1
beragama tetapi merupakan suatu realitas yang muncul dari kodrat dasariah manusia (state of
nature). Secara umum hendak dikatakan bahwa secara kodrati manusia diciptakan sebagai
‘makhluk yang memberi’. Artinya, kepenuhan hidupnya sebagai manusia akan tercapai apabila
ia memberi – dan bukan mencari atau menerima untuk kepentingan dirinya sendiri. Sudah sejak
lama manusia dijuluki sebagai homo socius, yang artinya ia dipanggil untuk menjadi teman
(socius) yang hadir, memberi, dan ‘ada’ untuk orang lain.
Emmanuel Levinas (1906–1995), seorang filsuf Prancis, menelurkan pemikiran
bagaimana manusia dititahkan untuk memberi. Menurut Levinas, etika (gagasan tentang
perilaku baik dan buruk) hendaknya dibangun dari perjumpaan konkrit dengan ‘wajah yang
lain’. Manusia pada umumnya cenderung menyerap dan menilai segala sesuatu di luar dirinya.
Sikap tersebut oleh Levinas disebut sebagai totality (totalitas). Totalitas dipandang oleh
Levinas sebagai sebuah sikap yang bukan etis, karena bergerak menuju diri sendiri (egosentris)
dan selalu ingin menguasai pihak yang lain.
Untuk mencegah terjadinya sikap totalitas, Levinas menyatakan bahwa pihak yang lain
(the other) sebagai manusia yang memiliki “wajah”. “Wajah” adalah gambaran keseluruhan
diri dari the other dan merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the Infinite). Apabila orang
masuk ke dalam kedalaman “Wajah” maka ia akan ‘tersandera’ oleh “Wajah” dan ia akan
terpanggil untuk bertanggungjawab atas “Wajah”. Ketika hal tersebut terjadi, maka tidak ada
kehendak untuk menguasai, mengeksploitasi, tetapi hanya ada pertanyaan altruis: apa yang bisa
aku (keseluruhan diriku) berikan? Dengan pemahaman inilah orang akan sampai pada
kepenuhan hidupnya sebagai homo socius.
2
berpaling dari ‘wajah’ tersebut dan dengan cara itulah kita bisa keluar dari krisis. Kalau kita
mau menghayati panggilan menjadi manusia Kristiani, realitas ‘wajah’ yang terpampang di
depan kita tersebut juga hendaknya menjadi bagian dari pergulatan imanku dan keterlibatanku.
Hal itu sama ketika kita melihat segala problematika yang terjadi di sekitar, seperti intoleransi,
korupsi, dll., itu juga hendaknya menjadi problematika pergulatan imanku. Pertanyaan iman
yang relevan adalah: apa yang dapat aku berikan untuk ‘wajah’ yang mereka yang terdampak
situasi saat? Ini adalah pertanyaan iman dan tindakan iman. Ada blessing in disguise di tengah
pandemi, di mana kita dipanggil untuk bertanya apakah selama ini aku sudah menjadi manusia
seutuhnya.
Penutup
Menyoal tentang keseluruhan diri – tubuh, kesehatan – dalam kacamata iman adalah
menyoal tentang keterarahan diri kita pada panggilan Tuhan. Panggilan untuk menjadi
sempurna itu tidak pernah terlepas dari penghayatan kita untuk menjadi seorang manusia
Kristiani, yaitu pribadi yang memberi dan bersolidaritas. Dua sikap iman itulah yang
menghantar setiap beriman pada kepenuhan hidup imannya.***