Anda di halaman 1dari 3

MENJADI MANUSIA KRISTIANI HARI INI

Oleh: Rm. Agustinus Ferdian DP


Disiapkan untuk Webinar yang diselenggarakan oleh KMK Unesa, Jumat 18 September
2020, dengan tema ‘Melejit di Era Covid’

Pengantar: Kesehatan Mental di Dalam Alkitab?


Bagi setiap umat beriman, Kitab Suci adalah tuntunan untuk menghayati hidup beriman
dan berperilaku. Kitab Suci memuat pewahyuan dari Allah yang menjadi tuntunan umat
beriman dalam menghayati kehendak Allah di dunia. Bagi umat Katolik, Kitab Suci merupakan
salah satu sumber iman yang merupakan depositum fidei. Artinya, di dalam dan melalui Kitab
Suci, Gereja telah menerima iman selengkapnya dari Yesus Kristus melalui para murid-Nya,
dan diwariskan kepada Gereja. Di samping itu, Gereja juga mengimani Tradisi Suci sebagai
sumber iman yang memuat pewahyuan Allah.
Alkitab, yang berisi Sabda Allah, merupakan tuntunan bagi umat beriman untuk
mencapai kepenuhan hidup iman dan moral. Di dalam Alkitab, ditemukan beberapa
pembahasan dan nasihat tentang salah satu ciri kepenuhan hidup, misanya tentang kesehatan,
baik jasmani maupun rohani. Kesehatan dalam Alkitab juga dituliskan di dalam konteks
teleologis (baca: bertujuan), yaitu kepada kepenuhan hidup Kristiani atau pada panggilan
untuk menjadi sempurna (Bdk. Mat 5:48). Panggilan menjadi sempurna adalah panggilan khas
seorang Kristiani yang perlu senantiasa diperjuangkan dan dimungkinkan oleh karena
pertobatan (metanoia).
St. Paulus juga berbicara bahwa keseluruhan hidup manusia – tubuh, pikiran, dsb. –
hendaknya sebagai “persembahan hidup yang kudus dan yang berkenan kepada Allah karena
itulah ibadat yang sejati” (Bdk. Rm 12:1). Kepenuhan hidup Kristiani atau panggilan untuk
menjadi sempurna dimaknai oleh St. Paulus sebagai keterarahan diri untuk mempersembahkan
hidup bagi Allah dan juga sesama. Keseluruhan hidup manusia menjadi bermakna karena
diarahkan untuk menjadi kurban (sacrifice) dan tanda dari cinta yang altrius, seperti yang
diteladankan oleh Yesus Kristus di salib, itulah yang disebut sebagai panggilan seorang
manusia Kristiani.
Oleh karena itu, ketika kita berbicara tentang berbicara tentang keseluruhan hidup
manusia, tubuh, kesehatan – baik fisik maupun mental – dalam iman Kristiani, hendaknya kita
memperluas perspektif kita dengan aspek panggilan menuju kesempurnaan, sacrifice, dan
altruism, dengan bertanya: bagaimana menghayati panggilan untuk menjadi manusia Kristiani
di tengah situasi kontekstual hari ini?

Tugas hidup manusia: Memberi – sebuah penalaran filosofis


Sebuah penalaran filosofis adalah sebuah dasar yang tepat untuk melihat bagaimana
tugas hidup manusia adalah giving (memberi). Hal tersebut bukanlah monopoli orang

