Anda di halaman 1dari 24

PERINTAH ALLAH

KESEMBILAN:
JANGAN
MENGINGINI ISTRI
SESAMAMU

Vinsensius Septa Karunia (6121801010)

Rahmat Syukur Waruwu (6121801013)

Gabriel Mario Lefaan (6121801014)


INTRODUKSI

– Jangan mengingini rumah sesamamu, jangan mengingini istrinya, atau


hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan atau lembunya atau keledainya,
atau apapun yang dipunyai sesamamu (Kel 20:17 )
– Kitab Keluaran menerapkan iman pada keinginan tak teratur bangsa Israel yang
masih mengembara di padang gurun. Orang-orang Israel tidak memiliki harta
atau hak milik yang tetap
– Penekanan terhadap posisi istri masih disamakan dengan harta milik
– “Jangan Mengingini Istri sesamamu” – “Jangan Menghasratkan Rumahnya” (Ul
5:21)
– Kitab Ulangan memperlihatkan imam yang sudah lebih mampu memahami
kehendak Allah dengan perubahan cara hidup bangsa Israel. Umat Israel sudah
sampai di Tanah Terjanji, mereka sudah mempunyai rumah tetap, sudah
memiliki ladang yang sebelumnya tidak disebut dalam Kitab Keluaran.
– Istri tidak lagi digolongkan dalam segala miliki lainnya, tetapi mendapat tempat
sendiri. Bentuk ungkapan kehendak Allah di Ulangan lebih jelas membedakan
keinginan kepada istri sesama dan hasrat kepada milik lainnya
– Firman kesembilan menekankan “Jangan mengingini istri sesamamu.”
– Penekanannya adalah mengingini untuk memiliki, oleh karenanya jelas bahwa
perasaan tertarik kepada seseorang itu tidak dilarang.
– Diperingatkan bahwa perkawinan orang lain tidak boleh dihancurkan karena
egoisme.
– Dalam PL, kisah Daud dan Batsyeba: tindakan Daud sungguh-sungguh bejat
yang dilakukan oleh orang yang berkuasa kepada orang yang tidak berdaya.
– Dalam Deuterokanonika, Daniel 13:1-64 mengisahkan wanita yang telah kawin,
hendak digoda oleh dua hakim. Perempuan itu diselamatkan oleh nabi Daniel,
sedangkan dua hakim itu dihukum mati.
– Kisah yang menggambarkan mengenai sikap mengingini istri sesama.
– Bahaya dari kemauan berzina adalah menganggap rendah martabat dan nilai
perkawinan memusnahkan cinta kasih suami-istri yang sebenarnya adalah
gambaran cinta Allah kepada umatNya.
– Sikap yang lebih dewasa untuk menolak keinginan melakukan zina bukan pertama-
tama menolak daya tarik yang dirasakan, melainkan mengakui diri bahwa manusia
itu lemah.
KATEKISMUS GEREJA KATOLIK

