Sepuluh Firman Allah berperanan dalam masyarakat Yahudi sama seperti Pancasila
berperanan dalam masyarakat Indonesia. Sepuluh Firman Allah merupakan “dasasila”
dan bisa diajarkan demikian. Karena itu, arti dan maksud asli perlu dipertahankan
sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bukan sebagai sepuluh “perintah” Allah
yang sangat moralistik-individualistik seperti terkesan dalam banyak buku pelajaran
agama kita sampai sekarang. Sepuluh Firman Allah yang merupakan pedoman hidup
bermasyarakat diimani sungguh oleh bani Israel sebagai kehendak Allah.
1. Jangan memuja berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan cintailah Aku lebih
daripada segala sesuatu.
2. Jangan menyebut nama Allah, Tuhanmu, tidak dengan hormat.
3. Kuduskanlah hari Tuhan.
4. Hormatilah ibu-bapamu.
5. Jangan membunuh,
6. Jangan berbuat cabul.
7. Jangan mencuri.
8. Jangan naik saksi dusta terhadap sesamamu manusia.
9. Jangan ingin berbuat cabul.
10. Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil.
Pada dasarnya sepuluh perintah ini ditemukan dalam Kel 20:1- 17 dan Ul 5:6-21. Tetapi
antara teks sepuluh perintah Allah dan teks Kitab Suci itu ada perbedaan yang cukup
berarti. Rumus Kitab Suci yang asli jauh lebih panjang, khususnya perintah yang
pertama, mengenai penyembahan berhala, amat ditekankan dan dirumuskan panjang-
lebar. Begitu juga perintah yang ketiga mengenai hari Tuhan, yaitu Sabat. Perintah
keempat mengenai orangtua dalam rumus Kitab Suci disertai motivasi: “supaya lanjut
umurmu di tanah yang diberikan Tuhan”. Perintah pertama sebetulnya malah
merupakan dua perintah: “Janganlah ada padamu ilah-ilah lain di hadapan-Ku” dan
“Jangan membuat bagimu patung atau gambaran apa pun”. Dengan demikian
sebetulnya ada sebelas perintah. Perintah ke-9 dan ke-10, mengenai keinginan,
sesungguhnya hanya satu perintah. Jadi, jumlahnya tetap sepuluh. Perumusannya juga
sedikit berbeda. Perintah ke-6 berbunyi “Jangan berzinah” (bukan “jangan bercabul”)
sedangkan perintah ke-8 “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”.
Perintah ke-9 (yang menjadi satu dengan perintah ke-10) paling berbeda: “Jangan
mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istri sesamamu, atau hambanya laki-
laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang
dipunyai sesamamu” (di sini Kitab Ulangan malah berbeda dengan Kitab Keluaran: istri
disebut sebelum rumah, dan ditambah “ladang”). Maka tidak mengherankan bahwa,
baik dalam agama Yahudi maupun dalam Gereja-gereja Kristen, perhitungan sepuluh
perintah tidak sama dan rumusannya sering amat berbeda. Rumusan dan urutan yang
sekarang lazim dipakai di dalam: Gereja Katolik berasal dari St. Agustinus.
Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa sepuluh perintah ini “ditulis Tuhan pada dua loh
batu” (Ul 5:22; 9:10; bdk. Kel 24:12). Dengan demikian mau dinyatakan bahwa perintah-
perintah ini betul-betul mengungkapkan kehendak Allah. Tentu saja, seperti seluruh
Kitab Suci lainnya, perintah-perintah ini juga ditulis oleh seorang manusia. Tetapi Israel
mempunyai keyakinan bahwa di dalamnya benar-benar terungkap keprihatinan Tuhan
yang menghendaki umat-Nya tetap hidup dan setia pada-Nya. Dalam sepuluh perintah
Allah tidak hanya dirumuskan kewajiban manusia terhadap Allah, tetapi juga tuntutan
terhadap sesama manusia, khususnya syarat-syarat kehidupan manusia dalam
masyarakat. Dinyatakan bahwa hak-hak manusia itu, serta perlindungannya,
merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam Kitab Suci sepuluh perintah Tuhan
ditempatkan dalam kerangka perjanjian Israel dengan Tuhan. Dengan demikian, jelas
bahwa perintah-perintah ini bukanlah sembarang peraturan, melainkan ungkapan moral
Israel sebagai umat Allah. Sepuluh perintah itu suci dan menyangkut sikap hati manusia
terhadap Allah. Sepuluh perintah Allah itu bukan hanya peraturan sosial atau hukum
kenegaraan, melainkan rumusan singkat sikap dan tugas para warga umat Tuhan. Di
dalamnya moral dan iman menjadi satu.
Sepuluh perintah sebetulnya lebih merupakan ajakan moral daripada ketetapan hukum.
Di dalamnya tidak dikatakan mana perbuatan konkret yang terlarang atau yang dituntut.
Sepuluh perintah menunjuk pada bidang-bidang kehidupan yang di dalamnya para
warga umat Allah harus bertindak menurut keyakinan iman dengan memperhatikan
kepentingan manusia. Dalam sepuluh perintah, iman dan agama merupakan bidang
tempat manusia berhubungan dengan Tuhan. Sepuluh perintah juga menyebutkan
pelbagai bidang kehidupan tempat manusia berurusan dengan sesamanya: bidang
keluarga, bidang sosial (pengadilan), dan bidang ekonomi. Di sana diberikan asas-asas
atau prinsip kehidupan moral. Setiap saat prinsip-prinsip itu harus dipikirkan kembali
dan diwujudkan sesuai dengan tuntutan baru di dalam situasi dan kondisi kehidupan
yang nyata.
Oleh karena itu, sepuluh perintah ini sewajarnya disebut Dasafirman atau Dekalog,
yang lebih merupakan sabda Tuhan yang menyapa orang berhubungan dengan
kewajiban hidupnya, dan bukan perintah atau peraturan konkret. Dekalog bukan norma
hukum atau dasar pengadilan. Dasafirman adalah wahyu, karena mau mengarahkan
manusia kepada kebahagiaan yang sejati. Dasar Dasafirman itu adalah tindakan
penyelamatan Tuhan sendiri: “Akulah Yahwe, Allahmu, yang telah membawa engkau
keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel 21:2 = Ul 5:6). Keprihatinan dan
kerahiman Tuhan demi kemerdekaan menjadi pegangan kehidupan manusia yang
paling dasariah, dan sikap Tuhan menjadi pedoman utama bagi semua usaha manusia:
membawa sesama keluar dari tempat perbudakan menuju “kebebasan anak-anak
Allah” (Rm 8:21). Karena mengungkapkan kehendak Allah demi keselamatan, tradisi
katekese memakai Dasafirman bagaikan sepuluh perintah sebagai titik pangkal guna
menguraikan “iman yang harus dipercaya dan diterapkan dalam hidup” (LG 25). Karena
Dasafirman yang terkenal itu meliputi bidang-bidang kehidupan manusia secara luas
dan selalu terbuka untuk diartikan dalam rangka pengalaman hidup, maka kiranya
membantu, kalau pandangan hidup orang Kristen diuraikan lebih rinci dengan mengikuti
urutan sepuluh perintah.