidur
- Identifikasi faktor pengganggu tidur (fisik dan/atau psikologis)
- Identifikasi makanan dan minuman yang mengganggu tidur (mis. kopi,
teh, alkohol, makan mendekati waktu tidur, minum air banyak sebelum
tidur)
- Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapeutik
- Modifikasi lingkungan (mis. pencahayaan, kebisingan, suhu, matras, dan
tempat tidur)
- Batasi waktu tidur siang
- Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur untuk meningkatkan kenyamanan (mis. pijat, pengaturan
posisi, terapi akupresur)
- Sesuaikan jadwal pemberian obat dan/atau tindakan untuk menunjang siklus
tidur-terjaga
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur cukup selama sakit
- Anjurkan menepati kebiasaan waktu tidur
- Anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur
- Anjurkan penggunaan obat tidur yang tidak mengandung supresor terhadap
tidur REM
- Ajarkan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap gangguan pola tidur
(mis. psikologis, gaya hidup, sering berubah shift kerja)
- Ajarkan relaksasi otot autogenik atau cara non-farmakologi lainnya
2) Edukasi Aktivitas/Istirahat (I. 12362)

Definisi :
Mengajarkan pengaturan aktivitas dan istirahat
Tindakan :
Observasi
- Identifikasi kesiapan dan kemampuan menerima informasi
Terapeutik
- Sediakan materi dan media pengaturan aktivitas dan isitirahat
- Jadwalkan pemberian pendidikan kesehatan sesuai kesepakatan
- Berikan kesempatan kepada pasien dan keluarga untuk bertanya
Edukasi
- Jelaskan pentingnya melakukan aktivitas fisik/olahraga secara rutin
- Anjurkan terlibat dalam aktivitas kelompok, aktivitas bermain atau aktivitas
lainnya
- Anjurkan menyusun jadwal aktivitas dan isitirahat
- Ajarkan cara mengidentifikasi kebutuhan istirahat (mis. kelelahan, sesak
napas saat aktivitas)
- Ajarkan cara mengidentifikasi target dan jenis aktivitas sesuai kemampuan

2.4 Keterkaitan Walking Exercise Dengan Gangguan Pola Tidur

Dengan bertambahnya usia dari dewasa ke lansia biasanya seseorang

mengalami gangguan pemenuhan tidur .Hal tersebut akan menyebabkan

waktu normal tidur pada klien tersebut berkurang dan klien dapat

mengalami gangguan pada pola tidurnya. Gangguan pola tidur dapat

menyebabkan rangsangan pada sistem saraf simpatik. Aktivasi sistem saraf


simpatik memicu pengeluaran katekolamin, kortisol, sitokin dan substansi

vasoaktif lain (Marthayuli, 2010).

Sistem yang mengatur siklus atau perubahan dalam tidur adalah sistem

aktivasi retikular (SAR) dan bulbar synchronizing regional (BSR) yang

terletak pada batang otak (Potter & Perry, 2012). SAR terletak pada batang

otak teratas yang berperan pada keadaan terjaga dan waspada. Dalam

keadaan sadar, SAR akan melepaskan katekolamin seperti norepineprin

(Potter & Perry, 2012). Sedangkan BSR menghasilkan serum serotonin

yang berperan pada saat seseorang tertidur.

Latihan fisik atau olahraga tertentu dapat bermanfaat untuk

mengatasi gangguan pemenuhan kebutuhan tidur. Latihan fisik yang

teratur berguna untuk mempertahankan dan memperbaiki kesegaran

jasmani dilakukan 1-5 kali dalam seminggu dengan lamanya sekitar

kurang lebih 15 menit (Maryam et al, 2010). Selama latihan fisik,

jumlah oksigen yang memasuki aliran darah paru akan meningkat

karena adanya kenaikan jumlah oksigen yang ditambahkan pada tiap

satuan darah dan bertambahnya aliran darah paru per menit (Ganong,

2013).

Walking exercise merupakan salah satu bentuk latihan fisik

yang juga merupakan olahraga. Hal tersebut dikarenakan walking

exercise memiliki serangkaian gerak yang dilakukan secara sistematis

dan fungsional dalam bentuk latihan low impact. Walking exercise

dapat dikelompokkan dalam jenis olahraga aerobik yaitu jenis

olahraga yang dilakukan dan memerlukan oksigen sebagai sumber


energinya (Hasibuan, 2010). Latihan fisik dapat dilakukan untuk

meningkatkan perasaan tentram, rileks, kebugaran tubuh dan

membantu istirahat tidur lebih baik (Santoso, 2009 dalam Rahmawati,

2013).

Walking exercise memiliki tujuan untuk meningkatkan sirkulasi

darah dapat menyebabkan terbukanya lebih banyak pembuluh darah,

bahkan ketika tubuh teratur melakukan ini, saluran darah tambahan akan

dapat terbentuk di dalam jantung, pembuluh darah koroner akan melebar

dan mengatasi adanya penyumbatan pembuluh darah, sehingga dapat

memperlancar aliran darah. Aliran darah yang lancar menyebabkan

jantung tetap mendapatkan asupan oksigen. Asupan oksigen yang cukup

ke jantung akan memperbaiki daya guna jantung dalam memompa darah

ke seluruh tubuh dengan lancar. Perbaikan fungsi kardiorespirasi seperti

aliran darah yang lancar dan perbaikan difusi oksigen akan menurunkan

hipoksia sel yang akan menurunkan gejala sesak napas. Peningkatan

asupan oksigen didalam otak akan merangsang peningkatan sekresi

serotonin, sehingga membuat tubuh menjadi tenang dan lebih mudah

untuk tidur (Erliana, 2008).