– “Secara etimologis, kata "keinginan" dapat berarti setiap bentuk keinginan kuat
manusia. Teologi Katolik mengartikannya dengan “satu daya perasaan nafsu
berahi yang kuat, yang melawan pikiran manusia” (KGK 2515).
– Keinginan kuat ini terkait dengan nafsu berahi yang kuat yang melawan akal
sehat (pikiran) manusia.
– Manusia sudah tidak dapat berpikir dengan jernih mana yang benar, mana yang
salah, yang penting adalah keinginan dan hasrat kuat untuk memiliki sesuatu
dari orang lain dapat terpenuhi.
– “Oleh karena manusia adalah makhluk yang terdiri dari roh dan badan,
terdapatlah di dalamnya semacam ketegangan: kecenderungan roh dan badan
berada dalam semacam perlawanan. Tetapi konflik ini adalah warisan dari dosa; ia
berasal darinya dan serentak menyatakannya. Kita mengalaminya dalam
perjuangan rohani sehari-hari” (KGK 2516).
– Dalam diri manusia terdapat konflik antara roh dan badan saat berhadapan
dengan suatu keinginan.
– Karena keinginan yang kuat mempengaruhi seluruh diri manusia. Akal sehat tak
dapat bekerja dengan baik. Yang ada hanyalah nafsu dan hasrat yang kuat untuk
memenuhi keinginan tersebut
– “Hati adalah tempat kediaman kepribadian susila: "Karena dari hati timbul
segala pikiran jahat, perzinaan, percabulan, pencurian, sumpah palsu, dan
hujat" (Mat 15:19). Dalam perjuangan melawan keinginan daging dibutuhkan
pembersihan hati dan pengekangan diri” (KGK 2517)
– Hati merupakan instrumen penting dalam diri manusia yang mampu untuk
memilih dan memilih mana perbuatan yang baik, mana yang jahat; apa yang
pantas, apa yang tidak pantas.
– Melatih suara hati serta harus mendengarkan dan menanggapi apa yang
disampaikan oleh suara hati.
– “Pembaptisan memberi kepada yang dibaptis rahmat pemurnian dari segala
dosa. Tetapi selanjutnya orang yang dibaptis itu harus berjuang melawan
keinginan daging dan hawa nafsu yang tidak teratur” (KGK 2520).
– Manusia yang sudah dibaptis mendapat rahmat untuk senantiasa melakukan
pemurnian hati dengan cara terus berjuang melawan keinginan daging dan
hawa nafsu tak teratur.
– Mendengarkan, menanggapi, dan melaksanakan apa yang dikatakan suara hati.
– “Kemurnian menuntut sikap yang sopan. Ini adalah bagian hakiki dari pengekangan diri.
Sikap yang sopan memelihara hal-hal pribadi manusia. Ia menolak membuka apa yang
harus disembunyikan. Ia diarahkan kepada kemurnian yang perasaan halusnya ia
nyatakan. Ia mengatur pandangan dan gerakan sesuai dengan martabat manusia dan
hubungan di antara mereka” (KGK 2521).
– Sikap sopan yang dimaksud dalam KGK ini mengacu pada menghormati manusia lain
menghormati istri orang lain. (Menghormati martabat perempuan).
– “Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzina
sengan dia dalam hatinya” (Mat 5:28) senantiasa menghargai, menghormati, dan
memperlakukan perempuan sebagai ciptaan Tuhan yang diciptakan sungguh amat baik,
yang sempurna baik fisik maupun hatinya.
– “Untuk pembersihan hati dibutuhkan doa, kemurnian, kejujuran maksud, dan
pandangan” (KGK 2532).
– Perintah Allah kesembilan mengajak kita untuk selalu mengarahkan setiap
perbuatan sehari-hari sesuai dengan kehendak hati.
– Sekalipun perempuan itu sudah menjadi milik orang lain (sudah menikah) kita
harus menghormatinya sebagai pribadi dan juga milik orang lain. Dengan
demikian relasi dengan orang lain dan juga istrinya akan tetap terjaga dan
terjalin dengan baik.
AYAT PROBLEMATIS?