1
beragama tetapi merupakan suatu realitas yang muncul dari kodrat dasariah manusia (state of
nature). Secara umum hendak dikatakan bahwa secara kodrati manusia diciptakan sebagai
‘makhluk yang memberi’. Artinya, kepenuhan hidupnya sebagai manusia akan tercapai apabila
ia memberi – dan bukan mencari atau menerima untuk kepentingan dirinya sendiri. Sudah sejak
lama manusia dijuluki sebagai homo socius, yang artinya ia dipanggil untuk menjadi teman
(socius) yang hadir, memberi, dan ‘ada’ untuk orang lain.
Emmanuel Levinas (1906–1995), seorang filsuf Prancis, menelurkan pemikiran
bagaimana manusia dititahkan untuk memberi. Menurut Levinas, etika (gagasan tentang
perilaku baik dan buruk) hendaknya dibangun dari perjumpaan konkrit dengan ‘wajah yang
lain’. Manusia pada umumnya cenderung menyerap dan menilai segala sesuatu di luar dirinya.
Sikap tersebut oleh Levinas disebut sebagai totality (totalitas). Totalitas dipandang oleh
Levinas sebagai sebuah sikap yang bukan etis, karena bergerak menuju diri sendiri (egosentris)
dan selalu ingin menguasai pihak yang lain.
Untuk mencegah terjadinya sikap totalitas, Levinas menyatakan bahwa pihak yang lain
(the other) sebagai manusia yang memiliki “wajah”. “Wajah” adalah gambaran keseluruhan
diri dari the other dan merupakan jejak dari Yang Tak Terbatas (the Infinite). Apabila orang
masuk ke dalam kedalaman “Wajah” maka ia akan ‘tersandera’ oleh “Wajah” dan ia akan
terpanggil untuk bertanggungjawab atas “Wajah”. Ketika hal tersebut terjadi, maka tidak ada
kehendak untuk menguasai, mengeksploitasi, tetapi hanya ada pertanyaan altruis: apa yang bisa
aku (keseluruhan diriku) berikan? Dengan pemahaman inilah orang akan sampai pada
kepenuhan hidupnya sebagai homo socius.

Merayakan Panggilan menjadi Manusia Kristiani: Solidaritas


Panggilan untuk menjadi manusia Kristiani – untuk memaknai keseluruhan hidup –
perlu dirayakan. Apa artinya? Itu adalah panggilan dari Allah sendiri, yang perlu disyukuri,
dan dihidupi. Menjadi manusia Kristiani itu tidak akan pernah terlepas dari ‘wajah’ yang
dijumpai atau dari situasi yang mengelilingi seorang beriman. Di dalam Gaudium et Spes, salah
satu dokumen Konsili Vatikan II, menyatakan bahwa seorang Kristiani dipanggil untuk masuk
ke dalam suka-duka, harapan, dan kecemasan dunia disekitarnya (Bdk. GS 1). Hal ini secara
jelas menyatakan bahwa kepenuhan hidup manusia Kristiani dicapai ketika ia menghidupi
imannya dalam tindakan memberikan diri pada ‘wajah’. Dan di masa pandemi ini, itu semua
ditemukan kata ‘solidaritas’.
Paus Fransiskus, pada Rabu 2 September 2020, di dalam audiensi tatap muka pertama
setelah pandemi Covid-19, menyatakan bahwa pandemi ini telah membuktikan bahwa kita
saling membutuhkan satu sama lain. Kita semua saling terhubung dan untuk dapat berhasil,
kita harus melakukannya bersama-sama. Bersama atau tidak sama sekali, kita harus
melakukannya bersama-sama dalam solidaritas. Kita adalah satu keluarga umat manusia, kita
hidup di rumah bersama yaitu planet ini. Tidak ada tempat bagi individualism apabila kita mau
hidup setelah pandemi ini. Orang tidak bisa hidup seperti ketika orang-orang di masa lalu
membangun Menara Babel, setiap orang beriman dipanggil untuk turut membangun dunia.
Paus Fransiskus menyadari betul bagaimana dunia diluluh-lantahkan oleh pandemi.
Kita sendiri pun dapat melihat bagaimana dampak pandemi juga begitu hebat dirasakan di
Indonesia. Itulah ‘wajah’ yang terpampang secara telanjang di depan kita. Kita tidak bisa

2
berpaling dari ‘wajah’ tersebut dan dengan cara itulah kita bisa keluar dari krisis. Kalau kita
mau menghayati panggilan menjadi manusia Kristiani, realitas ‘wajah’ yang terpampang di
depan kita tersebut juga hendaknya menjadi bagian dari pergulatan imanku dan keterlibatanku.
Hal itu sama ketika kita melihat segala problematika yang terjadi di sekitar, seperti intoleransi,
korupsi, dll., itu juga hendaknya menjadi problematika pergulatan imanku. Pertanyaan iman
yang relevan adalah: apa yang dapat aku berikan untuk ‘wajah’ yang mereka yang terdampak
situasi saat? Ini adalah pertanyaan iman dan tindakan iman. Ada blessing in disguise di tengah
pandemi, di mana kita dipanggil untuk bertanya apakah selama ini aku sudah menjadi manusia
seutuhnya.

Sharing Pengalaman di RTCS (Relawan Tanggap Covid-19 Surabaya)


Menjawab pertanyaan “apa yang dapat aku berikan untuk ‘wajah’ yang mereka yang
terdampak situasi saat?” tentu bukan perkara mudah. Orang pada umumnya cukup kesulitan
beraktivitas, dan apa pula yang berdiri di atas alasan bahwa ‘aku saja terdampak, bagaimana
aku mau memberi’. Akan tetapi, apabila kita mau menghidupi panggilan sebagai manusia
Kristiani, berarti kita kudu obah, harus berbuat sesuatu. Dalam situasi ini, memikirkan orang
lain dan berbuat untuk orang lain adalah seperti yang diungkapkan oleh Søren Kierkegaard
sebagai leap of faith (lompatan iman).
Solidaritas adalah suatu prinsip umum, bagaimana menghidupinya hendaknya
bersumber dari pemeriksanaan batin dan komitmen bagi setiap orang yang mau menjawab
panggilan sebagai manusia Kristiani. Saya sendiri mengalami bagaimana pergulatan tentang
bagaimana harus menghidupi solidaritas di awal masa-masa pandemi. Pada waktu itu sebelum
ditahbiskan menjadi imam, saya terlibat di RTCS (Relawan Tanggap Covid-19 Surabaya). Di
sana saya nyantrik kepada Rm. Kurdo, Rm. Didik, dan Rm. Louis. Saya terlibat sebagai
relawan bersama dengan teman-teman muda yang berkomitmen. Banyak orang muda yang
kemudian tidak dapat terlibat karena alasan pribadi dan keluarga. Tidak apa. Akan tetapi, saya
melihat orang-orang muda yang memberikan diri, turun ke lapangan, untuk membantu mereka
yang terdampak pandemi.
Di dalam keterlibatan di RTCS saya mengalami sendiri bahwa saya berada di tengah
orang-orang yang tanpa modal, tetapi mau untuk bersolidaritas, membantu yang terdampak.
Saya melihat itu semua sebagai tindakan iman dan lompatan iman. Kita semua juga dipanggil
demikian. Tidak selalu untuk menjadi relawan, tetapi untuk membuat tindakan-tindakan
sederhana sebagai sebuah tindakan imanku, sebuah tindakan solidaritas. Di dalam komitmen
tindakan itulah, kita sedang berjalan di jalan untuk menghayati panggilan sebagai manusia
Kristiani, panggilan untuk terlibat terhadap ‘wajah’ yang ada dihadapanku.

Penutup
Menyoal tentang keseluruhan diri – tubuh, kesehatan – dalam kacamata iman adalah
menyoal tentang keterarahan diri kita pada panggilan Tuhan. Panggilan untuk menjadi
sempurna itu tidak pernah terlepas dari penghayatan kita untuk menjadi seorang manusia
Kristiani, yaitu pribadi yang memberi dan bersolidaritas. Dua sikap iman itulah yang
menghantar setiap beriman pada kepenuhan hidup imannya.***

Anda mungkin juga menyukai