Pengaruh latihan fisik seperti walking exercise yaitu dapat merangsang

hipotalamus untuk menstimulasi kelenjar hipofisis anterior. Kelenjar

hipofisis anterior tersebut berfungsi untuk mencegah adanya infeksi,

memacu terjadinya tidur, memperkuat hubungan seksual, dan memperkuat

mood seseorang (Guyton & Hall, 2010). Selanjutnya terjadi sekresi beta

endorpin oleh hipotalamus akan meningkat. Beta endorphin yang


dihasilkan dapat menimbulkan perasaan rileks, tenang, nyaman, dan

senang. Ketika tubuh merasakan perasaan tersebut, maka frekuensi

gelombang otak akan menurun, stimulus ke SAR menurun, dan sistem

BSR akan naik, sehingga mampu membantu istirahat tidur menjadi lebih

baik dan dapat meningkatkan kualitas tidur seseorang (Hartmann, 2012).

2.5 Konsep Lansia

2.5.1 Definisi Lansia

Proses menua (aging) merupakan sebuah proses alami yang dihadapi

manusia. Dalam proses ini terjadi penurunan sel baik fungsi dan jumlah di

dalam tubuh manusia. Pada usia lansia akan mengalami beberapa

perubahan mulai dari perubahan fisik, fungsi psikologi, dan fungsi sosial

yang saling berinteraksi satu sama lain. (Nugroho, W. 2015).

Menurut Efendi (2012) lanjut usia merupakan keadaan yang ditandai oleh

kegagalan seseorang untuk mempertahankan keseimbangan terhadap

kondisi stres fisiologis. Kegagalan ini berkaitan dengan penurunan daya

kemampuan untuk hidup serta peningkatan kepekaan secara individual.

Menurut UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia disebutkan

bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia lebih dari 60

tahun. Menua bukanlah suatu penyakit, namun merupakan proses

penurunan serta perubahan daya tahan tubuh dalam menghadapi

kehidupan.

Pada lanjut usia akan mengalami perubahan pada tubuhnya yaitu

perubahan fisik, mental, psikososial serta spiritual. Biasanya lansia akan

lebih intensif serta mencoba lebih mendekatkan diri pada Tuhan.


2.5.2 Batasan-Batasan Lansia

2.5.2.1 Batasan umur lansia menurut Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO, 2015), ada empat tahap, yakni :

1. Usia pertengahan (middle age) (45-59 tahun)

2. Lanjut usia (elderly) (60-74 tahun)

3. Lanjut usia muda (old) (75-90 tahun)

4. Usia sangat tua (very old) (diatas 90 tahun)

2.5.2.2 Menurut Dra. Ny Jos Masdani (psikolog dari Universitas Indonesia),

lanjut usia merupakan kelanjutan usia dewasa. Kedewasaan dapat dibagi

menjadi empat bagian, yaitu :

1. Fase iuventus, antara usia 25 sampai 40 tahun

2. Fase verilitas, antara usia 40 sampai 50 tahun

3. Fase praesenium, antara usia 55 sampai 65 tahun

4. Fase senium, antara usia 65 tahun hingga tutup usia

2.5.3 Teori Proses Menua

Teori proses menua menurut Aspiani (2014), ada 3 teori yaitu :

2.5.3.1 Teori biologi

Teori biologis dalam proses menua mengacu pada asumsi bahwa proses

menua merupakan perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi

tubuh selama masa hidup (Zairt,1980). Teori ini lebih menekankan

pada perubahan-perubahan kondisi tingkat struktural sel/organ tubuh,

termasuk didalamnya adalah pengaruh agen patologis.

a.) Teori genetik clock

Teori genetik clock menyatakan bahwa proses menua terjadi akibat


adanya program jam genetik di dalam nuklei. Jam ini akan berputar

dalam jangka waktu tertentu dan jika jam ini sudah habis putaranya

maka akan menyebabkan berhentinya proses mitosis.

b.) Teori eror

Menurut teori ini proses menua diakibatkan oleh menumpuknya

berbagai macam kesalahan sepanjang kehidupan manusia akibat

kesalahan tersebut akan berakibat kesalahan metabolisme yang dapat

mengakibatkan kerusakan sel dan fungsi sel secara perlahan.

c.) Teori autoimun

Pada teori autoimun penuaan dianggap disebabkan oleh adanya

penurunan fungsi sistem imun.

d.) Teori free radical

Teori radikal bebas mengasumsikan bahwa proses menua terjadi

akibat kurang efektifnya fungsi kerja tubuh dan hal itu dipengaruhi

oleh adanya berbagai radikal bebas dalam tubuh.

e.) Teori kolagen

Kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh rusak.

f.) Wear teori biologi

Peningkatan jumlah kolagen dalam jaringan menyebabkan kecepatan

kerusakan jaringan dan melambatnya perbaikan sel jaringan.

