Anda di halaman 1dari 4

Catatan Tambahan

1. Menurut Sebuah Kamus Katolik, Sepuluh Perintah Allah dituliskan langsung oleh


Allah pada loh-loh batu yang ditempatkan di dalam Tabut Perjanjian serta
membentuk "pusat dan inti dari agama Yahudi. Perintah-perintah tersebut
diberikan secara lebih langsung oleh Allah daripada bagian lain dari hukum
Yahudi, dan ditempatkan di dalam tempat tersuci, hanya imam besar yang dapat
masuk ke dalamnya, serta hanya sekali setahun."
2. Gereja Katolik meyakini bahwa hal ini secara berkelanjutan dipandu oleh Roh
Kudus dan dengan demikian dilindungi dari kemungkinan terjadinya kesalahan
doktrinal. Otoritas doktrinal tertinggi dalam Gereja terletak pada keputusan-
keputusan dari konsili ekumenis yang dipimpin oleh paus.
3. Umat Kristen Yahudi merayakan hari Sabat pada hari terakhir setiap minggu dan
tetap memelihara hukum-hukum Yahudi terkait hari Sabat. Namun, sejak abad-
abad awal, sebagian besar umat Kristen non-Yahudi telah merayakannya pada
hari pertama setiap minggu dengan pertimbangan bahwa mereka bebas dari
ketentuan-ketentuan hukum Yahudi yang banyak itu.
4. Beberapa pendukung pro-pilihan menegaskan bahwa di masa lalu Gereja
membedakan antara pengakhiran kehamilan sebelum dan
sesudah quickening (suatu tahap kehamilan ketika gerakan janin dapat
dirasakan). Mereka berpendapat bahwa Agustinus menerima konsep Pagan
Yunani dari Aristoteles mengenai "pemerolehan jiwa yang tertunda", menuliskan
bahwa jiwa manusia tidak dapat hidup dalam tubuh yang belum terbentuk.
Dikatakan Thomas Aquinas menegaskan bahwa janin belum sepenuhnya hidup
hingga tahap quickening. Beberapa akademisi tidak setuju dengan penafsiran
mengenai Aquinas dan Agustinus tersebut dengan mengatakan bahwa
pernyataan-pernyataan mereka tidak dapat digunakan untuk membenarkan
praktik aborsi di masyarakat modern karena keduanya mengutuk praktik ini.
5. Katekismus menggunakan istilah "tindakan-tindakan dalam pernikahan" (bahasa
Inggris: acts in marriage) dan mengutipnya dari Gaudium et spes: "Tindakan-
tindakan dalam pernikahan, yang olehnya suami-istri dipersatukan secara mesra
dan murni, adalah luhur dan terhormat; melakukan tindakan-tindakan ini secara
sungguh manusiawi memperkembangkan penyerahan diri yang ditandakannya
serta memperkaya suami-istri dalam kegembiraan dan rasa syukur."
6. Kata-kata dari perintah kesembilan dalam Katekismus hampir sama dengan
perintah kesepuluh. Dalam penjelasannya, Katekismus menyatakan bahwa "St.
Yohanes membedakan tiga jenis keinginan yang tidak teratur atau konkupisensi:
keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup." "Dalam tradisi
katekese Katolik, perintah kesembilan melarang nafsu badani; perintah
kesepuluh melarang keinginan akan milik orang
lain." Katekismus mendefinisikan "nafsu badani" sebagai suatu keinginan yang
kuat dari kedagingan, "gerakan dari hasrat yang peka yang bertentangan
dengan akal budi manusia", dan "pemberontakan dari 'daging' melawan
'roh'". Menurut penafsiran Gereja, perintah kesepuluh berkaitan dengan segala
bentuk hasrat yang kuat lainnya. Katekismus menyatakan bahwa perintah
kesepuluh "menyingkapkan dan melengkapi perintah kesembilan ... Perintah ini
melarang mengingini barang orang lain".

