Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anemia merupakan masalah medis yang sering dijumpai di seluruh dunia
di samping sebagai masalah kesehatan utama masyarakat, terutama di negara
berkembang. Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah
massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa
oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia bukanlah suatu
kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai macam penyakit
dasar (underlying disease). Oleh karena itu dalam diagnosis anemia tidaklah
cukup hanya sampai kepada label anemia tetapi harus dapat ditetapkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut.3
Thalassemia merupakan salah satu penyakit genetic yang sering
menyebabkan anemia. Thalassemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin
(Hb), khsusunya rantai globin, yang diturunkan. Thalassemia merupakan kelainan
genetic terbanyak di dunia. Kelainan ini diturunkan secara resesif menurut hukum
Mendel. Thalassemia merupakan sindrom kelainan yang masuk dalam kelompok
hemoglobinopati, yakni kelainan yang disebabkan oleh gangguan sintesis
hemoglobin akibat mutase didalam atau dekat gen globin. 1,2,6
Data dari World Bank menunjukkan bahwa 7% dari populasi dunia
merupakan pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar 300.000-500.000 bayi
baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan 50.000 hingga 100.000
anak meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah tersebut berasal dari
negara berkembang. Pada populasi Asia Tenggara dilaporkan bahwa frekuensi
karier Hemoglobinopati dan Talasemia adalah 45,5 % dengan 1,34 anak dari 1000
kelahiran terlahir dengan kondisi klinis. Indonesia termasuk salah satu negara
dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi gen (angka
pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari penelitian
epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen thalassemia
beta berkisar 3-10%.1,5

1
Berdasarkan Data Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) dan
Perhimpunan Orang Tua Thalassemia Indonesia (POPTI) tahun 2016, Kasus
thalassemia di Indonesia mengalami peningkatan cukup banyak dari 4.431 kasus
tahun 2011 menjadi 7028 tahun 2015. Menurut data tahun 2016, dari sepuluh
provinsi dengan jumlah kasus thalassemia tertinggi, Sumatera Selatan berada pada
urutan ketujuh dengan jumlah kasus 166. Menurut kelompok umur, thalassemia
tertinggi pada kelompok umur <15 tahun.7
Pengobatan penyakit thalassemia sampai saat ini belum sampai pada
tingkat penyembuhan. Pengobatan utama penyakit ini ialah pemberian transfusi
darah dengan mempertahankan kadar hemoglobin di atas 10 g/dl; tetapi ironisnya
ialah bahwa jumlah zat besi yang tertimbun dalam organ-organ tubuh seperti hati,
jantung, kelenjar endokrin dapat menyebabkan gangguan fungsi pada organ
tersebut. Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan, keterlambatan
pertumbuhan tanda pubertas akibat hormonal, dan lainnya umumnya muncul pada
awal decade kedua, tetapi dengan tatalaksana yang adekuat usia mereka dapat
mencapai decade ketiga bahkan keempat.1,2
Melihat tingginya angka kejadian anemia akibat thalassemia serta
komplikasi yang dapat ditimbulkan. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk
mengangkat penyakit anemia akibat thalassemia menjadi laporan kasus untuk
dipersentasikan dengan harapan dapat memberi manfaat bagi kita semua agar
dapat lebih cepat mengenali gejala awal anemia dan penyebabnya, serta
tatalaksana yang optimal pada pasien thalassemia.

2
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


Nama : An. F
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 8 tahun
Alamat : Ds. Mambang Kecamatan Muara Kelingi
Agama : Islam
MRS : 13 April 2021

2.2 Anamnesis
Dilakukan Allanamnesis dengan ibu penderita pada tanggal 13 April 2021
di IGD.
Keluhan Utama : Pucat
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien An. F datang ke IGD RS AR Bunda Lubuklinggau dengan
keluhan pucat sejak 1 minggu SMRS. Keluhan disertai badan lemas dan
tidak nafsu makan. Keluhan tidak disertai batuk pilek, mual muntah dan
demam. BAK dan BAB seperti biasa. Menurut Ibu pasien, konsentrasi anak
dalam belajar sedikit terganggu dalam 1 minggu terakhir.
Pertama kali pada tahun 2016 pasien datang dengan keluhan lemas
dan tampak pucat, lalu dibawa Ibunya berobat dan dikatakan dokter pasien
mengalami anemia berat dan membutuhkan transfuse darah. Kemudian
setelah 3 bulan kemudian keluhan pasien berulang dan dilakukan transfuse
darah lagi. Pasien sering mudah lelah sehingga aktivitas bermain tidak sama
seperti teman sebayanya. Keluhan muntah darah, BAB darah ataupun BAB
hitam disangkal. Keluhan riwayat sering demam berulang yang naik turun,
riwayat perdarahan seperti mimisan, lebam, ruam, serta bintik kemerahan
yang muncul di kulit disangkal oleh ibu pasien. Menurut Ibu, anak
mengonsumsi lauk-pauk bervariasi seperti daging, ikan, ayam dan nafsu
makan baik. Keluhan berat badan menurun tidak ada. Keluhan adanya

3
benjolan yang tumbuh abnormal di badan tidak ada. Keluhan riwayat diare
lama, BAB keluar cacing disangkal. Keluhan riwayat BAK seperti air
cucian daging, bengkak seluruh tubuh, nyeri saat BAK disangkal. Keluhan
sering nyeri-nyeri sendi ataupun sendi-sendi bengkak disangkal. Pasien
bertempat tinggal di lingkungan perdesaan dan jauh dari tempat kerja
industri pabrik.

Riwayat Penyakit Dahulu :


 Pasien memiliki riwayat sering transfuse darah sejak tahun 2016
 Riwayat sering perdarahan disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit ginjal disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


Riwayat pada anggota keluarga pasien yang pernah mendapat transfuse
berulang tidak ada.
Menurut Ibu pasien, sepupu An. F dari saudara perempuan ayah pernah
mengalami keluhan serupa dan didiagnosis anemia karena kekurangan zat
besi dan mendapatkan transfusi satu kali.
Ibu pasien mengaku di skrining pada tahun 2016 sebagai pembawa sifat
(carrier) thalassemia

Riwayat Sosial-ekonomi :
Menengah

Riwayat Kebiasaan dan Lingkungan :


Pasien merupakan anak yang kurang aktif bermain ataupun
beraktivitas dalam keseharian dirumah. Dirumah anak tinggal bersama 1
saudara perempuan dan kedua orang tua.

4
Riwayat Kehamilan dan Persalinan :
Pasien merupakan anak ke 1 dari 2 bersaudara, lahir secara normal di
bidan. Anak lahir spontan, langsung menangis dengan berat lahir 2.800
gram dan PBL 49 cm. Bayi cukup bulan.

Anamnesis Makanan :
Pasien mendapatkan ASI dari sejak lahir hingga berusia 2 tahun,
dibantu dengan pemberian susu formula saat usia 2 bulan dan makanan
pendamping ASI diberikan saat usia 6 bulan sampai sekarang.

Riwayat Imunisasi :
Baru lahir : Hepatitis BO
1 bulan : BCG dan Polio 1
2 bulan : DPT-HB-Hib1, Polio 2
3 bulan : DPT-HB-Hib2, Polio 3
4 bulan : DPT-HB-Hib3, Polio 4
9 bulan : Campak
Kesan : Imunisasi Dasar Lengkap

Riwayat Tumbuh Kembang:


9 bulan : gigi pertama
3 bulan : tengkurap
6 bulan : duduk dengan berpegangan
8 bulan : belum bisa berdiri, masih duduk tanpa berpegangan
12 bulan : belum bisa berdiri sendiri, masih berpegangan
15 bulan : baru bisa berdiri sendiri
15 bulan : berbicara (baru bisa menyebut 1 kata tidak spesifik)
Kesan : Tumbuh kembang terhambat

5
2.3 Pemeriksaan Fisik
A. Pemeriksaan fisik umum
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Kompos mentis
GCS : 15: E4 M6 V5
Frekuensi Napas : 20 x/menit
Frekuensi Nadi : 90 x/menit, teratur, isi dan tegangan baik
Suhu : 36,7 0C
SpO2 : 99 %
Berat badan : 24 kg
Tinggi badan : 122 cm
Status gizi menurut WHO (z-scores) untuk anak usia 8 tahun:
IMT

IMT = 16,1
IMT menurut umur: berada pada 0 s/d +1 SD (gizi baik)

B. Pemeriksaan Spesifik
1. Kepala
Bentuk : normosefali, simetris, ubun ubun besar datar
Rambut : hitam, tidak mudah dicabut
Mata : lagoftalmus (-/-), palpebra edema (-/-), konjungtiva
anemis(+/+), sklera ikterik(-/-), sekret (-/-), pupil bulat
isokor, diameter 3mm/3mm, refleks cahaya (+/+) normal.
Hidung : dismorfik (-), napas cuping hidung (-), sekret (-/-),
epistaksis (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa mulut dan bibir kering (-)
Telinga : dismorfik (-), cairan (-)
Gigi : karies (-), gusi berdarah (-)
Lidah : atrofi papil (-), hiperemis (-), selaput (-)
Faring : hiperemis (-), edema (-), selaput (-)
Tonsil :simetris, ukuran T1-T1, uvula ditengah, hiperemis (-),

6
edema (-), selaput (-), detritus (-)
2. Leher
Inspeksi : dismorfik (-), benjolan (-), parotitis (-)
Palpasi : pembesaran KGB (-)
3. Thorax
Inspeksi : dismorfik (-), simetris, retraksi tidak ada, iktus kordis
tidak terlihat.
Palpasi : nyeri tekan (-), thrill tidak teraba, stem fremitus normal
4. Paru
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru,
Auskultasi : vesikuler (+) normal, ronkhi (-), wheezing (-)
5. Jantung
Auskultasi : bunyi jantung I dan II normal, irama reguler, murmur (-)
gallop (-)
6. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, dismorfik (-), massa (-), efloresensi primer
dan sekunder (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar teraba 1 jari dibawah arcus
costae, lien teraba schuffner 1
Perkusi : timpani, nyeri ketok (-)
7. Ekstremitas : Akral hangat (+) , CRT <2 detik
8. Status neurologis: dalam batas normal

2.4 Pemeriksaan Penunjang


Hasil Laboratorium (13 April 2021)
Hematologi Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 9,7 g/dl 11,5 – 15,5 g/dl


Leukosit 10.100/ul 5.000-10.000/ ul
Trombosit 482.000/ul 150.000-450.000/ ul
Hematokrit 28% 35-45%
Eritrosit 4,0 4,0-5,2
MCV 63 77-95

7
MCH 22 26-34
MCHC 34 32-36
Hitung jenis :
- Basofil 1 0-1%
- Eosinofil 4 0-4%
- Segmen 50 40-70%
- Limfosit 40 30-45%
- Monosit 5 2-10%
CRP <5 <5 mg/l

Hasil Laboratorium (28 November 2016)


Hematologi Hasil Nilai Normal

Hemoglobin 9,5 g/dl 11,5 – 15,5 g/dl


Leukosit 14.600/ul 5.000-10.000/ ul
Trombosit 585.000/ul 150.000-450.000/ ul
Hematokrit 21% 35-45%
Eritrosit 2,87 4,0-5,2
MCV 73,5 77-95
MCH 33 26-34
MCHC 45 32-36
Hitung jenis :
- Basofil 0 0-1%
- Eosinofil 5 0-4%
- Segmen 51 40-70%
- Limfosit 37 30-45%
- Monosit 7 2-10%
Retikulosit 2,3 0,5-1,5%

Kimia Klinik Hasil Nilai Normal

Besi (Fe/iron) 106 61-157 µg/dl


TIBC 364 112-346 µg/dl

Imunoserologi Hasil Nilai Normal

Ferritin 81,07 13-400 ng/dl

Hasil pemeriksaan laboratorium gambaran darah tepi (28 November 2016)

8
Eritrosit : mikrositik, hipokrom, anisopoikilositosis (tear drops, target cell,
mikrosit, fragmentosit, cigar shape)
Leukosit : jumlah meningkat, morfologi normal
Kesan : anemia mikrositik hipokrom
Hasil pemeriksaan laboratorium Elektroforesis Hb (HPLC) (28 November
2016)
Hb F : 4,0%
HbA2 : 70,9%
Kesan : badan inklusi tidak ditemukan, HbF meningkat, HbA2 meningkat
Kesimpulan : kemungkinan Thalassemia beta-HbE