2.5.3.2 Teori psikososial

a.)Activity theory (teori aktivitas)

Teori ini menyatakan bahwa seorang individu harus mampu eksis

dan aktif dalam kehidupan sosial untuk mencapai kesuksesan dalam


kehidupan di hari tua (Havigurst&Albrech,1963).

b.) Continuitas theory (teori kontinuitas)

Teori ini memandang bahwa kondisi tua merupakan kondisi yang

selalu terjadi dan secara berkesinambungan yang harus dihadapi oleh

orang lanjut usia. adanya suatu kepribadian berlanjut yang

menyebabkan adanya suatu pola perilaku yang meningkatkan stres.

c.) Disanggement theory

Putusnya hubungan dengan dunia luar seperti dengan masyarakat,

hubungan dengan individu lain

d.) Teori stratisfikasi usia


Karena orang yang digolongkan dalam usia tua akan mempercepat

proses penuaan.

e.) Teori kebutuhan manusia

Orang yang bisa mencapai aktualisasi menurut penelitian 5% dan

tidak semua orang mencapai kebutuhan yang sempurna.

f.) Jung theory

Terdapat tingkatan hidup yang mempunyai tugas dalam

perkembangan kehidupan.

g.) Course of human life theory

Seorang dalam hubungan dengan lingkungan ada tingkat

maksimumnya.

h.) Devlopment task theory

Tiap tingkat kehidupan mempunyai tugas perkembangan sesuai

dengan usianya.

2.5.3.3 Environmental theory(teori lingkungan)


a.) Radiation theory (teori radiasi)

Setiap hari manusia terpapar dengan adanya radiasi baik karena

sinar ultraviolet maupun dalam bentuk gelombang-gelombang

mikro yang telah menumbuk tubuh tanpa terasa yang dapat

mengakibatkan perubahan susunan DNA dalam sel hidup atau

bahkan rusak dan mati.

b.) Stress theory (teori stres)

Stres fisik maupun psikologi dapat mengakibatkan pengeluaran

neurotransmiter tertentu yang dapat mengakibatkan perfusi

jaringan menurun sehingga jaringan mengalami kekurangan

oksigen dan mengalami gangguan metabolisme sel sehingga terjadi

penurunan jumlah cairan dalam sel dan penurunan eksisitas

membran sel.

c.) Pollution theory (teori polusi)

Tercemarnya lingkungan dapat mengakibatkan tubuh mengalami

gangguan pada sistem psikoneuro imunologi yang seterusnya

mempercepat terjadinya proses menua dengan perjalananyang

masih rumit untuk dipelajari.

d.) Exposure theory (teori pemaparan)

Terpaparnya sinar matahari yang mempunyai kemampuan mirip

dengan sinar ultra yang lain mampu mempengaruhi susunan DNA

sehingga proses penuaan atau kematian sel bisa terjadi.

2.5.4 Perubahan-Perubahan Pada Lansia

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia menurut Aspiani


(2014) adalah sebagai berikut :

2.5.4.1 Perubahan fisik

a.) Sel

Lebih sedikit jumlahnya, lebih besar ukuranya, berkurangnya jumlah

cairan tubuh dan berkurangnya cairan intraseluler, jumlah sel otak

menurun, terganggunya mekanisme perbaikan sel, otak menjadi atrofi

beratnya berkurang 5-20%.

b.)Sistem kardiovaskuler

Elastisitas dinding aorta menurun, katup jantung menebal dan menjadi

kaku, kemampuan jantung memompa darah menurun 1% setiap tahun

sesudah berumur 20 tahun, hal ini menyebabkan menurunya kontraksi

dan volumenya, kehilangan elastisitas pembuluh darah, tekanan darah

meninggi diakibatkan oleh meningkatnya resistensi dari pembuluh

darah perifer.

c.) Sistem pernafasan

Otot-otot pernafasan kehilangan kekuatan dan menjadi kaku,

menurunya aktivitas dari silia, paru-paru kehilangan elastisitas.

Alveoli ukuranya melebar dari biasa dan jumlahnya berkurang,

oksigen pada arteri menurun menjadi 75 mmHg, karbondioksida pada

arteri tidak berganti,kemampuan untuk batuk berkurang.

d.)Sistem persyarafan

Berat otak menurun 10-20 % (setiap orang berkurang sel saraf

otaknya dalam setiap harinya), cepatnya menurun hubungan


persyarafan, lambat dalam merespon dan waktu untuk bereaksi

khususnya dengan stres, mengecilnya saraf pancaindera

:berkurangnya penglihatan hilangnya pendengaran.

e.) Sistem gastrointestinal

Kehilangan gigi, indera oengecap menurun, esofagus melebar, asam

lambung menurun, peristaltik melemah dan biasanya timbul

konstipasi.