– Kel 20:27, “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-
laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai
sesamamu.”
– Ayat ini tampak “menomorduakan” posisi wanita
– Wolfgang Wegert, penulis buku The Law of Freedom: Kata “rumah” tidak semata-mata merujuk pada
sebuah bangunan tempat tinggal yang terbuat dari batu dan kayu. Lebih dari itu, kata “rumah”
merujuk pada apa-apa saja yang tidak boleh kita ingini. Dalam konteks ini, kata “rumah” merujuk
pada keberadaan isteri, hamba laki-laki, hamba perempuan, hewan ternak, dan segala hal yang
dimiliki oleh pemilik rumah tersebut. Atau dengan kata lain, seseorang yang telah ‘memiliki’ rumah
orang lain akan secara langsung memiliki “isi” yang ada di dalamnya.
– Isteri harus dilihat bukan sebagai “objek” (barang), melainkan “subjek” (persona). Martabatnya
haruslah dihargai lebih dari segala kemilikan apapun.
PERBEDAAN DENGAN
PERINTAH KEENAM
– Sebagian besar umat menganggap bahwa perintah ini sama dengan perintah
keenam, “Jangan berzinah”
– Perintah keenam lebih menekankan pada tindakan lahiriah (seksual). Adapun
perintah kesembilan lebih menekankan pada keinginan dan kehendak.
– Keinginan merupakan akar dosa. Keinginan yang tidak baik mengantarkan kita
pada tindakan kejahatan.
– Peschke, dalam bukunya Etika Kristiani Jilid I: Pendasaran Teologi Moral,
mengetengahkan penguasaan atas hawa nafsu sebagai salah satu syarat
fundamental untuk kebajikan, disamping pengetahuan moral (kebijaksanaan) dan
cinta terhadap nilai etis.
– Perwujudan nilai-nilai moral dapat terhalang oleh nafsu yang tidak cukup terkontrol.
Hawa nafsu dapat mencekik dan mematikan cinta terhadap kebajikan.
– Penguasaan hawa nafsu sendiri bukanlah hakikat dari kebajikan. Esensi kebajikan
terletak di dalam sikap “cinta terhadap nilai sejati” yang merupakan unsur utama.
Sikap inilah yang memampukan seseorang untuk mengendalikan hawa nafsu.
RELEVANSI BAGI HIDUP
PERKAWINAN
– “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan
isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka
bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah,
tidak boleh diceraikan manusia." (Mat 19:3-6) pernikahan yang sejati adalah
bukanlah poligami, melainkan monogami (pernikahan seorang laki-laki dengan
seorang wanita saja).
– Dalam beberapa kisah di Perjanjian Lama tampak seolah-olah poligami itu
diperbolehkan. Poligami justru dipandang sebagai bentuk pernikahan yang
merusak maksud Tuhan dengan nikah itu.
– PL (Kejadian): gejala poligami itu mulai timbul di lingkungan keturunan Kain.
– Lamekh, pemberontak congkak yang menentang Hukum Tuhan, menolak
monogami dengan memilih poligami (Kej 4:17-24)
– Dr. J. Verkuyl, etikawan Kristen: Lamekh sedang melakukan “tarian-perang”
bersama dengan kedua isterinya, Ada dan Zila tiga motif: yakni dendam,
keangkuhan, dan cinta-birahi (eros)
– Alkitab menunjukkan tindakan poligami mendatangkan sebuah ‘bencana’ dalam hidup
perkawinan.
– Abraham menikahi Hagar, hamba Sara, disebabkan oleh keraguan mereka terhadap janji Tuhan
(Kej 16).
– Kebahagiaan pernikahan Yakub terganggu oleh kecemburuan antara Rakhel dan Lea (Kej 29-30).
– Keluh-kesah mengharukan dari Hana yang melihat Elkana, suaminya, berhubungan dengan
Penina (1 Sam 1).
– Salomo yang bijaksana itu, rupanya mencemarkan martabatnya sebagai raja Mesianis, karena ia
hendak mengadakan perseliran yang lazim dilakukan oleh para raja Timur-Tengah (700 istri dan
300 gundik! Lih. 1Raj 11)
– Nabi Hosea memandang kesetiaan Yahwe kepada kita sebagai dasar yang teguh
bagi kesetiaan antara seorang laki-laki dan seorang wanita di dalam pernikahan.
– Tuhan juga menghendaki supaya perjanjian-nikah itu merupakan perjanjian
antara seorang laki-laki dan wanita yang saling menyerahkan diri sepenuhnya.
MEMAHAMI ‘AGAPE’ DAN
‘EROS’
– Verkuyl: Kitab Suci membela monogami karena melihat hanya pernikahan jenis ini
yang sesuai dengan agape, kasih yang melayani. Menurut pandangan umum,
agape kerapkali dipertentangkan dengan eros, cinta-birahi.
– Eros, yang tampak dalam gejala nafsu seksual, bukanlah dosa itu sendiri. Tuhan
sendirilah yang menciptakan nafsu seksual itu ke dalam diri manusia. Tuhan
hendak memberikan tempat kepada cinta-birahi itu di dalam pernikahan. Agape
tidak mencari keuntungan diri sendiri, melainkan tertuju kepada kebahagian
bersama.
– Eros itu harus dibarengi oleh agape yang berkaitan erat dengan sikap melayani,
memelihara, melindungi, dan mendukung.
– Eros akan menimbulkan bencana yang merusak bahtera rumah tangga bila tidak
disertai agape. Hal ini bermula dari ketidaksetiaan oleh pasangan karena ingin
mencari “objek-objek” baru demi pemuasan nafsunya.
– Eros membutuhkan agape yang memampukan pasangan suami-isteri
memahami monogami sebagai tuntutan Tuhan dan sebagai pemberian yang
besar dari Tuhan.
– Monogami membebaskan manusia dari nafsu liar yang kerapkali menghantar
kepada jeratan dosa.
MENGHINDARKAN DIRI DARI
PROMISKUITAS