Sepuluh Firman Allah berperanan dalam masyarakat Yahudi sama seperti Pancasila
berperanan dalam masyarakat Indonesia. Sepuluh Firman Allah merupakan “dasasila”
dan bisa diajarkan demikian. Karena itu, arti dan maksud asli perlu dipertahankan
sebagai pedoman hidup bermasyarakat dan bukan sebagai sepuluh “perintah” Allah
yang sangat moralistik-individualistik seperti terkesan dalam banyak buku pelajaran
agama kita sampai sekarang. Sepuluh Firman Allah yang merupakan pedoman hidup
bermasyarakat diimani sungguh oleh bani Israel sebagai kehendak Allah.

Sejarah Sepuluh Firman Allah


Dalam tradisi Kristen, keyakinan dan tuntutan moral guna melindungi martabat manusia
dikaitkan erat dengan kehendak Allah. Keyakinan dan tuntutan moral itu dirangkum
secara padat dan menantang dalam Sepuluh Firman Tuhan. Tantangan-tantangan
moral itu diwartakan sebagai sabda Allah yang menuntut jawaban orang beriman.
Bunyinya:

Aku Allah, Tuhanmu.

1. Jangan memuja berhala, berbaktilah kepada-Ku saja dan cintailah Aku lebih
daripada segala sesuatu.
2. Jangan menyebut nama Allah, Tuhanmu, tidak dengan hormat.
3. Kuduskanlah hari Tuhan.
4. Hormatilah ibu-bapamu.
5. Jangan membunuh,
6. Jangan berbuat cabul.
7. Jangan mencuri.
8. Jangan naik saksi dusta terhadap sesamamu manusia.
9. Jangan ingin berbuat cabul.
10. Jangan ingin akan milik sesamamu manusia secara tidak adil.

Pada dasarnya sepuluh perintah ini ditemukan dalam Kel 20:1- 17 dan Ul 5:6-21. Tetapi
antara teks sepuluh perintah Allah dan teks Kitab Suci itu ada perbedaan yang cukup
berarti. Rumus Kitab Suci yang asli jauh lebih panjang, khususnya perintah yang
pertama, mengenai penyembahan berhala, amat ditekankan dan dirumuskan panjang-
lebar. Begitu juga perintah yang ketiga mengenai hari Tuhan, yaitu Sabat. Perintah
keempat mengenai orangtua dalam rumus Kitab Suci disertai motivasi: “supaya lanjut
umurmu di tanah yang diberikan Tuhan”. Perintah pertama sebetulnya malah
merupakan dua perintah: “Janganlah ada padamu ilah-ilah lain di hadapan-Ku” dan
“Jangan membuat bagimu patung atau gambaran apa pun”. Dengan demikian
sebetulnya ada sebelas perintah. Perintah ke-9 dan ke-10, mengenai keinginan,
sesungguhnya hanya satu perintah. Jadi, jumlahnya tetap sepuluh. Perumusannya juga
sedikit berbeda. Perintah ke-6 berbunyi “Jangan berzinah” (bukan “jangan bercabul”)
sedangkan perintah ke-8 “Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu”.
Perintah ke-9 (yang menjadi satu dengan perintah ke-10) paling berbeda: “Jangan
mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini istri sesamamu, atau hambanya laki-
laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apa pun yang
dipunyai sesamamu” (di sini Kitab Ulangan malah berbeda dengan Kitab Keluaran: istri
disebut sebelum rumah, dan ditambah “ladang”). Maka tidak mengherankan bahwa,
baik dalam agama Yahudi maupun dalam Gereja-gereja Kristen, perhitungan sepuluh
perintah tidak sama dan rumusannya sering amat berbeda. Rumusan dan urutan yang
sekarang lazim dipakai di dalam: Gereja Katolik berasal dari St. Agustinus.

Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa sepuluh perintah ini “ditulis Tuhan pada dua loh
batu” (Ul 5:22; 9:10; bdk. Kel 24:12). Dengan demikian mau dinyatakan bahwa perintah-
perintah ini betul-betul mengungkapkan kehendak Allah. Tentu saja, seperti seluruh
Kitab Suci lainnya, perintah-perintah ini juga ditulis oleh seorang manusia. Tetapi Israel
mempunyai keyakinan bahwa di dalamnya benar-benar terungkap keprihatinan Tuhan
yang menghendaki umat-Nya tetap hidup dan setia pada-Nya. Dalam sepuluh perintah
Allah tidak hanya dirumuskan kewajiban manusia terhadap Allah, tetapi juga tuntutan
terhadap sesama manusia, khususnya syarat-syarat kehidupan manusia dalam
masyarakat. Dinyatakan bahwa hak-hak manusia itu, serta perlindungannya,
merupakan kehendak Allah sendiri. Dalam Kitab Suci sepuluh perintah Tuhan
ditempatkan dalam kerangka perjanjian Israel dengan Tuhan. Dengan demikian, jelas
bahwa perintah-perintah ini bukanlah sembarang peraturan, melainkan ungkapan moral
Israel sebagai umat Allah. Sepuluh perintah itu suci dan menyangkut sikap hati manusia
terhadap Allah. Sepuluh perintah Allah itu bukan hanya peraturan sosial atau hukum
kenegaraan, melainkan rumusan singkat sikap dan tugas para warga umat Tuhan. Di
dalamnya moral dan iman menjadi satu.

Sepuluh perintah sebetulnya lebih merupakan ajakan moral daripada ketetapan hukum.
Di dalamnya tidak dikatakan mana perbuatan konkret yang terlarang atau yang dituntut.
Sepuluh perintah menunjuk pada bidang-bidang kehidupan yang di dalamnya para
warga umat Allah harus bertindak menurut keyakinan iman dengan memperhatikan
kepentingan manusia. Dalam sepuluh perintah, iman dan agama merupakan bidang
tempat manusia berhubungan dengan Tuhan. Sepuluh perintah juga menyebutkan
pelbagai bidang kehidupan tempat manusia berurusan dengan sesamanya: bidang
keluarga, bidang sosial (pengadilan), dan bidang ekonomi. Di sana diberikan asas-asas
atau prinsip kehidupan moral. Setiap saat prinsip-prinsip itu harus dipikirkan kembali
dan diwujudkan sesuai dengan tuntutan baru di dalam situasi dan kondisi kehidupan
yang nyata.

Oleh karena itu, sepuluh perintah ini sewajarnya disebut Dasafirman atau Dekalog,
yang lebih merupakan sabda Tuhan yang menyapa orang berhubungan dengan
kewajiban hidupnya, dan bukan perintah atau peraturan konkret. Dekalog bukan norma
hukum atau dasar pengadilan. Dasafirman adalah wahyu, karena mau mengarahkan
manusia kepada kebahagiaan yang sejati. Dasar Dasafirman itu adalah tindakan
penyelamatan Tuhan sendiri: “Akulah Yahwe, Allahmu, yang telah membawa engkau
keluar dari tanah Mesir, dari tempat perbudakan” (Kel 21:2 = Ul 5:6). Keprihatinan dan
kerahiman Tuhan demi kemerdekaan menjadi pegangan kehidupan manusia yang
paling dasariah, dan sikap Tuhan menjadi pedoman utama bagi semua usaha manusia:
membawa sesama keluar dari tempat perbudakan menuju “kebebasan anak-anak
Allah” (Rm 8:21). Karena mengungkapkan kehendak Allah demi keselamatan, tradisi
katekese memakai Dasafirman bagaikan sepuluh perintah sebagai titik pangkal guna
menguraikan “iman yang harus dipercaya dan diterapkan dalam hidup” (LG 25). Karena
Dasafirman yang terkenal itu meliputi bidang-bidang kehidupan manusia secara luas
dan selalu terbuka untuk diartikan dalam rangka pengalaman hidup, maka kiranya
membantu, kalau pandangan hidup orang Kristen diuraikan lebih rinci dengan mengikuti
urutan sepuluh perintah.

Anda mungkin juga menyukai