f.) Sistem genitourinaria

Pada ginjal, nefron mengecil dan menjadi atropi, aliran darah ke

ginjal menurun sampai 50 %. Fungsi tubulus berkurang akibatnya

berkurangnya kemampuan mengonsentrasikan urin. Pada vesika

urinaria (kandung kemih), otot kandung kemih menjadi lemah,

kapasitasnya menurun samapai 200 ml atau menyebabkan frekuensi

urin meningkat, kandung kemih susah di kosongkan pada pria lanjut

usia sehingga mengakibatkan meningkatnya retensi urin.

g.)Sistem endokrin

Produksi dari hampir semua hormon menurun, fungsi paratiroid dan

sekresinya tidak berubah, menurunnya aktivitas tiroid, menurunya

BMR (Basal Metabolic Rate), menurunnya produksi aldosteron,

menurunnya sekresin hormon kelamin (progesteron, estrogen, dan

testosteron).

h.) Sistem pendengaran

Presbikusis (gangguan pada pendengaran), Hilangnya kemampuan

(daya) pendengaran pada telinga dalam terutama pada bunyi suara


atau nada-nada yang tinggi, Membran timpani menjadi atropi

menyebabkan otosklerosis, Terjadinya pengumpulan serumen dan

dapat mengeras karena meningkatnya keratin.

i.) Sistem penglihatan

Sfingter pupil timbul sklerosis dan hilangnya respons terhadap

sinar, Kornea lebih berbentuk sferis (bola), Lensa lebih suram

(kekeruhan pada lensa) menjadi katarak dan menyebabkan

gangguan penglihatan, Hilangnya daya akomodasi, menurunya

lapang pandang, berkurangnya luas pandangannya, Susah melihat

dalam cahaya gelap dan menurunya kemampuan membedakan

warna biru atau hijau pada skala.

j.) Sistem integumen

Kulit mengkerut atau keriput akibat hilangnya jaringan lemak,

permukaan kulit kasar dan bersisik (karena kehilangan proses

keratinisasi serta perubahan ukuran dan bentuk-bentuk sel

epidermis), menurunnya respon terhadap trauma, berkurangnya

elastisitas akibat dari menurunnya cairan dan vaskularisasi,

pertumbuhan kuku lebih lambat, kelenjar keringat berkurang

jumlah dan fungsinya.

k.) Sistem muskuloskeletal

Tulang kehilangan density (cairan) dan makin rapuh dan

osteoporosis, kifosis, persendian membesar dan menjadi kaku,

tendon mengerut dan mengalami sklerosis.

l.) Sistem reproduksi dan seksualitas


Pada wanita terjadi atropi payudara, pada pria testis masih dapat

memproduksi spermatozoa, meskipun adanya penurunan secara

berangsur-angsur.Dorongan seksual menetap sampai usia di atas 70

tahun (dengan kondisi kesehatan baik).Selaput lendir vagina

menurun, permukaan menjadi halus, sekresi menjadi berkurang,

reaksi sifatnya menjadi alkali, dan terjadi perubahan-perubahan

warna.

2.5.4.2 Perubahan psikososial

a.) Pensiun (kehilangan finansial, kehilangan status, kehilangan

keluarga/kerabat, kehilangan pekerjaan/kegiatan)

b.) Merasakan atau sadar akan kematian

c.) Perubahan dalam cara hidup, yaitu memasuki rumah perawatan,

bergerak lebih sempit.

d.) Ekonomi, akibat pemberhentian dari jabatan, meningkatnya biaya

hidup, bertambahnya biaya pengobatan.

e.) Penyakit kronis dan ketidakmampuan

f.) Kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial

g.) Gangguan saraf pancaindera, timbul kebutaan dan ketulian.

h.) Rangkaian dari kehilangan, yaitu kehilangan hubungan dengan

teman-teman dan keluarga.

i.) Hilangnya kekuatan dan ketegapan fisik : perubahan terhadap

gambaran diri, perubahan konsep diri.

2.6 Konsep Teori Model Dorothea E. Orem

2.6.1 Latar Belakang


Dorothea E. Orem lahir tahun 1914, di Baltimore, Maryland. Beliau

meninggal pada tanggal 22 Juni 2007 di Savannah. Pengalaman awal Orem

dibidang keperawatan adalah saat dirinya bekerja sebagai staf keperawatan

dirumah sakit dan di sekolah keperawatan. Providence Hospital Detroit

pada tahun 1940-1949. Setelah meninggalkan Detroit, Orem bekerja di

Badan Kesehatan Negara bagian Indiana pada divisi Rumah sakit dan

Institusi Pelayanan selama 8 tahun. Tugas Orem dilembaga ini adalah untuk

meningkatkan kualitas rumah sakit umum di Negara bagian tersebut. Tugas

itulah kemudian yang membuat Orem mulai mengembangkan definisi

tentang praktik keperawatan (Alligood, 2010). Orem memulai

pengembangan keperawatan dengan memunculkan arti keperawatan dan

mengidentifikasi situasi saat seseorang klien membutuhkan perawat. Orem

kemudian mempunyai kesimpulan bahwa seseorang membutuhkan tindakan

keperawatan saat seseorang tersebut tidak bias merawat dirinya sendiri

(Ladner, 2012). Pada tahun 1971 Orem memunculkan teori Self Care

Deficit Theory of Nursing (SCDIN) dalam buku Nursing Concepts of

Practice.

