Anda di halaman 1dari 1

GABRIEL MARIO-6121801014

Saya pribadi cenderung memiliki pendekatan budaya, sama seperti yang dilakukan Paulus. Bagi saya,
pendekatan ini terbukti efektif dalam menyebarkan iman secara luas. Kita mengetahui bahwa Gereja
tumbuh subur hingga sekarang karena melakukan inkulturasi budaya. Secara konkret, saya
mengangkat teladan Romo van Lith yang berhasil mengawinkan antara iman Kristiani dengan budaya
Jawa. Memang, awalnya dia sempat mengalami kegagalan dan ketegangan dalam melakukan itu.
Namun, ia dengan gigih terus berjuang hingga akhirnya mampu membaptis 171 orang Jawa di
Sendang Sono.

Berbicara soal eksklusif atau inklusif, hal ini tergantung dari sudut pandang mana yang dipilih.
Pendekatan budaya bisa dikatakan eksklusif karena pewartaan iman hanya dilakukan dalam lingkup
masyarakat budaya tertentu. Misal, bentuk inkulturasi dalam wujud Gereja HKY Ganjuran akan
sangat mengena dalam penghayatan iman orang Jawa dibanding Batak. Sebaliknya, musik liturgi
dengan iringan gondang akan lebih menyentuh bagi orang Batak dibanding orang Jawa yang identik
dengan gamelan.

Adapun pendekatan budaya bisa dikatakan inklusif karena mampu meresap dalam akar kultural
masyarakat tertentu. Artinya, pewartaan iman bisa terlepas dari kungkungan nuansa Barat-Romawi
yang kental. Dalam hal ini, kita melihat Gereja terbuka terhadap segala kalangan, budaya, etnis, suku
bangsa, dan bahasa apa saja untuk mewartakan kasih Kristus. Tidak mengherankan bila hingga hari
ini Gereja masih mempertahankan pendekatan kultural dalam pewartaan iman.

Anda mungkin juga menyukai