2.5 Diagnosis Banding


 Anemia et causa Thalassemia beta
 Anemia akibat penyakit kronik
 Anemia Aplastik

2.6 Diagnosis Kerja


Anemia et causa Thalassemia beta

2.7 Penatalaksanaan di IGD


IVFD NaCL gtt XX/menit transfusi set
Rencana transfuse PRC 250 cc
Ahli Rawat dr. Liveana Sugono, Sp.A, M.Kes

2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam

2.9 Follow Up

9
Tanggal Pemeriksaan Tindakan

14 April S: badan lemas dan pucat, - IVFD NaCL 0,9% gtt


2021 demam(-), batuk pilek (-), sesak (-) XX/menit transfuse
O: KU: Tampak sakit sedang set
Sens : Compos mentis - Transfusi PRC 1x250
N : 88 x/menit cc
RR : 282x/menit - Inj. Furosemid
T : 36,4ºC 1x20mg/IV post
Kepala: transfuse
Konjungtiva anemis (+/+), sklera - Inj. Dexamethasone
ikterik (-/-) 1x5mg/IV
Leher : - Mucera 3x1 cth/PO
Pembesaran KGB (-) - Sanmol 4x1 cth/PO
Thoraks :
Simetris, retraksi (-), vesikuler
(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-),
Bunyi jantung 1/ bunyi jantung 2
(+) normal , murmur (-) , gallop (-)
Abdomen :
Datar, lemas, BU (+), hepar teraba
1 jari dibawah arcus costae, lien
teraba scuffner 1, nyeri tekan (-)

Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2”
A: Anemia et causa Thalassemia
beta
15 April S: Lemas berkurang, pucat Pasien diperbolehkan
2021 berkurang, BAB dan BAK seperti pulang
biasa. Obat pulang:
O : KU: Tampak sakit ringan Mucera 3x1 cth/PO
Sens : Compos mentis Sanmol 4x1 cth/PO

10
N : 93 x/menit
T : 36,8ºC Obat rutin:
RR : 22 x/menit Exjade 1x500 mg
Kepala:
Konjungtiva anemis (-/-), sklera
ikterik (-/-)
Leher :
Pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Simetris, retraksi (-), vesikuler
(+/+), ronkhi (-/-), wheezing (-/-),
Bunyi jantung 1/ bunyi jantung 2
(+) normal , murmur (-) , gallop (-)
Abdomen :
Datar, lemas, BU (+), hepar teraba
1 jari dibawah arcus costae, lien
teraba scuffner 1, nyeri tekan (-)
Ekstremitas :
Akral hangat, CRT < 2”

Pemeriksaan hematologi ulang:


Hemoglobin: 11,8 g/dl
Leukosit: 9800 µL
Eritrosit: 5,4
Trombosit: 506.000
Hematocrit: 36%
MCV: 66
MCH: 22
MCHC: 33
A: Anemia et causa Thalassemia
beta

11
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sistem Hematologi


Darah membentuk sekitar 8 % dari berat tubuh total dan memiliki
volume rata-rata 5 liter pada wanita dan 5,5 liter pada pria. Darah terdiri dari
sekitar 45 % komponen sel dan 55 % plasma. Komponen sel tersebut adalah
sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit) dan trombosit (platelet).
Sel darah merah berjumlah 99 % dari total komponen sel; sisanya 1 % sel
darah putih dan platelet. Plasma terdiri dari air 90 % dan 10 % sisanya dari
protein plasma, elektrolit, gas terlarut, berbagai produk sisa metabolisme,

12
nutrien, vitamin dan kolesterol. Protein plasma terdiri dari albumin, globulin
dan fibrinogen. Albumin merupakan protein plasma yang paling banyak
membantu mempertahankan tekanan osmotik plasma dan volume darah.
Globulin mengikat hormon yang tidak larut dan sisa plasma lainnya agar larut.
Proses ini memungkinkan zat-zat penting terangkut di dalam darah dari tempat
asalnya dibuat ke tempat zat-zat tersebut bekerja. Sebagai contoh, zat-zat yang
dibawa berikatan dengan protein plasma termasuk hormon tiroid, besi,
fosfolipid, bilirubin, hormon steroid dan kolesterol. Protein globulin lainnya
yaitu imunoglobulin adalah antibodi yang ada di dalam darah untuk melawan
infeksi. Fibrinogen merupakan komponen penting dalam proses pembekuan
darah.8,9

Gambar 1. Komposisi Darah

Tabel 1. Konstituen Darah dan Fungsinya8


Konstituen Fungsi
1. Plasma
a. Air Medium transpor; membawa panas.
b. Elektrolit Eksitabilitas membran; distribusi
osmotik cairan antara CES dan CIS;
menyangga perubahan pH.
c. Nutrien, zat sisa, gas, hormon Diangkut dalam darah; gas O2 darah
berperan dalam keseimbangan asam-
d. Protein Plasma basa.
Secara umum, menghasilkan efek
osmotik yang penting dalam distribusi
CES antara komprtemen vaskuler dan
1) Albumin interstisium; menyangga perubahan pH.
Mengangkut banyak bahan; berperan

13
paling besar dalam menentukan tekanan
2) Globulin osmotik plasma.
 Alfa dan beta Mengangkut banyak bahan tak larut air,
faktor pembekuan; molekul precursor
 Gama inaktif.
3) Fibrinogen Antibodi.
Prekursor inaktif untuk jalinan fibrin
pada pembekuan darah.
2. Elemen Seluler
a. Eritrosit Mengangkut O2 dan CO2
b. Leukosit
1) Neutrofil Fagosit yang menelan bakteri dan
2) Eosinofil debris.
Menyerang cacing parasitik; penting
3) Basofil dalam reaksi alergi.
Mengeluarkan histamin, yang penting
dalam reaksi alergik dan heparin yang
membantu membersihkan lemak dari
4) Monosit darah.
5) Limfosit Dalam transit menjadi makrofag
 Limfosit B jaringan.
 Limfosit T
c. Trombosit Menghasilkan antibody.
Respon imun seluler.
Hemostasis.

3.1.1 Hematopoesis
Hematopoiesis merupakan proses produksi (mengganti sel yang mati) dan
perkembangan sel darah dari sel induk / asal / stem sel, dimana terjadi proliferasi,
maturasi dan diferensiasi sel yang terjadi secara serentak. Proliferasi sel
menyebabkan peningkatan atau pelipat gandaan jumlah sel, dari satu sel
hematopoietik pluripotent menghasilkan sejumlah sel darah. Maturasi merupakan
proses pematangan sel darah, sedangkan diferensiasi menyebabkan beberapa sel
darah yang terbentuk memiliki sifat khusus yang berbeda-beda. Hemopoesis
adalah proses pembuatan darah. Sebagaimana darah terbagi atas:
- Bagian yang terbentuk (formed elements). Terdiri atas sel-sel darah merah
(eritrosit), sel-sel darah putih (leukosit) dan keping-keping darah (trombosit)
yang bentuknya dapat dilihat dengan mikroskop.

14
- Bagian yang tidak terbentuk. Plasma yang terdiri atas molekul-molekul
air, protein, lemak, karbohidrat, vitamin, enzim dan sebagainya; yang larut
dalam plasma.
Tempat terjadinya hematopoiesis pada manusia :
1) Embrio dan Fetus
a) Stadium Mesoblastik, Minggu ke 3-6 s/d 3-4 bulan kehamilan : Sel-sel
mesenchym di yolk sac. Minggu ke 6 kehamilan produksi menurun
diganti organ-organ lain.
b) Stadium Hepatik, Minggu ke 6 s/d 5-10 bulan kehamilan : Menurun
dalam waktu relatif singkat. Terjadi di Limpa, hati, kelenjar limfe.
c) Stadium Mieloid, Bulan ke 6 kehamilan sampai dengan lahir,
pembentukan di sumsum tulang : Eritrosit, leukosit, megakariosit.
2) Bayi sampai dengan dewasa
Hematopoiesis terjadi pada sumsum tulang, normal tidak diproduksi di
hepar dan limpa, keadaan abnormal dibantu organ lain.
a) Hematopoiesis Meduler (N)
Lahir sampai dengan 20 tahun : sel sel darah → sumsum tulang. Lebih
dari 20 tahun : corpus tulang panjang berangsur –angsur diganti oleh
jaringan lemak karena produksi menurun.

b) Hematopoiesis Ekstrameduler (AbN)


Dapat terjadi pada keadaan tertentu, misal: Eritroblastosis foetalis,
An.Peniciosa, Thallasemia, An.Sickle sel, Spherositosis herediter,
Leukemia. Organ –organ Ekstrameduler: Limpa, hati, kelenjar adrenal,
tulang rawan, ginjal, dll. 8,9

3.1.2 Struktur Hemoglobin


Hemoglobin adalah molekul protein tetrameric terdiri dari protoporphyrin
dan besi, yang ditemukan di eritrosit (sel darah merah) semua vertebrata. Protein
hemoglobin A berbentuk globuler, terdiri dari dua rantai α globin dan 2 rantai β
globin. Molekul α 2 β 2 inilah yang menyusun hemoglobin individu dewasa. Tiap-
tiap subunit (alpha dan beta) mengandung grup heme, dengan satu atom besi
untuk melekatnya oksigen atau ligand yang lain secara reversibel. Hemoglobin

15
berperan dalam proses respiratori, yaitu sebagai transport oksigen (O2) dari paru-
paru ke jaringan-jaringan tubuh dan membawa kembali karbondioksida.
Hemoglobin juga berinteraksi dengan gas lain, yaitu karbonmonoksida (CO) dan
nitric oksida (NO), yang memiliki peran biologis. Pada orang dewasa yang sehat,
95% hemoglobin adalah HbA (α 2 β 2) dengan sejumlah kecil (3,5%) merupakan
HbA2 (α 2 δ 2) dan HbF (α 2 γ 2). Pada sel diploid terdapat empat gen α dan dua
gen β atau β-like (δ,ɣ). Rantai α dan β terdiri dari 141 dan 146 asam amino.
Meskipun demikian, terdapat kesamaan sekuen diantara kedua rantai tersebut (64
asam amino pada posisi yang identik), dan rantai β berbeda dari rantai δ, ɣ pada
39 dan 10 asam aminonya.10

Gambar 2. Molekul hemoglobin (Hb) A. Hemoglobin A terdiri dari dua rantai alpha dan
dua rantai beta (α 2 β 2), dengan struktur besi tempat melekatnya oksigen

3.2 Anemia
Anemia secara fungsional didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa
eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen
dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer. Anemia hanyalah suatu kumpulan
gejala yang disebabkan oleh bermacam penyebab. Pada dasarnya anemia
disebabkan oleh karena:3
1) Gangguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
- Anemia defisiensi besi
- Anemia defisiensi asam folat

16
- Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan besi
- Anemia akibat penyakit kronik
- Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
- Anemia aplastic
- Anemia pada keganasan hematologi
- Anemia akibat kekurangan eritropoietin pada gagal ginjal kronik
2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan).
- Anemia pasca perdarahan akut
- Anemia akibat perdarahan kronik

3) Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolysis).


a. Anemia hemolitik intrakospular
- Gangguan enzim eritrosit (defisiensi G6PD)
- Thalassemia
b. Anemia hemolitik ekstrakospular
- Anemia hemolitik autoimun
- Anemia hemolitik mikroangiopatik

Adapun kriteria anemia menurut WHO dapat dilihat pada tabel


dibawah.17
Tabel 1. Kriteria Anemia Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin
Populasi Hb Normal Anemia (gr/dl)
Ringan Sedang Berat
(gr/dl)
- Anak 6 – 59 bulan ≥11 10-10,9 7-9,9 <7
- Anak 5 – 11 tahun ≥11,5 11-11,4 8-10,9 <8
- Anak 12 – 14 tahun ≥12 11-11,9 8-10,9 <8
- Wanita dewasa tidak ≥12 11-11,9 8-10,9 <8
hamil ≥11 10-10,9 7-9,9 <7
- Wanita hamil ≥13 11-12,9 8-10,9 <8
- Laki-laki dewasa

17
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologis dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan: 3
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCh <27 pg
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Anemia makrositer, bila MCV >95 fl

Tabel 2. Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi


Hipokromik Mikrositer Normokromik Normositer Makrositer
- Anemia defisiensi - Anemia pasca - Anemia
besi perdarahan akut defisiensi asam folat
- Thalassemia - Anemia aplastic - Anemia
- Anemia akibat - Anemia hemolitik defisiensi vitamin
penyakit kronik - Anemia akibat penyakit B12
- Anemia sideroblastik kronik - Anemia pada
- Anemia pada gagal hipotiroidisme
ginjal kronik
- Anemia pada keganasan

3.2.1 Gejala Anemia


Gejala anemia dapat digolongkan menjadi tiga jenis gejala, yaitu: 3
1. Gejala umum anemia.
Gejala umum anemia (sindrom anemia) adalah gejala yang timbul
pada setiap kasus anemia, apapun penyebabnya, apabila kadar hemoglobin
turun dibawah nilai tertentu. Gejala umum anemia ini timbul karena 1)
Anoksia organ; 2) Mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya
daya angkut oksigen. Gejala umum anemia menjadi jelas (anemia
simptomatik) apabila kadar hemoglobin telah turun di bawah 7 g/dl. Berat
ringannya gejala umum anemia tergantung pada: a) Derajat penurunan

18
hemoglobin; b) Kecepatan penurunan hemoglobin; c) Usia; d) Adanya
kelainan jantung atau paru sebelumnya. Sindrom anemia terdiri dari rasa
lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus), mata berkunang-
kunang, kaki terasa dingin, sesak napas dan dyspepsia. Pada pemeriksaan
pasien tampak pucat, yang mudah dilihat pada konjungtiva, mukosa mulut,
telapak tangan dan jaringan dibawah kuku.