Teori keperawatan sel care deficit sebagai grand teori keperawatan

terdiri dari tiga teori terkait yaitu teori self care, self care deficit, dan sistem

keperawatan. Teori ini mempunyai beberapa elemen konsep yaitu self care,

ageny/agen, dan keperawaan. Dalam teorinya Orem menetapkan 4 konsep

yang pada akhirnya bersama teori keperawaan yang lain membenuk

metaparadigma keperawatan, yaitu : human being, lingkungan, kesehatan,

dan keperawatan.
2.6.1.1 Human being

Orem memberikan pandangan tentang human being yaitu sebagai

seorang individu, agen, pengguna beberapa simbol tertentu, organisme,

dan sebagai objek. Kemampuan individu untuk bertahan dari kekuatan

alam dapat terjadi karena individu iu sendiri ataupun karena kondisi

lingkungan (Parker, 2011).

2.6.1.2 Lingkungan

Orem meliha lingkungan dalam dua dimensi yang pertama adalah

lingkungan fisik, kimia dan biologi, dan yang kedua adalah lingkungan

social ekonomi. Dimensi yang pertama melihat lingkungan lebih

kepada cuaca, polutan, bakteri, hewan peliharaan, dan sebagainya.

2.6.1.3 Kesehatan

Orem mengartikan kesehatan sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan

social seorang individu, bukan hanya bebas dari penyakit dan

ketidakmampuan.

2.6.1.4 Keperawatan

Orem melihat keperawatan sebagai suatu seni bagaimana seorang

perawat memberikan bantuan pada klien dengan ketidakmampuan.

Keperawatan mencakup tindakan perawat yang ditujukan kepada

individu atau kelompok dengan tujuan mempertahankan atau merubah

kondisi mereka maupun lingkungan.

2.6.2 Pengertian

Model konsep keperawatan Dorothea Orem adalah model konsep self

care deficit dimana fokus pertama dari model konseptual ini adalah
kemampuan seseorang untuk merawat dirinya sendiri secara mandiri

sehingga tercapai kemampuan untuk mempertahankan dan

kesejahteraannya. Model konsep keperawatan Dorothea Orem ini

merupakan suatu landasan bagi perawat dalam memandirikan klien sesuai

tingkat ketergatungan (Muhlisin, A & Irdawati, 2010)

2.6.3 Teori Sistem Keperawatan Orem

Teori ini mengacu kepada bagaimana individu memenuhi kebutuhan dan

menolong keperawatannya sendiri, maka timbullah teori dari Orem tentang

Self Care Deficit of Nursing. Dari teori ini oleh Orem dijabarkan ke dalam

tiga teori yaitu :

2.6.3.1 Self Care

Teori self care ini berisi upaya tuntutan pelayanan diri yang sesuai

dengan kebutuhan. Perawatan diri sendiri adalah suatu langkah awal yang

dilakukan oleh seorang perawat yang berlangsung secara continue sesuai

dengan keadaan dan keberadaannya, keadaan kesehatan dan kesempurnaan.

Perawatan diri sendiri merupakan aktifitas yang praktis dari seseorang

dalam memelihara kesehatannya serta mempertahankan kehidupannya.

Terjadi hubungan antar pembeli self care dengan penerima self care dalam

hubungan terapi. Orem mengemukakan tiga kategori / persyaratan self care

yaitu : persyaratan universal, persyaratan pengembangan dan persyaratan

kesehatan. Penekanan teori self care secara umum :

1.) Pemeliharaan intake udara

2.) Pemeliharaan intake air

3.) Pemeliharaan intake makanan


4.) Mempertahankan hubungan perawatan proses eliminasi dan

eksresi

5.) Pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan isitirahat

6.) Pemeliharaan keseimbangan antara solitude dan interaksi sosial

7.) Pencegahan resiko-resiko untuk hidup, fungsi usia dan

kesehatan manusia

8.) Peningkatan fungsi tubuh dan pengimbangan manusia dalam

kelompok sosial sesuai dengan potensinya

2.6.3.2 Self Care Deficit

Teori ini merupakan inti dari teori perawatan general Orem, yang

menggambarkan kapan keperawatan di perlukan, oleh karena

perencanaan keperawatan pada saat perawatan yang dibutuhkan. Bila

dewasa (pada kasus ketergantungan, orang tua, pengasuh) tidak mampu

atau keterbatasan dalam melakukan self care yang efektif. Teori self

care deficit diterapkan bila :

1.) Anak belum dewasa

2.) Kebutuhan melebihi kemampuan perawatan

3.) Kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi diprediksi

untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan

kemampuan dan peningkatan kebutuhan.

2.6.3.3 Nursing System

Teori yang membahas bagaimana kebutuhan "Self Care" pasien dapat

dipenuhi oleh perawat, pasien atau keduanya. Nursing system

ditentukan / direncanakan berdasarkan kebutuhan "Self Care" dan


kemampuan pasien untuk menjalani aktifitas "Self Care". Orem

mengidentifikasikan klasifikasi Nursing System :

1.) The Wholly Compensatory System

Bantuan secara keseluruhan, dibutuhkan untuk klien yang tidak

mampu mengontrol dan memantau lingkungannya dan berespon

terhadap rangsangan.

