FIQIH MU’AMALAH
DI SUSUN OLEH
DELIMA : T.PAI.1.2019.034
IDRIS : T.PAI.1.2019.
Bangko 29 0ktober
DAPTAR ISI
1.1.Latar Belakang
Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-
kegiatan bisnis.Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-
baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang
dapat memastikan hasilnya seratus persen.Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan
sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal.Faktor ketidakpastian adalah
faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah.
Konsep Bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang
sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek
keadilan.Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio,
2001).Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai
sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar
aspek keadilan.
1.2.Rumusan Masalah
a. Apa itu mudharabah?
b. Apa landasan syariah mudharabah?
c. Bagaimana rukun dan macam mudharabah?
d. Bagaimana syarat dan hukum mudharabah?
1.3.Tujuan Masalah
a. Dapat mengetahui definisi dari mudharabah.
b. Dapat memgetahui landasan syariah-nya.
c. Dapat mengetahui rukun-rukun dan macam-macam-nya.
d. Dapat mengetahui batasan kewenangan-nya.
e. Dapat mengetahui hak seorang mudharib.
f. Dapat mengetahui apa saja yang dapat membatalkan akad mudharabah.
g. Dapat mengetahui konsep-nya dalam konteks modern.
BAB II
PEMBAHASAN
b.Mudharabah Muqoyyadah (terikat)
Disebut juga dengan istilah (Restricted Investment Account) yaitu kerjasama dua
orang atau lebih atau antara shahibul maal selaku investor dengan pengusaha atau mudharib,
investor memberikan batasan tertentu baik dalam hal jenis usaha yang akan dibiayai, jenis
instrumen, resiko, maupun pembatasan lain yang serupa.
pemodal dan pengelola harus mampu melakukan transaksi dan sah
secara hukum keduanya harus mampu bertindak sebagai kafil dan wakil dari masing-
masing pihak.
2. Akad
akad maksudnya adalah kontrak yang berlangsung, akad (kontrak)
dianggap tidak sah jika salah satu pihak menolak syarat-syarat yang di ajukan
dalam penawaran. atau salah satu pihak meninggalkan tempat
berlangsungnya negoisasi kontrak tersebut sebelum kesepakatan
disempurnakan.
Mudharib memiliki beberapa hak dalam akad mudharabah, yakni nafkah (living cost,
biaya hidup) dan keuntungan yang disepakati dalam akad.Ulama berbeda pendapat tentang
hak mudharib atas aset mudharabah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik ketika di
rumah atau dalam perjalanan.
· Menurut Imam Syafii, mudharib tidak berhak mendapatkan nafkah atas kebutuhan
pribadinya dari aset mudharabah, baik di rumah atau dalam perjalanan. Karena, mudharib
kelak akan mendapatkan bagian keuntungan, dan ia tidak berhak mendapatkan manfaat lain
dari akad mudharabah. Nafkah ini bisa jadi sama nominalnya dengan bagian keuntungan, dan
mudharib akan mendapatkan lebih. Jika nafkah ini disyaratkan dalam kontrak, maka akad
mudharabah fasid hukumnya.
· Menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, mudharib hanya berhak mendapatkan nafkah dari
aset mudharabah ketika ia melakukan perjalanan, baik biaya transportasi, makan ataupun
pakaian. Madzhab Hanabalah memberikan keleluasaan, mudharib berhak mendapatkan
nafkah pribadi, baik di rumah atau dalam perjalanan, dan boleh menjadikan syarat dalam
akad.
· Menurut Hanafiyah, mudharib berhak mendapatkan nafkah dari aset mudharabah untuk
memenuhi kegiatan bisnis yang meliputi; makan minum, lauk pauk, pakaian, gaji karyawan,
sewa rumah, listrik, telepon, transportasi, upah cuci pakaian, begitu juga dengan biaya dokter.
Semuanya ini diperlukan demi kelancaran bisnis yang dijalankan. Kadar nafkah ini harus
disesuaikan dengan yang berlaku di khalayak umum.
Biaya yang dikeluarkan oleh mudharib (dalam menjalankan bisnis) akan dikurangkan
dari keuntungan, namun jika tidak ada keuntungan, akan dikurangkan dari aset shahibul maal,
dan dihitung sebagai kerugian. Jika mudharib melakukan perjalanan bisnis dan menetap
selama 15 hari, maka biaya perjalanan bisnis ini diambil dari aset mudharabah. Ketika ia
kembali, jika terdapat sisa biaya perjalanan, harus dikembalikan dan dihitung kembali
sebagai aset mudharabah. Jika mudharib menggunakan biaya pribadi, maka akan menjadi
hutang dan akan dikurangkan dari aset mudharabah.
Selain itu, mudharib juga berhak mendapatkan keuntungan, namun jika bisnis yang
dijalankan tidak mendapatkan keuntungan, mudharib tidak berhak mendapatkan apa-pun.
Keuntungan akan dibagikan, setelah mudharib menyerahkan aset yang diserahkan shahibul
maal (ra‟sul maal) secara utuh, jika masih terdapat kelebihan sebagai keuntungan, akan
dibagi sesuai kesepakatan.
Menurut Hanafiyah, Malikiyah dan Syafiiyah, mudharib berhak mendapatkan bagian
atas hasil bisnis, tanpa harus dihitung dari keuntungan (revenue sharing). Akan tetapi,
mayoritas ulama sepakat, mudharib harus mengembalikan pokok harta shahibul maal, dan ia
tidak berhak mendapatkan bagian sebelumnya menyerahkan modal shahibul maal. Jika masih
terdapat keuntungan, akan dibagi sesuai dengan kesepakatan (profit sharing). (Zuhaili, 1989,
IV, hal. 864-868).
a. Transasksi Perbankan
Fungsi Bank secara garis besar adalah sebagai lembaga intermediasi (intermediary
institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana
tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan.
Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-
transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari
pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa
jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit
sharing).
Konsep teoritis mengenai Bank Islam muncul pertama kali pada tahun 1940-an,
dengan gagasan mengenai perbankan yang berdasarkan bagi hasil. Batasan pengertian prinsip
syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil
(mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual
beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal
berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan
pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa
iqtina).
Namun berkenaan dengan perkembangan dengan kemajuan dan mobilitas masyarakat,
akad-akad ini mengalami evolusi dan inovasi sesuai dengan kemajuan masyarakat.Seperti
kasus kartu kredit (bithaqah al I’timan) menggunakan akad ijarah, kafalah dan qardl.
Transaksi ini tidak hanya menggunakan satu akad tetapi dengan cara menggabungkan
berbagai akad dalam satu pelaksanaan transaksi. Sebab, para pihak tidak dapat memanfaat
transaksi itu jika tidak menggabungkan beberapa akad (muta’adidah/multi akad).Ini
menggunakan akad kafalah dan ijarah atau akad al-qardh dan ijarah. Akad kafalah digunakan
dalam hal ini di mana penerbit kartu adalah penjamin (kafil) bagi pemegang kartu terhadap
merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara pemegang
kartu dengan merchant, dan/atau pencairan tunai dari selain bank atau Anjungan Tunai
Mandiri (ATM) bank penerbit kartu, sedangkan akad al-qardh digunakan pada saat
melakukan penarikan tunai dari bank atau ATM. Adapun fee yang dikenakan kepada
pemegang kartu kredit atas jasa sistem pembayaran dan layanan terhadap pemegang kartu
adalah menggunakan akad ijarah.
b. Transaksi Asuransi
Ada berbagai cara bagaimana manusia menangani risiko terjadinya musibah.Cara
pertama adalah dengan menanggungnya sendiri (risk retention), yang kedua, mengalihkan
risiko ke pihak lain (risk transfer), dan yang ketiga, mengelolanya bersama-sama (risk
sharing). Cara yang ketiga inilah filosofi dan dasar dalam asuransi syariah.Jadi, Risk sharing
inilah sesungguhnya esensi asuransi dalam Islam, di mana di dalamnya diterapkan prinsip-
prinsip kerjasama, proteksi dan saling bertanggungjawab (cooperation, protection, mutual
responsibility).
Sedangkan secara legalitas keislaman, sistem asuransi syariah baru diakui dan
diadopsi oleh ulama dunia pada tahun 1985.Pada tahun ini, Majma al-Fiqh al-Islami
mengadopsi dan mengesahkan takaful sebagai sistem asuransi yang sesuai dengan syariah.
Meskipun sebenarnya, ulama yang pertama membahas tentang asuransi adalah Ibnu Abidin
(1784–1836 M./1252 H.). Ibnu Abidin adalah seorang ulama bermazhab Hanafi, yang
mengawali untuk membahas asuransi dalam karyanya yang popular, yaitu Hasyiyah Ibn
Abidin, Bab Jihad, Fashl Isti’man Al-Kafir dan kitab Raddu al Muhtar ’Ala al Dar al
Mukhtar.
Sebenarnya perbedaan utama antara asuransi syariah dan konvensional terletak pada
tujuan dan landasan operasional.Dari sisi tujuan, asuransi syariah bertujuan saling menolong
(ta’awuni) sedangkan dalam asuransi konvensional tujuannya penggantian (tabaduli).
Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai
pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul
dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan, sehingga perusahaan bebas menentukan
alokasi investasinya.
Adapun asuransi akad tijari adalah model mudharabah dan ta’awun. Secara teknisnya,
mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak di mana pihak pertama
menyediakan 100 persen modal sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Di sini terjadi
pembagian untung rugi antara (shahib al-mal) dan pihak pengelola/perusahaan asuransi
(mudharib). Keuntungan usaha secara mudharabah dibagikan menurut kesepakatan yang
dicatat dalam kontrak, sedangkan apabila terjadi kerugian, ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian tersebut bukan akibat kelalaian pengelola.
Dalam model mudharabah, seluruh peserta bertanggung jawab terhadap musibah yang
dialami peserta lain termasuk untuk membayar beban-beban asuransi lain (biaya reasuransi,
medical expenses, legal fee, dan lainnya). Sedangkan pengelola (operator) hanya bertanggung
jawab terhadap semua pengeluaran yang terkait dengan operasional dan hasil investasi sesuai
dengan kapasitasnya dalam akad mudharabah.
Pasar modal adalah tempat di mana modal diperdagangkan antara pihak yang
memiliki kelebihan modal (investor) dengan orang yang memerlukan modal (issuer) untuk
mengembangkan investasi.Pasar Modal Syariah sendiri mulai diresmikan pada 14 Maret
2003. Dalam kandungan isinya, pasar modal syariah sama dengan pasar modal konvensional,
namun ada beberapa peraturan-peraturan syariah yang harus dipatuhi.
Pasar modal merupakan tonggak penting dalam dunia ekonomi pada saat ini. Banyak
industri dan perusahaan yang menggunakan institusi ini sebagai media untuk menyerap
investasi dan media untuk memperkuat posisi keuangannya. Pasar modal memiliki peran
yang besar dalam sistem ekonomi sebuah negara karena pasar modal menjalankan dua fungsi
secara bersama, yaitu fungsi ekonomi dan fungsi keuangan. Pasar modal dikatakan memiliki
fungsi ekonomi karena pasarnya menyediakan kemudahan yang mempertemukan dua
kepentingan, yaitu pihak yang memiliki kelebihan dana (investor) dan pihak yang
memerlukan dana (issuer). Pasar modal dikatakan memiliki fungsi keuangan, karena
memberikan kemungkinan dan kesempatan memperoleh upah (return) bagi pemilik dana
sesuai dengan karakteristik investasi yang dipilih.
Pelaksanaan transaksi saham harus dilakukan menurut prinsip kehati-hatian serta
tidak melakukan spekulasi dan manipulasi yang di dalamnya mengandung unsur gharar, riba
dan maysir. Para ahli fiqih kontemporer bersepakat bahwa haram hukumnya
memperdagangkan saham di pasar modal dari perusahaan yang bergerak di bidang usaha
yang haram. Misalnya, perusahaan yang bergerak di bidang produksi minuman keras, babi
dan apa saja yang berkaitan dengan babi, jasa keuangan konvensional seperti bank dan
asuransi, industri hiburan yang haram, seperti kasino, perjudian, pelacuran, media porno, dan
sebagainya. Dalil yang mengharamkan jual-beli saham perusahaan seperti ini adalah semua
dalil yang mengharamkan segala aktivitas tersebut.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kerjasama baik dalam Mudharabah adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam
Islam agar kita dapat saling membantu dalam menanggung resiko usaha tentu yang sesuai
dengan syariah. Mudharabah yang termasuk salah satu jenis Kerjasama, yang saat ini
memiliki banyak kendala dalam perkembangannya sehingga shahibul mal/bank enggan
memakai skema kontrak ini. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dapat menjadi satu
keunggulan preferensi individu muslim.
3.2. Saran
Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah agar dapat mengatasi
kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal.
2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih
terperinci.