2. Gejala khas masing-masing anemia


Gejala ini spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
- Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis,
dan kuku sendok (koilonychias)
- Anemia megaloblastic: glossitis, gangguan neurologic pada defisiensi
vitamin B12
- Anemia hemolitik: icterus, splenomegaly dan hepatomegaly
- Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi
3. Gejala penyakit dasar
Gejala yang timbul akibat penyakit dasar yang menyebabkan anemia
sangat bervariasi tergantung dari penyebab anemia tersebut. Misalnya
gejala akibat infeksi cacing tambang: sakit perut, pembengkakan parotis
dan warna kuning pada telapak tangan. Pada kasus tertentu sering gejala
penyakit dasar lebih dominan, seperti misalnya pada anemia akibat
penyakit kronik oleh karena artritis rheumatoid.

3.2.2 Pendekatan Diagnosis Anemia


Berdasarkan awitan anemia, kita dapat menduga jenis anemia tersebut.
Anemia yang timbul cepat (dalam beberapa hari sampai minggu) biasanya
disebabkan oleh: 3
1) Perdarahan akut
2) Anemia hemolitik yang didapat seperti pada AIHA terjadi penurunan
Hb >1g/dl per minggu. Anemia hemolitik intravascular juga sering

19
terjadi dengan cepat, seperti misalnya akibat salah transfuse atau
episode hemolysis pada anemia akibat defisiensi G6PD
3) Anemia yang timbul akibat leukemia akut
4) Kriris aplastik pada anemia hemolitik kronik
Anemia yang timbul secara lambat biasanya disebebkan oleh: 1) Anemia
defisiensi besi; 2) Anemia defisiensi folat atau vitamin B12; 3) Anemia akibat
penyakit kronik; 4) Anemia hemolitik kronik yang bersifat kongenital.
Derajat anemia dapat dipakai sebagai petunjuk ke arah etiologi. Anemia
berat biasanya disebabkan oleh: 1) anemia defisiensi besi; 2) anemia aplastik; 3)
anemia pada leukemia akut; 4) anemia hemolitik didapat atau kongenital seperti
misalnya pada thalassemia mayor; 5) anemia pasca perdarahan akut; 6) anemia
pada gagal ginjal kronik stadium terminal.3

3.3 Thalassemia
3.3.1 Definisi
Thalassemia merupakan penyakit hemolitik herediter yang disebabkan
oleh gangguan sintesis hemoglobin di dalam sel darah merah. Penyakit ini
ditandai dengan menurunnya atau tidak adanya sintesis salah satu rantai α, β, dan
atau rantai globin lain yang membentuk struktur normal molekul hemoglobin
utama pada orang dewasa. Thalassemia merupakan salah satu penyakit yang
mengenai system hematologi dan seringkali dibahas bersamaan dengan rumpun
Hemoglobinopati. Hemoglobinopati sendiri adalah kelainan struktur hemoglobin
yang dapat mempengaruhi fungsi dan kelangsungan hidup sel darah merah.
Secara ringkas dapat disampaikan bahwa thalassemia terkait dengan kelainan
jumlah penyusun hemoglobin, sedangkan hemoglobinopati adalah kondisi yang
terkait dengan perubahan struktur hemoglobin. Dua abnormalitas ini
menyebabkan kondisi klinis anemia kronis dengan semua gejala dan tanda klinis,
serta komplikasi yang menyertainya.5
Penyakit hemoglobin E (HbE) merupakan hemoglobinopati struktural
yang paling sering di jumpai di Asia Tenggara. Hemoglobin E terjadi karena
perubahan asam amino rantai beta yaitu asam amino glutamin di urutan ke-26
diganti oleh lisin (α2β226 Glu-Lys). Bentuk homozigot akan menimbulkan

20
anemia ringan sampai sedang, hipokromik mikrositer, dengan MCV rendah (60-
70 fl). Bentuk heterozigot sering bersifat tanpa gejala. Bentuk heterozigot ganda
dengan talasemia sering dijumpai berupa penyakit thalasemia βHbE yang
memberi manifestasi klinis dan hematologis sangat mirip dengan talasemia β
homozigot.3,6

3.3.2 Klasifikasi Thalassemia


Klasifikasi Thalassemia secara genetic didasarkan pada kelainan subunit
rantai globin yang terkena yaitu:6
1) Thalassemia-α (gangguan pembentukan rantai α)
2) Thalassemia-β (gangguan pembentukan rantai β)
3) Thalassemia-β-δ (gangguan pembentukan rantai β dan δ yang letak gen-
nya diduga berdekatan)
4) Thalassemia-δ (gangguan pembentukan rantai δ)

Berdasarkan kriteria gejala dan tanda klinis, onset awitan dan kebutuhan
transfusi, thalassemia terbagi atas tiga yaitu: 5,10,12
1. Thalassemia mayor, seringkali disebut sebagai anemia Cooley (Cooley’s
anemia) atau anemia mediterania, umumnya memiliki genotip homozigot.
Keadaan ini menimbulkan salah satu dari dua sindrom; 1) ditandai dengan
anemia berat biasanya timbul antara bulan kedua dan keduabelas dari
kehidupan (thalassemia beta mayor) dan 2) ditandai dengan anemia
moderat yang timbul setelah usia 1-2 tahun (thalassemia beta intermedia).
Anemia berat ini disebabkan karena kekurangan HbA (α2β2).
Ketidakmampuan untuk memproduksi rantai β menyebabkan rantai α yang
berlebihan pada tahap awal dan akhir dari eritroblas polikromatik. Rantai α
mengendap dalam sel dan mengakibatkan timbulnya gangguan terhadap
berbagai fungsi sel, serta terjadi fagositosis dan degradasi dari sebagaian
eritroblas yang mengandung endapan tersebut oleh makrofag sumsum
tulang. Perjalanan penyakit thalassemia mayor biasanya singkat karena

21
bila penderita tidak didukung dengan transfusi, kematian terjadi pada usia
dini akibat anemia yang berat. Transfuse darah memperbaiki anemia dan
juga menekan gejala sekunder (deformitas tulang) karena eritropoiesis
berlebihan. Penderita yang sering ditransfusi akan mengalami gagal
jantung akibat kelebihan besi yang progresif, dan hemokromatosis
sekunder merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang penting.
2. Thalassemia intermedia dengan genotip homozigot atau compound
heterozygote. Onset awitan dari thalassemia intermedia tidak se awal
thalassemia mayor. Diagnosis awal bisa terjadi pada usia belasan tahun
atau dewasa. Secara klinis gejala dan tanda lebih ringan dari thalassemia
mayor. Umumnya penderita dengan kelainan ini cukup sehat sehingga
penderita intermedia tidak rutin dalam memenuhi transfuse darahnya dan
hanya membutuhkan transufusi darah pada saat terjadinya infeksi.
3. Thalassemia minor disebut juga pembawa thalassemia beta (beta-
thalassemia carrier), pembawa sifat thalassemia beta (beta thalassemia
trait) atau thalassemia beta heterozigot, umumnya memiliki fenotip
heterozigot. Pada thalassemia minor adanya satu gen normal pada individu
heterozigot memungkinkan sintesis rantai β globin yang memadai
sehingga penderita biasanya secara klinis asimptomatik. Pemeriksaan
apusan darah tepi seringkali menunjukkan anemia ringan (Hb antara 10-13
%).

Thalassemia beta homozigot bersifat parah. Anak-anak dengan


thalassemia major tampak sehat saat lahir karena HbF masih berfungsi. Patologi
muncul saat HbA mengantikan HbF. Kerusakan pada gen beta mengakibatkan
ketidakseimbangan sintesis rantai globin yang menyebabkan pengurangan Hb
pada sel darah merah. Eritropoiesis tidak efektif dan usia sel darah merah
memendek, sehingga penderita mengalami anemia. Kegagalan jantung karena
anemia dan infeksi dapat menyebabkan kematian pada anak-anak yang menderita
thalassemia tetapi tidak mendapatkan terapi.10

3.3.3 Etiologi

22
Thalassemia adalah penyakit genetic yang diturunkan secara autosomal
resesif menurut hukum Mendel dari orang tua kepada anak-anaknya. Penyakit
thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari gejala klinis yang paling ringan
(bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia minor atau thalassemia trait
(carrier/pengemban sifat) hingga yang paling berat (bentuk homozigot) yang
disebut thalassemia mayor. Bentuk heterozigot diturunkan oleh salah satu orang
tuanya yang mengidap penyakit thalassemia, sedangkan bentuk homozigot
dituruankan oleh kedua orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia. Dasar
kelainan pada thalassemia berlaku secara umum yaitu kelainan thalassemia α
disebabkan oleh delesi gen atau terhapus karena kecelakaan genetik, yang
mengatur produksi tetramer globin, sedangkan pada thalassemia β karena adanya
mutasi gen tersebut. Individu normal yang mempunyai 2 gen α yaitu α-
thalassemia-2 dan α-thalassemia-1 terletak pada badan pendek kromosom 16
(aa/aa). Hilangnya 1 gen (silent carrier) tidak menunjukkan gejala klinis
sedangkan hilangnya 2 gen hanya memberikan manifestasi ringan atau tidak
memberikan gejala klinis yang jelas. Hilangnya 3 gen (penyakit Hb H)
memberikan anemia moderat dan gambaran klinis thalassemia-α intermedia.
Afinitas Hb H terhadap oksigen sangat terganggu dan destruksi eritrosit lebih
cepat.12

Gambar 4. Penurunan penyakit Thalasemia

3.3.4 Epidemiologi

23
Penyakit thalassemia yang semula ditemukan di sekitar Laut Tengah ini
ternyata tersebar luas sepanjang garis khatulistiwa, termasuk Indonesia. Tidak
kurang dari 300.000 bayi dengan kelainan berat penyakit ini dilahirkan setiap
tahun di dunia, sedangkan jumlah penderita thalassemia heterosigotnya tidak
kurang dari 250 juta orang.2 Data dari World Bank menunjukkan bahwa 7% dari
populasi dunia merupakan pembawa sifat thalassemia. Setiap tahun sekitar
300.000-500.000 bayi baru lahir disertai dengan kelainan hemoglobin berat, dan
50.000 hingga 100.000 anak meninggal akibat thalassemia β; 80% dari jumlah
tersebut berasal dari negara berkembang. Pada populasi Asia Tenggara dilaporkan
bahwa frekuensi karier Hemoglobinopati dan Talasemia adalah 45,5 % dengan
1,34 anak dari 1000 kelahiran terlahir dengan kondisi klinis. Indonesia termasuk
salah satu negara dalam sabuk thalassemia dunia, yaitu negara dengan frekuensi
gen (angka pembawa sifat) thalassemia yang tinggi. Hal ini terbukti dari
penelitian epidemiologi di Indonesia yang mendapatkan bahwa frekuensi gen
thalassemia beta berkisar 3-10%.1,5
Berdasarkan Data Yayasan Thalassemia Indonesia (YTI) dan
Perhimpunan Orang Tua Thalassemia Indonesia (POPTI) tahun 2016, Kasus
thalassemia di Indonesia mengalami peningkatan cukup banyak dari 4.431 kasus
tahun 2011 menjadi 7028 tahun 2015. Menurut data tahun 2016, dari sepuluh
provinsi dengan jumlah kasus thalassemia tertinggi, Sumatera Selatan berada pada
urutan ketujuh dengan jumlah kasus 166. Menurut kelompok umur, thalassemia
tertinggi pada kelompok umur <15 tahun.7