2.) The Partly Compensantory System

Bantuan sebagian dibutuhkan bagi klien yang mengalami

keterbatasan gerak sakit atau kecelakaan

3.) The Supportive - Educative System

Dukungan pendidikan dibutuhkan oleh klien yang

memerlukannya untuk dipelajari, agar mampu melakukan

perawatan mandiri.

4.) Metode Bantuan

Perawat membantu klien dengan menggunakan system dan

melalui lima metode bantuan yang meliputi :

a. Acting atau melakukan sesuatu untuk klien

b. Mengajarkan klien

c. Mengarahkan klien

d. Mensupport klien

2.6.4 Keyakinan dan nilai-nilai

Kenyakianan Orem's tentang empat konsep utama keperawatan adalah :

2.6.4.1 Klien : individu atau kelompok yang tidak mampu secara

terus menerus memperthankan self care untuk hidup dan sehat,


pemulihan dari sakit atau trauma atau koping dan efeknya.

2.6.4.2 Sehat : kemampua

tuntutatn self care yang berperan untuk mempertahankan dan

meningkatkan integritas structural fungsi dan perkembangan.

2.6.4.3 Lingkungan : tatanan dimana klien tidak dapat memenuhi

kebutuhan keperluan self care dan perawat termasuk didalamnya

tetapi tidak spesifik.

2.6.4.4 Keperawatan : pelayanan yang dengan sengaja dipilih atau

kegiatan yang dilakukan untuk membantu individu, keluarga dan

kelompok masyarakat dalam mempertahankan self care yang

mencakup integritas struktural, fungsi dan perkembangan.

2.6.5 Tiga kategori self care

Model Orem's menyebutkan ada beberapa kebutuhan self care yang

disebutkan sebagai keperluan self care (self care requisite), yaitu :

2.6.5.1 Universal self care requisite ; keperluan self care universal

dan ada pada setiap manusia dan berkaitan dengan fungsi

kemanusiaan dan proses kehidupan, biasanya mengacu pada

kebutuhan dasar manusia. Universal requisite yang dimaksudkan

adalah :

a) Pemeliaharaan kecukupan intake udara

b) Pemeliharaan kecukupan intake cairan

c) Pemeliaharaan kecukupan makanan

d) Pemeliaharaan keseimabnagn antara aktifitas dan istirahat

e) Mencegah ancaman kehidupan manusia, fungsi


kemanusiaan dan kesejahteraan manusia

f) Persediaan asuhan yang berkaitan dengan proses- proses eliminasi.

g) Meningkatkan fungsi human fungtioning dan perkembangan ke

dalam kelompok sosial sesuai dengan potensi seseorang,

keterbatasan seseorang dan keinginan seseorang untuk menjadi

normal.

2.6.5.2 Developmental self care requisite : terjadi berhubungn dengan

tingkat perkembangn individu dan lingkungan dimana tempat

mereka tinggal yang berkaitan dengan perubahan hidup seseorang

atau tingkat siklus kehidupan.

2.6.5.3 Health deviation self care requisite : timbul karena kesehatan yang

tidak sehat dan merupakan kebutuhan- kebutuhan yang menjadi

nyata karena sakit atau ketidakmampuan yang menginginkan

perubahan dalam perilaku self care.

2.6.6 Tujuan Keperawatan pada Model Orem

Tujuan keperawatan pada model Orem"s secara umum adalah :

2.6.6.1 Menurunkan tuntutan self care pada tingkat dimana klien dapat

memenuhinya, ini berarti menghilangkan self care deficit.

2.6.6.2 Memungkinkan klien meningkatkan kemampuannya untuk

memenuhi tuntutan self care.

2.6.6.3 Memungkinkan orang yang berarti (bermakna) bagi klien untuk

memberikan asuhan dependen jika self care tidak memungkinkan,

oleh karenanya self care deficit apapun dihilangkan.

Jika ketiganya ditas tidak tercapai perawat secara langsung dapat


memenuhi kebutuhan-kebutuhan self care klien. Tujuan

keperawatan pada model Orem's yang diterapkan kedalam praktek

keperawatan keluarga / komunitas adalah :

1.) Menolong klien dalam hal ini keluarga untuk keperawatan

mandiri secara terapeutik

2.) Menolong klien bergerak kearah tidakan-tidakan asuhan

mandiri

3.) Membantu anggota keluarga untuk merawat anggota

keluarganya yang mengalami gangguan secara kompeten.

Dengan demikian maka fokus asuhan keperawatan pada model orem’s

yang diterapkan pada praktek keperawatan keluarga,/ komunitas

adalah :

1.) Aspek interpersonal : hubungan didalam kelurga

2.) Aspek sosial : hubungan keluarga dengan masyarakat


disekitarnya.

3.) Aspek prosedural : melatih ketrampilan dasar keluarga

sehingga mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi

4.) Aspek tehnis : mengajarkan kepada keluarga tentang tehnik

dasar yang dilakukan di rumah, misalnya melakukan

tindakan kompres secara benar.


