Anda di halaman 1dari 2

Sikap Terhadap Farisi dalam Kisah Para Rasul

Gabriel Mario-6121801014
Dalam penelusuran kitab ini, kita akan menjumpai beberapa fragmen yang menggambarkan
sikap para rasul yang melunak terhadap kaum Farisi. Bisa dikatakan ini cukup kontras dengan
sikap Sang Guru yang ditunjukkan oleh injil Sinoptik (“celakalah kamu keturunan ular
beludak, orang munafik, dan sebagainya”). Mungkin, tindakan ini sebentuk usaha reunifikasi
relasi di antara mereka yang selama ini kurang harmonis. Berkaitan dengan hal tersebut,
agaknya nama Gamaliel tidak boleh dilupakan. Tokoh ini menjadi pintu masuk para rasul
dalam bersikap toleran terhadap kaum Farisi.
Gambaran terhadap Gamaliel bisa kita lihat pada Kis 5:26-42. Salah satu poin penting pada
perikop ini adalah soal pembelaan Gamaliel terhadap para rasul. Dalam memahami poin ini,
kita perlu menelusuri konteks dekatnya. Kala itu, para rasul dihadapkan dengan anggota
Mahkamah Agama. Mereka didakwa telah tidak taat oleh aturan imam besar yang melarang
mereka mengajar dalam nama Yesus. Namun, Petrus dan para murid tidak mengindahkan
aturan tersebut. Mereka tidak jera sekalipun ini adalah penangkapan yang kedua. Malahan,
mereka berkata, “Kita harus lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia.” (ay. 29).
Pernyataan tersebut rupanya dilanjutkan dengan khotbah Kristologis yang sangat mengusik
ketenangan para imam besar. Hal ini terlebih-lebih ketika mereka mendengar frasa “…..yang
kamu gantungkan pada kayu salib…….” (ay.31).
Dalam penafsiran eksegetis, kata “digantungkan pada kayu salib” mengingatkan kutukan
terhadap semua yang tergantung pada pohon (Ul 21:22-23).1 Orang Yahudi memandang
penyaliban Yesus sebagai kutukan sebagaimana difirmankan melalui taurat. Hal ini membuat
mereka bertanya bagaimana mungkin Mesias dikutuk oleh Allah. Kebingungan itu dijawab
oleh para rasul dengan berani. Mereka mengatakan bahwa Allah justru membangkitkan dan
meninggikan orang yang dibunuh sedemikian kejam menjadi penguasa dan penebus Israel.
Dengan kata lain, Allah Bapa menghendaki Yesus mengalami kematian dan kemudian
dibangkitkan.
Mendengar hal tersebut, para imam besar pun merasa sakit hati dan ingin membunuh mereka.
Namun, beruntung bahwa sosok Gamaliel tampil di sini. Ia merupakan rabi yang paling
terkenal pada zamannya, pemimpin golongan Farisi dalam Sanhendrin, dan guru Saulus dari
Tarsus (22:3).2 Dengan otoritas yang kuat, ia menasihati Mahkamah Agama untuk berpikir
ulang atas aksi yang mereka rencanakan. Hal ini tampak dalam pernyataannya, “…
Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu
akan lenyap, tetapi kalau berasal dari Allah, kamu tidak akan dapat melenyapkan orang-orang
ini; mungkin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah.” (ay. 38-40).
Pernyataan yang dilontarkan Gamaliel adalah benar ajaran Farisi. Ia ingin menekankan
bahwa Allah berada di atas segala-galanya, dan tidak memerlukan pertolongan manusia untuk
melaksanakan maksud-maksud-Nya. Hal yang perlu dilakukan manusia hanyalah taat, dan
biarkan Dia menyelesaikan semua persoalan.3 Di samping itu, Gamaliel mengingatkan bila
1
Bdk. Dianne Bergant, CSA dan Robert J. Karris (eds), Tafsir Alkitab Perjanjian Baru, (terj) A.S. Hadiwiyata
(Yogyakarta: Kanisius, 2002) 222.
2
Donald Guthrie, dkk. (eds), Tafsiran Alkitab Masa Kini 3, (terj) Dr. Soedarmo (Jakarta: Yayasan Komunikasi
Bina Kasih, 1999) 350.
3
Donald Guthrie, loc.cit.
gerakan yang palsu akan menghilang bersamaan dengan matinya pemimpin mereka.
Sebaliknya, gerakan yang sejati terus berkembang karena rencana dan penyelenggaraan dari
Allah.4
Berdasarkan pernyataan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa Gamaliel adalah seorang
Farisi yang toleran. Ia menyelematkan para rasul dari ancaman maut. Sikapnya itu persis
menyadarkan para rasul bahwa tidak semua kaum Farisi itu buruk. Tentu, ini awal reunifikasi
yang baik bagi mereka.

4
Dianne Bergant, CSA, op.cit., 223.

Anda mungkin juga menyukai