24
3.3.5 Patogenesis
Patogenesis kelainan thalassemia terjadi akibat dari ketiadaan atau
berkurangnya rantai globin penyusun struktur hemoglobin, protein yang bertugas
sebagai alat transport oksigen dalam tubuh. Hemoglobin normal manusia dewasa
terdiri dari 2 rantai beta dan 2 rantai alfa yang membentuk tetramer 22 (HbA).
Komposisi HbA dalam sirkulasi darah mencapai >97%, sedangkan HbA2 2-3%
dan HbF <1%. Dengan komposisi seperti ini hemoglobin dapat mengangkut
oksigen ke jaringan dengan baik. Penurunan secara bermakna kecepatan sintesis
salah satu jenis rantai globin (rantai-α atau rantai-β) menyebabkan sintesis rantai

25
globin yang tidak seimbang. Bila pada keadaan normal rantai globin yang
disintesis seimbang antara rantai α dan rantai β, yakni berupa α2β2, maka pada
Talasemia-β0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai β, maka rantai globin
yang diproduksi berupa rantai α yang berlebihan (α4). Sedangkan pada
Talasemia-α0, di mana tidak disintesis sama sekali rantai α, maka rantai globin
yang diproduksi berupa rantai β yang berlebihan (β4). 1,6

 Talasemia Beta
Thalassemia beta terjadi akibat mutasi gen globin beta sehingga produksi
rantai globin beta menjadi berkurang atau tidak terbentuk sama sekali. Rantai
globin alfa yang terbentuk tidak semua dapat berikatan dengan rantai globin beta
sehingga terjadi peningkatan HbF dan HbA2. Selain itu terbentuk pula rantai
tetramer alfa yang tidak stabil yang mudah terurai. Rantai globin alfa bebas
tersebut tidak larut, kemudian membentuk presipitat yang memicu lisis eritrosit
di mikrosirkulasi (limpa) dan destruksi di sumsum tulang.1

Gambar 6. Patofisiologi thalassemia beta

Kelebihan rantai α mengendap pada membran sel eritrosit dan


prekursornya. Hal ini menyebabkan pengrusakan prekursor eritrosit yang hebat
intra meduler. Kemungkinan melalui proses pembelahan atau proses oksidasi
pada membran sel prekursor. Eritrosit yang mencapai darah tepi memiliki
inclusion bodies yang menyebabkan pengrusakan di lien dan oksidasi membran

26
sel, akibat pelepasan heme dan denaturasi hemoglobin dan penumpukan besi
pada eritrosit. Sehingga anemia pada Talesemia β disebabkan oleh berkurangnya
produksi dan pemendekan umur eritrosit.6
Sebagian kecil prekursor eritrosit tetap memiliki kemampuan membuat
rantai γ, menghasilkan HbF extra uterin. Pada Talesemia β sel ini sangat
terseleksi dan kelebihan rantai α lebih kecil karena sebagian bergabung dengan
rantai γ membentuk HbF. Sehingga HbF mengikat pada talesemia β. Seleksi
seluler ini terjadi selama masa fetus, yang kaya HbF. Beberapa faktor genetik
mempengaruhi respons pembentukan HbF ini. Kombinasi faktor-faktor ini
mengakibatkan peningkatan HbF pada talesemia β. Produksi rantai δ tidak
terpengaruh pada Talesemia β, sehingga HbA2 meningkat pada heterozigot. 6
Kombinasi anemia pada Talesemia β dan eritrosit yang kaya HbF dengan
afinitas oksigen tinggi, menyebabkan hipoksia berat yang menstimulasi prosuksi
eritropoetin. Hal ini mengakibatkan peningkatan masa eritroid yang tidak efektif
dengan perubahan tulang, peningkatan absorpsi besi, metabolisme rate yang
tinggi dan gambaran klinis talesemia β mayor. Penimbunan lien dengan eritrosit
abnormal mengakibatkan pembesaran limpa. Juga diikuti dengan
terperangkapnya eritrosit, leukosit dan trombosit di dalam limpa, sehingga
menimbulkan gambaran hipersplenisme. 6
Beberapa gejala ini bisa dihilangkan dengan transfusi yang bisa menekan
eritropoesis, tapi akan meningkatkan penimbunan besi. Hal ini bisa
dimengertikan dengan memahami metabolisme besi. Di dalam tubuh besi terikat
oleh transferin, dalam perjalanan ke jaringan, besi ini segera diikat dalam
timbunan molekul berat rendah. Bila berjumlah banyak bisa merusak sel. Pada
pasien dengan kelebihan zat besi, timbunan ini bisa dijumpai di semua jaringan,
tapi sebagian besar di sel retikuloendothelial, yang relatif tidak merusak. Juga di
miosit dan hepatosit yang bisa merusak. Kerusakan tersebut diakibatkan
terbentuknya hidroksil radikal bebas dan kerusakan akibat oksigen. 6
Normalnya ikatan besi pada transferin mencegah terbentuknya radika l
bebas. Pada orang dengan kelebihan besi, transferin menjadi tersaturasi penuh,
dan fraksi besi tidak terikat transferin bisa terdeteksi di dalam plasma. Hal ini
mengakibatkan terbentuknya radikal bebas dan meningkatnya jumlah besi di

27
jantung, hati dan kelenjar endokrin. Mengakibatkan kerusakan dan gangguan
fungsi organ. 6
Gambaran klinis tersebut bisa dikaitkan dengan gangguan produksi globin,
dan kelebihan rantai pada maturasi dan umur eritrosit. Dan akibat penumpukan
zat besi akibat peningkatan absorpsi dan transfusi. Sehingga mudah dimengerti
mengapa ada bentukan lebih ringan dari yang lain. Gambaran klinis ini
dipengaruhi jumlah ketidakseimbangan rantai globin. Termasuk Talesemia α,
Talesemia β minor dan segregasi gen yang mengakibatkan peningkatan HbF. 6

3.3.6 Diagnosis
Thalassemia yang bergantung pada transfusi adalah pasien yang
membutuhkan transfusi secara teratur seumur hidup. Diagnosis thalassemia
ditegakkan dengan berdasarkan kriteria anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
laboratorium. Manifestasi klinis thalassemia mayor umumnya sudah dapat
dijumpai sejak usia 6 bulan.1
A. Anamnesis:
- Pucat kronik; usia awitan terjadinya pucat perlu ditanyakan.
- Pada thalassemia β/HbE usia awitan pucat umumnya didapatkan pada usia
yang lebih tua.
-
Riwayat transfusi berulang; anemia pada thalassemia mayor memerlukan
transfusi berkala.
-
Riwayat keluarga dengan thalassemia dan transfusi berulang.
-
Perut buncit; perut tampak buncit karena adanya hepatosplenomegali.
-
Etnis dan suku tertentu; angka kejadian thalassemia lebih tinggi pada ras
Mediterania, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Thalassemia paling
banyak di Indonesia ditemukan di Palembang 9%, Jawa 6-8%, dan Makasar
8%.
-
Riwayat tumbuh kembang dan pubertas terlambat. 1

B. Pemeriksaan Fisik

28
Beberapa karakteristik yang dapat ditemukan dari pemeriksaan fisis pada anak
dengan thalassemia yang bergantung transfusi adalah pucat, sklera ikterik,
facies Cooley (dahi menonjol, mata menyipit, jarak kedua mata melebar,
maksila hipertrofi, maloklusi gigi), hepatosplenomegali, gagal tumbuh, gizi
kurang, perawakan pendek, pubertas terlambat, dan hiperpigmentasi kulit. 1

REKOMENDASI 1

Diagnosis thalassemia didukung oleh temuan dari gambaran darah tepi,


elektroforesis hemoglobin, dan HPLC. (GRADE A)

MCH < 27 pg dapat digunakan sebagai ambang batas identifikasi karier pada
skrining thalassemia. (GRADE A)

Tes DNA dilakukan jika pemeriksaan hematologis/analisis Hb tidak mampu


menegakkan diagnosis hemoglobinopati. (GRADE B)

Bila pasien sudah sering mendapat transfusi berulang, dilakukan pemeriksaan


HPLC kedua orangtua kandung. (GRADE B)

C. Laboratorium
1) Darah perifer lengkap (DPL)
a. Anemia yang dijumpai pada thalassemia mayor cukup berat dengan kadar
hemoglobin mencapai <7 g/dL.
b. Hemoglobinopati seperti Hb Constant Spring dapat memiliki MCV dan
MCH yang normal, sehingga nilai normal belum dapat menyingkirkan
kemungkinan thalassemia trait dan hemoglobinopati.
c. Indeks eritrosit merupakan langkah pertama yang penting untuk skrining
pembawa sifat thalassemia (trait), thalassemia , dan high Persisten fetal
hemoglobine (HPFH) 13,
d. Mean corpuscular volume (MCV) < 80 fL (mikrositik) dan mean
corpuscular haemoglobin (MCH) < 27 pg (hipokromik). Thalassemia
mayor biasanya memiliki MCV 50 – 60 fL dan MCH 12 – 18 pg.
e. Nilai MCV dan MCH yang rendah ditemukan pada thalassemia, dan juga
pada anemia defisiensi besi. MCH lebih dipercaya karena lebih sedikit

29
dipengaruhi oleh perubahan cadangan besi (less suscpetible to storage
changes). 1

2) Gambaran darah tepi


a. Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan
tear-drop), mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan
Pappenheimer, sel target, dan eritrosit berinti (menunjukan defek
hemoglobinisasi dan diseritropoiesis)
b. Total hitung dan neutrofil meningkat
c. Bila telah terjadi hipersplenisme dapat ditemukan leukopenia, neutropenia,
dan trombositopenia. 1

Gambar 7. Gambaran darah tepi pada thalassemia mayor

30
D. Alur diagnosis thalassemia
Bagan 1. Tahapan Penegakkan Diagnosis Thalassemia5

31
3.3.7 Pemeriksaan Penunjang
 RED CELL DISTRIBUTION WIDTH (RDW)
RDW menyatakan variasi ukuran eritrosit. Anemia defisiesi besi memiliki
RDW yang meningkat >14,5%, tetapi tidak setinggi seperti pada thalassemia
mayor. Thalassemia trait memiliki eritrosit mikrositik yang uniform sehingga
tidak / hanya sedikit ditandai dengan peningkatan RDW. Thalassemia mayor
dan intermedia menunjukkan peningkatan RDW yang tinggi nilainya. 1

 RETIKULOSIT.
Jumlah retikulosit menunjukkan aktivitas sumsum tulang. Pasien thalassemia
memiliki aktivitas sumsum tulang yang meningkat, sedangkan pada anemia
defisiensi besi akan diperoleh hasil yang rendah. 1

 HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY (HPLC)


a) Sebagai alat ukur kuantitatif HbA2 dan HbF, dan dapat dipakai untuk
mengidentifikasi dan menghitung varian hemoglobin secara presumtif.
Pemeriksaan alternatif dapat dilakukan jika varian hemoglobin yang
terdeteksi pada HPLC relevan dengan klinis pasien.
b) HbF dominan (>90%) pada hampir semua kasus thalassemia β berat,
kecuali pasien telah menerima transfusi darah dalam jumlah besar sesaat
sebelum pemeriksaan. HbA tidak terdeteksi sama sekali pada thalassemia
0 homozigot, sedangkan HbA masih terdeteksi sedikit pada thalassemia
+. Peningkatan HbA2 dapat memandu diagnosis thalassemia  trait.
1) Kadar HbA2 mencerminkan derajat kelainan yang terjadi.
2) HbA2 3,6-4,2% pada thalassemia + ringan.
3) HbA2 4-9% pada thalassemia heterozigot 0 dan + berat.
4) HbA2 lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika hemoglobin yang
dominan adalah HbF dan HbE, maka sesuai dengan diagnosis
thalassemia /HbE.
c) HbA2 normal tidak langsung menyingkirkan diagnosis thalassemia.

32
1) HbA2 dapat menjadi lebih rendah dari kadar sebenarnya akibat kondisi
defisiensi besi, sehingga diperlukan terapi defisiensi besi sebelum
melakukan HPLC ulang untuk menilai kuantitas subtipe Hb.
2) Feritin serum rendah merupakan petunjuk adanya defisiensi besi, namun
tidak menyingkirkan kemungkinan thalassemia trait. Bila defisiensi besi
telah disingkirkan, nilai HbA2 normal, namun indeks eritrosit masih
sesuai dengan thalassemia, maka dapat dicurigai kemungkinan
thalassemia α, atau koeksistensi thalassemia β dan δ. 1

 ELEKTROFORESIS HEMOGLOBIN
Beberapa cara pemeriksaan elektroforesis hemoglobin yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan Hb varians kuantitatif (electrophoresis cellose acetat
membrane), HbA2 kuantitatif (metode mikrokolom), HbF (alkali denaturasi
modifikasi Betke 2 menit), atau pemeriksaan elektroforesis menggunakan
capillary hemoglobin electrophoresis. 1

 ANALISIS DNA
Analisis DNA merupakan upaya diagnosis molekular thalassemia, yang
dilakukan pada kasus atau kondisi tertentu:
1. Ketidakmampuan untuk mengonfirmasi hemoglobinopati dengan
pemeriksaan hematologi:
a. Diagnosis thalassemia  mayor yang telah banyak menerima transfusi.
Diagnosis dapat diperkuat dengan temuan thalassemia  heterozigot
(pembawa sifat thalassemia beta) pada kedua orangtua
b. Identifikasi karier dari thalassemia  silent, thalassemia  dengan HbA2
normal, thalassemia α0, dan beberapa thalassemia α+.
c. Identifikasi varian hemoglobin yang jarang.
2. Keperluan konseling genetik dan diagnosis prenatal. 1

33
3.3.8 Tatalaksana
1. Transfusi darah
 Indikasi transfusi darah
Tujuan transfusi darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan
hematopoiesis ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak.
Keputusan untuk memulai transfusi darah sangat individual pada setiap
pasien. Transfusi dilakukan apabila dari pemeriksaan laboratorium terbukti
pasien menderita thalassemia mayor, atau apabila Hb <7g/dL setelah 2x
pemeriksaan dengan selang waktu >2 minggu, tanpa adanya tanda infeksi
atau didapatkan nilai Hb >7gr/dL dan dijumpai, gagal tumbuh, dan/atau
deformitas tulang akibat thalassemia. (Level of evidence IV). 1

 Evaluasi sebelum transfusi


Pasien perlu menjalani pemeriksaan laboratorium berikut sebelum
memulai transfusi pertama:
a. Profil besi: feritin serum, serum iron (SI) total iron binding capacity
(TIBC)
b. Kimia darah berupa uji fungsi hati; SGOT, SGPT, PT, APTT, albumin,
bilirubin indirek, dan bilirubin direk.
c. Fungsi ginjal: ureum, kreatinin
d. Golongan darah: ABO, Rhesus
e. Marker virus yang dapat ditransmisikan melalui transfusi darah: antigen
permukaan Hepatitis B (HbsAg), antibodi Hepatitis C (anti-HCV), dan
antibodi HIV (anti-HIV).
f. Bone age.

Keluarga atau pasien diinformasikan mengenai kegunaan dan risiko


transfusi, kemudian menandatangani persetujuan (informed consent)
sebelum transfusi dimulai. Identifikasi pasien dan kantong darah perlu
dilakukan pada setiap prosedur pemberian transfusi darah sebagai bagian
dari upaya patient safety.

34
 Cara pemberian transfusi darah
a. Volume darah yang ditransfusikan bergantung dari nilai Hb. Bila kadar Hb
pratransfusi >6 gr/dL, volume darah yang ditransfusikan berkisar 10-15
mL/kg/kali dengan kecepatan 5 mL/kg/jam.
b. Target pra kadar Hb post-transfusi tidak melebihi dari 14-15 g/dL,
sedangkan kadar Hb pratransfusi berikutnya diharapkan tidak kurang dari
9,5 mg/dL. Nilai Hb pretransfusi antara 9-10 g/dL dapat mencegah
terjadinya hemopoesis ekstramedular, menekan konsumsi darah berlebih,
dan mengurangi absorpsi besi dari saluran cerna.
c. Jika nilai Hb <6 gr/dL, dan atau kadar Hb berapapun tetapi dijumpai klinis
gagal jantung maka volume darah yang ditransfusikan dikurangi menjadi
2-5 ml/kg/kali dan kecepatan transfusi dikurangi hingga 2 mL/kg per jam
untuk menghindari kelebihan cairan/overload.
d. Darah yang diberikan adalah golongan darah donor yang sama (ABO, Rh)
untuk meminimalkan alloimunisasi dan jika memungkinkan menggunakan
darah leucodepleted yang telah menjalani uji skrining nucleic acid testing
(NAT) untuk menghindari/meminimalkan tertularnya penyakit infeksi
lewat transfusi.
e. Darah yang sudah keluar dari bank darah sudah harus ditransfusikan dalam
waktu 30 menit sejak keluar dari bank darah. Lama waktu sejak darah
dikeluarkan dari bank darah hingga selesai ditransfusikan ke tubuh pasien
maksimal dalam 4 jam. Transfusi darah dapat dilakukan lebih cepat
(durasi 2-3 jam) pada pasien dengan kadar Hb > 6 gr/dL.
f. Nilai Hb dinaikan secara berlahan hingga target Hb 9 gr/dL. Diuretik
furosemid dipertimbangkan dengan dosis 1 hingga 2 mg/kg pada pasien
dengan masalah gangguan fungsi jantung atau bila terdapat klinis gagal
jantung. Pasien dengan masalah jantung, kadar Hb pratransfusi
dipertahankan 10-12 g/dL. Pemberian transfusi diberikan dalam jumlah
kecil tiap satu hingga dua minggu.
g. Interval antar serial transfusi adalah 12 jam, namun pada kondisi anemia
berat interval transfusi berikutnya dapat diperpendek menjadi 8-12 jam.

35
h. Setiap kali kunjungan berat badan pasien dan kadar Hb dicatat, begitu pula
dengan volume darah yang sudah ditransfusikan. Data ini dievaluasi
berkala untuk menentukan kebutuhan transfusi pasien. Pasien tanpa
hipersplenisme kebutuhan transfusi berada di bawah 200 mL PRC/kg per
tahun. Prosedur transfusi mengikuti/sesuai dengan panduan klinis dan
laboratoris masing-masing senter. Pada saat transfusi diperhatikan reaksi
transfusi yang timbul dan kemungkinan terjadi reaksi hemolitik.
Pemberian asetaminofen dan difenhidramin tidak terbukti mengurangi
kemungkinan reaksi transfusi.

 Jenis produk darah yang digunakan


Idealnya darah yang ditransfusikan tidak menyebabkan risiko atau efek
samping bagi pasien. Beberapa usaha mulai dari seleksi donor, pemeriksaan
golongan darah, skrining darah terhadap infeksi menular lewat transfusi darah
(IMLTD), uji silang serasi (crossmatch), dan pengolahan komponen telah
dilakukan untuk menyiapkan darah yang aman. Beberapa teknik pengolahan
komponen darah sudah dapat dilakukan untuk meningkatkan keamanan darah.
Tersedianya komponen darah yang aman akan menunjang pemberian transfusi
darah secara rasional dan berdasarkan indikasi yang tepat.
Beberapa produk darah dapat dijumpai di bank darah, salah satunya
adalah eritrosit cuci/ washed erythrocyte (WE). Produk ini memberikan
beberapa keuntungan antara lain dapat menghilangkan leukosit 50-95% dan
eritrosit 15%. Komponen darah WE dapat mengurangi risiko terjadinya reaksi
alergi, dan mencegah reaksi anafilaksis pada defisiensi IgA. Kerugian WE ini
memiliki waktu simpan yang pendek 4-6 jam dan memiliki risiko bahaya
kontaminasi. Produk ini tidak direkomendasikan pada thalassemia.
Sekitar tahun 1860-1970 mulai dikembangkan tehnik leukodepleted,
yaitu berupa proses pemisahan buffy coat (BC) yang mengandung leukosit
dan trombosit dari PRC dengan sedimentasi atau sentrifugasi sehingga
leukosit menurun 60-80% dan eritrosit menurun 20-30%. Teknik ini terbukti
dapat mencegah dan mengurangi dampak kontaminasi leukosit. Beberapa
terminologi dapat dijumpai di literatur adalah leukodepleted di Eropa dan

36
leucoreduced di US. Perbedaannya terletak pada jumlah leukosit yang dapat
disaring, yaitu leukodepleted dapat mengurangi leukosit hingga 107-108,
sedangkan leucoreduced < 105. Sedangkan jumlah leukosit pada 1 unit whole
bood (WB) adalah 2x109.
Proses pemisahan leukosit pada komponen darah menggunakan filter
yang terbuat dari bahan tertentu yang dapat memisahkan leukosit. Proses ini
dapat dilakukan pada saat pembuatan darah/ pra-storage atau beberapa saat
sebelum transfusi/post-storage. Jenis darah PRC biasa dan WE tetap
membutuhkan bed side filter. Thalassemia mayor membutuhkan transfusi
secara teratur sehingga perlu diperhatikan hal-hal di bawah ini:
a. Produk darah yang digunakan hendaknya PRC rendah leukosit
(leukodepleted) yang telah menjalani uji skrining NAT dan menggunakan
produk darah yang telah dicocokkan dengan darah pasien (Level of
Evidence IIa)
b. Penggunaan pre-storage filtration terbukti lebih baik dibandingkan dengan
bed side filtration. (Level of Evidence IIIa) Pada pre-storage filtration,
leukosit akan difilter sebelum sempat mengeluarkan sitokin, sehingga
reaksi transfusi berupa febrile non hemolytic transfusion reaction (FNHTR)
dapat lebih dihindari, yang penyebabnya selain alloimunisasi oleh human
leukocyte antigen (HLA) juga karena keberadaan sitokin dalam komponen
darah.
c. Penggunaan whole bood pada pasien dengan transfusi rutin dapat
menyebabkan reaksi transfusi non-hemolitik.
d. Apabila darah leukodepleted dengan skrining NAT tidak tersedia dapat
dipertimbangkan darah yang berasal dari donor tetap untuk mengurangi
risiko penyakit yang ditransmisikan melalui darah, alloimunisasi, dan reaksi
transfusi lainnya.
e. Komplikasi dari transfusi dapat dikurangi dengan pemilihan produk darah
tertentu seperti PRC cuci, sel darah merah beku/ frozen (cryopreserved red
cells), dan donor tetap, walaupun pada thalassemia yang membutuhkan
transfuse darah berulang idealnya mendapatkan PRC leukodepleted.

37
 Reaksi transfusi dan tata laksananya
Bila terjadi reaksi transfusi, tata laksana disesuaikan berdasarkan berat
ringannya reaksi transfusi. Penggunaan PRC leukodepleted dapat mengurangi
berbagai reaksi transfusi sedangkan penggunaan premedikasi seperti
asetaminofen dan difenhidramin tidak terbukti mengurangi risiko reaksi
transfusi.
Tabel 1. Kategori Reaksi Transfusi
Kategori Tanda Gejala Penyebab yang
mungkin
Kategori I Reaksi lokal Pruritus Hipersensitivitas
Reaksi ringan ditempat transfusi
Kategori II Flushing, urtikaria, Cemas, pruritus,  Hipersensitivitas
Reaksi sedang demam, lemas, palpitasi, dispnu, sedang-berat
takikardia sakit kepala  Demam non
hemolitik akut
(FNHTR)
 Kontaminasi
dengan pirogen
dan bakteria
Kategori III Kaku, demam, Cemas, nyeri dada,  Hemolisis
Reaksi berat lemas, hipotensi nyeri di daerah
intravaskular akut
(tekanan darah transfusi, sesak
 Kontaminasi darah
sistolik turun > napas, nyeri
dan syok sepsis
20%) punggung, sakit
 Overload cairan
kepala, dispnu
 Reaksi anafilaksis
 Cedera paru terkait
transfusi
(TRALI)

Tabel 2. Reaksi Transfusi Dan Tata Laksana

38
Tata laksana
Kategori I - Transfusi diperlambat

Reaksi ringan - Berikan antihistamin

- Bila tidak terdapat perbaikan atau gejala semakin

berat dalam 30 menit, tata laksana sesuai reaksi


transfusi kategori II
Kategori II - Stop transfusi. Ganti infus set dan pastikan terdapat akses
Reaksi sedang vena dengan salin normal
- Cek produk darah, buat laporan untuk bank darah
- Kirim produk darah beserta infus set untuk pemeriksaan
lebih lanjut, disertai dengan contoh darah terbaru dan
urin pasien.
- Berikan antihistamin IM, hindari pemberian aspirin pada
pasien dengan trombositopenia
- Berikan kortikosteroid intravena dan bronkodilator bila
terdapat gejala brokospasme dan stridor
- Tampung urin 24 jam untuk mencari kemungkinan
hemolisis
- Bila klinis perbaikan lakukan transfusi kembali secara
perlahan dengan produk darah baru, dan observasi
secara hati-hati.
- Bila tidak terdapat perbaikan, tatalaksana sesuai reaksi
transfusi kategori III
Kategori III - Stop transfusi, pastikan terdapat akses vena untuk salin
Reaksi berat normal
- Berikan cairan salin normal 20-30 ml/kg untuk menjaga
tekanan darah sistolik. Bila hipotensi, berikan dalam 5
menit, dan posisikan kaki pasien lebih tinggi.
- Pastikan jalan napas baik dan berikan oksigen.
- Berikan adrenalin (1:1000) 0,01 ml/kgbb secara lambat
- Berikan kortikosteroid IV dan bronkodilator (adrenalin,
aminofilin, salbutamol) apabila dijumpai tanda-tanda
bronkospasme dan stridor
- Berikan diuretik; furosemid 1 mg/kg IV atau yang sejenis
- Cari kemungkinan etiologi dengan melakukan

39
pemeriksaan laboratorium dari sampel darah dan urin
- Bila terdapat kecurigaan ke arah koagulasi intravaskular
diseminata (KID) berikan transfusi trombosit dan
kriopresipitat, atau FFP
- Evaluasi ulang, bila hipotensi:
o Berikan salin normal 20-30 ml/kg dalam 5
menit
o Berikan inotrop, jika tersedia
- Bila terdapat tanda-tanda gagal ginjal akut
o Lakukan balans diuretik ketat
o Berikan furosemid
o Pertimbangan dopamin
o Dialisis jika diperlukan
- Bila terdapat kecurigaan ke arah bakteremia, lakukan
pemberian antibiotik spektrum luas IV
Sumber : Clinical use of blood Handbook, WHO, h.62-67

 Demam sebagai reaksi transfuse non-hemolitik (febrile nonhemolytic


transfusion reactions / FNHTR)
Reaksi transfusi ini sering terjadi beberapa dekade lalu, namun dengan
penggunaan PRC leukodepleted kejadiannya semakin jarang. Kejadian ini
dipicu oleh akumulasi sitokin dan alloimunisasi. Demam juga dapat
disebabkan oleh reaksi hemolitik akibat dari produk darah yang
terkontaminasi bakteri.

 Reaksi alergi
Reaksi alergi dimediasi oleh IgE, biasanya dipicu oleh protein plasma, dan
dapat bermanifestasi ringan hingga berat. Reaksi ringan seperti urtikaria, gatal,
dan ruam kemerahan, sedangkan gejala yang berat meliputi stridor,
bronkospasme, hipotensi, hingga reaksi anafilaksis. Reaksi alergi berat
terutama diwaspadai pada pasien dengan imunodefisiensi IgA dan pasien yang
memiliki antibodi IgA. Pencegahan reaksi alergi berulang dapat dilakukan
dengan pemberian PRC cuci. Pasien dengan defisiensi IgA dapat diberikan
darah dari donor dengan defisiensi IgA.

40
 Reaksi hemolitik akut
Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit sampai beberapa jam setelah
transfusi. Gejala yang ditimbulkan adalah demam mendadak, menggigil, nyeri
tulang belakang, sesak, hemoglobinuria, dan syok. Reaksi ini dapat timbul
karena produk darah yang diberikan tidak sesuai dengan darah pasien.
Ketidaksesuaian produk darah ini lebih banyak terjadi pada pasien yang
melakukan transfusi di tempat yang tidak biasanya. Apabila dicurigai terjadi
reaksi transfusi, hentikan transfusi segera, dan berikan cairan intravena untuk
mempertahankan volume intravaskular. Pemberian diuretik dipertimbangkan
dalam kondisi terjadi penurunan fungsi ginjal. Apabila terjadi koagulasi
intravaskular diseminata (KID) dapat diberikan heparin. Identitas donor dan
penerima darah diperiksa ulang dan bank darah harus mencari kemungkinan
adanya alloantibodi yang tidak terdeteksi.

 Reaksi lambat transfusi


Reaksi lambat terjadi dalam 5 hingga 14 hari setelah transfusi, ditandai dengan
anemia yang terjadi tiba-tiba, ikterik, dan malaise. Reaksi ini terjadi apabila
alloantibodi tidak terdeteksi pada saat transfusi dilakukan atau terdapat
pembentukan antibodi baru. Apabila hal ini terjadi contoh darah dikirim ke
PMI untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

 Anemia hemolitik autoimun


Anemia hemolitik autoimun adalah komplikasi serius akibat transfusi darah.
Darah yang diberikan mungkin kompatibel pada pemeriksaan awal, namun
umur eritrosit sangat pendek dan kadar Hb turun di bawah kadar Hb
pratransfusi biasanya. Destruksi darah terjadi pada darah pasien dan donor
serta evaluasi serologi menunjukkan reaksi antigen-antibodi luas. Kondisi ini
dapat diatasi dengan pemberian steroid, agen imunosupresan, dan
imunoglobulin intravena. Kejadian ini umumnya terjadi pada transfusi pada
usia dewasa.

41
 Transfusion-related acute lung injury
Transfusion-related acute lung injury (TRALI) adalah komplikasi berat yang
mungkin terjadi akibat anti-neutrofil atau antibodi anti-HLA. Komplikasi ini
ditandai oleh dispnu, takikardia, demam, dan hipotensi dalam jangka waktu 6
jam setelah transfusi. Pemeriksaan foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat
di seluruh lapang paru atau gambaran edema paru. Tata laksana TRALI
bersifat suportif meliputi pemberian oksigen, steroid, diuretik, dan pada
kondisi yang berat dapat diperlukan ventilasi mekanik.

 Transfusion-induced graft-versus-host disease


Transfusion-induced graft-versus-host disease (TI-GVHD) disebabkan oleh
limfosit hidup yang berada dalam darah donor. Kondisi ini jarang terjadi dan
bersifat fatal. Risiko mengalami TI-GVHD lebih tinggi pada pasien
imunokompromais, atau pasien imunokompeten yang mendapatkan darah dari
anggota keluarga yang memiliki TI- GVHD. Reaksi terjadi dalam 1 hingga 4
minggu setelah transfusi, ditandai dengan demam, ruam, disfungsi hati, diare,
dan pansitopenia akibat kegagalan sumsum tulang. Untuk mengurangi risiko
TI-GVHD hindari transfusi dari anggota keluarga/ donor haploidentikal.
Transfusi menggunakan leucodepleted saja tidak mengurangi risiko ini.

 Transfusion-associated circulatory overload


Transfusion-associated circulatory overload (TACO) terjadi pada kondisi
disfungsi jantung atau pada pemberian transfusi yang terlalu cepat. Reaksi
ditandai dengan sesak dan takikardia, sedangkan foto toraks menunjukan
edema pulmonal. Tata laksana ditujukan untuk mengurangi volume darah dan
meningkatkan fungsi jantung. Pertimbangkan penggunaan oksigen, diuretik,
dan obat gagal jantung bila diperlukan.

 Transmisi agen infeksius


Transfusi darah dapat mentransmisikan agen infeksius seperti bakteri, virus,
dan parasit. Hal ini masih dapat terjadi karena beberapa kemungkinan berikut:

42
a. Jenis dan jumlah pemeriksaan untuk mendeteksi patogen masih terbatas.
Masih banyak skrining patogen yang belum dapat dilakukan.
b. Transmisi virus masih dapat terjadi karena masih dalam window period
dan beberapa alat tes yang ada tidak spesifik.
c. Munculnya agen infeksius baru.

 Monitoring pada saat transfusi


Sesaat sebelum transfusi diberikan, pastikan kembali beberapa data penting
pasien yaitu identitas diri, kadar Hb pratransfusi, dan jumlah darah yang akan
diberikan. Transfusi dilakukan di tempat yang memadai dengan petugas
kesehatan terlatih. Tanda vital dipantau berkala sebelum, selama, dan setelah
transfusi. Bila terjadi reaksi transfusi, segera hentikan transfusi dan evaluasi
kegawatan pada pasien sehingga tindakan antisipasi dapat dilakukan dengan
cepat dan tepat. Kemungkinan penyebab dievaluasi secara simultan. 1

REKOMENDASI

Transfusi mulai diberikan secara rutin setelah pasien didiagnosis


thalassemia mayor dan nilai Hb <7 g/dL lebih dari 2 minggu, atau
terdapat gagal tumbuh atau deformitas tulang. (GRADE C)

Semua pasien sudah diperiksa golongan darah sebelum dilakukan


transfusi.(GRADE C)

Volume dan kecepatan darah yang ditransfusikan bergantung pada nilai


Hb pratransfusi. Volume transfusi 10-15 mL/kg untuk Hb > 6 gr/dL,
dan 2-5 mL/kg untuk Hb < 5. Interval transfusi 12 jam, dan
jarak antara transfusi berikutnya 2-4 minggu (GRADE C)
Transfusi dilakukan dengan target Hb post-transfusi 12-13 g/dL dan
Hb pratransfusi 9-10 g/dL. (GRADE B)

Pemberian diuretik tidak rutin diberikan pada anemia berat. Diuretik


hanya hanya diberikan pada klinis gagal jantung. (GRADE B)

43
Darah yang diberikan adalah darah leukodepleted yang telah
menjalani uji skrining NAT dengan golongan darah yang sama (ABO,
Rh). Bila darah berjenis PRC biasa atau leukoreduced maka tetap
dianjurkan memakai bedside filter. (GRADE B)
Bila tranfusi darah leukodepleted dan NAT tidak tersedia maka
diupayakan mencari donor tetap yang telah menjalani skrining rutin.
(GRADE B)

Dilakukan pemeriksaan berkala untuk menyingkirkan penyakit yang


ditularkan melalui transfusi, yaitu : HbsAg, anti-HCV, dan anti-HIV
penyaring. (GRADE C)

2. Kelasi besi
Kelebihan besi dapat menimbulkan komplikasi jangka panjang di berbagai
sistem organ. Pemberian terapi kelasi besi dapat mencegah komplikasi
kelebihan besi dan menurunkan angka kematian pada pasien thalassemia. 1
 Indikasi kelasi besi
Terapi kelasi besi bertujuan untuk detoksifikasi kelebihan besi yaitu
mengikat besi yang tidak terikat transferin di plasma dan mengeluarkan besi
dari tubuh. LIC (liver iron concentration) minimal 3000 ug/g berat kering hati
merupakan batasan untuk memulai kelasi besi namun biopsi adalah tindakan
yang invasif sehingga beberapa parameter lain menjadi pilihan. Pemberian
kelasi besi dimulai bila kadar feritin serum darah sudah mencapai 1000 ng/mL,
atau saturasi transferin >70%, atau apabila transfusi sudah diberikan sebanyak
1
10-20 kali atau sekitar 3-5 liter.

 Jenis dan cara pemberian kelasi besi


Terapi kelasi besi memerlukan komitmen yang tinggi dan kepatuhan dari
pasien dan keluarga. Jenis kelasi besi yang terbaik adalah yang dapat
digunakan pasien secara kontinu, dengan mempertimbangkan efektifitas, efek
samping, ketersediaan obat, harga, dan kualitas hidup pasien. Tiga jenis kelasi
besi yang saat ini digunakan adalah desferoksamin, deferipron, dan
deferasiroks. 1

44
Desferoksamin merupakan terapi lini pertama pada anak. Bila tingkat
kepatuhan buruk atau pasien menolak, deferipron atau deferaksiroks dapat
menjadi alternatif. Terapi kombinasi kelasi besi saat ini terbatas pada kondisi
kelebihan besi yang tidak dapat diatasi dengan monoterapi atau telah terdapat
komplikasi ke jantung. Klinisi perlu memperhatikan cost and benefit dalam
memutuskan kelasi mana yang akan digunakan dan berbagai kelebihan serta
kekurangan kelasi besi harus diinformasikan secara jelas kepada pasien dan
orangtua. Keputusan yang diambil pada akhirnya dibuat berdasarkan
kesepakatan dan kenyamanan pasien. 1

 Pemantauan efek samping kelasi besi


Gejala toksisitas kelasi besi perlu diperhatikan pada setiap pasien
thalassemia yang mendapatkan terapi kelasi. Beberapa hal berikut perlu
dipantau secara rutin bergantung pada jenis kelasi besi yang digunakan

Tabel 3. Efek samping kelasi besi dan pemantauannya


Desferoksamin Deferasiroks Deferipron
Darah perifer setiap minggu
lengkap, hitung
neutrofil
absolut
SGOT, SGPT setiap 3 bulan setiap 3-4 setiap 3
minggu bulan
Kreatinin serum setiap 3 bulan setiap 3-4 setiap 3
minggu bulan
Glukosa urin setiap 3-4
minggu

Elektrolit setiap 3-4


minggu

Pemeriksaan setiap tahun setiap tahun setiap


tahun
mata

Audiogram setiap tahun setiap tahun setiap


tahun

45
Tinggi duduk setiap 6 bulan setiap 6 bulan setiap 6
bulan

Berat badan setiap 3-4 minggu setiap 3-4 setiap 3-4 minggu
menurut tinggi minggu
badan
Gejala klinis setiap 3-4 minggu setiap 3-4 setiap 3-4 minggu
(mual, diare, minggu
gangguan
penglihatan
warna)

REKOMENDASI

 Kelasi besi diberikan bila kadar ferritin serum >1000 ng/mL atau saturasi
transferin >70% atau bila data laboratorium tidak tersedia, maka digunakan
estimasi pasien telah mendapatkan 3-5 liter atau
10-20 kali transfusi PRC. (GRADE B)
 Desferoksamin merupakan lini pertama kelasi besi pada anak.
(GRADE B)
 Pemeriksaan ANC sebaiknya dilakukan setiap 5-10 hari pada saat
penggunaan kelasi besi DFP, apabila terjadi neutropenia terapi dihentikan.
Apabila pemeriksaan ANC tidak mungkin secara
berkala, pemberian DFP dihentikan apabila pasien mengalami infeksi.
 Deferipron dan deferasiroks dapat menjadi pilihan bila pasien menolak
atau tidak patuh dalam menggunakan desferoksamin. (GRADE B)

 Terapi kombinasi desferoksamin dan deferipron diberikan bila kadar feritin


serum bertahan >2500 ng/mL selama 3 bulan, atau terjadi kardiomiopati
akibat kelebihan besi, atau MRI T2* jantung <20 ms sesuai dengan
hemosiderosis jantung. (GRADE B)

46
Bagan 2. Algoritme tata laksana transfusi darah

(Sumber : Perhimpunan Hematologi dan Transfusi darah Indonesia (PHTDI))

47
3.3.9 Komplikasi
 Komplikasi pada jantung
Komplikasi pada jantung akibat kelebihan besi umumnya terjadi
pada awal dekade kedua dan merupakan penyebab kematian (71%) dan
penyebab morbiditas utama pada thalassemia. Kematian akibat penyakit
jantung terjadi pada usia 15-30 tahun. Gejala yang timbul dapat berupa
nyeri dada dan palpitasi, aritmia, dan tanda-tanda gagal jantung secara
umum. Perlu disingkirkan kemungkian etiologi penyakit jantung yang
berasal akibat penyakit lain terkait thalassemia seperti hipotiroid,
hipokalsemia, diabetes yang tidak terkontrol, infeksi akut, trombosis, dan
hipertensi pulmoner. 1
 Komplikasi Endokrin
Komplikasi endokrin meliputi gagal tumbuh, perawakan pendek,
pubertas terlambat, hipogonadisme, hipotiroid, diabetes melitus,
osteoporosis, osteopenia, hipoparatiroid, hipoadrenal, impotensi, dan
infertilitas. Pubertas dikatakan terlambat jika tidak terdapatnya tanda-tanda
seks sekunder (pembesaran payudara) pada anak perempuan setelah usia
13 tahun, atau tidak bertambahnya volume testis menjadi ≥ 4ml pada anak
lelaki setelah usia 14 tahun. 1
 Komplikasi pada hati
Komplikasi hati umum terjadi pada thalassemia karena risiko
tinggi transmisi virus dari transfusi darah, toksisitas besi pada parenkim
hati, sistem bilier, dan toksisitas obat kelasi besi. Manifestasi yang muncul
dapat berupa tanda dan gejala hepatitis kronik dan akut, gejala obstruksi
pada sistem bilier, kolangitis, hipertensi portal, dan keganasan. Kelasi besi
deferipron memiliki efek toksik pada hati. 1
 Komplikasi pada sistem muskuloskeletal
Thalassemia dapat menyebabkan komplikasi pada tulang, sehingga
diperlukan identifikasi dini dan penanganan yang tepat. Osteopenia dan
osteoporosis merupakan komplikasi tulang tersering pada thalassemia.
Etiologi berkurangnya densitas tulang bersifat multifaktorial, yaitu
anemia yang menyebabkan eksapansi sumsum tulang, usia pasien, lama

48
penyakit, penyakit hati kronik, defisiensi vitamin B, hipogonadisme,
hipotiroid, dan komplikasi endokrin lainnya. Pasien yang tidak
mendapatkan transfusi secara adekuat akan mengalami deformitas tulang
terutama pada tulang kepala dan tulang wajah, maloklusi gigi, dan
sinusitis rekuren (akibat drainase inadekuat). 1
 Komplikasi infeksi
Infeksi adalah penyebab kematian kedua terbanyak pada
thalassemia mayor, setelah kematian akibat komplikasi jantung. Pasien
thalassemia memiliki risiko lebih tinggi mengalami infeksi karena
beberapa aspek imunitas pada pasien thalassemia mengalami perubahan,
di antaranya adalah penurunan jumlah neutrofil, jumlah dan fungsi natural
killer cells, peningkatan jumlah dan fungsi sel T supresor CD8, makrofag,
dan produksi interferon gamma. Faktor predisposisi yang perlu dipikirkan
pada pasien thalassemia dengan infeksi adalah splenektomi, transmisi
infeksi dari transfusi darah, kelebihan besi, atau efek samping kelasi besi.1

3.3.10 Prognosis
Komplikasi seperti gagal jantung, gangguan pertumbuhan,
keterlambatan pertumbuhan tanda pubertas akibat gangguan hormonal,
dan lainnya umumnya muncul pada awal dekade kedua, tetapi dengan tata
laksana yang adekuat/optimal prognosis usia mereka dapat mencapai
decade ketiga bahkan keempat.1 Seseorang dengan pembawa sifat
thalassemia dapat memiliki usia harapan hidup normal. Namun seseorang
yang menderita thalassemia major rata-rata hidup sampai usia 17 tahun
dan biasanya meninggal pada usia 30 tahunan. Sebagian besar penyebab
kematian oleh komplikasi jantung dari kelebihan besi.13 Namun, kualitas
hidup dan kemampuan bertahan hidup pasien thalassemia meningkat pada
pasien thalassemia yang memiliki gejala sedang ataupun berat. Hal ini
dikarenakan:14
- Pasien thalassemia sudah banyak yang bisa mendapatkan transfuse darah
- Skrining darah sebelum transfuse mengurangi jumlah infeksi akibat
transfuse darah

49
- Terapi kelasi besi tersedia dan lebih muda untuk didapatkan
- Sebagian pasien thalassemia telah diterapi dengan transplantasi stem sel
darah dan sumsum tulang

50
BAB IV
ANALISA KASUS

Pada laporan kasus ini akan membahas tentang seorang pasien An. F
berusia 8 tahun datang diantar Ibunya ke IGD RS AR Bunda Lubuklinggau
dengan keluhan utama yaitu pucat sejak sejak 1 minggu SMRS. Keluhan disertai
badan lemas dan tidak nafsu makan. Keluhan tidak disertai batuk pilek, mual
muntah dan demam. BAK dan BAB seperti biasa. Menurut Ibu pasien,
konsentrasi anak dalam belajar sedikit terganggu dalam 1 minggu terakhir.
Kemudian pada pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva anemis. Berdasarkan
anamnesis singkat dari keluhan utama dan pemeriksaan fisik abnormal
kemungkinan pasien mengalami anemia.
Gejala yang didapat pada pasien berupa pucat, lemas, mudah lelah
merupakan gejala umum anemia. Hal ini disebabkan karena iskemia organ target
serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap penurunan kadar
hemoglobin.3
Pertama kali pada tahun 2016 pasien datang dengan keluhan lemas dan
tampak pucat, lalu dibawa Ibunya berobat dan dikatakan dokter pasien mengalami
anemia berat dan membutuhkan transfuse darah. Kemudian setelah 3 bulan
kemudian keluhan pasien berulang dan dilakukan transfuse darah lagi. Adanya
riwayat transfuse berulang dapat dipikirkan bahwa pasien mengalami anemia yang
berlangsung kronik.
Berdasarkan penyebabnya, anemia disebabkan oleh tiga hal yaitu;
gangguan sintesis eritrosit, perdarahan, dan hemolysis. Pada anamnesis riwayat
penyakit dahulu keluhan muntah darah, BAB darah ataupun BAB hitam
disangkal. Keluhan tersebut bermakna bahwa penyebab anemia bukan berasal dari
perdarahan, baik perdarahan akut maupun kronik. Pada anemia akibat perdarahan
terbagi menjadi dua yaitu anemia pasca perdarahan akut dan anemia akibat
perdarahan kronik.3
Kemudian pada anamnesis keluhan riwayat sering demam berulang yang
naik turun, riwayat perdarahan seperti mimisan, lebam, ruam, serta bintik
kemerahan yang muncul di kulit disangkal oleh ibu pasien. Selain itu, pasien

51
bertempat tinggal di lingkungan perdesaan dan jauh dari tempat kerja industri
pabrik. Hal tersebut menyingkirkan bahwa anemia yang terjadi bukan berasal dari
anemia aplastik. Anemia aplastik merupakan bentuk anemia yang merupakan
sindrom dari kegagalan sumsum tulang, ditandai oleh pansitopenia pada darah
tepi dan hipoplasia sumsum tulang. Pansitopenia ini akan menyebabkan gejala
berupa mudah lelah dan pucat, sering memar, serta mudah terkena infeksi.
Anemia aplastik dapat terjadi akibat kerusakan langsung pada sumsum tulang
(akibat obat, bahan kimia, radiasi, atau infeksi virus), defek genetic.
Penyebab anemia karena defisiensi besi juga dapat disingkirkan karena
berdasarkan anamnesis menurut Ibu, anak mengonsumsi lauk-pauk bervariasi dan
nafsu makan baik. Hal tersebut menunjukkan bahwa asupan nutrisi anak baik.
Selain itu, keluhan riwayat diare lama, BAB keluar cacing disangkal. Hal tersebut
merupakan faktor yang mempengaruhi penyerapan zat besi. Faktor-faktor yang
berperan pada terjadinya defisiensi besi yaitu kurangnya asupan zat besi dari
makanan, dan infeksi parasite yang dapat mengakibatkan diare serta perdarahan
saluran cerna.
Keluhan berat badan menurun tidak ada. Keluhan adanya benjolan yang
tumbuh abnormal di badan tidak ada. Pada anak dengan penyakit keganasan
biasanya mengalami penurunan berat badan yang drastic. Kemudian tumor padat
yang bermetastasis ke sumsum tulang sering menimbulkan anemia. Beberapa
jenis tumor yang bermetastasis ke sumsum tulang neuroblastoma, limfoma non-
hodgkin, limfoma hodgkin, retinoblastoma. Oleh karena itu, anemia akibat
penyakit keganasan dapat disingkirkan
Keluhan riwayat BAK seperti air cucian daging, bengkak seluruh tubuh,
nyeri saat BAK disangkal. Hal tersebut menyingkirkan bahwa anak tidak pernah
mengalami penyakit infeksi di parenkim ginjal, yang mana infeksi tersebut dapat
menyebabkan penyakit ginjal kronik pada anak sehingga anemia akibat penyakit
ginjal kronik dapat disingkirkan. Penyakit ginjal kronik pada anak dapat
disebabkan berbagai etiologi seperti kelainan ginjal kongenital, didapat,
diturunkan, sindrom nefrotik, infeksi saluran kemih, uropati obstruktif, nefropati
refluks, hipertensi, dll. Kemudian keluhan sering nyeri-nyeri sendi ataupun sendi-
sendi bengkak disangkal. Hal tersebut bermakna bahwa keluhan yang mengarah

52
pada artritis juvenile idiopatik ataupun atritis pada penyakit lupus dapat
disingkirkan. Penyakit ginjal kronik, artritis juvenile, dan artritis pada lupus
eritematosus sistemik merupakan penyakit kronik yang sering menimbukan gejala
klinis anemia. Oleh karena pada pasien tidak ditemukan gejala tersebut sehingga
anemia akibat penyakit kronik dapat disingkirkan.
Pada pemeriksaan spesifik abdomen ditemukan yang abnormal yaitu
teraba hepar 1 jari dibawah arcus costae dan lien teraba pada scuffner 1.
Terabanya hepar dan lien menandakan organomegali pada pasien. Adanya gejala
umum anemia yang berlangsung kronik, riwayat transfusi berulang, pembesaran
organ menunjukkan bahwa anemia yang dialami oleh pasien mengarah pada
anemia hemolitik. Gejala khas pada anemia hemolitik yaitu icterus, splenomegaly
dan hepatomegaly. Anemia hemolitik yang dialami pada pasien kemungkinan
yaitu Thalassemia.
Kemudian dilakukan pemeriksaan penunjang berupa laboratorium
hematologi ditemukan hematologi abnormal berupa kadar Hb 9,7 g/dl, MCV 63
fl, MCH 22 pg. Berdasarkan kadar hemoglobin yang ditemukan dapat
disimpulkan pasien mengalami anemia. Hal tersebut juga didukung dari gejala
klinis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan sebelumnya. Anemia didefinisikan
sebagai penurunan jumlah massa eritrosit sehingga tidak dapat memenuhi
fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup ke jaringan perifer.3
Pada MCV yang ditemukan pada kasus mengalami penurunan. Anemia
dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran morfologis dengan melihat indeks
eritrosit atau hapusan darah tepi menjadi tiga golongan yaitu:
4) Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV <80 fl dan MCH <27 pg
5) Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
6) Anemia makrositer, bila MCV >95 fl
Berdasarkan penggolongan tersebut, anemia pada kasus ini tergolong pada anemia
hipokromik mikrositer. Penyakit-penyakit yang termasuk anemia hipokromik
mikrositer yaitu anemia defisiensi besi, thalassemia, anemia akibat penyakit
kronik.5
Selain itu, pada saat pertama kali keluhan muncul pasien juga menjalani
pemeriksaan laboratorium karena kecurigaan mengarah pada thalassemia dan

53
didapatkan hasil abnormal berupa kadar hemoglobin 9,5 g/dl, eritrosit
2,87x103/mm3, MCV 73,5 fl, kadar besi (Fe/iron) 106 µg/dl, TIBC 364, ferritin
81,07 ng/ml. Dari hasil pemeriksaan laboratorium hematologi dapat disimpulkan
pasien pada kasus mengalami anemia hipokrom mikrositer, namun besi serum
dalam tubuh dalam batas normal sehingga diagnosis anemia defisiensi besi dan
anemia akibat penyakit kronik dapat disingkirkan. Kemudian dilakukan
pemeriksaan gambaran darah tepi ditemukan mikrositik, hipokrom,
anisopoikilositosis (tear drops, target cell, mikrosit, fragmentosist, cigar shape),
serta pemeriksaan elektroforesis (HPLC) ditemukan Hb F 4,0% (meningkat),
HbA2 70,9% (meningkat), dari hasil gambaran darah tepi dan elektroforesis
didapatkan kesan Thalassemia beta-HbE. Diagnosis thalassemia didukung oleh
temuan dari gambaran darah tepi, elektroforesis hemoglobin, dan HPLC.
Anisositosis dan poikilositosis yang nyata (termasuk fragmentosit dan tear-drop),
mikrositik hipokrom, basophilic stippling, badan Pappenheimer, sel target, dan
eritrosit berinti (menunjukan defek hemoglobinisasi dan diseritropoiesis). HbA2
lebih dari 20% menandakan adanya HbE. Jika hemoglobin yang dominan adalah
HbF dan HbE, maka sesuai dengan diagnosis thalassemia β/HbE.1
Berdasarkan anamnesis, ibu pasien mengaku sebagai pembawa sifat
(carrier) thalassemia, serta pada sepupu pasien dari saudara perempuan ayah
pernah mengalami keluhan serupa namun didiagnosis anemia karena kekurangan
zat besi. Ayah pasien tidak menjalani skrining sehingga tidak bisa mengetahui
secara pasti apakah ayah pasien sebagai pembawa sifat juga atau bukan. Namun
adanya riwayat sepupu pasien dari saudara perempuan ayah yang mengalami
keluhan serupa tidak menutup kemungkinan bahwa dari keluarga ayah juga
membawa genetic thalassemia. Thalassemia adalah penyakit genetic yang
diturunkan secara autosomal resesif menurut hukum Mendel dari orang tua
kepada anak-anaknya. Penyakit thalassemia meliputi suatu keadaan penyakit dari
gejala klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) yang disebut thalassemia
minor atau thalassemia trait (carrier/pengemban sifat) hingga yang paling berat
(bentuk homozigot) yang disebut thalassemia mayor. Bentuk heterozigot
diturunkan oleh salah satu orang tuanya yang mengidap penyakit thalassemia,

54
sedangkan bentuk homozigot dituruankan oleh kedua orang tuanya yang
mengidap penyakit thalassemia.12
Pada kasus ini diberikan transfuse PRC sebanyak 250 cc. Tujuan transfusi
darah pada pasien thalassemia adalah untuk menekan hematopoiesis
ekstramedular dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Transfusi mulai
diberikan secara rutin setelah pasien didiagnosis thalassemia mayor dan nilai Hb
<7 g/dL lebih dari 2 minggu, atau terdapat gagal tumbuh atau deformitas tulang.
Volume dan kecepatan darah yang ditransfusikan bergantung pada nilai Hb
pratransfusi. Volume transfusi 10-15 mL/kg untuk Hb > 6 gr/dL, dan 2-5 mL/kg
untuk Hb < 5. Interval transfusi 12 jam, dan jarak antara transfusi berikutnya 2-4
minggu Transfusi dilakukan dengan target Hb post-transfusi 12-13 g/dL dan Hb
pratransfusi 9-10 g/dL.1 Target Hb yang diinginkan pada kasus yaitu 12-13 gr/dl.
Pada kasus berat badan pasien yaitu 24 kg, volume transfuse 10-15ml/kg/hari
untuk Hb >6 gr/dl sehingga PRC yang diberikan sekitar 240-360 ml. Pada anak,
pemberian PRC 4 mL/kgBB dapat meningkatkan kadar Hb sekitar 1 g/dL.15
Setelah transfuse pasien diberikan injeksi furosemide dengan dosis 1x20
mg/IV. Pemberian furosemide yang merupakan loop diuretic bertujuan sebagai
premedikasi setelah pemberian transfuse darah. Transfuse darah seringkali
menimbulkan komplikasi berupa retensi air yang mana dapat memperberat fungsi
paru-paru akibat edem, fungsi jantung, dan fungsi ginjal. Loop diuretic
merupakan medikasi yang dapat mengurangi cairan berlebih dengan cara eksresi
cairan melalui urin sehingga mencegah overload cairan didalam tubuh. Oleh
karena itu, loop diuretic sering digunakan sebagai premedikasi pada pasien yang
mendapat transfuse darah.16
Pada kasus pasien diberikan Injeksi Dexamethasone 1x5 mg dan Sanmol
4x1 cth/PO. Tujuan diberikannya injeksi dexamethasone sebagai kortikosteroid
dan sanmol yang mengandung paracetamol yang merupakan premedikasi untuk
mencegah reaksi transfuse. Premedikasi telah digunakan secara luas sejak tahun
1950 untuk mencegah reaksi transfusi, di Amerika penggunaannya mencapai
50%-80%. Premedikasi yang sering digunakan adalah golongan asetaminofen dan
difenhidramin. Asetaminofen efektif mengatasi demam dengan cara merangsang

55
inhibitor siklooksigenase, mempunyai efek analgesik dan antipiretik kuat, serta
sebagai antiinflamasi ringan.
Pemberian cairan pada kasus ini menggunakan NaCl 0,9%. Hal tersebut
dikarenakan NaCl 0,9% merupakan cairan yang isotonic bagi tubuh. Dari berbagai
macam cairan intravena, hanya isotonic saline (0,9%) yang direkomendasikan
untuk digunakan dengan komponen darah. Larutan lain yang biasa digunakan
dapat menimbulkan kesulitan jika bercampur dengan sel darah merah. Misalnya,
dekstrose 5% didalam air akan menghemolisis sel darah merah. Kemudian larutan
intravena yang mengandung kalsium seperti Ringer Laktat dapat menyebabkan
penggumpalan di dalam pembuluh darah. Oleh karena itu, NaCl 0,9 dipilih untuk
digunakan sebelum dan sesudah transfuse darah.
Pasien juga mendapatkan obat rutin yaitu Exjade 1x500 mg/PO. Exjade
mengandung deferasirox. Bioavailabilitas oralnya baik dan waktu paruhnya
panjang sehingga sesuai untuk pemberian 1 kali per hari. Dosis dimulai dari 20
hingga 40 mg/kg/hari. Desferoksamin merupakan terapi lini pertama pada anak.
Bila tingkat kepatuhan buruk atau pasien menolak, deferipron atau deferaksiroks
dapat menjadi alternative.1

DAFTAR PUSTAKA

56
1. KEMENKES RI. 2018. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tatalaksana
Thalasemia. KEMENKES RI Nomor HK.01.07/MENKES/1/2018.
2. Wahidiyat, I. 2003. Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia.
Subbagian Hematologi.Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI. Jakarta. Sari
Pediatri, Vol. 5, No. 1, Juni 2003.
3. Bakta IM. 2006. Hemoglobinopati dalam Hematologi Klinik Ringkas.
Denpasar. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
4. Wirawan R. 2011. Pemeriksaan Laboratorium Analisa Hemoglobin pada
Thalasemia dan Hemoglobin Varian dalam Analisa Hemoglobin dengan Cara
Konvensional dan Mikrokapiler elektroforesis. Jakarta. Fakultas Kedokteran
Indonesia.
5. Rujito, L. 2019. Talasemia: Genetik Dasar dan Pengelolaan Terkini. Cetakan
Kesatu. Purwokerto. UNSOED Press.
6. Setyaningsih, I. 2009. Dasar-Dasar Thalassemia dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid II. Jakarta. Balai Penerbit FKUI.
7. KEMENKES RI. 2017. Profil Penyakit Tidak Menular Tahun 2016. Jakarta.
KEMENKES RI.
8. Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC.
9. Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
10. Schechter AN. 2008. Hemoglobin research and the origins of molecular
medicine. Dalam Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma.
11. Permono, H.B., & Ugrasena, IDG., 2006. Buku Ajar Hematologi-Onkologi
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI,
12. Regar, J. 2009. Aspek Genetik Talasemia. Jurnal Biomedik, Volume I, Nomor
3. Bagian Biologi Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
13. Modell B, Khan M, Darlison M. 2000. Survival in beta-thalassaemia major in
the UK: data from the UK Thalassaemia Register. Lancet.
14. National Heart Lung and Blood Institute (NHLBI). 2019. Diakses di
https://www.nhlbi.nih.gov/health-topics/thalassemias tanggal 7 Mei 2021 .

57
15. Wahidayat, P, Adnani, N. 2016. Transfusi Rasional pada Anak. Sari Pediati.
Vol. 18. No.4 Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia/RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo.
16. Sarai, M., Tejani, A. 2015. Loop diuretics for patients receiving blood
transfusions. University of British Columbia. USA. Diakses di
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC6486043/ tanggal 10 Mei
2021.
17. World Health Organization, 1968. Nutritional anaemias. Report of a WHO
scientific group. Geneva, (WHO Technical Report Series, No. 405). Diakses
di http://whqlibdoc.who.int/trs/WHO_TRS_405.pdf tanggal 12 Mei 2021.

58

Anda mungkin juga menyukai