FRAME : WORK TEORI OREM

SELF
CARE
SELF CARE SELF CARE
AGENCY DEMANDS

SELF CARE
DEFICIT

NURSING
AGENCY

Gambar 2.2 : Struktur Konseptual Dari Teori Self Care


Deficit

2.6.7 proses keperawatan menurut teori orem

proses keperawatan menurut teori orem terdiri dari pengkajian,

diagnose keperawatan, rencana tindakan dengan rasional ilmiah,

implementasi, dan evaluasi.

2.6.7.1 Pengkajian

Pengakajian keperawatan pada conditioning factor, universal self care

requisites, developmental self care requisites, health deviation self care

requisites, therapeutic self care demand nursing agency, self care

deficit, nursing system.

a. Conditioning factor meliputi umur, jenis kelamin, berat badan,


tinggi badan, alamat, pekerjaan.

b. Universal self care requisites meliputi kebutuhan fisiologis dan

psikososial termasuk kebutuhan udara, air, makanan, eleiminasi,

aktifitas istirahat, social dan pencegahan bahaya.

c. Developmental self care requisites meliputi pekerjaan baru,

perubahan struktur tubuh.

d. Health deviation self care requisites berhubungan dengan akibat

terjadinya perubahan struktur normal dan kerusakan integritas

individu untuk melakukan self care akibat suatu injury.

e. Therapeutic self care demand dimana klien akan berusaha

melakukan sesuai kemampuan dalam upaya memenuhi kebutuhan

self care. Seperti klien membutuhkan terapi untuk proses

penyembuhan penyakit.

f. Nursing agency yaitu upaya keperawatan untuk dapat memenuhi

kebutuhan klien, yang dapat dilakukan dengan cara mengenal

kebutuhan dan melatih kemampuan klien.

g. Self care deficit yaitu perawatan diberikan saat berkurangnya

kemampuan klien misalnya saat mengalami keterbatasan dalam

perawatan diri (makan, minum, berpakaian).

h. Nursing system merupakan system pelayanan yang memfasilitasi

pemenuhan kebutuhan self care yang meliputi the woly

compensatory nursing system, the partially compensatory nursing

system, dan the supportive aducative nursing system.

2.6.7.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa keperawatan sesuai dengan self care dan self care deficit

yang dialami oleh klien.

2.6.7.3 Perencanaan

Tujuan dibuat sesuai diagnosa keperawatan, berdasarkan self care

demand dan meningkatkan kemampuan self care.

2.6.7.4 Pelaksanaan

Diarahkan untuk meningkatkan kemampuan self care, memenuhi

kebutuhan self care dan menurunkan self care deficitnya. Teori Orem

mengidentifikasi beberapa metode bantuan :

a. Merumuskan, memberikan dan mengatur bantuan langsung pada

klien dan orang- orang terdekat dalam bantuan keperawatan

b. Membimbing dan mengarahkan

c. Memberi dukungan fisik dan psikologis

d. Memberikan dan mempertahankan lingkungan yang mendukung

perkembangan individu

e. Pendidikan

f. Berespon terhadap permintaan, keinginan dan kebutuhan klien

akan kontak bantuan perawat

g. Kolaborasi, pelimpahan wewenang

h. Melibatkan anggota masyarakat

i. Lingkungan

2.6.7.5 Evaluasi
Menilai efektifitas tindakan perawat dalam meningkatkan kemampuan

self care, memenuhi kebutuhan self care, dan menurunkan self care

deficitnya.

1.) Tahap pertama : pengumpulan data 6 area yaitu :

a. Status kesehatan individu

b. Persepsi dokter tentang kesehatannya sendiri

c. Persepsi individu tentang kesehatannya sendiri

d. Tujuan kesehatan

e. Kebutuhan individu terhadap perawatan diri/self care

f. Kapasitas individu untuk melakukan self care

2.) Tahap kedua

Perawat menentukan tingkat ketergantungan individu, dimana

perawat dapat menentapkan apa yang dilakukan untuk membantu

individu atau klien

3.) Tahap ketiga

melakukan tindakan keperawatan berdasarkan pada komponen

diagnosa keperawatan, selanjutnya melakukan evaluasi tingkat

keberhasilan perawatan.

2.6.8 Kekuatan Dan Kelemahan Teori Orem

Teori orem menyediakan dasar yang komprehensif untuk tindakan

keperawatan. Teori ini dapat digunakan dalam keperawatan professional

pada area pendidikan, tindakan klinis, administrasi, riset, dan sistem

informasi keperawatan. Kekuatan umum yang dimiliki teori ini adalah

aplikasinya untuk pelaksanaan praktek keperawatan ebagai pekerja klinik


baru. Konsep self care, nursing system, dan self care deficit mudah

dipahami oleh mahasiswa keperawatan dan dapat dikembangkan dengan

ilmu pengetahuan dan penelitian.

Kelemahan dari model Orem adalah teori ini berpendapat bahwa

kesehatan bersifat statis, namun dalam kenyataannya kesehatan itu

bersifat dinamis dan selalu berubah. Kesan lain dari model konsep ini

adalah untuk penempatan pasien dalam sistem mencakup kapasitas

individu untuk gerakan fisik.