– Dalam sudut pandang teologi moral, promiskuitas merupakan sebuah dosa


promiskuitas merupakan gejala persetubuhan liar yang mengutamakan eros
daripada agape
– Persetubuhan adalah anugerah Tuhan yang tidak boleh kita “rampas”
menerima anugerah itu dengan menaati jalan dan tata-tertib Tuhan.
– Ia hanya menghendaki persetubuhan di dalam persekutuan pernikahan.
– Mereka yang bersetubuh sebelum (di luar) pernikahan, hakikatnya telah
merampas anugerah Tuhan dan secara ilegitim meraih kemungkinan di dalam
kehidupan seksual itu.
– Peraturan kesembilan ini tidak pernah memperbolehkan seseorang memilih
pelacuran. Pelacuran bukanlah “jalan-pintas”, terlebih bagi para suami (isteri)
untuk mengatasi peraturan ini. Pelacuran juga termasuk bagian dari dosa.
– Tuhan tidak menghendaki tubuh yang Ia berikan disalahgunakan oleh manusia.
Nilai sakral dalam persetubuhan dirusak oleh pelacuran.
– Pergaulan antara lelaki dan pelacur hanya sebatas relasi seksual belaka. Si lelaki
hanya mencari penggunaan fungsi alat-kelamin. Sebaliknya, si pelacurpun tidak
menyerahkan pribadinya kepada pelanggannya, tetapi sebatas alat-kelaminnya
saja.
SIKAP KONKRET KITA

– Sikap mengingini ternyata tidak hanya sebatas pengertian mengingini fisik


perempuan atau istri sesama seperti yang dituliskan dalam Kitab Suci Perjanjian
Lama.
– Rangsangan yang sangat besar dari iklan-iklan industri dan perdagangan
membawa setiap manusia untuk berkeinginan memiliki hal yang mereka
tawarkan.
– Sikap tersebut membuat manusia melakukan segala cara agar dapat memilikinya,
dalam beberapa kasus dapat dilihat bahwa terjadi kasus korupsi, pencurian dan
tindakan-tindakan lainnya untuk mendapatkan barang yang diinginkan.
– “Siapa yang menyesatkan salah satu dari orang-orang yang kecil ini yang percaya
kepada-Ku, lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya
lalu ia ditenggelamkan ke dalam laut. Celakalah dunia dengan segala
penyesatannya: memang penyesatan harus ada, tetapi celakalah orang yang
mengadakannya” (Mat 18:6-7)
– Sabda Yesus yang disampaikan oleh penginjil Matius merupakan sebuah teguran
untuk tidak menjadi sosok yang membuat sesama jatuh dalam dosa.
– Sikap kita terhadap situasi ini hendaknya lebih terbuka untuk memperbaiki diri dan
menjadi saudara yang mengingatkan sesama agar tidak jatuh dalam dosa, dalam
keinginan-keingian daging yang tidak menjadi kebahagiaan hidup yang kekal.  

Anda mungkin juga menyukai