2.7 Kerangka Teori Model Keperawatan Dorothea Orem

Lansia mengalami Terapi non-farmakologi


gangguan pola tidur

Walking exercise
Psikologis (depresi, gangguan kognitif,
stress, koping), biologis (proses penuaan),
sosial (lingkungan)
Kebiasaan tidur

Gangguan pemenuhan
kebutuhan tidur
Pelepasan serum serotonin di Bulbar
Aynchronizing (BSR)

Energi tersimpan

Perubahan aliran darah

Kebutuhan tidur
terepenuhi

Pelepasan serum serotonin di Bulbar


Aynchronizing Region (BSR)

Gambar 2.3 : Kerangka Teori Model Keperawatan Dorothea Orem


DAFTAR PUSTAKA

Alligood.2010. Nursing Theorists And Their Work Edition (7th Ed).St.Louis, USA
: Mosby Inc.

Amir, N. 2007. Gangguan Tidur Pada Lanjut Usia, Diagnosa Dan Penatalaksanaan

Dalam Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta : PT. Kalbe Farma.

Arikunto, Suharsimi. 2010. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Asmadi. 2012. Teknik Prosedural Keperawatan Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar

Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Budiarto, 2010. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.

Jakarta: EGC.

Cahyono. 2011. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Kualitas Tidur Pada Lansia di Desa

Leyangan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang.

Carpenito, L. J. 2013. Diagnosa Keperawatan: Aplikasi pada Praktek Klinik

(Terjemahan).Edisi 6. Jakarta: EGC

Dien, M. 2017. Hubungan Aktivitas Fisik Dengan Kualitas Tidur Mahsiswa Perantau

Diyogyakarta. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Universitas Negeri Yogyakarta :

Yogyakarta

Dini .D, Flowerenty. 2015.”Pengaruh Therapeutic Exercise Walking Terhadap Kualitas

Tidur Klien Dengan Penyakit PPOK Di Poli Spesialis Paru B Rumah Sakit

Paru Kabupaten Jember” Tidak Diterbitkan. Skripsi. Jember: Program Studi

Ilmu Keperawatan Universitas Jember.

Erliana, Erna. 2012. Perbedaan Tingkat Insomnia Lansia Sebelum dan Sesudah Latihan

Relaksasi Otot Progresif (Progressive Muscle Relaxation) di BPSTW Ciparay

Bandung.
Hartmann, T. 2012. Terapi Jalan Kaki. Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta. Hidayat, A.

2011. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia: Aplikasi Konsep dan Proses

Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayati, & Yuniarti. 2016. Efektifitas Terapi Paliatif Komplementer Terhadap Kualitas

Tidur dan Hidup KDQOL Penderita Penyakit Ginjal Kronis. Yogyakarta:

Laporan Penelitian Unggulan Prodi.

Hindriyastuti, S & Irma, Z. 2018. Hubungan Tingkat Stress Dengan Kualitas Tidur

Lansia di Rw 1 Desa Sambung Kabupaten Kudus. Stikes Cendekia Utama

Kudus. Vol. 6, No. 2.

Ita, R dkk. 2017. Hubungan Kualitas Tidur Dengan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di

Bplu Senja Cerah Provinsi Sulawesi Utara. Program Studi Keperawatan

Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi- Manado. Vol. 5, No. 1.

Khasanah dan Hidayati. 2014. Kualitas Tidur Lansia Balai Rehabilitasi Sosial

“MANDIRI” Semarang. [serial online]. Jurnal Nursing Studies 1:189.

Oktavia, D. N. 2014. “Pengaruh Therapeutic Exercise Walking terhadap Tekanan Darah

(Hipertensi) di Desa Subo Kecamatan Pakusari Kabupaten Jember”. Tidak

Diterbitkan. Skripsi. Jember: Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas

Jember.

Mickey, Stanly. (2012). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta : EGC.

Notoatmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan Jakarta : Pt. Rineka Cipta

Nugroho,H. Wahjudi (2015). Keperawatan gerontik dan geriatric. Edisi 3. Jakarta :EGC

Potter & Perry. (2012). Fundamental Keperawatan. Jakarta : EGC.

Sagala, V. P. 2011. Kualitas Tidur dan Faktor-faktor Gangguan Tidur. Diambil pada 24

Februari 2021 Jam 08.00 WIB, dari http://repository.usu.ac.id/


Smyth, Carole. (2012). The Pittsburgh Sleep Quality Index. The Hartford Institute For

Geriatric Nursing, New York University, diunduh 13 maret 2020, dari

https://consultgeri.org/try-this/general-assesment/issue-6.1.pdf

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar diagnosis keperawatan Indonesia

Definisi dan indikator diagnostik edisi 1. DPP PPNI. Jakarta.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2019. Standar luaran keperawatan Indonesia

Definisi dan kriteria hasil keperawatan edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta.

Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar intervensi keperawatan Indonesia

Definisi dan tindakan keperawatan edisi 1 cetakan II. DPP PPNI. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai